webnovel

Empire of the Portals Arc 1: Rise of an Empire

Beberapa portal menuju dunia lain bermunculan di Dunia Altresviel semenjak dua ribu tahun lalu. Manfred Zimmermann, seorang perwira militer Kekaisaran Nordland ditugaskan di sebuah dunia aneh yang sangat berbeda dengan dunianya. Ia ditugaskan oleh kaisar langsung untuk menginvestigasi penyebab munculnya portal-portal dimensi di Altresviel, menjalin hubungan baik dengan warga di dunia itu, dan memperkuat posisi kekaisaran yang baru saja terbentuk. Mampukah ia, yang dianggap sebagai musuh terbesar dunia itu menyelesaikan misinya? Dengan ingatan masa lalunya yang kelam, kini ia berdiri tegap untuk menyelesaikan tugas-tugasnya, dan mengakhiri perang abadi yang sudah menghancurkan hidupnya.

Tengku_Luthfi · 军事
分數不夠
8 Chs

Chapter 2 : Akhir dan Awal Segalanya

Part 3

Zimi mengisyaratkan semuanya untuk maju dengan cepat, untuk menangkap sang putri. Dengan salju yang semakin melambatkan pergerakannya, ia dengan sekuat tenaga berusaha berlari sekencang mungkin, untuk mengakhiri perang ini selamanya. Memori masa lalunya kembali menerjang kepalanya, menusuk hatinya, membuatnya sejenak menjadi dirnya di masa lalu, yang mengakibatkan bencana bagi orang-orang disekitarnya. Seorang Zimmermann yang penuh emosi, yang membantai banyak orang sebelum akhirnya kehilangan semua yang ia punya.

Ia kembali tersadar dari memori kelam itu, dan berfokus untuk menyelesaikan misinya dan pulang bersama anggotanya yang masih tersisa. Ia tidak ingin masa lalu itu kembali terulang dan merasakan lagi sakit di dadanya. Ia tidak ingin kehilangan lebih banyak lagi, sudah cukup kematian ia hadapi di perang ini, sudah cukup untuk membuatnya berfikir untuk bunuh diri.

Mayat naga itu tiba-tiba berubah menjadi kepulan asap pekat berwarna hitam, menutupi seluruh tubuhnya, memenuhi langit dengan asap berwarna hitam. Anehnya, tidak ada bau gosong sama sekali, dan jelas tidak terlihat tidak ada api pada tubuh naga itu. Bahkan api naga itu juga tidak mengeluarkan asap. Fenomena itu membuat mereka terhenti sejenak, hingga akhirnya naga itu hilang begitu saja bersamaan dengan api yang ada di kota. Ia tidak lagi berani berfikir dengan akal sehat, semua yang ada di dunia ini tidak masuk akal sehat.

Mereka melanjutkan berlari, mendaki tumpukan mayat musuh tadi, melewat kompleks istana, hingga mereka menemukan segerombolan prajurit dan lima orang penjaga berzirah perak di sana. Di belakang mereka ada seorang wanita memakai helm baja. Rambutnya yang berwarna biru langit bergoyang-goyang diterpa angin yang berhembus kencang. Kulitnya seputih salju di sekitarnya, dengan matanya yang berwarna merah darah menatap Zimi dengan penuh amarah.

Wanita itu adalah sang putri, yang baru datang seminggu yang lalu bersama seribu tentara elit kerajaan untuk memberi dukungan kepada kota yang sebenarnya sudah jatuh ini.

Zimi maju sendirian, dengan tangan berada di atas. Bukan mengisyaratkan menyerah, tapi mengisyaratkan dia datang dengan damai.

"Tuan Putri, kami meminta kita selesaikan ini dengan damai. Sudah cukup pertumpahan darah diantara kita."

"Dan melupakan apa yang kalian lakukan di Cheruscii, juga melupakan pengorbanan mereka di sini?"

"Dan kami akan melupakan kejadian di dunia kami, dimana kalian membantai pasukan kami tanpa peringatan, membakar beberapa desa, menyerang beberapa kota, dan membunuh ribuan nyawa warga sipil. Kaisar memberikan maaf pada kalian jika kalian menyerah sekarang, atau kami akan memberikan pengadilan kepada kalian yang sudah melakukan pelanggaran hukum perang." Kata Zimi, yang kini sudah berada cukup dekan dengan putri.

"Sejak kapan perang punya hukum? Kau dan idealisme mu yang tidak berguna itu tidak punya tempat di sini."

"Dan kau dan pasukanmu itu juga tidak punya tempat di dunia kami. Kini kami yang memenangkan pertempuran ini, kini waktunya Anda mengakhiri ini dengan hormat, putri. Pikirkan prajuritmu. Menyerah itu hanya hal kecil dibandingkan kehancuran massal yang akan menanti Anda dan pasukan Anda, jika tidak segera menyerah. Atau Anda bersikeras untuk memperpanjang penderitaan mereka yang ada di bawah Anda? Bukankah dari yang kudengar, Anda adalah bangsawan paling baik di seluruh Magincia?" Kata Zimi, mencoba meyakinkannya.

Sang putri mulai melembek, menimbang kata-kata orang didepannya itu. Ia mencoba meredam amarahnya demi kepentingan lebih baik, demi mereka yang sudah menderita dibawahnya. Meskipun ia membalas dendam saat ini, yang mati tetap mati, tidak akan hidup, sia-sia jika yang hidup ikut dibawa ke alam lain dengan hasil sia-sia. Begitu fikirnya kira-kira.

"Yang mulia, mereka ini tidak bisa dipercaya. Jangan didengar. Paling, ketika kita menyerah, kita akan dijual sebagai budak di negeri mereka. Lebih baik mati daripada hilang harga diri!" kata salah satu penjaganya, yang ternyata perempuan. Seluruh wajahnya ditutupi oleh kain berwarna hitam, dan rambutnya pun tidak kelihatan.

"Percayalah, kami tidak akan mengingkari janji. Anda bisa jamin itu."

Perdebatan antara Zimi dengan si penjaga putri itu berlangsung selama sekitar tiga puluh menit. Mereka adu mulut, dengan Zimi yang mencoba bersabar menghadapi tusukan kata-kata pedasnya yang tidak mau berhenti.

"Hadeh…mau di Altresviel atau di dunia aneh ini, semua sama aja. Perempuan cenderung suka ngomel…" Kata Max yang ada di sebelahnya.

Tiba-tiba, terdengar derap kaki yang ramai datang menghampiri mereka, ratusan prajurit datang memasuki gerbang, membanjiri kebun istana, dan menanam bendera Nordland di ruang tengah istana yang kini sudah rata dengan tanah.

Seseorang datang dengan berjalan kaki, mengenakan pickelhaube berwarna emas dengan bulu kuda berada di ujung lancip helmnya. Pakaiannya berwarna hitam, dengan lambang Doppeladler terpampang pada lehernya. Orang itu masih muda, namun punya semangat dan ambisi yang sangat membara untuk memberikan kejayaan bagi negerinya. Dialah Kaisar Winterhalle IV, kaisar baru Nordland yang baru saja naik takhta minggu lalu setelah ayahnya meninggal karena kanker.

Zimi menghadap ke belakang, memberi hormat kepada Kaisar. Ia melihat dari kejauhan, mayat-mayat sudah bersih dan pasukannya bergabung dengan barisan pasukan yang lain. Mereka mengelilingi pasukan putri dengan senapan sudah dibidikkan. Kaisar berjalan, dengan dua penjaga paling elit di seluruh Nordland, Elfgarde, mengawalnya dari belakang dengan menggunakan baju jubah panjang yang menutupi kepala, dengan wajah ditutupi oleh penutup wajah berwarna hitam.

"Halo, Putri Zachanis. Perkenalkan, saya, orang yang bagi Anda bukan siapa-siapa ini. Winterhalle von Aurenburg, Kaisar Magna Nordlandia, Anggota Councillium de Dryadales, dan Kaisar dari bangsa yang beradab. Saya disini, secara langsung, meminta Anda untuk menyerahkan kota ini. Kami akan merawat para tahanan perang dengan baik, kecuali mereka yang sudah ditandai sebagai penjahat perang."

"Dan bagaimana saya bisa percaya Anda, seorang kaisar yang beradab yang sudah menghancurkan sebuah kota saat sedang dalam perundingan?"

"Siapa yang memulai perang tanpa deklarasi terlebih dahulu?" kata kaisar dengan senyuman ramah.

Putri Zachanis terdiam. Ia bingung, apakah ini memang tidak boleh? Ayahnya selalu menyerang tanpa peringatan. Bukankah memang seperti itu perang seharusnya? Bukankah dengan pemberitahuan tak penting seperti itu malah membuat musuh lebih siap berperang?

"Maaf, pak. Tapi hal seperti itu tidak ada di dunia kami. Perang adalah perang. Siapa yang siap, dia yang menang."

"Dan perbudakan seperti itu sudah tidak ada lagi di dunia kami. Kami sudah punya aturan dalam perang, salah satunya tidak ada lagi yang dijual sebagai budak, dan perlakuan baik untuk mereka yang menyerah." Kata kaisar, lagi-lagi senyuman hangat ditunjukkan kepada putri.

Putri menunduk dengan kedua tangannya gemetaran. Ia ragu, takut, akan apa yang akan dilakukan pasukan mereka setelah ia menyerah. Kejadian di Cheruscii. Tapi ia tidak punya pilihan lain. Ia akan berjudi dengan nasibnya, pasrah akan apa yang akan terjadi. Ini juga lebih baik daripada harus mati sia-sia, dan mungkin perang akan berakhir di sini.

Dengan tertunduk, Putri Zachanis berjalan dengan pedangnya ia pegang di tangan kanan. Kedua penjaga elit kaisar itu mempersiapkan tangan mereka pada pedang dan pistol mereka. Sang putri terus berjalan, hingga akhirnya berhadapan langsung dengan Kaisar Winterhalle. Pedang besar Putri Zachanis yang menjadi simbol keagungan Keluarga Zarkhan, penguasa Magincia ia pegang dengan kedua tangannya. Ia menunduk, dan menyerahkan pedangnya begitu saja kepada kaisar, mengisyaratkan penyerahan dirinya dan para prajuritnya yang ada di sana.

Para penjaga putri awalnya tidak terima, khususnya dua orang yang mengenakan penutup kepala, mereka sambil teriak berlari menghampiri kaisar dengan pedang terhunus.

Putri Zachanis berbalik, lalu menghentikan mereka sebelum masalah makin runyam.

"Arelys, Amitys, kita sudah menyerah. Hentikan, dan kita lihat janji mereka. Setidaknya, kota ini sudah bebas, perang sudah berakhir, dan rakyat sudah menderita. Lagipula, kita bisa dijadikan sandera, dan perang bisa berakhir sebentar lagi. Bukankah itu yang kalian mau?"

Mereka terdiam, dan bersamaan membuang pedang mereka dan ikut berlutut pada kaisar. Prajurit lain yang tersisa juga membuang senjata mereka, dan berlutut. Pertempuran di Thalassia sudah berakhir, dan perang di dunia ini akan berakhir.

"Dan dimulailah, elang mengepakkan sayap di dunia ini." Kata kaisar, sambil menatap ke arah langit yang luas, dimana awan-awan sudah mulai menipis dan matahari mulai terlihat.

Hari melelahkan itu selesai. Pada hari itu, dua orang dianugerahi Schwarz Doppeladler Merit, medali paling tinggi yang bisa didapatkan seorang warga atau prajurit Kekaisaran Nordland Raya. Manfred Zimmermann dengan keberhasilannya menyerang ratusan tentara musuh, termasuk para Magi kelas tinggi yang berada di dalam, dan menjadi yang pertama mengepung sang putri.

Zimmermann, Heimling, Theodred, Ingrid, dan Max berkumpul di kebun luas itu, sambil menatap tempat mereka bertempur tadi. Masih terlihat noda darah yang mencemari putihnya salju. Dua puluh lima gundukan tanah dengan sebuah tongkat dan plakat nama dengan stahlhelm masing-masing orang yang gugur digantung diatasnya. Ia kehilangan lebih dari seperempat pasukannya.

"AH kucing!" kata Zimi, memungut hewan berbulu berwarna putih yang tiba-tiba mendekatinya. Ia mengelus-elus hewan itu, yang entah kenapa memberinya ketenangan batin dan kesejukan pada tubuhnya. Bukan dari dinginnya musim dingin.

"Matamu rusak karena pertempuran tadi? Jelas-jelas itu anjing!" kata Max

"Apa yang salah dengan kalian berdua? Itu RUBAH. Kalian tidak pernah liat rubah? Omel Theodred

Mereka berdua menggeleng.

"Tapi bukannya rubah berwarna oranye dan hitam?" kata Zimi.

"Mungkin itu albino."

"Oooooh…."

Mereka terdiam sejenak, melihat matahari senja yang kini sudah terlihat dengan jelas dengan awan-awan sudah berjauhan.

"Akhirnya selesai juga…" kata Heimling sambil menarik nafas dalam-dalam.

"Ya….banyak darah yang tumpah hari ini…" kata Ingrid, sembari menatap ke arah makam itu. Air mata dengan deras mengalir dari kedua matanya, melewati pipinya dan jatuh ke tanah. Salah satu dari orang yang mati hari ini adalah Jonas Waldemar, koleganya di kampus sebelum perang dimulai. Bisa dibilang, mereka hampir pacaran, mereka saling suka namun takut untuk mengutarakan perasaan mereka. Ingrid meninggalkan mereka, tidak tahan melihat makam itu, yang membawa banyak memori indahnya di masa lalu. Zimi tidak tahu tentang ini, tapi dia faham salah satu diantara orang-orang itu ada yang sangat berharga baginya. Yah, Zimi baru empat bulan berada di kompi yang ia pimpin saat ini, dan itupun tidak ada banyak waktu untuk berkenalan karena mereka konstan ikut bertempur di daerah paling berbahaya.

"Aku temani dia, jaga diri kalian ya." Heimling memberinya hormat, dan menyusul Ingrid.

"Sial….perutku…permisi pak…"

"Wanita itu, yang dibawa oleh Putri Zachanis, dimana dia?" kata Zimi menengok ke Max.

"Diurus sama petugas medis, tiba-tiba tanya gituan kenapa?"

"Kita gagal mendapatkan target kita, dan dia hanyalah petunjuk untuk mendapatkannya. Moga-moga dia gak mati."

"Yah…semoga…dan gadis pelayan itu, dia sudah mati ya…."

"Kau menyukainya, Max?" jawab Zimi dengan senyum jahil

"Kita baru saja bertemu dengannya, dan entah kenapa ketika melihat monster mengerikan itu, amarahnya meluap-luap. Ia membantu Heimling dengan mempercepat roket panzerfaustnya, melukai matanya dan membuat monster itu kesakitan dan mengganggu pikirannya. Kita bisa menang karenanya…mungkin."

"Ya…kira-kira dia dimana ya…aku lihat tubuhnya terpental, bukan hancur berkeping-keping."

"Ya…orang-orang dunia ini memang kuat…aku bahkan belum tanya namanya…"

Mereka berdua menatap sebentar matahari yang akan terbenam, lalu pergi bersamaan untuk kembali ke kompi mereka. Ia belum melakukan debriefing kepada prajuritnya.

Ada seorang lelaki tua mengenakan kacamata bundar di mata kanannya. Ia mengenakan seragam militer Nordland dengan lambang doppeladler di kerahnya. Ia adalah Feldmarschall Teodor Hochner.

"Selamat, Major Zimmermann atas medalimu dan promosimu. Performamu, dari cerita para prajuritmu sangat mengagumkan. Kau layan mendapatkan medali itu, yah meskipun aku ini tak punya medali yang kau punya itu. Kuharap kita bisa bekerja sama lain kali!" katanya dengan senyuman hangat. Omong-omong, peliharaanmu cantik!"

Zimi hanya tersenyum dan tertawa kecil.

Tiba-tiba, Ia melihat sesuatu di belakangnya. Sesuatu seperti siluet seseorang, menarik sebuah busur panah. Anehnya, tidak ada yang melihat, orang-orang di sekitar hanya lalu-lalang seperti biasa.

Bayangan hitam itu terlihat melepas busurnya. Anak panahnya yang juga berwarna hitam terlihat sangat nyata, hingga Zimi dengan sigap mendorong Jenderal Teodor menjauh.

Anak panah itu tepat mengenai dada Zimi. Ia terjatuh, dengan dadanya mengeluarkan banyak darah. Max berteriak memanggil Zimi. Semua orang baru menyadari makhluk itu setelah panah ditembakkan. Max, dengan amarahnya menembaknya dengan senapan, tepat mengenai kepala dan makhluk itu seketika tak bergerak, kelihatannya sudah mati.

"Medis! " teriak Jenderal Teodor, yang masih sedikit terguncang dengan apa yang barusan terjadi.

"Max, Max! seberapa parah lukaku? Aku gak berani liat."

"Oh Ya Oldenvar lubangnya sebesar kepalan tanganku."

"Bangsat, yang benar?"

"Nggak, kecil kok, kau bakal selamat. Pasti! Kalau kau mati, aku sumpahi kau harus berjalan sendirian ke pemakamanmu!"

"Ya..Tuhan…sakit…dingin…."

"Tetaplah bernafas!"

Petugas medis datang membawa tandu, mengangkatnya perlahan dan membawanya pergi ke arah truk yang sudah dipersiapkan.

Pandangannya mulai kabur. Tubuhnya terasa lemas, ia mencoba untuk bangun sekuat tenaga, tapi semakin lama kedipan matanya semakin lambat. Hingga akhirnya ia melihat rubah tadi berdiri di atas perutnya, seakan-akan tersenyum. Ia berkedip lagi, dan hewan itu tidak ada. Seketika semuanya menghitam, dunianya gelap. Kesadarannya, perlahan hilang