Suara gaduh di luar membuatku terpaksa bangkit dari ranjang. Dengan tumpukan selimut yang masih membungus tubuh, kulangkahkan kaki menuju ke arah tempat terjadinya keributan itu.
Apa yang kulihat di sana membuatku kesal. Sedang apa Blake di sini? Aku tak langsung bersuara untuk menghardiknya, kuperhatikan saja dari kejauhan apa yang ia dan orang tuaku lakukan. Mereka sedang berada d halaman belakang, seperti mempersiapkan pesta besar, mengobrol, saling melempar joke dan tertawa lepas.
Tunggu! Sejak kapan ayahku akrab dengan Blake, lelaki yang dulu begitu ia benci?
Mereka menyadari kehadiranku, yang berarti saatnya untuk pergi. Aku berbalik dan dengan langkah cepat meninggalkan mereka. Saat hendak masuk ke kamar dan menutup pintu, terdengar jeritan Blake tak jauh dariku.
Ternyata dirinya dengan gaya sok jagoan, menghalangi pintu agar tak tertutup, menahan dengan tangannya, catat itu!
"AH ... !" pekik Blake, tertahan, kemudian menggenggam tangannya yang terluka.
Sekarang apa lagi, Blake? Aku memutar bola mata, melihat kebodohan yang dilakukannya.
Dengan cepat ia menyusp masuk ke kamar saat aku lengah, menutup pintu, dan menahan dengan tubuhnya. Sesaat, waktu seolah terhenti, terlebih ketika tatapan mata kami bertemu. Aku bahkan tak berani mengedipkan mata, tak ingin waktu terlewat jika sebentar saja mengerjap.
Aku mendesah, pasrah. Jika sudah seperti ini, berarti tak ada jalan untuk melarikan diri.
"Aku baru tahu kalau kau sangat keras kepala," ucapku, tanpa mengalihkan pandangan darinya. Ujung bibirnya terangkat mengulas senyum tipis di wajah tampannya.
Oke, dia tampan, aku mengakuinya sejak dulu. Bukankah sering kukatakan demikian?
"Aku harus keras kepala untuk mengejar gadis keras kepala. Hai ...," ucapnya, menyapa, seolah kami baru pertama bertemu. "Aku hari ini akan membuat pesta barbeque di sini, kuharap kau mau bergabung dan tidak mengurung diri di kamar."
Aku memutar tubuh kemudian berjalan menuju ranjang dan membanting tubuh di sana.
"Memangnya kau tidak punya rumah sendiri sampai membuat pesta di rumah orang?"
Ia mengekor langkahku, kemudian duduk d sisi ranjang. "Ayah dan ibumu setuju, di mana masalahnya?" jawabnya, cuek.
"Kalau begitu terserah kau. Sekarang keluarlah, dan jangan lupa tutup pintunya!" usirku, kemudian membungkus tubuh hingga kepala dengan selimut.
Pria itu bukannya pergi malah menarik tumpukan selimut dan melemparkannya ke lantai.
"Kalau kau kedinginan, katakan saja ... aku akan menghangatkanmu. Jangan membungkus dengan selimut seperti itu, kau bisa mati kehabisan nafas." Tanpa diminta ia berbaring di sampingku, kemudian menarikku masuk ke dalam pelukannya. Aku memberontak, berusaha menolak apa yang dilakukan Blake.
"Lepaskn aku, Blake! Kau tidak boleh sembarangan melakukan ini padaku!" Apa yang kulakukan jelas sia-sia. Dengan proporsi tubuh yang jauh berbeda, ia dengan mudah membekuk dan membuatku tak mampu memberi perlawanan lagi.
"Sshh ... diamlah! Aku tau kau tidak tidur semalaman, maka sekarang tidurlah. Kau aman, ada aku di sini." Ia mengecup dan mengelus pucuk kepalaku yang tentu saja menimbulkan kantuk. Aku tak tahu kapan mataku tepejam dan berapa lama. Namun, berada dalam dekapannya seperti ini rasanya sangat nyaman ....
***
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Blake sudah tak ada di sampingku, ia mungkin sedang mempersiapkan pesta yang sudah direncanakannya entah sejak kapan. Dan apa yang dilakukan ayah dan ibu? Mengapa mereka seperti tak masalah dengan kehadiran pria itu?
Aku beranjak dan menuju halaman belakang, memastikan situasi aman dan terkendali. Ayah tertidur di atas kursi taman kesayangannya, sementara ibu sedang duduk tak jauh dari tempat ayah, merajut sebuah syal. Beberapa meter dari tempat mereka, Blake masih sibuk dengan alat pemanggangnya, juga persiapan bahan yang dibutuhkaan untuk acara pesta pribadinya.
Dasar aneh!
Aku mendekat pada ayah dan ibu, duduk di antara mereka memerhatikan Blake dari kejauhan. Ibu sepertinya menyadari tatapanku yang tak lepas dari pria itu.
"Dia terlihat sangat menyukaimu, Jenna," ujar ibu, sembari terus merajut. Aku tersentak dengan pernyataan ibu dan menoleh padanya.
"Ah, tidak .... Dulu kami memang pernah ada hubungan, ibu tahu, 'kan?! Sekarang tidak lagi," sanggahku.
Ibu tak menjawab atau menanggapi sanggahanku, ia hanya tersenyum sembari memandangku dan Blake, bergantian. Aku menghela nafas kemudian bangkit dan menghampirinya yang menyadari kehadiranku, lalu mengulas senyum simpul.
"Kau suka yang mana?" tanya pria itu, menyodorkan berbagai macam varian barbeque padaku. Aku hanya menjawab dengan menaikkan sebelah alis.
"Aku pemakan segala, jadi menyukai semuanya," jawabku, disambut tawa olehnya, kemudian kembali menyibukkan diri dan memanggang barbeque yang telah ia siapkan.
Tak lama berselang, entah mengapa aku kembali merasakan nyeri dan menggigil. Aku memeluk tubuhku sediri dan mengusap-usap untuk menghangatkannya. Pria itu mulai menyadari kondisiku saat itu, kemudian melepaskan jaket bomber yang sejak tadi melekat di tubuhnya, memakaikannya padaku.
Perlahan tapi pasti, serangan lain datang. Kepalaku terasa pening dan berkunang-kunang. Aku berusaha menahan agar tidak terjadi apa pun saat ini. Ini sungguh waktu yang tak tepat. Meski tak sendiri, aku tak ingin membuat mereka cemas dengan kondisiku.
Namun, tubuh yang sejak kemarin tidak tersentuh obat, akhirnya kolaps. Aku hanya mengingat kejadian terakhir. Selanjutnya ... hanya gelap.
***
"Jenna ... kumohon tetaplah bersamaku. Kau akan baik-baik saja, Jenna." Suara itu lamat-lamat terdengar. Seperti deja vu, aku berusaha membuka mata dan melihat siapa yang berada di sampingku saat ini.
"Ryan ...," ucapku, lirih, nyaris tak terdengar. Mungkin Siapa pun itu akan mendengarnya. Apakah itu kau, Ryan? "Ryan ...,"
Aku merasakan tanganku digenggam, diremasnya lembut. "Aku di sini, Jenna."
Ah, syukurlah. Berarti aku tidak bermimpi. Ryan benar-benar ada di sini. Aku ingn mengetahui keberadaannya, memastikan bahwa itu benar-benar dirinya.
Aku masih mencoba membuka mata, mengendus dan menghirup aroma apa pun darinya yang bisa kukenali. I-ini bukan aroma Ryan, tapi siapa? Aku terlalu lemah untuk memastikan siapa yang ada di sampingku saat ini.
Bahkan otakku, tak mampu memroses hal terbaru. Dalam database yang tersimpan hanya tentang Ryan.
Aku bisa merasakan tubuhku berguncang dan terdengar suara roda besi bergesekan dengan lantai. Lirih kudengar isak tangis ibu mengiring perjalananku. A-apakah aku sudah mati?
"Tetap bersamaku, Jenna. Aku di sini, aku tidak akan meninggalkanmu." Suara itu terdengar setengah berbisik, dan bergetar. Seolah aku akan mati. Ataukah memang aku akan mati?
***
Mataku terbuka, aku masih bisa melihat dan ... masih hidup. Kuedar pandangan ke seluruh ruangan. Aku kembali berada di tempat yang selalu kuhindari beberapa bulan ini. Rumah keduaku.
"Ryan ...," panggilku. Tak ada siapa pun di sini, tak ada seorang pun.
Aku berusaha menggerakkan tangan meraih tombol bel yang berada di samping ranjang. Tak berhasil meraihnya, dan aku menyerah. Tubuhku masih terlalu lemah, tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain menanti seseorang datang dan mengatakan sesuatu. Mungkin sekarang sebaiknya aku kembali beristirahat.
***