Esoknya, Neko menatap dirinya di kaca yang memperlihatkan dari atas kepala hingga bawah kaki, memakai pakaian hitam dengan celana hitam dan kaus hitam nya, ia menjadi terdiam menatap dirinya sendiri. "(Hingga akhirnya cara lain melunasi hutangnya adalah menjadi bawahan di gedung besarnya,)" ia tampak putus asa lalu melihat rambutnya sendiri yang panjang.
"(Percuma saja sekarang punya rambut panjang,)" ia akan menguncir rambut panjangnya, tapi tiba-tiba saja, entah kapan datangnya, tangan Felix yang besar menahan tangannya, membuat Neko sedikit terkejut dengan kedatangannya.
"Kau tidak senang dengan gaun putih, aku akan memberimu warna hitam yang cocok untukmu, dan jangan sekali-kali kau mengikat rambutmu yang cantik.... Ikutlah aku," tatap Felix dengan dingin lalu berjalan dengan diikuti Neko.
Mereka ada di gedung milik Felix sendiri, berjalan di lorong luas itu, dan di depan ada dua orang yang menunggu. Neko terkejut karena salah satu dari mereka adalah orang yang ia kenal, yakni Acheline.
"(Apa?! Ba... Bagaimana bisa.... Tunggu, aku pernah ingat dia mengatakan bahwa dia adalah pengawal milik Park Choisung dan misinya di kampus itu adalah mencari seseorang dari Park Choisung, apa jangan-jangan dia adalah mata-mata yang menggunakan aku sebagai objek mata-mata karena disuruh oleh atasannya ini.... Sialan, harusnya aku tahu dari awal.)"
". . . Oh... Bos... Kau membawa siapa?" tanya Acheline.
"Sepertinya gadis baru," kata rekan pria satunya yang bernama Negan. Dia memakai kemeja putih, melepas jasnya yang ia pegang di lengannya.
Neko menoleh, dan itu membuat Acheline serta Negan terkejut.
"(Wuh.... Manis juga gadis ini,)" pikir Negan, tapi pikiran Acheline berbeda. "(Dia... Bukankah dia??)" Acheline baru sadar sekarang.
"Aku akan meninggalkannya denganmu, Acheline," kata Felix.
"Oh... Iya, baiklah," Acheline membalas, lalu Felix berjalan pergi diikuti Negan.
Neko terdiam dengan Acheline yang menatapnya. Rasanya memang tidak nyaman setelah mengetahui dari mereka masing-masing.
Tiba-tiba, Acheline bicara ramah. "Yah... Kau bawahan baru, bukan? Salam kenal, aku Acheline, sudah lama kita tidak bertemu hehe...." dia mengulur tangan.
". . . Amai," Neko menerima tangannya, tapi mendadak di senyuman Acheline itu ada tangannya yang meremas tangan Neko.
Neko merasa sakit diam. "(Sialan, kau mencoba memancingku?!)" lalu ia kembali membalas meremas tangan Acheline yang masih berjabat tangan dengannya.
Acheline juga mengeraskannya. Tapi ia tiba-tiba terkejut. "(Woah, Dia... Kuat, tunggu, ini sungguh sangat kuat....) Ah... Ak... Aku... Menyerah!" ia kesakitan hingga terlutut. Seketika, Neko melepas tangannya. "Maafkan aku," ia tampak memasang wajah polosnya.
"Huf... Kau benar-benar kuat," Acheline menatap tangannya sendiri yang bengkak.
Neko hanya terdiam, dia memasang wajah putus asa, mungkin dia akhirnya mengerti, itu adalah akhir baginya. Bagaimana tidak, dia harus bekerja pada Felix, bukannya membayar orang, dia justru sebaliknya sekarang.
"(Sepertinya aku harus mencari suasana untuk hal ini.) Ngomong-ngomong, saat itu kau benar-benar pergi, yah... Tidak menyelesaikan kampusmu," kata Acheline.
". . . Aku memang tidak berniat di sana."
"Aku tahu, aku juga ditugaskan bos di sana, makanya kau tahulah seberapa hebat aku," Acheline menatap sombong.
". . . Itu berarti kau bukan dari Cheong?"
"Cheong... Cheong? Sebentar, sepertinya aku pernah dengar namanya... oh... Ayahnya Choka, aku mengerti itu... Bukan, aku dari bos," kata Acheline, namun hal itu membuat Neko terkejut.
"Kau bilang... (Choka... Putri darinya?! Aku memang sudah menduganya... Dari awal aku juga sudah dapat hal ini, tapi kenapa ini semakin membingungkan, aku juga terkejut mereka mengetahui soal Cheong...)" ia terkaku.
"Ada apa.... Jangan-jangan kau baru tahu Cheong memiliki putri... Ckckckc, benar-benar yah.... Yah, memang beda sih putri sama ayahnya berkulit beda, tapi itu karena istri Cheong memiliki kulit hitam manis seperti Choka, jadi jangan bingung lagi."
"(Cih.... Dia bedebah.) Sebenarnya aku sudah tahu, hanya saja aku masih belum percaya," Neko mengepal tangannya dengan kesal.
Acheline yang melihat itu tentu saja sudah tahu masalah Neko. "Kau benar-benar memang tipe harus melihat langsung setelah itu baru percaya. Oh, ngomong-ngomong, aku benar-benar menyelesaikan misiku saat itu. Bos sangat senang karena aku telah menemukanmu... Lalu kita bekerja sama dengan Yohan," kata Acheline.
Seketika, Neko kembali terpaku. "A.. Apa yang kau katakan tadi... A... Apa..."
"Yohan? Aku dengar dia sudah mati. Kami menghormatinya dengan mengkremasi mayatnya lalu ditempatkan di tempat nyaman untuknya. Pasti sakit kehilangan seseorang bahkan matinya di depanmu sendiri," tambah Acheline.
Tapi Neko terdiam menatap bawah, membuat Acheline terpaku menutup mulutnya. "(Oh astaga, aku memang tidak pandai membuat suasana baik, sekarang aku membuatnya begitu... Dia pasti merasa sedih dan merasa bersalah juga...)"
Tapi mendadak, ada yang datang, seorang pria yang mengerikan. "Dimana orang baru itu! Dimana dia!!" dia menatap di dekat Neko lalu menatap ke bawah melihat Neko yang menengadah.
"Ah, dia adalah salah satu bawahan dari bosku, dia dikenal sebagai bawahan yang sangat buruk, sudah jelas sekali dari perkataan nya sekarang," kata Acheline dengan wajah tanpa berdosa maupun takutnya.
"Mau apa memangnya, gadis kecil menjadi orang baru, benar-benar sungguh sangat lucu hahaha," pria itu tertawa diikuti yang lainnya yang datang di belakangnya.
Neko hanya terdiam tak mendengarkan itu, sementara Acheline tampak memasang wajah polos maupun bodoh.
"Hei, aku bicara padamu.... Gadis kecil...." Pria itu menekan-nekan kening Neko membuat Neko terkejut langsung menutup kening nya.
"(Sialan, sakit bangsat....)"
Lalu mereka menoleh ke dada Neko. "Hei, ukuran dadamu boleh juga, sama seperti ukuran wanita seksi.... Karena kau anak baru, beri seniormu ini hadiah," pria itu mendadak memegang satu buah dada Neko, membuat Neko terkejut, apalagi Acheline, dia akan maju tapi siapa sangka.
Mendadak, Neko menendang hidung pria itu hingga pria itu terjatuh ke belakang. "Akh.... Akhh!!!" dia kesakitan pada wajahnya. Siapa sangka, Neko dengan berani melakukan itu.
Tak hanya sampai di sana, Neko mendekat menginjak lengan pria itu dan menambah memukuli wajah pria itu.
Acheline yang melihat itu hanya bisa terpelongoh. "(Benar benar di luar naral.... Dia benar benar bisa menghabisinya.... Patut di contoh sekali....)"
"Akhh.... Apa yang kalian lakukan, cepat serang dia!!"
Karena perintah itu, orang-orang tadi akan maju menyerang Neko, tapi Neko waspada, dia langsung melompat dan menendang wajah orang itu, lalu memukuli mereka satu per satu, dia bahkan bisa menghindar dengan lincah pada pukulan mereka hingga pada akhirnya mereka tumbang.
"W... W... Woah..." Acheline masih terpelongoh.
Lalu Neko kembali menatap ke pria yang pertama tadi, dia menginjak dada pria itu dan menekannya terus.
"Akh, sialan.... Hentikan...." dia kesakitan memegang kaki Neko yang terus menekan.
"Sekali lagi kau melecehkanku, tak hanya wajahmu, tapi bagian lainnya akan aku buat lebam!!" Neko menatap tajam.
Tapi Acheline tiba-tiba menarik tangan Neko, membuat Neko mendekat padanya. "Sebaiknya, kita pergi, jangan cari gara-gara di sini," dia langsung menarik tangan Neko pergi.
Tapi pria itu bangun memegang hidungnya yang berdarah. "Cih, sialan.... Aku akan membalasmu."
--
Mereka ada di sofa sebuah ruangan. "Kau tahu, itu tadi sungguh sangat hebat, tidak, bukan, tapi luar biasa, sangat!!" kata Acheline menatap terpukau, tapi Neko masih terdiam memasang wajah kecewa.
Acheline juga ikut terdiam hingga ia punya ide bagus.
". . . Hei... Bagaimana jika ke rumahku?"
"Rumah? Tidak terima kasih, aku harus pergi," Neko berdiri.
"Hm... Memangnya kau akan pergi kemana? Pulang kemana?" Acheline menatap dengan senyum kecil.
". . ." Neko menjadi terdiam mendengarnya. "(Benar juga.... Aku bahkan tak tahu dimana tempat ini.)"
Alhasil, ia keluar dari gedung itu bersama Acheline. Tapi ia menjadi bingung karena ada motor GSX400S Katana.
"Haha, yang kamu lihat ini adalah kendaraan kebanggaan ku, motor sport berwarna hitam dengan kecepatan sampai 200 lebih kilometer per jam, karena rumahku sangat jauh, jadi aku sengaja memodifikasi kecepatan untuk lebih dari 200 kilometer per jam," kata Acheline membuat Neko terdiam.
"Orang mana yang mengendarai motor secepat itu, kau menerobos lampu merah atau apa?"
"Yah, begitulah, tak perlu basa-basi lagi. Baiklah, pakailah ini," Acheline memberikan helm full-face pada Neko yang masih terdiam bingung.
"Pakailah ini, kebetulan aku memang membawa dua helm," Acheline menatap sambil memakai helmnya sendiri.
"Aku... Tidak tahu," kata Neko. Seketika Acheline terdiam. "(Ah, aku mengerti, tanganmu pasti lemas gara-gara tadi.) Biar aku yang memasangkannya," ia lalu memakaikannya di kepala Neko, ia menjadi terkejut dan tersenyum sendiri.
"Pf... (Dia bahkan masih imut memakai helm itu.)"
"Ada apa denganmu?" Neko menjadi bingung dengan wajahnya yang tertutup helm tersebut.
"Haha, tidak apa-apa, kemarilah," Acheline menaiki motor dan akan mengendarainya, lalu Neko naik di belakangnya.
Tapi Acheline terdiam tak menyalakan motor, ia menoleh ke Neko.
"Kenapa kau tidak pegangan?" ia menoleh dan terkejut karena Neko malah berpegangan pada bagian belakang motor.
"Hei.... Kau seharusnya memegangku," kata Acheline.
"Memegang apa?"
"Cih... Kau sudah terlihat sekali tidak pernah menaiki motor," Acheline mengambil kedua tangan Neko, ia meletakkan kedua tangan Neko di pinggangnya sendiri.
"Berpeganglah padaku seperti ini."
Lalu Neko meremas baju Acheline di bagian pinggang untuk berpegangan.
"Kau juga harus mendekat, istilahnya, peluk aku," tambah Acheline.
"Apa itu harus?"
"Tentu saja, rumahku itu sangat jauh, aku menggunakan kecepatan tinggi untuk menghemat waktu, jadi dengan keselamatan, kau harus melakukan perkataan ku agar kau juga akan selamat nantinya," kata Acheline.
Neko menjadi terdiam sebentar lalu mendekatkan tubuhnya hingga buah dadanya tertekan di punggung Acheline. "Apa ini kurang dekat?"
"Haha, pertanyaan bagus, jika kau bisa dekat, silahkan saja, itu akan tambah aman," tambahnya.
Lalu Neko mendekatkan lagi hingga buah dadanya benar-benar tertekan di sana. "Ini agak sesak," Neko tak mempedulikan buah dadanya.
"Tak apa, pegangan padaku saja ya. (Bagus... Ini lebih nyaman, kedua mochi lembut itu menyentuhku, bahkan sangat nyaman, ini seperti bantal....)" senyum Acheline, tapi dia harus menyetir dan menyingkirkan pemikiran itu lalu menyalakan motor dan mulai mengendarai motornya.