Aku mencari kendaraan dan menemukan seorang tukang ojek yang sedang mangkal, aku rasa jika menggunakan mobil akan sangat lama untuk sampai. Jadi lebih baik ke sana dengan motor.
Aku berjalan menghampiri pria dengan mantel tebal yang menyelimuti tubuhnya yang cukup berisi. Dia tersenyum sopan terhadapku.
"Ojek, Neng?" tanyanya.
Aku mengangguk. Dia kemudian memberikan helm, lalu menyalakan mesin motor. Aku naik dengan helm yang kupasang dengan baik. Berdoa semoga perjalanan aman.
"Jalan Kartini, ya, bang. Rumahnya di depan jalan, kok." Aku berkata seperti ini karena memang jarang sekali ojek pangkalan yang mau ke sana, sering ada bentrok dengan pak ogah yang minta uang paksa.
Dia menatapku lama lewat spion, aku mulai takut dia tak mau mengantar. Aku tak ingin berlama-lama di sini.
"Oke, siap, Neng." Dia akhirnya menjawab setelah memutus kontak matanya.
Wah, aku sennag sekali kalau pak ojek tidak menolak.
Kendaraan roda dua ini mulai melaju. Aku mencoba tennag meskipun rasa takut itu masih saja ada dan aku tetap merasa was-was juga. Seperti ada yang mengganjal, entah apa yang membuatku seperti ini. Pikiran-pikiran kejadian tadi, Mas Fadil, setan yang terus menggangguku. Semua masuk ke otak, membuatku susah fokus dan tak bisa mendengar apa yang sedang dikatakan oleh tukang ojek.
Hingga dia harus mengulangnya lagi.
"Neng, baru datang dari kampung, ya?" Tanyanya, akhirnya aku bisa mendengarnya.
"Iya, Pak," jawabku seadanya.
"Mau kerja, ya?"
"Enggak, Pak. Kenapa gitu?"
"Enggak, saya lihat aura neng ada dua, kebanyak orang yang saya temui turun di terminal, mereka yang dari kampung bawa 'alat' buat datang merantau, supaya dipercaya dan gampang cari kerja, atau kalau udah kerja, gampang naik pangkat, Neng. Tapi syukur kalau si Neng gak begitu. Saya harap aura itu cuma tempelan, karena kuat banget Neng."
"Oh gitu, Pak. makasih, Pak. Semoga cuma tempelan."
Iya, semoga di tubuhku tak ada apa-apa di dalamnya. jadi ini arti tatapannya tadi yang cukup lama lewat spion. Rasanya risih, tapi ternyata memang ada sesuatu. Aku merinding sekarang. Ternyata tebakanku benar, mereka tak akan menyerah mengikutiku. Apa yang mereka mau dari orang biasa ini, apa yang kupunya sampai dikejar ke mana-mana.
Dia tak bertanya lagi dan motor melaju lebih cepat, hingga kami sampai di jalan Kartini. Dari ujung jalan aku bisa melihat rumah mamah. Aku bersyukur dalam hati. Merasa kalau sudah punya sandaran lagi yang akan membuatku nyaman. Setidaknya mamah tak akan membuatku ketakutan seperti Mas Fadil.
"Berhenti di rumah nomor 8, Pak. Catnya abu-abu." Aku menunjuk rumahku, dan Pak ojek segera berhenti sesuai arahan.
Aku turun dan menyerahkan helm. "Sebentar, Pak, saya ambil ongkos dulu di dalam," ucapku seraya membuka pagar yang kebetulan belum digembok oleh Mamah, biasanya mamah akan menguncinya jam sebelas malam.
Aku masuk dan membuka pintu utama, rumah mamah tak terlalu besar, aku masuk saja lebih ke dalam dan terlihatlah siluet tubuh mamah yang sedang berdiri di ruang keluarga, tampaknya sedang menyalakan kipas angin.
"Mah?" Panggilku. Iya aku akan memastikan dulu. Takut kalau itu bukan Mamah. kejadian kemarin membuatku tak bisa membedakan manusia atau hantu hanya bisa mengandalkan orang lain untuk memastikan.
Perlahan tubuh itu berbalik dan dia menatapku dengan senyum yang merekah. Mamah segera berlari menghampiriku dan dia memelukku.
Aku membalas pelukannya, "Mah tolong minta uang dulu, aku naik ojek. Belum bayar."
"Oke, oke, ya ampun kenapa gak bilang dari tadi, kenapa gak telepon kalau udah sampai, dompet kamu ilang?" tanya Mamah sambil merogoh saku bajunya dan dia memberikan uang limapuluh ribu kepadaku.
Aku membawa lembaran uang biru itu dan memberikannya ke tukang ojek, dia bilang kebali dua puluh, tapi aku menolak dan memberikan sisanya.
"Neng, kalau butuh sesuatu bantua tentang orang pintar, saya ada kenalannya. Ini nomornya. Bisa disimpan, maaf kalau saya lancang, ya."
"Iya, gak apa-apa, Pak. Terima kasih, kalau saya butuh akan saya hubungi."
Aku mengambil selbar kertas kecil yang sepertinya baru dia siapkan, dia kemudian pergi meninggalkan depan rumahku
Aku teringat Mamah dan cepat-cepat kembali masuk. Mamah sedang duduk di ruang tamu, memperhatikanku yang baru membayar uang ojek.
"Mah?" panggilku seraya memperhatikannya yang duduk sambil melamun.
Aku memegang pundaknya sekaligus meremas sedikit berharap dia tidak kenapa-kenapa.
Mamah menengadahkan kepala, dia menatapku, matanya basah. Sepertinya menangis.
Aku berlutut dan memegang kedua tangannya. "Ada apa, Mah?"
Mamah memelukku dengan erat.
"Apa kamu ada masala sama Fadil? Bukannya kalian baik-baik saja?" tanyanya dengan suara yang bergetar.
Aku menunduk mencoba merangka kata yang pas untuk menjawab, tetapi sayang, tak kutemukan kalimat indah untuk menutupi keadaanku yang sekarang.
"Maaf, Mah. Bukannya aku gak mau ngertiin apa yang Mamah inginkan. Karena aku sudah gak kuat, Mah. Aku tahu mamah akan kecewa tapi aku gak bisa lagi bertahan di sana."
Terdengar helaan napas dari Mamah.
"Fadil sebenarnya tadi menelepon Mamah. Kamu katanya selingkuh dari dia dengan pemuda kampung sana," ucap Mamah dengan wajahnya yang terlihat sangat sedih.
Aku tersentak. Apa-apaan Mas Fadil.
"Mah, itu gak benar! Justru dia punya banyak Istri sebelum menikahiku. Dan kabarnya semua orang yang menikahinya menghilang bahkan aku akan …."
"Jadi tumbal selanjutnya."
Aku menjauh dari Mamah, bahkan hampir terjungkal saking kagetnya.
"Ini mamah kan?" tanyaku. Mencoba meyakinkan diri sendiri.
Jangan sampai ada gangguan lagi. Sumpah, aku lelah sekali. Ingin istirahat dengan tenang malam ini di kamarku yang sangat kurindukan.
Mamah berdiri, dia mendekat kepadaku. "Fadil benar. Kamu sudha kehilangan akal sehat. Kenapa kamu menganggap semua orang jahat ke kamu, Fira? Kenapa kamu sekarang seperti orang yang linglung? Setan apa yang merasukimu!"
Mamah melotot dan membentakku. Oh, jadi ini rencana Mas Fadil. Kenapa dia tenang-tenang saja saat aku memutuskan meninggalkannya pulang ke sini. Dia mau membuat hidupku menjadi tidak tenang di rumah ini.
Aku bangkit dan memegang tangan Mamah. "Aku ini anak yang Mamah lahirkan. Mamah harusnya tahu kalau aku sedang ketakutan. Aku sedang dipermainkan oleh suamiku sendiri, Mah. Tolong percaya dan bantu aku."
Mamah tetap diam di tempatnya berdiri. Keheningan menyelimuti kami. Helaan napasku bahkan terdengar jelas.
Mamah kemudian berbalik dan dia menatapku sekali lagi. Kali ini tatapan matanya tampak sendu. Efek kata-kata racun Mas Fadil sangat kuat sampai aku tak dipercaya.
"Kalau Mamah masih gak percaya. Kita akan ke orang pintar. Aku akan beri dia foto mas Fadil dan kita akan tahu siapa yang salah di sini, Mah. Tapi aku mohon tampung aku di sini, jangan sampai aku kembali ke tempat menakutkan ini."
Mamah terlihat melunak.
"Oke, mamah bukannya tega sama kamu. Tapi wanita yang sudah menikah, harusnya bisa menuruti suaminya ke manapun dia pergi. Mamah akan kasih waktu kamu seminggu di sini. Berikan hal pasti tentang tuduhanmu ke suamimu sendiri."
Mamah tak mendengar jawabanku dan langsung masuk ke kamarnya. Kenapa perubahan sikapnya sangat cepat, padahal aku sangat sennag ketika dipeluk tadi.
Aku memutuskan masuk ke kamar. Sebelum ke kamar mandi, aku lebih dulu men-charge ponsel yang mati daya.
Aku membersihkan diri dengan cepat, karena mata sudah mengantuk sekali. Setelah merasa bersih, aku keluar memakai baju tidur yang ternyata masih tertata rapi di lemari. Kemudian aku membuka pesan yang masuk di ponsel.
Dari Mas Fadil. Aku diam sebentar, tapi penasaran dan akhirnya kubukua juga is pesannya.
"gimana Fira, apa kamu senang dengan teman barumu? Apa kamu merindukanku, apa kamu gak mau pulang? Aku akan menjemputmu satu Minggu lagi. Bersiaplah dan kita akan kembali ke rumah."
Aku menggelengka kepala, sebal, tak terima. Kuputuskan mematikan lagi ponsel. Kemudian tidur di ranjang.
Kututup mata yang mendadak berat sekali, tapi aku tak bisa berbohong karena melihat sosok wanita berambut putih menatapku dari atas lemari. Aku ingin bangkit, tapi tubuhku kaku.
"Kembalilah ke sana. Kamu adalah milikku, Fira!"