webnovel

Calon Tumbal

"Kamu kenapa? Apa yang kamu lihat?" tanya Mas Fadil.

Beberapa kali aku pun mengerjap, Bu Tuti kembali biasa saja. Aku khawatir. kalau sebentar lagi kewarasanku akan hilang bersama rasa takut yang terus-menerus datang. Bertubi-tubi melingkupi hidupku.

Ini sudah tidak benar. Aku harus cari bantuan yang lebih kuat dan bisa menghancurkan entitas ghaib tersebut. Berkali-kali kucoba pun semua akan sia-sia jika tak ada orang kuat dan mengerti yang bisa membuatku bebas dari belenggu kegelapan yang sama sekali tak kumengerti kenapa hanya aku yang ketakutan. Kenapa Mas Fadil seakan jadi normal lagi, Bu Tuti juga berlagak tidak tahu apa-apa. Ini tak masuk akal bagiku. Bisa saja aku mencari tahu terlebih dahulu, apa penyebabnya BU Tuti membenciku dan juga kenapa dia terasa aneh.

"Kamu bisa kan bantu aku, Mas?" tanyaku. Mengharap sangat banyak bantuannya.

Mas Fadil mengerenyit. Dua alis tebalnya saling menyatu ketika menatapku. Dia mulai waspada dan curiga kepadaku.

"Iya. Bantu apa?" tanya dia pada akhirnya.

Aku terdiam sampai Bu Tuti sadar dan akhirnya meninggalkan kami berdua saja.

Aku menetralkan napas yang sempat

memburu. Kini susah sekali menyampaikan kabar yang sepertinya tak disukai oleh suamiku. Dia pasti akan berontak lagi dan mengatakan kalau apa yang kualami hanya halusinasi belaka.

"Sebenarnya... Tadi, terjadi lagi, Mas. Bu Tuti juga jadi saksi sekaligus korbannya. Ada makhluk yang menyerupai dia, lalu mau dia menyakiti aku. Tadi, saat aku berhasil melawan dengan ...."

"Harusnya aku sadar kamu akan mulai lagi," potong Mas Fadil. Sesuai tebakanku. Harusnya aku lebih to the point dalam menyampaikan kata-kata.

"Harusnya kamu dengar dulu. Penjelasanku ini penting. Kita harus panggil orang pintar yang sangat mengerti agama, jauh di atas kita, Mas. Jujur aku bisa gila!" Aku enggan mengalah. Ini keterlaluan.

"Kamu ingat Aki Tejo, kan? Baru semalam Fira, dia pergi meninggalkan kita semua dan keluarganya. Apa kamu mau tega menghabisi banyak nyawa hanya demi kita berdua? Aku sudah bilang jangan hiraukan, mereka mungkin hanya mau kenalan sama kita sebagai penghuni baru."

Mas Fadil berkata dengan mata yang menatapku intens. Aku berharap ada kata setuju darinya, karena bisa saja menemui jalan terang jika dia juga setuju dengan caraku.

"Please, Mas, adakah sedikit belas kasihanmu kepada istrimu ini yang dengan putus asannya memintameminta bantuan. Karena kalau bukan dari kamu, dari mana datangnya pertolongan itu." Aku menangkupkan kedua tangan dan berharap ada sedikit keajaiban dengan berubahnya sikap suamiku nanti.

Terdengar helaan napas dari Mas Fadil dan dia kemudian menatapku lalu menyatukan dahinya denganku.

Terpaan udara hangat dari hidungnya menyapu kulit wajahku. Kami saling pandang dan pria itu mengecup keningku lama. Ada rasa nyeri saat Mas Fadil melakukan itu.

Aku sadar kalau telah terluka cukup lebar di kening. Entah apa yang terjadi tadi saat aku tak sanggup mempertahankan kesadaran yang perlahan menguap.

"Sayang, aku gak akan buat kamu kesusaan, ini semua akan beerlalu saat kita menghadapinya bersama," ucapnya yang membuatku menyerah minta bantuan, lebih baik aku  mencari orang pintar sendirian dan memboyong dia agar melihat rumah kami yang dihantui dan dibuat menjadi lebiih tenang. Kalaupun mereka tak bisa diusir, setidaknya tak perlu aku bisa melihat dan merasakanya. Itu saja.

Dengan sangat terpaksa, aku mengangguk, mengiyakan saja.

"Oke, kamu istirahat. Aku masih ada urusan. Kita gak bisa lama-lama di sini. Bu Tuti gak akan setuju juga, Kan?" Mas Fadil bertanya dengan menekankan kata-kata terakhir.

Aku mengangguk saja supaya cepat.

Saat Mas Fadil meninggalkan tempat tidur, aku mulai berusaha bangkit dan duduk.

Kusandarkan tubuh pada kepala ranjang dan memastikan kalau tenagaku ini kuat untuk berjalan.

Setelah menimbang-nimbang, aku mulai melangkah keluar.

Kumelihat keadaan di luar kamar. Menengok kanan dan kiri, lalu tak mendapati Bu TUti, ataupun Mas Fadil.

Aku mengelus dada merasa lega tak melihat mereka barang sedetik pun karena kalau mereka sekarang ada di dekatku, sudah dapat dipastikan mereka tak akan mengijinkanku untuk keluar, tapi, mungkin jika Bu Tuti yang melihatku, dia akan sangat senang jika aku tak lagi menginjakkan kaki di dalam rumah ini.

Akan tetapi, itu juga kalau versi Bu Tuti yang normal, tapi jika yang seperti tadi, kerasukan, dia sepertinya kan melenyapkanku.

Aku tak lupa membawa ponsel di saku celana, dan aku nekad menghubungi pria yang sejak semalam menggangu tidurku, pria yang meminta uang lebih atas informasi yang sangat kubutuhkan saat ini.

Dia harus mengatakannya dan membuatku merasa tenang karena ada jalan yang bisa kutempuh selain hanya mengekor Mas Fadil sambil mendapat gangguan dari makhluk halus ditambah keganasan Bu Tuti, atau Bu Putri sekalipun.

Aku berjalan mengendap-endap, menjauhi rumah Pak Rt, syukurlah keadaan di sekitar tak terlalu ramai orang dewasa, hanya ada anak-anak bermain dan berlarian saja, aku merasa ini lebih baik atau akau kan menjadi pusat perhatian orang banyak karena sebagian dari mereka sepertinya tahu aku ini sangat mirip dengan wanita bernama Shinta.

Aku melangkah dengan kepala yang nyeri, Kucoba memberanikan diri untuk melihat bekas luka di kamera depan ponsel dan aku kaget sendiri karena luka ini benar-benar panjang dan merusak penampilanku juga.

Tiba saatnya akku merasa sudah berjalan cukup jauh, dan langsung menghubungi pria itu, berharap dia mengangkatnya.

Sekali, dua kali, hingga tiga kali, teleponku selalu tak dijawab dan yang keempat teleponku ditolak dengan sengaja.

Aku hampir membanting ponsel dan ingin sekali memaki pria itu, tapi tetap saja aku harus menahannya karena dia bisa menggunakan ini sebagai alasan aku kurang ajar.

Perlahan kucoba mengirim pesan, kali ini aku mengirim foto sebuah emas yang melingkar di pergelangan tangan. Sepertinya harus kugunakan ini sebagai alat jaminan sebelum aku bissa mengambil uang di AtM.

ATM cukup jauh dari sini, aku tak bisa sekarang pergi, apalagi dalam keadaan terluka jadi lebih mengandalkan barang yang ada, toh ini bukan mas kawin, ini adalah gelang yang kubeli dari seorang teman. Aku membelinya dengan harga lima juta, biar kuberitahu dia.

Setelah menunggu beberapa menit berselang, pria itu membalas pesanku dan dia memintaku menunggunya di tempatku beridi sekarang.

***

Tak lama aku menunggu, pria itu menghentikan laju motornya di depanku,.

"Ayo, Naik!" titahnya.

"Kita hanya mau membicarakan kenapa kamu sepertinya tahu masalah ini," ujarku yang merasa kalau ikut dengannya bisa berbahaya.

"Udah naik dulu, kita akan ke rumah Kiyai Akmal, beliau adalah orang yang tahu segalanya tentang keluarga suamimu, jangan khawatir aku akan berbuat jahat bahkan setelah mengantarmu aku akan membawmu kembali ke sini dengan selamat, dan berikan dulu gelangmu itu."

Walaupun aku takut, aku sudah kepalang terlanjur. Jai kuputuskan untuk ikut dengannya.

Perjalanan yang ditempuh cukup jauh, jalannya juga tak rata dan berbatu, sangat sakit pinggang kalau terus berjalan di jalanan rusak ini.

Kami sampai saat matahari mulai terasa sangat panas.

kami berdua sampai di sebuah rumah yang sangat mungil dan terbuat dari papan serta kayu bambu, tanpa menunggu lama ada seseorang pria berkopyah putih keluar dan dia menatapku dengan sorot tajam.

"Kenapa kau membawa calon tumbal ke sini?"