Secangkir kopi hitam panas tersaji di meja ruang tamu, di sebelahnya tersanding sepiring kecil ubi rebus yang juga masih mengepulkan asap putih. Sajian yang sudah jarang ditemukan pada saat ini, mungkin masih bisa kita jumpai hidangan semacam ini jika kita berada di daerah pedesaan.
Adalah hal yang lumrah jika masyarakat sekarang mulai meninggalkan makanan ini dan cenderung memilih kudapan ala - ala luar negeri yang lagi happening ataupun yang modern, apalagi anak millenial yang jarang tahu paduan makanan semacam ini, entah mereka tidak suka, bisa juga menganggap sudah usang makanan seperti ini.
Amir menuangkan kopi yang masih menguap itu di alas cangkir, membiarkan sejenak agar kopi yang panas itu segera dingin. Dalam istilah Jawa, cara ini disebut Nyiling, menuangkan kopi panas ke dalam piring kecil atau biasa disebut lepek agar suhu kopi cepat dingin dan segera dapat diminum.
Sembari menyeruput kopi yang masih hangat, matanya tidak lepas memandangi televisi yang menyala tepat didepannya. Nampak Dia serius menyaksikan apa yang disiarkan oleh televisi tersebut.
Tangannya meraba meja dan meraih ubi yang tersedia di atas piring, Dia mulai menguliti dan membelah sebongkah ubi yang belum juga dingin itu. dibelahnya ubi yang berwarna merah kecoklatan itu, asap putih mengepul menyeruak mengahamburkan aroma ubi rebus yang khas, aroma yang menggugah selera untuk segera melahapnya.
Dilahapnya ubi itu dengan rakus, walaupun masih panas dan mengepul, dihiraukannya dan terus dikunyah dengan tenang, mungkin nikmat serta legit dari ubi rebus itu mengalahkan panas yang terasa di lidah dan langit - langit mulutnya.
Tak berhenti sepotong, kini Dia mulai mengunyah lagi ubi yang kedua. Sama seperti tadi, dengan rakus Dia melahap ubi yang bagi sebagian orang disebut sebagai makanan orang kampung dan sudah ketinggalan jaman.
" Maasss..., berangkat jam berapa?", terdengar suara Anna dari dalam ruangan lain dari rumah itu.
Sepertinya Amir tidak mendengar, entah memang tidak kedengaran atau terlalu asyik menyantap ubi rebusnya.
" Eh mass, berangkat jam berapa?, ditanyain ga jawab malah sibuk ngunyah", Anna sudah berada disamping Amir dan menepuk pundak Amir agak keras.
" Hmm...bentar say lagi tanggung, nih aku sisain buat kamu", Amir menjawab sambil terus makan, kemudian Dia melihat ke arah Anna tersebut.
" Eh kamu cantik banget hari ini ", tiba - tiba Amir berseloroh.
" Gombal, pagi - pagi dah ngerayu, emang kan aku dah cantik dari sononya ", jawab Anna sambil berlenggak - lenggok laksana Model di atas Catwalk.
"Mulai deh kepedean".
"Lho kan emang aku Wanita, jelas lah cantik, lagian mana mau mas sama Aku kalau aku ga cantik, ya kan?".
"Huuu...", Amir hanya menjawab seperti iku sambil memonyongkan bibirnya.
" Aku ga ke bengkel hari ini, nanti agak siang ada Pensi di SMA 17, paling - paling jam 10an acaranya".
"Hah, Pensi!?, SMA!?", Anna terkejut dengan perkataan Amir.
"Lha... kenapa Say, kok heran gitu?".
"Ga gitu Mas, emang ada Anak SMA yang suka dengan aliran musikmu?".
"Ohh...bukan Bandku yang mau main, tapi aku diminta sama Temenku, Bassisnya ga bisa datang, jadinya aku yang disuruh gantiin main di Bandnya".
"Lagian banyak juga kok Anak - anak SMA yang suka Metal atau Punk, ya emang sih ga sebanyak waktu jamanku SMA dulu, sudah Segmented sekarang".
"Trus ntar mas mau mainin lagu apa?, kan Bandnya beda aliran sama kamu Mas?".
"Sebenarnya ga jauh - jauh amat sih 'melencengnya', ntar main Funk, Punk Rock sama alternatif, ga terlalu kalem juga lagunya".
"Oh gitu...", Anna begitu saja menanggapi Amir sambil meminum kopi Amir yang ada di atas meja.
"Bwaaahh... pahit bener kopinya Mas?, ga pakai gula ya?", Anna meludahkan kembali ke tissu kopi yang diminumnya.
"Ya pakai lah,tapi cuma sedikit, ga enak kalau terlalu manis, enek".
"Ihh... pahit Mas, ga ada enak - enaknya", ucap Anna sambil terus meludah dan menyeka mulutnya yang masih terasa pahit.
"Ah kamu Say, ngopi itu ada seninya, nih makan ubinya biar ga pahit lagi", Amir menyodorkan ubi yang sudah dikupas kepada Istrinya.
"Seni gimana Mas, lha wong ga ada rasa apa - apa selain pahit kok dibilang seni, untung aja ada ubi ini jadi penawar rasa pahitnya", Anna menggerutu sambil mengunyah ubi pemberian Amir.
"Makan dulu ubinya, trus sekarang kamu coba lagi minum kopinya", Amir mencoba mendekatkan cangkir kopi ke mulut Anna.
"Ga ah, pahit", Anna menggelengkan kepala sementara mulutnya mengunci rapat.
"Ayo, coba dulu Say, Kamu pasti suka", Amir berusaha meyakinkan Anna.
"Ga pahit kok, ayolah", Amir masih bersikeras mendekatkan cangkir ke bibir Istrinya.
"Bener nih?", nampak keraguan masih terlihat di wajah Anna.
"Iya sayang, masak aku ngerjain kamu".
"Srrppp....", perlahan Anna menyesap kopi yang ada dalam cangkir putih itu, perlahan Dia mencobanya pelan - pelan, namun kemudian Dia dengan mantap menyesap banyak - banyak kopi dalam cangkir.
"Gimana?, enak kan, dah ga pahit lagi kan?".
"Eh iya Mas, ajaib kamu Mas, bisa nyulap kopi pahit jadi ga pahit lagi, berguru dimana Kamu Mas?".
"Kamu kira Saya David Copperfield!!?", nada bicara Amir agak meninggi karena digoda oleh Istrinya.
"Ya kali aja Mas, siapa tahu kamu bisa nembus tembok China", Anna masih menggoda Suaminya.
"Atau Gimana kalau Dukun AS Mas, kan sakti juga tu", Anna makin menggoda Suaminya.
"Apanya yang sakti, bengis iya, Kamu mau saya pendam sampai leher trus saya cekik pakai kawat seperti Dukun As lakukan pada para korbannya?".
"Ihh, sadis banget Kamu Mas, emang kamu tega kayak gitu ke Aku?".
"La tadi katanya aku Dukun As, sini Ku cekik", Amir memperagakan tangannya seperti akan Mencekik Anna.
"Ha...ha..ha... ampun Mas....", Anna terbahak melihat kelakuan Suaminya.
"Tapi enak juga ya Mas minum kopi sama makan ubi, rasanya gimana gitu, Aku sama sekali belum pernah ngerasain".
"Sebenarnya minum kopi itu ya kayak gini,pakai sedikit atau sama sekali tanpa gula, kita jadi bisa merasakan karateristik Si kopi, kalau kebanyakan gula kan hanya rasa manis aja yang kita dapat, sedikit banget rasa kopi yang keluar".
"Ya kalau ga suka sama pahitnya, bisa kayak tadi, minum kopi disandingkan dengan kudapan yang manis - manis, sebagai pengganti gula, tapi Aku cenderung suka yang gini, pahit dengan sedikit gula".
"Ya itu kan Kamu Mas, Aku ga suka yang pahit - pahit, mending yang manis aja".
"Ayo berangkat Mas, ntar Aku telat lagi, dah jam segini".
"Ok, let's go...", Amir menghabiskan kopinya lalu menyahut kunci motor yang tergeletak di atas meja.
Amir segera menyalakan motor maticnya, motor itu satu - satunya alat transportasi mereka berdua, alhasil, mau tidak mau Amir harus mengantar jemput Istrinya kerja. Tempat kerja Amir juga tidak terlalu jauh dengan kantor Anna, jadi tidak menggangu kerjaan Amir.
*************
Sepasang insan muda itu baru enam bulan menikah, usia mereka sama - sama 23 tahun, di masa ke tiga tahun mereka pacaran, akhirnya mereka mengikrarkan janji suci mereka di pelaminan. Hal yang selama ini mereka impikan, hidup bersama membina rumah tangga dan mengarungi kerasnya hidup yang sesungguhnya, mengayuh sampan kecil mereka menerjang ganasnya badai kehidupan, riak - riak cobaan akan terus menghampiri, riuh rendah nada - nada sumbang akan selalu terdengar, angin - angin godaan akan terus menghempas, sebuah fase yang akan dialami setiap manusia yang mengikat janji untuk membina rumah tangga.
Menyatukan dua individu yang berbeda sifat, watak, tabiat,serta pandangan adalah hal yang tidak mudah. Memerlukan pemahaman yang sama antar pasangan serta arah tujuan hidup yang selaras. Itulah yang sedang dilakoni Amir dan Anna, walaupun usia mereka relatif masih muda, namun mereka meyakinkan diri untuk selamanya tetap bersama hingga akhir.
Amir seorang Montir yang juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai Musisi, bisa juga montir adalah pekerjaan sampingannya. Karena jika Dia mendapatkan job manggung, Dia tidak berangkat ke bengkel tempatnya bekerja untuk mengisi acara yang mengundangnya.
Pekerjaannya sebagai Montir memang tidak terikat, Dia dibayar sesuai dengan hasil perbaikan Motor yang dikerjakannya per hari, jam kerjanya juga bebas, bisa sewaktu - waktu Dia berangkat ke bengkel. Karena itulah Dia dapat dengan mudah mengantar jemput Istrinya tanpa khawatir terlambat masuk kerja.
Pemilik bengkel itu adalah Budi, Teman Amir, sudah sejak SMP mereka berteman, walaupun berbeda sekolah, tapi hobi ngeband yang membuat mereka berkarib hingga saat ini. Berbeda dengan dengan Amir yang memang bertekad menjadi Musisi dan ingin hidup dari Musik, Budi terpaksa harus mengurungkan niatnya untuk serius bermain Musik.
Sebagai anak tunggal, Budi diminta untuk melanjutkan usaha Bengkel orang tuanya, sesekali saja Dia sekedar ngejam bersama Amir ataupun teman yang lain untuk melepaskan kerinduannya akan bermain Musik.
Selepas lulus SMA, Amir memang berniat langsung mencari kerja, sebagai anak yatim dan memiliki seorang adik perempuan, Amir tidak ingin menyusahkan Ibunya lagi dengan membebaninya untuk biaya kuliah. Apalagi Ibunya hanya seorang pedagang di pasar, Dia tidak tega melihat Wanita yang melahirkannya itu terus menanggung biaya hidupnya, sebagai anak laki - laki Dia ingin melihat ibunya berdiam di rumah dan menikmati masa tuanya dengan tenang tanpa harus membanting tulang untuk menyambung hidup.
Ayah Budilah yang meminta Amir bekerja di bengkelnya, selain sudah kenal dengan Amir, Ayah budi juga tahu bila Amir sedikit tahu tentang otomotif, ya meskipun juga Amir harus lebih banyak belajar lagi lebih mendalam untuk mengasah kemampuannya mengutak atik mesin.
Pada awalnya, Amir mendapatkan gaji bulanan sama seperti karyawan bengkel lainnya, jam kerjanya pun normal dan memakai mesin absensi. Bengkel Budi memang bukan bengkel biasa, boleh dibilang itu bengkel terbesar di kota, namanya juga sangat terkenal, karena selalu menjadi rujukan service bagi pemotor. Namun Amir sering terlambat dan jarang masuk, itu karena kesibukannya ngeband yang memang tidak bisa juga ditinggalkan. Budi yang sudah mengaggap Amir seperti saudara sendiri tak pernah mempermasalahkan hal itu, biarpun sebagai karyawannya, Budi tetap mengistimewakan Amir, Dia paham akan kondisi sohibnya itu, bahkan Dia membebaskan kapan saja jika ingin masuk kerja tanpa ijin Budi. Namun Amir tidak sependapat dengan Budi, Dia tidak ingin memanfaatkan kedekatannya dengan Budi untuk mendapatkan keuntungan, tidak pula ingin menciptakan kecemburuan sosial di lingkungan kerjanya, Dia sengaja meminta sistem pembayaran gajinya sesuai dengan jumlah motor yang diservisnya, awalnya Budi menolak, tapi Budi paham akan maksud dari Sahabatnya itu, Dia juga sebagai pemilik bengkel harus berlaku adil dan profesional kepada semua karyawannya agar kondusifitas bengkelnya tetap terjaga.
Awal kedekatan Amir dengan Anna pun terjadi di bengkel ini, ketika Anna mengalami kendala pada motornya dan memperbaikinya di bengkel ini. Namun pada waktu itu bukan Amir yang memperbaiki motor Anna, Amir menyuruh temannya untuk memperbaikinya, Amir saat itu sedang ingin istirahat.
Amir duduk di sudut ruangan bengkel sambil memainkan gitar kopong yang tersandar di dinding yang mulai kehitaman karena terciprat oli. Dengan piawai Amir memetik gitar serta menyenandungkan lagu, suaranya cukup merdu, dan enak didengar.
Awalnya Anna cuek dengan apa yang dilakukan Amir, karena Amir berada diseberang sisi ruangan bengkel, sehingga suara Amir tidak begitu jelas terdengar. Hingga saat Amir menyanyikan lagu Angie dari Roling stone, Anna mulai memperhatikan Amir yang sedang asyik menyanyi.
"mas, nyanyiin Mr.Big dong yang Wild World", tiba - tiba saja Anna sudah berada didepan Amir dan bicara kepada Amir.
Sontak saja Amir terkejut, karena saking asyiknya memainkan gitarnya, Dia tidak tahu kalau Anna sudah berada didepannya.
"Eh Mbak ngagetin aja, ada apa mbak?", seketika Amir berhenti memainkan gitarnya.
"Lumayan Mas suaranya, permainan gitar Mas juga enak", tanpa basa basi Anna langsung bicara ke Amir.
"Waduh ada - ada aja nih Mbaknya, suara sumbang gini dibilang lumayan", Amir jadi salah tingkah dan menggaruk- garuk kepalanya.
"Beneran Mas, swear Aku ga bohong".
"Ah Mbak, jadi ge-er nih, dah selesai belum Mbak motornya, Amir mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Awas Mbak!!!, itu playboy kelas kakap, jauh- jauh Mbak!!!", Seorang teman Amir tiba - tiba nyeletuk kepada mereka, seketika itu juga mereka berdua tertoleh ke arah sumber suara.
"Ooo... dasar, ikut - ikut aja orang lagi senang, cepetan beresin tuh motor, ditunggu orangnya nih, lelet amat", Amir membalas ejekan temannya tadi dengan nada tinggi namun dengan bercanda.
Anna hanya tersenyum kecil melihat kelakuan kedua Lelaki tersebut, suasana itu sedikit meringankan rasa bosannya yang dari tadi menunggu motornya lagi diperbaiki.
"Eh Mas ayo dong mainin, lama ga denger tu lagu, pasti bisa kan Masnya?"
"emmm... tapi Mbak..."
"Ah sudahlah Mas, ayo pasti bisa",Anna memotong Amir yang mau bicara entah apa yang akan dibicarakan.
Amir lalu memainkan lagu milik Cat Steven yang direcycle oleh Mr.Big Itu, suaranya selaras mengikuti genjrengan gitarnya, tak hanya Anna saja yang menikmati pertunjukan Amir, semua orang di bengkel itu seakan terhipnotis oleh Amir. Tentu hal itu mudah dilakukan oleh Amir, ketika mendapat job di kafe, biasanya Dia bermain akustikan seperti itu, bernyanyi berhadapan langsung dengan audience.
"Wah keren Mas", Anna memberi tepukan tangan pelan ke Amir.
"Ah, jelek ini Mbak, biasa aja ini",wajah Amir agak tersipu malu mendapat pujian dari Anna.
"Bener Mas, keren banget, Masnya selalu aja merendah, dah dulu ya Mas, motor saya kelihatannya sudah selesai".
"Ya Mbak, hati- hati...".
Anna hanya tersenyum kecil mendengar ucapan Amir.
Pertemuan itu bukan yang pertama bagi mereka, namun setelah pertemuan pada hari itu, keduanya mulai dekat. Anna sudah tahu Amir sejak lama, tapi hanya sekedar tahu, karena setiap Anna memperbaiki motor di bengkel itu, selalu bertemu dengan Amir, ya itu memang wajar, karena Amir pegawai bengkel itu.
Semenjak hari itu Mereka menjadi akrab, semenjak kebersamaan itu mereka semakin dekat. Amir memberanikan diri meminta nomor Ponsel Anna, untuk menambah teman, kilahnya. Itu bisa saja benar, itu bisa saja juga salah, selain menambah teman, Amir juga menaruh ketertarikan kepada Anna. Pria mana yang tidak terpana oleh Anna, parasnya ayu khas Perempuan Indonesia, bukan seperti paras - paras Perempuan blasteran. Untuk ukuran Seorang Wanita pun Anna bisa dibilang tinggi, hanya terpaut beberapa centi saja dengan Amir, rambutnya hitam pekat terurai panjang, badannya agak kurus, tapi juga tidak terlalu kurus seperti peragawati, Sosoknya juga murah senyum kepada siapa saja. Setiap Lelaki normal pasti tertarik dengan Anna, pun demikian dengan Amir, sudah lama Amir menaruh hati pada Anna.
Bukan hanya Amir saja yang suka kepada Anna, rekan kerja Amir di bengkel juga banyak yang suka, karena sudah jadi pelanggan lama di bengkel itu, semua sudah tahu siapa Anna, Anna pun juga tahu nama - nama montir bengkel itu, tapi Dia terbiasa memanggil 'Mas' kepada semua montir di bengkel itu, termasuk Amir.
Selama ini Amir hanya sebatas mengagumi, selama ini Amir hanya sebatas tertarik, namun Dia tidak berkeinginan mendekati gadis yang dikaguminya itu. Bukan tak punya nyali, tapi Dia masih belum ingin mempunyai pasangan.
Keinginan untuk mengakhiri kesendirian memang ada, tapi Dia masih mempertimbangkannya. Jika, ya ini jika, Dia bisa mendapatkan Anna untuk menjadi kekasihnya, apakah Dia mempunyai waktu dengan Anna, sementara setiap hari Dia berada di bengkel sampai sore, selekas pulang dari bengkel Dia ngejam dengan Bandnya. Hampir setiap hari seperti itu kegiatannya.
Seminggu tiga kali Dia manggung di Kafe, itu sebabnya Dia latihan setiap hari. Setiap hari Dia pulang larut malam, kemudian pagi menjelang Dia harus kembali lagi bergulat dengan mesin motor serta oli yang berceceran, raganya sungguh lelah, tapi dia tidak mempunyai pilihan. Menjadi musisi adalah cita - citanya, Dia juga mendapatkan tambahan uang dengan mengisi acara di Kafe, di sisi lain untuk saat ini tidak mungkin pula Dia meninggalkan pekerjaannya sebagai montir, honor dari ngebandnya belum mencukupi kebutuhan hidupnya, sementara ini Dia hanya bisa menekuni dan menjalankannya sambil memikir kelak bagaimana kedepannya.
Baru pada saat pertemuan hari itu, Mereka berdua mulai akrab. Amir mencoba menarik simpati pada Anna, Amir bertekad mengejar gadis impiannya itu. Anna merespon positif usaha Amir untuk mendapatkan hatinya, bagi Anna, Amir adalah seorang yang menarik, melihat Amir seperti melihat cerminan Ayahnya.
Ayah Anna adalah Aparat Sipil Negara yang sederhana, tapi bisa bermain gitar dan piano. Sedari kecil Anna sudah dicekoki dengan lagu - lagu rock oleh ayahnya, itu sebabnya Anna juga tertarik dengan Amir, memiliki selera musik yang sama. Dia suka sekali melihat Seorang Pria yang bermain gitar sambil bernyanyi, sama seperti yang dilakukan Ayahnya ketika Anna masih kecil, terlebih jika lagu yang dimainkan adalah lagu - lagu kesenangannya.
Pada mulanya Anna hanya suka dengan lagu - lagu Rock Old School tahun 80 - 90 an, tapi kini Anna juga tahu dan suka berbagai macam genre lagu turununan Rock semacam Metal, Punk, Grunge, Alternative, dan banyak lagi. Amirlah yang bertanggung jawab akan hal itu, Dia telah berhasil meracuni istrinya dengan musik yang kurang familiar bagi kaum Hawa.
Amir mengendarai motor meliuk - liuk membelah kemacetan jalan Ibukota, tangannya cekatan mengendalikan stang motor matic 150cc itu. Anna memeluk erat Suaminya yang sedang berkonsentrasi menunggangi kendaraannya, jemarinya menggenggam erat - erat jaket yang dikenakan Amir.
"Jangan kencang - kencang Mas, slow aja, masih lama juga waktunya", Anna terpaksa sedikit berteriak kepada Amir karena suara bising jalan mengurangi volume suaranya.
"Iya, ni dah mau sampai kok".
"Busyet, cepet banget Mas, ga sampai setengah jam", kata Anna sambil melihat Arloji yang melingkar di tangan kirinya.
"Eh masa sih, prasaan pelan lho tadi".
"Apanya yang pelan, bajuku jadi awut - awutan gini kena angin, besok nyantai aja Mas, kepagian nih datangnya", Anna mengomel ke Amir sembari merapihkan bajunya.
"Iya sayang, ntar pulang jam berapa?".
"Ga tahu Mas, nanti Aku hubungi lagi, paling kayak kemarin pulangnya.
"Bakalan pulang malam lagi nih".
"Yah gimana lagi Mas, sabar dulu ya, dah Mas Aku masuk dulu ya", Anna berpamitan dan mencium tangan Suaminya.
"Ok, jangan telat makannya".
"Iya Mas, jangan ngebut - ngebut", Anna menunjuk tangan mewanti- wanti Suaminya.
"Beres Boss...", setelah membalas pesan Istrinya, Amir langsung tancap gas meninggalkan komplek perkantoran tempat Anna bekerja.
Sepanjang perjalanan pulang Amir teringat terus akan Istrinya, Dirinya tidak tega melihat Istrinya kerja mulai pagi hingga malam. Istrinya bekerja di sebuah perusahaan eksport import segala macam barang, tapi perusahaan itu bukan perusahaan besar, baru sekitar 2 tahun berdiri. Anna bertugas mengatur keuangan dan laju keluar masuk barang, pekerjaannya sangat menguras tenaga dan waktu, namun gaji yang Anna terima jauh panggang dari api, kerja kerasnya kebanyakan hanya dihitung sebagai loyalitas saja, gaji yang diterimanya tidak sebanding dengan jerih payahnya.
Hal itulah yang mengganggu pikiran Amir, berulang kali Amir menyuruh Istrinya berhenti, namun Anna masih tetap bertahan. Anna berkilah, belum mau keluar sebelum mendapatkan pekerjaan baru, daripada di rumah hanya berdiam diri, lebih baik tetap bekerja sambil menunggu panggilan kerja yang lain.
Sudah banyak lamaran yang diajukan Anna ke berbagai macam perusahaan, namun sampai detik ini masih belum mendapatkan panggilan tes kerja. Baik itu lamaran dari media cetak maupun elektronik sudah diajukannya, tapi tak satupun yang memberi hasil yang positif.
Tahun kemarin Anna baru saja menyelesaikan kuliah jurusan ekonominya, Dia langsung bekerja pada sebuah BPR kecil dekat rumahnya setelah wisuda, niatnya untuk mencari pengalaman sebelum beralih ke pekerjaan lainnya. Baru beberapa bulan Dia bekerja, Amir mempersuntingnya, karena memang sudah menjadi kesepakatan Mereka berdua, Selepas Anna lulus kuliah, Mereka berencana menikah.
Awal - awal pernikahan Anna keluar kerja karena diminta Amir hanya untuk mengurus rumah tangga, namun Anna merasa bosan jika hanya berdiam diri dirumah, hingga akhirnya Dia meminta ijin kepada Suaminya untuk bekerja dan mendapatkan pekerjaan yang dilakoninya sekarang ini.
Dengan berat hati Amir merelakan Istrinya mencari nafkah, Dia hanya ingin Istrinya mengurus rumah dan merawat anak - anaknya kelak. Tapi Dia tidak dapat membendung keinginan kuat Istrinya, Anna ingin membantu Suaminya, Anna ingin memanfaatkan ilmu yang Dia dapat selama kuliah. Anna beralasan, buat apa sekolah tinggi - tinggi jika hanya menjadi Ibu rumah tangga biasa, Anna ingin membuktikan bahwa Wanita juga bisa sukses, tidak hanya bergantung pada Suami saja, Dia bukan bermaksud tidak mentaati Suami, tapi berniat meringankan beban Amir sebagai kepala rumah tangga, jika berhasil hasilnya pun dinikmati berdua dan ketururannya nanti.
Amir akhirnya luluh dengan alasan Istrinya itu, Dia juga berpikir realistis, tidak mungkin juga mengekang Istrinya hanya untuk mengurus rumah. Anna bukan tipe Wanita seperti itu, hanya masak, bersih - bersih, cuci baju, rebahan sambil menonton tivi seperti ibu rumah tangga pada umumnya. Anna sangat aktif, ketika masih kuliah Dia adalah anggota organisasi di kampusnya, anggota teater juga, selama kuliah pun Dia pernah bekerja sebagai pramuniaga sebuah toko swalayan dekat kampusnya. Walaupun sudah dijamin biaya kuliah dan hidup oleh kedua orang tuanya, tapi Anna tipe orang yang enggan berleha - leha dikala waktu luang, Dia ingin tetap bergerak dan melakukan sesuatu yang menghasilkan untuknya.
Dalam hatinya Amir berjanji, Dia akan berusaha dengan keras mewujudkan impiannya menjadi Musisi, sehingga Anna tidak perlu lagi susah - susah bekerja, hanya melayaninya dan membesarkan buah hatinya.
***************
Motor Amir perlahan memasuki sebuah Kampung dekat Perumahan tempat tinggalnya, Dia berhenti tepat di sebuah warung kopi yang berada di ujung jalan kampung, jalan itu juga yang menghubungkan antara kampung dengan perumahan.
Diparkirkan motornya tepat di samping warung kopi itu, di bawah pohon kersen yang sedang lebat - lebatnya berbuah. Di bawah pohon kersen itu juga terdapat beberapa motor yang sedang diparkir, melihat besar dan rindangnya pohon itu, mungkin sudah lama pohon kersen itu bersemayam di samping warung kopi.
Amir langsung masuk ke dalam warung kopi dan menuju kepada penjaga warung yang sedang memainkan ponselnya di dekat meja,"Broo... Es Jeruk, jangan manis - manis bro, sedang aja", tanpa basa - basi Amir memesan minuman kepada penjaga warung kopi itu.
"Beres Bos", Si penjaga warung langsung beranjak dari tempat duduknya dan melayani Amir.
"Tumben pagi - pagi dah kesini, ga kerja Lu Bang?", tanya Si penjaga warung itu sambil memberikan gelas besar berisi es jeruk pesanan Amir.
"Libur Dod, ntar lagi mau ke SMA 17", Amir membatalkan niatnya untuk minum es jeruk itu karena menjawab pertanyaan dari Dodik si penjaga warung kopi itu.
"Wah ngejob mulu nih Abang, banyak ni ye dokunya", Dodik meledek Amir sementara Ibu jari dan telunjuknya dijentikkan, gesture tubuh yang biasa diartikan sebagai alat pembayaran atau uang.
"Lumayan lah Dod, bisa buat ngopi di warung Lu, Amir lalu meneguk Esnya.
"Bisa aja lu Bang", Dodik nyengir mendengar jawaban dari Amir.
Amir segera menghabiskan minumannya, Dia melihat ke Arloji yang dilingkarkan di lengannya, lalu bangkit berdiri dan menghampiri Dodik.
"Nih Dod, ambil aj kembaliannya".
Dodi yang sedang asyik memainkan Ponselnya terkejut, "Eh Bang... buru - buru amat bang".
"Iya Dod, takut ntar kena macet, telat, Gue cabut dulu ya, jangan ngegame aja, jaga yang bener tu warung, ntar kemalingan nyahok Lu!!!.
"Sadis amat doanya Bang...".
"Hhhhh.....", Amir terkekeh lalu pergi meninggalkan Dodik.
Amir segera tancap gas menuju rumahnya untuk berganti baju, kemudian langsung pergi ke SMA 17
**************