webnovel

DOSENKU TENGIL

(SUDAH END, YA!) Awalnya, aku membencinya. Iya, benci. Dia itu sangat amat dan terlalu menyebalkan. Si muka datar sedingin es balok! Namun, kenapa bisa tiba-tiba kami menikah? Dari perjodohan itulah semua berawal. Namun, ternyata ini bukan sekedar perjodohan biasa. Dia, si dosen tengil itu, menyimpan sebuah rahasia yang tak pernah aku duga sebelumnya. Hingga membuatku terjebak, dalam rasa benci, juga cinta yang semakin dalam. By ~ Alena Callisia Raharja Cover ; Audreana Ivy

Nay_Asmiati · 现代言情
分數不夠
32 Chs

DT. 6

Pagi datang. Matahari bersinar cerah, ditemani kicauan burung yang beterbangan ke sana ke mari. Ah, pagi yang indah. Seindah hatiku. Hihihi.

"Hei, Alena! Kamu sehat?"

"Oh, tentu saja aku sehat. Apa aku terlihat sakit?" Aku meraih tas, memasukkan buku-buku yang sudah aku persiapkan.

Zay berdecak, lalu berjalan ke kamar mandi.

Hahaha! Dia tidak tahu aku sedang bahagia pagi ini. Tadi subuh, aku berhasil bangun sebelum azan. Bahkan aku yang membangunkannya untuk salat. Bukankah itu sebuah keberhasilan?

Itu artinya, hari ini aku tidak dapat hukuman. Yes!

***

"Mau ke mana?" tanyanya dengan raut wajah dingin.

"Kuliah, dong! Ke mana lagi emang?" sahutku tak acuh sambil menyisir rambut.

"Dengan memakai baju seperti ini?" Tangannya menunjuk bahuku.

"Kenapa? Ini lagi modis, loh!" Aku berdalih.

"Untuk para gadis, mungkin. Tapi kamu, istriku. Istri Zayid Arsyad Sabdika, salah satu dosen, di universitas tempat kamu kuliah." Sorot matanya kini berubah tajam. "Ganti!"

Kutepis tangannya segera. "Oke, aku ganti!"

Ini bahaya. Jika aku kembali membantah, hancur sudah rencanaku hari ini pergi bersama Jihan.

Melawan sedikit, hukum. Membantah aturan, hukum.

Hah, hidupku penuh dengan hukuman!

Setelah mengganti baju yang memperlihatkan pundak seksiku dengan kemeja biru tua, aku pun menuju meja makan untuk sarapan bersama kedua mertua. Zay anak semata wayang. Alasan pas untuk membawaku pindah ke rumahnya.

"Gimana kuliahnya, Len?" sapa Papa Arsyad yang baru saja duduk.

"Lancar, Pa." Aku mengangguk disertai senyum.

"Jaga kesehatan, ya. Sarapan dulu, biar kuat menjalani hari." Mama Hani menambahkan telur mata sapi di atas nasi gorengku.

Tentu saja harus kuat. Kuat menghadapi kenyataan, juga ... menghadapi putramu, Ma. Hmm.

"Iya, Ma. Makasih," sahutku seramah mungkin.

Mama Hani tersenyum, lalu dia tampak berbincang dengan Papa Arsyad. Terlihat akur sekali. Kadang jika sudah melihat dan merasakan kasih sayang mereka, aku merasa beruntung. Karena sesungguhnya kedua mertuaku ini baik, begitu menyayangiku. Tidak pernah membedakan aku sebagai anak menantu. Namun, entah kenapa anak mereka itu selalu membuatku darah tinggi?

Jangan-jangan, dia anak pungut?

"Pagi, Ma, Pa!" Zay sudah duduk di sebelahku.

"Udah rapi, mau ke mana?" Mama Hani menyendokkan nasi goreng ke atas piring Zay.

"Anter Alena ke kampus, terus ke SMA 5. Ada tawaran mengajar di sana." Terdengar sahutan lelaki itu dengan nada datar seperti biasa.

Aku yang sedang mengunyah sarapanku, berhenti seketika. Meliriknya, melihat wajah tenangnya dari samping.

Apa itu serius? Dia mau menambah daftar penggemarnya!

***

"Pulang nanti mau jalan sama Jihan, ya?"

Aku menengokkan kepala ragu. "Iya. Kok, tau?"

"Tadi subuh siapa yang tertawa haha-hihi, dan berteriak, yes, aku berhasil bangun subuh, Ji?" Kedua matanya tetap menatap lurus ke depan.

"Hehehe, kupikir kamu belum pulang dari masjid," sahutku malu.

"Aku di depan kamar, tapi walau begitu, sebenarnya suara tawamu bahkan bisa terdengar hingga ke lantai bawah," ejeknya. Zay berdecak sambil menggelengkan kepala.

Aku pun berpaling dengan bibir mencebik. Kenapa pagi-pagi harus merusak mood-ku?

Zay menghentikan mobil di depan gerbang kampus. "Sampai sini enggak apa, 'kan?" ucapnya.

"It's okay," sahutku sambil mengaitkan tas ke pundak.

"Tunggu," cegah Zay ketika aku hendak membuka pintu mobil.

Aku menoleh, tampak tangan kanannya merogoh sesuatu di balik saku celana. "Uang jajannya. "

Ya ampun, mau memberi uang jajan saja harus berbalit-belit. Aku tertawa gugup, meraih lembaran rupiah itu. "Thanks!"

"Bentar." Dia menahan tanganku.

"Apa?" Aku menatapnya malas, curiga.

"Jangan pulang lewat magrib, jangan lupa salat. Sama ...."

"Sama apa?" Aku mendelik.

"Kirim alamatnya." Bibirnya tersenyum tipis.

Astaga! Seperti dugaanku. Dia tidak membiarkan aku bebas.

***

"Jadi, pernikahan lo sama Pak Zay cuman status?" Mata Jihan membelalak.

"Woy, kendalikan volume suara. Jangan keras-keras, ini rahasia." Kubekap mulutnya dengan telapak tangan.

Jelas saja Jihan memberontak lalu menarik tanganku. Sempat dia memberenggut, tak urung mendekatkan kepalanya lagi.

"Why? What's wrong, Alena?" bisiknya kali ini.

"Ini kesepakatan kami," dalihku cepat.

"Kesepakatan?" Matanya menyipit.

"Lo tau 'kan kita dijodohin?"

"Lo lupa. Dia lamar lo di kampus, Alena."

"I-iya, sih. Tapi, gue pikir itu karena Gweny yang--"

"Ada satu hal yang belum lo tau?"

"Apa?" Aku menautkan alis.

"Gue denger, hari itu Gweny masuk ruangan Pak Zay. Rencananya dia mau menyatakan cinta sama suami lo, eh ... ternyata doi lagi duduk sambil memandangi foto lo, Al."

"Serius?"

"Heem."

"Kok, baru ngomong sekarang?" Aku bertanya kesal, suaraku pun berubah sedikit tinggi.

"Hehehe, gue 'kan sebel ama lo!" Jihan pun membalas dengan nada lebih tinggi.

"Sompret!" Kudorong pelan bahunya. Kuraih gelas yang masih berisi setengah jus mangga, mengaduk lalu menyesapnya.

Tentu saja Jihan sebal. Aku ingat hari pertama kuliah selepas liburan semester dan statusku bertambah menjadi istri Pak Dosen keren. Saat aku keluar dari mobil, semua mata menatapku. Seakan aku ini buronan yang baru saja lepas dari jeruji besi.

Pun di kelas, semua temanku berubah. Termasuk Jihan. Katanya aku ini pengecut, pembohong, memanipulasi sikapku sendiri demi menyembunyikan perasaan. Astaga, dia berpikir aku pun menyukai Pak Zay.

Mati-matian aku membujuk Jihan, mengatakan jika aku tak tahu menahu tentang perjodohan ini. Setelah melewati perjuangan berat, dia pun luluh. Beruntung Jihan itu tipe perempuan berhati lunak. Setelah kujanjikan lima novel terbaru dan lima tiket nonton film di bioskop beserta camilannya, Jihan mau memaafkanku. Lega rasanya.

"Tapi itu aslian, Al. Lo sama doi belum pernah ... maksud gue lo masih perawan tingtong?" Jihan menggerakkan jemari di udara sebagai tanda kutip.

"Lo mau gue kasih bukti visum?"

"Hehehe. Oke, gue percaya."

Aku mendengkus. Beginilah jadinya, curhat pada sahabat yang mempunyai tingkat kekepoan tinggi, tapi susah mengerti. Tak cukup menerangkan satu kali.

"Al, jangan-jangan Pak Zay enggak normal?" celetuk Jihan.

"Maksud lo?"

"Pak Zay ... gay."

Aku melotot.

"Atau mungkin ... impo--"

"Lo jangan hororin gue gitu, dong!"

"Abisnya aneh banget. Tuh Pak Dosen 'kan kayak yang ngebet banget pingin nikah ama lo, ya. Terus, kenapa pas udah nikah malah dianggurin, Neng?"

Aku terdiam. Benar juga apa kata Jihan. Selama ini aku tidak pernah mau dibuat pusing oleh pernikahan kami. Kupikir, aku dan Zay cukup menjalaninya saja dulu. Menurutku, yang terpenting adalah orangtua dan teman-teman melihat kami sebagai pasangan tanpa masalah.

***

Senja hampir menepi saat aku dan Jihan keluar dari kafe. Kami berjalan berdampingan menuju tempat parkir.

"Al!"

"Hmm?"

"Lo nyuruh Pak Zay buat jemput?"

"Apaan? Selama ini gue enggak pernah minta dijemput. Dianya aja yang maksa."

"Terus itu siapa?"

"Siapa apa?" Aku mengikuti arah telunjuk Jihan. Cukup terkejut ketika melihat lelaki itu sedang bersandar pada pintu mobil, dengan kedua tangan terlipat di dada.

"Eh, Pak Zay! Kok, tau kita di sini?" tanya Jihan saat kami sudah saling berhadapan.

"Ikatan batin ... mungkin?" sahutnya dengan intonasi menebak.

Wajahnya berpaling ke arahku, membuat kami bertemu pandang.

Lalu ... dia tersenyum.

Apa yang dia sembunyikan dalam senyum itu? Senyum yang selalu mengalahkan segala egoku selama ini.

***

Malam kian larut, tapi kedua mata belum terpejam sempurna. Entah berapa puluh kali tubuh ini berguling ke sana ke mari, karena tak juga menemukan kenyamanan. Kulirik jam weker, pukul sebelas lebih dua puluh menit. Kemudian, kualihkan pandangan ke arah sofa, menatapnya lekat-lekat. Memastikan si penghuni itu sudah tertidur apa belum?

Aku bangkit, melangkah menuju kamar mandi. Sudah di dalam, malah melamun. Karena sebenarnya sama sekali tidak ingin buang air kecil apalagi besar. Duduk saja di atas kloset, dengan pikiran yang kembali melayang pada obrolanku bersama Jihan sewaktu di kafe tadi.

"Tapi, Al. Lo yakin enggak punya perasaan apa-apa sama doi?"

"Ada. Kesel gue, tiap kali dia marah-marah."

"Yang lain, Al. Love, Alena, love." Jihan menyilangkan jari telunjuk dan jempolnya.

Aku memutar bola mata malas. "Apa gue mesti sumpah?"

Jihan mengedikkan bahu.

Aku angkat dua jari kananku. "Nih, sumpah demi apa pun. Gue-enggak-cinta-sama-si dosen muka datar."

Sementara dua jari tangan kiri kusilangkan di bawah meja.

Maaf, Jihan. Ini tak semudah yang terlihat.

Aku keluar, menutup pintu sepelan mungkin. Berjalan mengendap ke arah sofa. Kukibaskan tangan di depan wajahnya. Setelah yakin dia tidur nyenyak, seperti biasa kusimpan buku dan melepas kacamatanya. Lalu, menatap beberapa detik wajah itu. Karena setelah ini, aku yakin bisa terbuai ke alam mimpi.

Ya, Jihan. Aku berbohong. Karena ini, tak semudah yang kubayangkan.

*****

--bersambung--