Bab 7
Aku melihat Gupta sedang menggigil dalam selimutnya. Bergegas aku mendekatinya lalu merana dahinya. Sangat panas sekali, sepertinya Gupta sedang demam. Langsung saja kau menghubungi dokter langganannya jika sedang sakit.
Dokter Alena, seorang dokter cantik sahabatnya Gupta sejak kecil sampai sekarang
Tak lama menunggu, Dokter Alena pun tiba dengan mengendarai mobil pribadinya. Dokter Alena langsung masuk dan memeriksa Gupta dengan teliti.
"Hmm, pasti kamu telat makan lagi, kan, Gup? Kamu memang bandel," omel Alena begitu selesai memeriksa Gupta.
"Gupta kenapa, Dok?" tanyaku penasaran.
Dokter Alena menoleh padaku kemudian tersenyum manis. Dia meletakkan stateskop ke saku bajunya lalu berkata, "Gupta ini punya penyakit radang lambung yang cukup parah. Dia tak boleh telat makan, apa lagi banyak pikiran."
Aku melongo mendengarnya lalu merasa bersalah sebab kemarin malam aku tak mengajak Gupta untuk makan malam. Ternyata dia itu punya penyakit lambung yang cukup parah.
"Aku gak tahu hal itu, Dok," kataku pelan.
Dokter Alena pun memberikan resep untuk Gupta kemudian permisi pulang setelah memberikan beberapa petunjuk padaaku.
"Yang penting dia jangan sampai telat makan apalagi sampai gak makan sama sekali," pesan Dokter Alena padaku.
Kami sedang sejalan menuju ke luar rumah. Aku mengantarkan Dokter Alena sampai ke halaman di mana motornya terparkir.
"Iya, Dok. Aku akan mulai memperhatikan semuanya. Jujur, aku benar-benar gak tahu mengenai penyakit Gupta," balasku.
Dokter Alena sudah masuk ke dalam mobilnya, sebelum pergi dia menatapku sekali lagi.
"Gupta itu sepertinya lebih tua dari kamu dan dia itu suami kamu. Jadi gak etis kalau kamu hanya menyebut namanya saja," katanya.
Aku pun terdiam dan tak bisa memberikan alasan yang sebenarnya. Akhirnya aku hanya mengangguk saja. Dokter Alena pun berlalu meninggalkan diriku yang masih bingung sendiri.
Pukul sepuluh pagi itu, aku baru saja selesai memasak bubur untuk Gupta. Mas Gupta, rasanya lidahku kaku untuk mengubah panggilan buatnya seperti saran Dokter Alena tadi.
Tanpa mengetuk pintu aku pun masuk kedalam kamar Gupta karena kukira dia masih tidur. Rupanya dia sudah bangun dan sedang fokus dengan ponselnya.
"Kamu sudah baikan?" tanyaku ragu sambil meletakkan semangkok bubur di meja kecil yang ada di samping tempat tidurnya.
Gupta melihatku lalu mengangguk pelan. Aku pun menarik kursi kerjanya lalu duduk di samping tempat tidur.
"Mau makan atau aku sulangi?" tanyaku lagi.
Lama Gupta menatapku kalau berkata kalau dia ingin aku sulangi. Langsung saja kuambil bubur tadi dan mulai menyulanginya pelan-pelan. Gupta menerima suapan ku tanpa bicara sama sekali, dia hanya memandangku saja dengan lekat.
Beberapa kali pandangan kami sempat bertemu dan aku memilih untuk pura-pura sibuk dengan sendok di tanganku.
"Sudah, aku sudah kenyang,' ucap Gupta sambil menahan tanganku yang akan mengulanginya lagi.
Kulihat sisa bubur di mangkok yang kupegang. Ternyata hanya tersisa sedikit lagi, aku pun memberikan minum padanya. Kemudian meletakkan mangkok bubur tersebut di meja.
"Terima kasih, Intan," ucap Gupta sambil menyerahkan gelasnya yang sudah kosong padaku.
Aku pun mengangguk kemudian hendak beranjak berdiri, tapi Gupta menahan tanganku.
"Kamu butuh apa lagi?" tanyaku.
"Tidak ada, aku ... hanya ingin kita bicara," jawabnya seraya tersenyum.
Aku pun duduk kembali di tempat semula, walaupun di dalam hati aku merasa sedikit aneh dengan sikapnya hari ini.
"Mau bicara apa, Gupta?" tanyaku.
"Hmm, Mas Gupta, Intan. Bolehkan aku minta kamu memanggilku seperti itu?" tanyanya membuatku heran.
Bukan, menurutku itu permintaan bukan pertanyaan.
Eh, kok bisa bersamaan begitu, ya? pikirku dalam hati. Apa Alena yang memberitahunya. Mungkin saja, soalnya waktu aku masuk tadi dia kan sedang fokus dengan ponselnya.
"Boleh, Gupta. Eh, Mas Gupta," jawabku.
Gupta tersenyum lalu mengusap puncak kepalaku dengan lembut. Rasa aneh langsung terasa di dalam dadaku. Nyeri tapi tak sakit, entahlah apa namanya. Aku belum pernah merasakan hal itu selama ini.
"Hanya itu?" tanyaku lagi.
"Iya," jawabnya.
"Kalau begitu, aku pamit keluar dulu, ya. Mau salat Dhuha dulu," kataku beralasan.
Bukan alasan juga sih, memang aku hendak melaksanakan salat Dhuha. Gupta mengangguk dan aku langsung pergi dengan cepat. Bukan apa-apa, aku ingin meredakan rasa deg-degan dalam hatiku.
--------
"I'm sick, honey. Can't go to the office today. I hope you don't call me just yet. I don't want my wife to know."
Aku baru saja akan masuk ke kamar Gupta untuk mengantarkan makan siangnya. Rupanya dia sedang berbincang dengan pacarnya di telepon.
"It's not like that, I just don't want him to get hurt. After all, now we are husband and wife status. That's all, don't be jealous, okay?"
Gupta kembali bicara di telepon, sepertinya pacarnya marah saat Gupta melarang pacarnya menghubunginya selama dia di rumah.
Tok! Tok! Tok!
Aku mengetuk pintu agar Gupta berhenti bicara dengan pacarnya. Aku tak mau tahu urusan mereka. Sudah cukup banyak yang harus kupikirkan.
Aku pun langsung masuk ke kamarnya setelah Gupta mengizinkan. Setelah meletakkan makan siangnya di meja dan mempersilakan dia untuk makan, aku pun hendak keluar kamar lagi.
"Kamu mau ke mana?" tanyanya.
"Ke dapur," jawabku singkat.
"Apa ... kamu gak mau menyuapi aku seperti pagi tadi?" tanyanya lagi.
Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaannya. Sepertinya, otak Gupta sedang terganggu. Tadi pagi minta dipanggil 'Mas Gupta'. Sekarang minta disuapi lagi.
Aku menggeleng, kemudian berkata kalau masih ada masukan yang sedang di masak di dapur. Aku tak mau nanti kalau sampai masakannya gosong.
Tampaknya Gupta mencoba mengerti walau raut wajahnya tampak kecewa. Aku pun bergegas keluar kamarnya, rasanya tak ingin berlama-lama berada di dekatnya. Aku tak mau nanti hatiku jadi suka sama dia.
Soalnya, jujur kalau soal penampilan, nilai Gupta itu 99 dari nilai 100. Dia sangat menarik dan bisa membuat para gadis rela mengantri untuk menjadi istrinya.
Entah kenapa, dia malah memilih gadis bule yang tak disukai oleh kedua orang tuanya sehingga mereka memaksa Gupta untuk menikah denganku.
Keesokan paginya, Gupta sudah bisa beraktifitas seperti biasa lagi. Aku pun merasa lega, paling tidak, aku tak harus mengurusnya lagi.
"Selamat pagi, Intan. Ayo sarapan!" ajaknya begitu melihatku keluar dari kamar.
Kulihat dia sedang mengaduk-aduk bubur ayam yang kelihatannya enak. Di sebelah piring Gupta masih ada tersisa satu bungkus bubur lagi. Aku pun mendekat padanya lalu duduk di samping kirinya.
"Terima kasih," ucapku pelan saat dia menyodorkan bungkusan berisi bubur padaku.
"Hmm, makanlah! Setelah ini kita akan berkunjung ke rumah ibu kamu," sahutnya.
Berkunjung ke rumah Ibu? Ada apa?
Bersambung.