25/6/22
Happy Reading
***
Laya bergegas masuk ke dalam apotek setelah turun dari bus. Tadi ia sudah searching di ugel— katanya, paling aman membeli kondom di apotik saja daripada di minimarket.
Sebab rasa malunya bisa sedikit diminimalisir, maksudnya jika minimarket itu sedang sepi tidak akan ada masalah, lhaaa, kalau sedang ramai?! Bisa mati malu ia saat akan membayar kondom itu nanti.
"Selamat datang, Mba?" Sapa salah satu petugas apotek.
"Iya, malam, Mas." Laya tersenyum canggung. Ia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Bingung harus mulai darimana.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Laya langsung mengangguk. "Saya butuh kondom," ucapnya to the point. "Yang bagus, Mas."
Petugas Apotek itu jadi ikut-ikutan tersenyum canggung. "Ohhh. Mau merk apa, Mba?" tanyanya menscan penampilan gadis itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Masih terlihat sangat muda. Sudah menikah atau belum, ya? Pasti belum. Gadis ini masih terlihat seperti anak SMA kebanyakan.
"Apa saja," kata Laya. "Yang sekiranya nyaman dipakai dan aman digunakan."
"Tunggu disini." Petugas Apotek itu berbalik badan. Dia berjalan ke salah satu rak khusus kondom, mengambil beberapa jenis kondom yang memang disediakan di apotek ini.
Dari pantulan cermin, petugas apotek itu bisa semakin intens memperhatikan wajah gadis itu— menilai secara pandangan mata— yang terlihat seperti masih remaja tanggung belum cukup umur untuk melakukan seks.
"Dasar bocil, masih kecil sudah berani coba-coba melakukannya," gumamnya dalam hati. "Harusnya belajar yang benar, dek! Sekolah diselesaikan dulu, jangan main esek-esek dulu sebelum waktunya, yang rugi kau," lanjutnya dalam hati, bergeleng heran akan pergaulan anak jaman sekarang yang sudah berani melakukan 'Seks Bebas' seperti itu.
Ahhh, free seks, memang menyenangkan sekaligus menakutkan!
Dilihat dari sudut pandang manapun— walau dilakukan suka sama suka, antara laki-laki dan perempuan tetap saja dalam hal ini perempuan yang dirugikan. Mereka bisa berpikir dulu sebelum melakukan itu tidak, sih?!
"Berapa, Mas?" tanya Laya, ketar-ketir juga melihat lima dus mini dengan merk yang berbeda di jejer di depan matanya ini.
Pasti mahal, nih! Mana warna dusnya cantik-cantik lagi. Pilih mana, ya? Jarvis biasanya pakai yang mana, ya?
"Harganya variasi, Mba." Petugas Apotek itu memberitahu harga satu persatu kondom itu dengan setengah hati— bukan apa-apa, dia sangat menyayangkan hal seperti ini dan dia pun tidak akan bisa menegur atau melarang pembeli untuk membeli kondom.
Hem, lagian tujuan adanya kondom kan' bisa untuk mencegah penularan penyakit menular seksual, seperti HIV/AIDS, Herpes, Sifilis dan lain-lain. Semoga saja anak ini akan selalu sehat lahir batin.
Setelah dijelaskan panjang lebar oleh petugas apotek, daripada bingung mau memilih yang mana, akhirnya, "Saya ambil semuanya saja, Mas."
Toh, nanti Jarvis juga yang akan menentukan mau pakai yang mana dan lagi kalau dihitung-hitung, uang yang dimilikinya masih cukup kok untuk membeli semua kondom ini.
Oke.
Setelah membayar semuanya— Laya bergegas pulang ke kost untuk bersiap-siap ke hotel Veteran— kali ini ia pulang naik angkutan umum.
.
.
.
Laya mondar-mandir di dalam kamarnya sambil melepas pakaiannya satu persatu.
"Okeee, tenang, La!" Laya menarik napas panjang-panjang lalu membuangnya secara perlahan. Ia mengusap dadanya yang berdetak sangat cepat.
"Oke, apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Entah mengapa, saat ini seluruh tubuhnya merasakan merinding-rinding gelisah. Keringat dingin yang disebabkan karena gugup, takut dan penasaran deras mengalir di sekujur tubuhnya.
"Ah, iyaa." Laya langsung bergegas mengambil handuk yang dijemur di teras kamarnya. "Aku harus mandi dulu sebelum kesana. Bodoh!" serunya gemas sendiri pada dirinya.
"Cepat, cepat!!" Sebelum masuk kekamar mandi, Laya melihat jam yang ada dinding.
"Sudah jam tujuh! Arghhh!" Laya berteriak panik. "Kenapa aku tidak sadar, sih!!"
Laya segera membersihkan seluruh tubuhnya. Ia benar-benar tidak melewatkan detail terpenting dari semua bagian tubuhnya ini.
"Tidak ada bulunya." Laya mengangkat tinggi-tinggi tangannya. Memperhatikan lebih intens ketiaknya— yang ternyata selalu mulus dan glowing seperti biasanya. Tidak ada tanda-tanda munculnya bulu. "Ahh, aman," ucapnya dengan girang, sambil menepuk-nepuk ketiaknya yang bahkan tidak ada pori-porinya itu.
"Okee." Laya beralih melihat ke bawah.
Malam ini keperawanan yang selalu dijaganya baik-baik akan diambil oleh seseorang.
"Hemm, kau akan dimiliki pria lain mulai dari malam ini. Bukan Vihan yang pertama tapi Jarvis Isamu, laki-laki yang baru aku kenal beberapa hari ini." Laya menghela napas panjang. Ada sedikit penyesalan didalam hatinya tapi ….
"Tidak apa-apa!" Laya berteriak, menyemangati dirinya sendiri. "Tidak apa-apa! Kau pasti bisa melewati ini semua!! Ini untuk hidupmu, La. Semangat! Jika Vihan sembuh kau juga yang akan tenang. Untuk saat ini jangan pikirkan tentang apapun dulu. Oke, fokus! Fokus!!"
*
*
*
Pukul 8 malam lebih banyak, Laya baru saja tiba di hotel Veteran. Napasnya bersengalan lelah karena dari halte bus yang dekat dengan hotel, ia berlari tanpa henti.
Laya sudah sangat terlambat sampai hotel. Ia takut jika Jarvis sudah menyelesaikan rapatnya dan menunggunya disana seorang diri.
Sesampainya di depan pintu masuk …
Laya berusaha menormalkan napasnya. Ia sedikit merapikan rambutnya yang acak-acakan terbawa angin.
Malam ini, Laya tidak berdandan berlebihan ataupun bersolek yang bisa mencolok mata seseorang. Malam ini, ia hanya mengenakan kemeja longgar dengan celana jeans dan sepatu berwarna coklat. Bukannya Laya tidak punya gaun, hanya saja ia memang sengaja tidak mau berdandan berlebihan.
Apa adanya saja! Toh, nanti juga bakal dibuka-buka sama Jarvis … eh, maksudnya, nanti juga bakal tidak memakai busana lagi saat melakukan seks … eh?!
Tahu, lahh!
"Maaf, Pak." Laya menyapa dengan sopan petugas resepsionis.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona?"
Laya langsung mengangguk. "Saya—"
"Nona Laya, bukan, yaa?!"
Eh?
Laya langsung menoleh ke arah sumber suara.
"Ini saya Mor, Nona." Mor segera menghampiri Laya.
"Ohh, ya, Pak Mor." Laya melambaikan tangan dengan kikuk. Disana wajah Mor terlihat panik-panik lega.
"Saya sudah menunggu Nona dari satu jam yang lalu. Saya pikir, terjadi sesuatu pada Nona. Kenapa Nona lama sekali?"
Laya tertawa kikuk. "Maaf, Pak. Tadi sedikit macet."
"Ah, memang jam-jamnya pulang kantor," kata Mor. "Mari ikuti saya. Saya akan mengantar ke kamar Anda dengan segera."
Laya mengangguk panik. Mengikuti kemana Mor berjalan. "Ada apa, Pak? Tuan Jarvis sudah selesai rapatnya, ya?"
"Belum." Mor menggeleng. Laya menghela napas lega.
"Masih lama sepertinya." Mor menekan tombol lift. Setelah pintu terbuka. "Silahkan, Nona."
"Nona tahu tidak?" Mor melihat Laya. "Kalau dalam waktu 10 menit Nona Laya tadi tidak datang, Tuan Jarvis menyuruh saya untuk mencari Anda, Nona."
"Heuh, kenapa?" Laya sangat terkejut mendengar hal itu.
"Entahlah." Mor mengedikan bahu. "Tuan Jarvis takut terjadi apa-apa dengan Anda. Soalnya ini sudah malam, dan Anda tidak datang tepat waktu."
"Ahh, iyaaa." Laya menggaruk pelipisnya dengan salah tingkah. "Maaf."
"Katanya, kalau Anda sampai tidak ketemu juga dijalan, saya disuruh datang ke kos Anda. Untuk memastikan, apakah Anda akan datang kemari atau tidak," ucap Mor lagi.
Laya menghembuskan napasnya.
Hah!!
"Huhh, aku tidak akan lari! Aku akan menepati janjiku untuk datang kemari!! Kau tidak perlu sampai segitunya, Jarvis!" Laya menggerutu dalam hatinya. "Segitu tidak sabarnya kah kau ingin merenggut keperawananku! Dasar mesum, gilaa!!"
***
Salam
Busa Lin