webnovel

BAB 38

Setelah berpamitan kami pun berjalan menuju pintu keluar. Dan ketika membuka pintu ada sesosok wajah tampan berdiri di depanku. Membuat kami semua merasa terkejut oleh kedatangannya. Ada apa dia ke sini?

"Mas Dimas?" ucapku yang merasa terkejut oleh kedatangannya. "Tumben Mas datang ke sini, ada perlu apa, Mas?" lanjutku yang merasa sedikit heran. Karena tak biasanya Mas Dimas datang ke sini. Apalagi malam-malam. Dia datang ke sini waktu Bapak meninggal dan Mas Dimas lah yang membantunya. Membawa Bapak ke rumah sakit. Namun, nyawa Bapak sudah tidak bisa tertolong. Dan Mas Dimaslah yang membantu administrasinya, hingga proses pemakaman selesai.

Aku mengernyitkan kening, mencoba untuk berpikir. Ada perlu apa Mas Dimas datang ke sini? Bukankah aku sudah mengganti uang yang dipakai biaya rumah sakit dan semuanya sudah lunas?

"Oh, tidak ada apa-apa. Kebetulan aku hanya lewat di depan rumah saja. Lalu mampir ke sini," jawabnya sedikit tergeragap. Melihatku dan Nico secara bergantian dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mungkin Mas Dimas sudah tau kalau aku akan keluar bersama Nico.

"Em, rupanya kalian mau pergi? Iya, sudah. Kalau begitu aku pamit dulu," ucapnya. Kemudian ia membalikkan badannya.

"Ta-tapi Mas, kalau Mas Dimas ada perlu, silahkan Mas Dimas masuk dulu," cegahku yang merasa tidak enak hati.

"Tidak Reyna. Lain kali saja, aku tak ingin mengganggu acara kalian," seloroh Dimas seraya memundurkan langkahnya.

Aku pun hanya bisa memandangnya tanpa kata-kata yang terucap lagi. Kemudian aku dan Nico berjalan menuju mobil.

Dengan cepat Nico melangkahkan kakinya dan dengan sigapnya ia membukakan pintu untukku.

Mesti sebenarnya aku merasa tidak enak dengan sikapnya, terlebih untuk makan malam berdua dengannya.

"Terimakasih, Pak," ucapku seraya menaikkan satu kakiku ke dalam mobilnya. Tanpa menjawab Nico langsung menutup pintu mobil tersebut.

Disusul Nico masuk ke dalam mobil di kursi pengemudi. Dengan tenang laki-laki berkulit putih dan berhidung mancung itu memancat pedal gas dan mengemudi mobilnya dengan tenang.

Sepanjang perjalanan kami tidak banyak bicara.

"Sudah berapa lama kamu mengenal adik saya, Haris?" tanya Nico memulai percakapan.

"Saya dan Haris berteman sejak dari fakultas, Pak?" jawabku. Sementara ia hanya manggut-manggut.

"Kalian tidak ada hubungan khusus? Misal kalian pa-ca-ran, gitu?" tanya Nico dengan memberi jeda pada ucapannya.

Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan darinya. Entah maksud apa ia menanyakan hal yang bagiku tidak perlu untuk ditanyakan dan itu bukan hal yang penting bagiku saat ini.

"Kenapa diam? Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?" Nico kembali bertanya dengan tetap fokus mengemudi.

"Tidak, Bapak Nico. Kami tidak pernah ada hubungan khusus selain persahabatan. Kami tidak ingin merusak persahabatan ini dengan menjalin hubungan seperti yang Bapak bilang barusan," jelasku sedikit melirik ke arahnya.

Nampak Nico tersenyum mendengar penjelasanku. Entah apa yang ia rasakan.

"Memangnya kenapa, Pak? Kalau aku dan Haris pacaran?" tanyaku memberanikan diri. Tiba-tiba Nico menghentikan mobilnya. "Aww!" pekikku karena merasa terkejut.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Nico dengan tangan kirinya memegang tanganku.seketika pandangan kami bertemu. Entah apa yang aku rasakan saat ini? Jantungku berdetak lebih cepat. Namun, karena apa? Aku sendiri pun tidak tahu. Entah karena pandangan kami saling bertemu atau karena mobil yang direm dengan mendadak?

"Ti-tidak , Pak. Saya tidak apa-apa," jawabku dengan gugup.

Nico pun melanjutkan mengemudi mobilnya. Setelah tiga puluh menit perjalanan, kami pun sampai di sebuah restoran ternama di kota Jakarta.

Nico memarkirkan mobilnya, kemudian kami turun dari mobil. Berjalan ke arah pintu masuk restoran. Dengan berjalan, aku sambil melihat para pengunjung restoran yang ada. Nampak mereka datang dengan pasangannya masing-masing dan nampak saling bergandeng tangan. Lalu, entah kenapa Nico membawaku ke sini?

Sejenak aku menghentikan langkah kakiku. Nico pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku.

"Kenapa berhenti?" tanya Nico menatapku.

"Em, apa Bapak tidak salah mengajakku ke tempat seperti ini?" tanyaku dengan melihat sekeliling.

Nico terlihat mengernyitkan dahinya dan memandangi ke arah para pengunjung yang lain. Lalu dengan tiba-tiba ia menggandeng tanganku dan berjalan memasuki restoran. Aku yang mendapat perlakuan seperti ini, seketika jantungku kembali berdetak dengan kencang.

"Malu pak dilihat orang?" protesku dengan hati yang tidak karuan.

"Sudah diam!" ucapnya.

Nico membawaku berjalan mencari bangku yang kosong. Tepat di ujung restoran ini ada tempat yang kosong. Nico membawaku ke meja tersebut.

Nico menggeser bangku dari bawah meja untuk tempat dudukku. Rasanya aku seperti diperlakukan dengan istimewa olehnya. Tapi aku tidak boleh terbawa perasaan oleh sikap dan perlakuannya.

Kami memilih menu pada buku menu yang sudah tersedia di meja.

"Mbak, sini!" panggil Nico pada salah satu waiters. Seorang waiter itu berjalan mendekat ke arah kami.

"Iya, Tuan! Tuan dan Nyonya mau pesan apa?" tanya waiters tersebut ramah.

"Mbak, ini saya mau pesan, 2 Yamagoya ramen dan 2 Royal milk tea," ucap Nico pada waiters perempuan tersebut.

"Baik, Tuan. Mohon ditunggu! Kurang lebih sepuluh menit makanan datang," ucapnya. Kemudian dengan cekatan beranjak pergi.

Sepuluh menit kemudian, makanan yang dipesan sudah datang. "Silahkan pesanannya! Tuan, Nyonya," ucap Waiters itu sambil meletakkan semua makanan yang telah dipesan.

"Terimakasih, Mbak!" ucap kami bersamaan.

"Sama-sama, Tuan, Nyonya," jawabnya ramah.

Kami pun menikmati makanan tersebut, meski dengan hati yang tidak menentu. Namun, aku berusaha untuk bisa bersikap tenang di hadapan Nico.

"Mama dan Papa meminta kamu untuk datang ke rumah," ucap Nico di tengah-tengah acara makan kami.

Sejenak aku menghentikan aktifitas makanku. Menatap sejenak ke arahnya. "Ada apa?" tanyaku. Lalu melanjutkan makanku kembali.

Nico hanya menaikkan kedua bahunya. Menandakan ia pun tidak mengerti atas pertanyaanku.

Kami pun menyelesaikan makan tanpa banyak berkata. Selesai Nico menyelesaikan makannya, ia menatapku tanpa berkedip.

"Ada apa, Pak?" tanyaku yang tidak merasa enak karena mendapat tatapannya.

Perlahan ia mendekatkan wajahnya ke arahku. Membuat jantungku kembali berdegub kencang. Sorot matanya yang tajam, membuat para wanita akan takluk oleh tatapannya itu.

Jarak beberapa jengkal wajahnya dengan wajahku, tangannya meraba bibirku dengan lembut.

Seketika aku memejamkan kedua mataku. Ada debar kuat menyelimuti dadaku. Rasa yang sudah sangat lama tidak aku rasakan.

"Ini ada saos di bibirmu," lirihnya. Sontak membuat kedua bola mataku melebar, raut wajahku seketika berubah. Malu yang aku rasakan. Namun, dengan lembut ia mengusapnya.

Dengan cekatan aku menghentikan tangannya yang masih mengusap bibirku, lembut. Binar matanya seolah menyiratkan sesuatu yang terpendam. Pandangan itu seakan membuatku semakin melayang.

Byuuur...!

Tiba-tiba ada seseorang yang menyiram kepalaku dengan segelas air. Seketika aku dan Nico menatap ke arah tersebut.

"Kamu? Apa yang kamu lakukan?" tanya Nico menatap tajam seseorang tersebut.