"Bagus! Silahkan kamu tinggalkan ruang meeting ini! Kembali ke ruanganmu," perintahku.
"Dan untuk David, mulai sekarang kamu, saya berhentikan kerja di perusahaan ini," ujarku.
"Apa, Pak?" sontak David dan Keyla membulatkan kedua bola matanya dan terperanga.
"Maksudnya Mas apa? Kenapa tiba-tiba memberhentikan David? Apa kesalahan yang sudah ia perbuat?" tanya Keyla masih tak percaya.
Aku tersenyum getir melihat Keyla yang terlihat sangat tidak terima dengan semua keputusanku untuk memberhentikan David.
"Iya seperti kamu yang akan memberhentikan Bagus tanpa alasan," ujarku tanpa menatapnya.
"Tapi, Mas! Aku butuh sekretaris untuk membantuku mengelola perusahaan ini," kilah Keyla masih berusaha untuk mempertahankan David.
Kamu bukan hanya membutuhkan David untuk mengelola perusahaanku, Keyla. Tapi kamu juga membutuhkannya untuk bisa menemanimu setiap kamu membutuhkannya.
"Tidak ada yang bisa merubah keputusanku, David tetap akan diberhentikan dari perusahaan ini," tegasku.
Wajah Keyla dan David nampak memucat, kedua tangan David mengepal seolah siap untuk menghantamku. Namun, aku hanya melihatnya sekilas dan tersenyum sinis ke arahnya.
David berdecak kesal dan meninggalkan tempat ini. Ada raut wajah kecewa tergurat dari wajahnya. Ada rasa puas tersendiri setelah aku berhasil mengeluarkan seekor ular dari perusahaanku.
*******
POV KEYLA
Aku menjadi tak bersemangat untuk melakukan pekerjaan setelah penyemangatku diberhentikan secara tidak hormat oleh Mas Reyhan.
Dengan sesuka hati datang tiba-tiba ke kantor ini, menggagalkan rencanaku untuk memberhentikan Bagus. Tapi justru David yang ditendang dari perusahaan ini.
"Aaargh, sial!" aku berdecak kesal. Laki-laki lumpuh itu sungguh sangat membuatku kesal.
Dreeg...! Dreeg...!
Ponselku bergetar. Segera aku mengambil dari dalam saku. Ada nama David tertera pada layar ponsel tersebut. Segera aku mengusap warna hijau untuk menjawab sebuah panggilan dari David.
"Keyla!" seloroh David dari seberang sana dengan kesal.
"Ada apa, David?" jawabku yang bum sempat menyapanya. Menahan amarah dalam dadaku.
"Keyla, cepat kirim uang ke aku sekarang! Lima puluh juta," ketus David membuatku terkejut.
"Apa? Lima puluh juta? Bukankah tadi kamu bilang sepuluh juta? Tapi sekarang jadi lima puluh juta," celotehku panjang lebar karena merasa sangat kesal dengan permintaan David.
"Sudah jangan banyak bicara! Atau aku bongkar semua tentang perselingkuhan kita?" ancam David dari seberang sana.
Aku terperangah mendengar ancaman dari David. Orang yang aku percaya mencintaiku dengan tulus, tapi ternyata hanya modus belaka.
"Kamu mengancamku, David?" ucapku menahan air mata yang ingin tumpah.
Tut! Tut!
David mengakhiri panggilan telepon dengan sepihak. Ada rasa getir di relung hatiku yang paling dalam. Setelah semua yang aku berikan untuknya ternyata hanya rasa sakit dan sesak yang ia berikan.
Luruh sudah air mataku membasahi kedua pipiku. Kepalaku terasa sakit memikirkan semua ini. Harapanku untuk bersama dengan David semua menjadi sirna.
******
POV REYNA
Tak terasa sudah tujuh hari Bapak meninggalkan aku dan Ibu. Kasihan dengan Ibuku jika harus tinggal sendiri di rumah ini tanpa ada teman untuk mengobrol. Senyum Ibu tak seceria dulu selama masih bersama Bapak. Rasa kehilangan Ibu terlihat sangatlah dalam seperti halnya diriku. Namun, aku harus terlihat kuat di hadapan Ibu. Tidak boleh terlihat rapih, aku harus menjadi penyemangat Ibuku.
Sekarang hanya tinggal Ibuku satu-satunya yang aku miliki, setelah kepergian Bapak. Aku belum sempat memberi kehidupan yang layak untuk keduanya, tapi Bapak sudah mendahului kita. Aku harus bisa ikhlas. Aku percaya ini sudah suratan dari Yang Maha Kuasa.
Tok! Tok!
Terdengar suara orang mengetuk pintu. Aku segera bangun untuk melihat siapa yang datang. Mataku terbelalak saat membuka pintu. Aku mengusap kedua mataku seakan tidak percaya dengan apa yang aku lihat di depan mata.
Mata itu menatapku dengan teduh, senyumnya yang tersungging dari wajahnya membuat terlihat sempurna sosok tersebut.
"P-Pak Nico?" ucapku terbata ketika melihat sosok laki-laki dingin yang sekarang tepat berdiri di hadapanku. Melihat ke kanan dan ke kiri, untuk memastikan bersama siapa dia datang ke rumah ini.
"Sudah siap pergi ke kantor?" tanya Nico dengan nada yang jutek. Entahlah terkadang ia terlihat begitu manis, tapi sebentar lagi dia terlihat bagai beruang kutub.
"Su-sudah Pak, memang kenapa, Pak?" tanyaku tidak mengerti.
"Ayo! Berangkat sekarang denganku," pintanya membuat aku semakin mengedipkan mataku. Bagaimana seorang Nico seangkuh itu, tiba-tiba datang menjemputku? Bahkan tidak bersama Haris.
"T-tapi, Pak?" ujarku masih dengan rasa tak percaya.
"Cepat! Ini perintah," tegasnya. Aku hanya menganggukkan kepala dan bergegas meninggalnya menuju ke kamar untuk mengambil tas kerjaku.
Setelah mengambil tas kerjaku dan berpamitan sama Ibu, aku segera ke depan untuk berangkat kerja dengan Nico yang tanpa ada angin dan hujan, ia menjemputku.
Entah kenapa perasaanku menjadi nerves seperti ini, mulutku serasa Kelu untuk berkata. Mungkin karena aku tak terbiasa dengannya. Kalau dengan Haris aku sudah terbiasa seperti saudara sendiri.
Setelah sampai di dekat mobil, aku membuka pintu mobil yang di belakang.
"Duduk di depan! Kamu pikir aku supir kamu," selorohnya sambil melirikku. Sementara aku hanya nyengir dan menuruti permintaanya.
Dengan hati yang berdegup, aku membuka pintu mobil depan untuk duduk di sebelahnya. Sepanjang perjalanan kami hanya saling diam, tanpa ada sepatah kata apapun yang keluar dari mulut kami.
Setelah sepuluh menit, kita pun sampai di kantor. Sebenarnya jika ditempuh dengan jalan kaki pun, juga hanya membutuhkan waktu sepuluh menit. Karena ini jalannya muter jika harus naik mobil, makanya sepuluh menit juga baru sampai.
"Terima kasih, Pak!" ucapku seraya membuka sabuk pengaman.
"Hmm," jawabnya tanpa ada kata yang terucap.
Kami pun turun bersamaan. Nico melangkahkan kakinya dengan cepat tanpa menyapaku kembali. Entahlah, aku merasa aneh saja dengan sikapnya.
"Ehem-ehem, kenapa harus jalan-jalan sendiri seperti ini," ucap Haris sambil tersenyum kecil melihat ke arahku dan Nico.
"Apa, sih?" ucapku yang merasa tak jelas dengan maksud Haris. Sementara Nico hanya diam tanpa menjawab.
"Cie-cie yang barusan dijemput sang pangeran," seloroh Haris. Seketika membuatku mataku terbelalak memandang Haris dengan wajah menyembunyikan rasa malu. Bagaimana ia bisa tahu kalau Nico menjemputku?
"Sudah sana masuk ke dalam ruangan masing-masing!" perintah Nico dengan memicingkan matanya. Sementara Haris hanya tertawa ngakak melihat tingkahku dan Nico.
Kami pun masuk ke dalam ruangan masing-masing.
Sesampainya dalam ruangan, seperti biasa aku melakukan rutinitas pekerjaanku seperti biasa.
"Dreeg...! Dreg...!
Ponselku yang berada di atas meja bergetar. Aku melirik benda pipih tersebut. Ada nama Mas Reyhan tertera pada layar. Aku mengernyitkan kening, berpikir ada apa ia menelponku.
Dengan ragu aku mengambil ponselku dan menggeser warna hijau untuk menjawabnya.
"Hallo, ada apa, Mas?" tanyaku setelah mengangkat panggilan telepon darinya.
"Reyna, nanti siang bisakah kamu makan siang bersamaku?" ucapnya dari seberang sana.
Mulutku ternganga mendengar permintaan Mas Reyhan. Apa maksudnya dengan semua ini. Sewaktu aku menjadi istrinya, ia mengabaikan aku. Tapi sekarang?
"Maaf, Mas. Aku banyak kerjaan," ucapku. Dan langsung mematikan ponselku dengan kesal.
Aku beranjak bangun dan hendak keluar ruangan dengan hati yang dongkol. Saat aku membuka pintu untuk keluar, tiba-tiba aku menabrak seseorang yang berdiri tepat di depan pintu hingga aku terjerembab.