Tok! Tok!
Ibu belum sempat menjawab pertanyaanku, tiba-tiba terdengar pintu depan diketuk beberapa kali, Aku bergegas menuju pintu untuk membukanya.
"Haris, kamu sudah menjemput....?" aku menghentikan ucapanku yang belum selesai. Tatkala aku membuka pintu dan ternyata bukan Haris yang datang.
Kedua bola mataku terbuka lebar dengan mulut yang menganga ketika melihat sosok laki-laki yang berdiri tepat di depan pintu rumahku. Laki-laki yang duduk di kursi roda dengan ditemani supir pribadinya itu tersenyum ramah dan menatapku tanpa berkedip. Entah dari mana ia tahu alamat rumahku.
"Mas Reyhan! Dari mana bisa tahu alamat rumah ini?" tanyaku menautkan kedua alisku. Tapi dia hanya tersenyum.
"Kenapa tak langsung berangkat, Nak?" tanya Ibu berjalan mendekatiku. Ibu memegang bahuku tanpa menyadari seseorang yang ada di depan pintu.
"Iya, Bu! Sebentar lagi, masih menunggu Haris," Ibu nampak terkejut dengan ucapanku. Seketika Ibu menoleh ke arah Mas Reyhan yang masih berada di depan pintu.
Wajah Ibu seketika berubah. Wajah yang tadinya terlihat sumringah dengan senyuman yang menghiasai bibirnya, tiba-tiba menjadi kemerahan. Seperti ada gejolak amarah yang terpendam dari lubuk hatinya yang terdalam. Matanya tajam menatap ke arah Mas Reyhan memperhatikan dari atas hingga ujung kaki. Sementara Mas Reyhan terlihat mengulas senyum, lalu menunduk.
"Kamu, untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Ibu dengan nada sedikit tinggi.
"I-Ibu, aku datang ke sini untuk minta maaf sama Ibu dan Bapak," jawab Mas Reyhan sedikit canggung.
Belum sempat Ibu menjawab perkataan Mas reyhan. Tiba-tiba suara klakson dan sinar lampu mobil menyorot ke arah kami, hingga membuat Mas Reyhan dan supirnya seketika menoleh ke arah mobil tersebut, memperhatikan siapa yang datang.
Nampak laki-laki tampan mengenakan celana hitam dengan atasan berwarna biru tua, turun dari dalam mobil. Haris berjalan mendekat ke arah kami dengan senyuman yang terukir dari bibirnya, menambah daya tariknya semakin kuat bagi kaum hawa.
"Hai Reyna, kamu sudah siap?" tanyanya masih dengan jarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Kemudian pandangannya mengarah pada sosok Mas Reyhan yang berada di atas kursi roda. "Oh, ada tamu rupanya?" ucapnya kembali. Sorot matanya tajam dengan sudut bibirnya naik ke atas membentuk senyuman sinis.
"Ibu, boleh kan kalau Reyna malam ini aku bawa bertemu dengan calon mertuanya?" celetuk Haris melirik ke arah Mas Reyhan. Sementara Mas Reyhan hanya diam seribu bahasa.
"Iya, Nak Haris! Jangan pulang terlalu malam ya!" jawab Ibu tersenyum sumringah kembali.
"Siap, Bu! Saya tidak akan melanggar kode etik keluarga ini," celetuknya lagi membuat Ibu dan aku tertawa. "Kalau begitu kami berangkat dulu ya, Bu?" pamitnya meminta izin.
"Hati-hati, Nak!" ucap Ibu ketika aku dan Haris bersalaman. Kemudian Haris menggandeng tanganku.
"Ehem-ehem!" Mas Reyhan berdehem memperhatikan tangan Haris yang menggenggam erat tanganku.
Haris menoleh ke arah Mas Reyhan, kemudian memperhatikan tangan kami yang saling bergandengan dan tersenyum sinis ke arahnya.
"Kenapa? Iri? Bilang Boss," ucapnya. Lalu menarik tanganku. Haris seolah sengaja memperlakukanku seperti ini di depan Mas Reyhan.
"Maaf, Mas! Aku pergi dulu," ucapku dan meninggalkan mereka.
Sepanjang perjalanan kami saling bercanda dan tertawa riang. Hingga tanpa terasa kami sudah sampai di depan rumah mewah milik Haris.
Haris menghentikan mobilnya di halaman rumahnya yang cukup luas tersebut. Sebelum turun dari mobil aku mengambil kaca kecil yang berada di dalam tas ku, untuk melihat dan menambah sedikit make up pada wajahku. Setelah aku rasa semuanya sudah rapi baik rambut dan make up, kemudian aku membuka sabuk pengaman yang masih melekat di tubuhku.
"Ayolah, ribet banget ya jadi perempuan," ujar Haris yang sudah tidak sabar menungguku.
"Ih, iya-iya ini sudah," jawabku dengan menurunkan kaki kiriku dari dalam mobil. Sementara detak jantungku kembali berdetak lebih cepat. Tanganku pun terasa berubah menjadi dingin.
Aku melangkahkan kakiku dengan sedikit bergetar, memasuki pintu utama milik Haris ini. Wajah Haris terlihat begitu bahagia, tapi aku justru semakin grogi.
"Ris, aku grogi banget, nih!" ucapku sambil berjalan beriringan dengan Haris.
"Sudah, santai saja! Mama, Papaku orangnya baik kok," ujarnya meyakinkanku.
Kakiku terasa semakin kaku untuk melangkah ke dalam rumah ini. Haris membawaku langsung menuju ke ruang makan. Nampak mereka sudah menunggu di sana.
"Hallo, Ma, Pa, Kak Nico!" salah Haris kepada mereka dengan melambaikan tangan. Nampak senyum sumringah dari kedua orang tua Haris. Tapi tidak dengan laki-laki yang bertubuh tinggi dan atletis ini. Ia nampak sibuk dengan ponselnya tanpa menoleh padaku dan Haris yang baru datang.
Kemudian kedua orang tua Haris berdiri dan menyambut kami.
"Ma, Pa, kenalin ini Reyna yang aku ceritakan waktu itu. Reyna, ini Mama, Papa aku dan itu Kak Nico," sebut Haris menunjuk satu-satu ke arah mereka.
"Malam Tante, Om!" sapaku seraya mengulurkan tanganku untuk bersalaman. Mereka menyambutnya dengan penuh senyum dan mengelus punggungku ketika aku mencium tangan Mama Haris.
"Kak Nico! Ada tamu datang malah dicuekin," protes Haris menampol punggung Nico. Kemudian Nico berdiri dan memandangku sekilas tanpa tersenyum.
"Ayo, silahkan duduk! Nak Reyna," ucap Mama Haris sambil menarik kursi dari bawah meja untuk aku tempati. Akhirnya kami pun duduk di kursi yang telah disediakan.
"Oh iya, tadi Tante sama Om belum sebutin nama," ujar Mama Haris. "Panggil saja kami Tante Herlina dan Om Cahyo!" lanjutnya kemudian.
Mereka pun bercerita banyak hal tentang kehidupan dan bisnisnya di Australia. Selama mereka tinggal di sini untuk beberapa bulan ke depan, bisnis yang ada di Amerika mereka percayakan pada adik laki-lakinya Pak Cahyo.
Kami pun menikmati hidangan yang sudah menunggu memenuhi meja ini. Saat makan pun kami masih menyambung cerita kami. Ini pertama kalinya aku bertemu dengan mereka, namun kehangatan dan kenyamanan bisa langsung aku rasakan. Tapi tidak untuk Nico, laki-laki itu nampak acuh dan dingin. Ia hanya berkata ketika Mama dan Papanya meminta pendapatnya saja. Selain itu ia hanya memilih diam.
Tanpa terasa waktu pun sudah menunjukkan pukul 10:00 malam. Rasanya tidaklah enak kalau aku pulang terlalu malam.
"Tante dan Om, terimakasih ya! Untuk hidangannya malam ini dan terimakasih sudah rela mengundang saya untuk datang ke rumah ini. Seneng banget rasanya bisa bertemu langsung dengan Om dan Tante," ujarku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan kiriku.
"Kami juga berterimakasih pada Nak Reyna, berkat Nak Reyna perusahaan yang di pimpin Haris kali ini bisa berkembang dengan pesat," tutur Tante Herlina sangat ramah.
"Tante dan Om jangan memuji saya seperti itu, saya bukan apa-apa Tante, Om," ujarku yang merasa tak enak dengan semua pujiannya.
"Kalau begitu aku pamit pulang, Tante dan Om," pamitku. Kemudian berdiri untuk bersiap.
"Baiklah! Lain kali ke rumah sini lagi, ya! Rasanya lebih hangat jika rumah ini ada anak perempuannya," ujar Tante Herlina membuatku tersipu.
Aku pun berjabat tangan dengan mereka, kemudian beranjak menuju pintu keluar. Mereka pun mengantar aku hingga depan rumah.
"Haris, Reyna, tunggu! Aku ikut dengan kalian," panggil Nico ketika kami sampai di dekat mobil. Seketika aku dan Haris menoleh dan saling pandang. Kemudian menatap Nico yang nampak berjalan mendekat.
"Ok!" ucap Haris melempar kunci mobil ke arah Nico. Dengan sigap ia menangkap kunci mobil itu.