webnovel

Part 9

Hari-hari terus berganti, dan perubahan itu semakin terlihat. Yara yang biasanya mengenakan kerudung berbahan tipis, kini mulai menggantinya dengan kerudung berbahan tebal. Lengan baju sudah tidak ia gulung lagi, ciput pun kini sudah setia bertengger di kepalanya untuk menghalau anak rambut yang hendak keluar, dan tidak ada lagi kaos kaki dibawah mata kaki. Kini ia sudah mulai memanjangkan rok nya, sudah tak ia lipat lagi bagian pinggangnya agar terlihat mengatung pada saat dipakai. Tidak ada lagi kerudung yang di sampirkan kebahu, melainkan sudah mulai menutupi bagian dada meski belum terlalu panjang.

Kini, setiap kali adzan berkumandang, dirinya sudah bergegas menuju masjid sekolah untuk menunaikan kewajibannya. Setiap tadarus di pagi hari pun ia sudah mulai mengikuti tadarusan tersebut, tidak seperti biasanya yang selalu tertidur.

Pagi ini, gadis itu tengah terduduk di lantai masjid sekolahnya sambil memegang Al-Qur'annya. Ia dan kedua sahabatnya baru saja selesai menunaikan sholat dhuha dan hendak mengaji Al-Qur'an, mumpung kelas mereka sedang tidak ada guru. Kemarin sore, ia mendapat sebuah paket yang ternyata berisi Al-Qur'an khusus wanita berwarna biru muda khas kesukaan Yara berukuran tidak terlalu besar dari Ardi. Ya, Ardi mengiriminya Al-Qur'an agar Yara semakin semangat belajar membaca Al-Qur'annya dan agar ia bisa membawa kemanapun Al-Qur'an itu. Semakin hari, Yara semakin dekat dengan Ardi. Hampir setiap malam Ardi membangunkannya untuk sholat Tahajud dan kembali membimbing Yara mengaji hingga subuh.

Sedikit demi sedikit, kehadiran Ardi di kehidupan Yara mampu menghapus Vano yang selama ini menyita sebagian besar pikirannya. Dan hal itu tentu saja membuat Dika senang, setidaknya ia ikut bahagia mendengar cerita sahabat tersayangnya mengenai laki-laki bernama Ardi itu. Yara selalu bercerita mengenai apa pun kepada Dika, setiap malam mereka selalu melakukan panggilan video untuk bercerita tentang hari yang mereka lewati di tempat berbeda. Dika pun sangat-sangat berterimakasih kepada Ardi karena sudah mampu memotivasi Yara agar berhijrah. Dika merasa ingin menitipkan sahabat tersayangnya itu kepada Ardi andai saja mereka berada di kota yang sama.

Ditengah kesibukkan mereka bertiga membaca Al-Qur'an, tiba-tiba smartphone Yara bergetar tanda sebuah panggilan masuk. Kegiatan mengaji pun terhenti, Yara melihat nama si pemanggil dan ia pun mengernyit heran. Kemudian ia melihat jam di jam tangan warna biru kesukaannya. Waktu menunjukkan pukul 09.05, tidak biasanya Radit menghubunginya di hari dan jam sekolah.

Yara menekan tombol hijau, sehingga terdengarlah suara Radit dari seberang sana.

"Assalamu'alaikum Yar."

"Wa'alaikumssalam, tumben banget lo ngehubungin gue di jam segini dan di hari sekolah. Ada apa?" Tanya Yara to the point.

Terdengar helaan nafas dari sana. "Ada hal penting yang harus di bahas, makanya gue ngehubungin lo. Ini masalah paskib, gue berencana buat ngajak anak-anak nonton lomba LKBB. Itung-itung kita Q-Time sambil nambah wawasan. Menurut lo gimana?" Radit menjelaskan tujuannya menghubungi Yara pagi ini.

"Nonton lomba? Dimana? Gue sih mau-mau aja. Tapi kita harus izin dulu ke pembina paskib, biar gimana pun juga kan kita itu masih tanggung jawab nya pembina."

"Nanti gue cariin lomba terdekat, sabtu ini lo gue jemput di tempat biasa dan jangan telat. Biar sabtu ini kita bisa langsung bilang ke pembina soal wacana kita ini."

"Yaudah, oke."

"Belajar lu, jangan tidur aja kerjaannya. Lu kan udah kelas 12, bentar lagi UN trus lu juga harus nyiapin diri buat nyari PTN. Dan stop buat bersikap boros, gue tau itu duit lo pribadi. Tapi, apa harus lo ngabisin duit cuma buat beli pulpen doang?!" Radit memarahi Yara karena kebiasaannya yang tertidur pada saat jam pelajaran, juga hobi nya yang memang bisa dibilang mahal. Yara hobi sekali mengoleksi pulpen warna-warni, ia bahkan bisa menghabiskan uang ratusan ribu hanya untuk membeli pulpen-pulpen tersebut.

Yara memutar bola matanya dan bertopang dagu mendengar omelan Radit. "Iya bawel." Sambungan pun terputus karena Yara menekan tombol merah di layar smartphonenya.

Kesal karena omelan Radit, Yara menaruh smartphone tersebut dengan setengah membanting. "Bawel banget lah manusia itu, bosen gue di ceramahin dia mulu." Keluh Yara.

Radit memang kerap kali memarahi Yara mengenai hobi nya tersebut. Menurutnya, untuk apa menghabiskan uang ratusan ribu hanya untuk membeli pulpen. Dan mau di apakan pula pulpen sebanyak itu. Radit pernah menyita kartu ATM milik Yara, agar gadis itu tidak dapat membelanjakan uang nya untuk hobinya itu. Ia baru mengembalikan ATM tersebut pada saat uang hasil mereka mengajar paskibra di SMP turun. Mereka memang mendapat bayaran selama mereka mengajar paskib, dan uang itu di transfer ke rekening Yara. Maka dari itu, Radit menahan rekening Yara dan baru di kembalikan 3 bulan kemudian. Memang benar kartu ATM itu sudah kembali ke tangan Yara, namun Radit tidaklah sebodoh itu. Ia mengambil semua uang yang berada di rekening Yara, dan ia hanya memberikan selembar uang senilai seratus ribu rupiah kepada gadis itu. Sedangkan jumlah yang seharusnya di terima Yara adalah lima kali lipat dari uang yang di kasih Radit.

"Kenapa lagi sih Yar, masih pagi udah ngedumel aja." Aul menutup Al-Qur'annya.

"Biasa Ul, abis di omelin lagi dia sama si Radit. Berasa Radit itu suami lo ya Yar." Sesil terkikik mengingat betapa sering Radit memarahi Yara hanya karena hobinya yang boros itu.

"Oalah, yaudah sih biasa aja. Toh dia juga marahin lo demi kebaikan lo juga kan." Timpal Aul.

Jika dilihat-lihat, Radit dan Yara memang seperti sepasang kekasih. Terlebih, Radit yang bersikap overprotectif kepada Yara. Radit tidak suka melihat Yara dekat dengan cowo lain selain dirinya, termasuk Dika pun ia tak suka. Padahal Radit, Dika dan Vano adalah teman semasa SMP. Radit marah sekali pada saat ia tahu bahwa Vano menyakiti Yara. Saat itu, ia hampir saja mendatangi kediaman Vano dan menghajar Vano tanpa ampun. Namun Yara mencegahnya, ia tidak ingin ada perkelahian antara Radit dan Vano.

***

Bel pulang telah berbunyi sekitar 10 menit yang lalu. Hari ini merupakan jadwalnya ekskul Paskibra untuk latihan, Yara dan Aul baru saja selesai sholat Ashar. Mereka berdua bergegas ke ruang paskib untuk memantau jalannya latihan seperti biasa. Tadi, Aul memang sempat bercerita kepadanya bahwa hari ini ia tidak bisa pulang sesuai jam latihan paskib berakhir. Ia akan pulang lebih awal dan di jemput oleh abangnya. Bang Al, begitu panggil Aul. Yara pernah bertemu dengannya, dan itu pertama kalinya ia melihat Bang Al. Menurut Yara, Bang Al itu sosok abang yang sangat diidam-idamkan Yara. Bang Al begitu sayang kepada Aul, Yara yang memanglah anak tunggal terkadang merasa iri.

Yara yang baru saja keluar dari toilet melihat Aul berlari menuju pos piket guru, dari jauh Yara bisa melihat 2 orang lelaki berbadan tegap tengah berdiri menjulang di sana. Tunggu dulu, 2 orang lelaki? Bukan kah Aul cuma punya 1 kakak. Trus itu siapa deh? Mukanya asing, nggak pernah lihat. Batin Yara.

Yara berjalan ke arah pasukan yang tengah latihan, diam-diam Yara memperhatikan seseorang yang berdiri di samping Bang Al. Laki-laki itu mengenakan kemeja kotak-kotak dengan lengan digulung hingga siku, tingginya kira-kira 177cm. Masih lebih tinggi Bang Al ternyata pikir Yara, rambutnya hitam dan potongan rambutnya khas laki-laki pada umumnya. Kesan pertama Yara melihat laki-laki itu adalah cool, diam-diam Yara tersenyum melihat laki-laki itu.

Aul berlari kecil kearahnya, ia baru saja mengambil tas sekolahnya di ruang paskib. "Gue duluan ya Yar, udah di jemput soalnya. Assalamu'alaikum." Pamit Aul. Yara mengerjap seakan baru tersadar bahwa Aul tadi berpamitan kepadanya. "Wa'alaikumssalam." Jawab Yara.

Ia melihat Aul berjalan di dampingi Bang Al dan laki-laki itu berjalan di sisi kanan Al. Seakan tersihir oleh pesona laki-laki itu, Yara terus menatap kepergian mereka hingga punggung mereka tak terlihat lagi.