webnovel

Part 6

"Semua orang nyalahin gue, semua marah ke gue. Seolah-olah gue orang paling jahat di sini, hati gue sakit di giniin." Ujar seorang gadis dengan air mata berlinang.

"Lo nggak salah, ini emang udah jadi keputusan gue. Dan lo..."

"Keputusan lo itu salah, gara-gara lo ngambil keputusan itu, gue harus ngalamin ini semua. Gue di jauhin dari temen-temen gue karena mereka ngiranya gue udah ngambil lo dari dia." Potong gadis itu cepat.

"Hati gue sakit...sakit banget.." lirih gadis itu

"Lo tenang aja, gue bakal bales rasa sakit hati lo itu. Dan gue akan tetep milih lo, karena perasaan dan hati gue udah milih lo." Ucap seorang pria yang tengah bersama gadis itu dan berusaha menenangkan gadisnya yang tengah menangis, ia memeluk tubuh gadisnya dan mengusap lembut rambut gadis itu agar gadis itu tenang.

Liat aja Yar, gue bakal bales rasa sakit hati dia ke lo, dan gue bakal ilangin tuh senyum sok manis lo itu. Tekad pria itu sambil tersenyum licik.

***

"Lo udah sampe stasiun bang?" Yara bertanya kepada seseorang di seberang sana sambil berjalan dengan terburu-buru, sesekali melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Bentar lagi kereta gue sampe, lo udah di stasiun emang dut?" Jawab orang tersebut di sebrang sana.

Ya, saat ini Yara sedang berada di salah satu stasiun untuk menjemput temannya yang sedang pesiar itu. Yang saat ini tengah berkomunikasi melalui free call via Line.

"Stop panggil gue gendut, gue udah di stasiun nih. Kereta lo masih lama kah?"

"Aih bawel sekali kau ini lama-lama wkwkwkwk, bentar lagi kereta gue sampe. Lo tunggu di tempat biasa aja, nanti gue ke sana."

"Oke bang, jangan lama yaa."

"Iya gendut wkwkwk." Kemudian terdengar bunyi klik tanda berakhirnya sudah panggilan tersebut.

Sesuai perintah orang itu, Yara melangkahkan kakinya ke tempat biasa mereka bertemu. Sambil menunggu kedatangan temannya, Yara menunggunya sambil membuka aplikasi Instagram di smartphone nya dan tanpa sengaja ia melihat snapgram salah satu temannya yang merekam Vano dengan Gita tengah tertawa bahagia di depan kelas mereka. Ya, Vano dan Gita berada di kelas yang sama yaitu kelas XII IPS A. Hal itu membuat Yara geram, ia merasa sakit hati melihat snapgram itu.

"Apanya yang nggak ada apa-apa, dasar tukang nikung." Kesal lantaran snapgram itu, Yara memasukkan smartphone nya kedalam saku rok sekolah.

"Siapa yang tukang nikung?" Suara bariton seseorang mengagetkan Yara hingga ia refleks menoleh ke belakang.

Di sana, tampak seorang pemuda dengan seragam sekolah Pelayarannya tengah menenteng tas khusus pelayarannya juga. Pemuda itu tinggi dan berbadan atletis, ia juga memiliki wajah yang terbilang tampan. Lama sekali rasanya Yara tidak bertemu dengan sahabat laki-laki kesayangannya itu. Selain mereka sibuk di sekolahnya masing-masing, mereka juga terpisah karena jarak.

"Abaaangggg!!!!" Pekik Yara bahagia melihat orang yang ditunggunya datang juga, Yara berlari menghampiri pemuda tersebut dan pemuda itu merentangkan kedua tangannya bermaksud meminta Yara memeluknya.

Dipeluknya Yara sangat erat karena rasa rindu, dan Yara tak kalah erat memeluk pemuda itu dengan senyum tercetak jelas di wajah gadis itu. Setelah merasa cukup lama mereka berpelukan dan menjadi pusat perhatian, Yara melepaskan pelukannya. Senyum itu masih setia menghiasi wajah manisnya, dan lesung pipit itu. Lesung pipit itu lah yang membuat pemuda itu begitu merindukan sosok gadis di hadapannya ini.

"Siapa yang tadi lo bilang tukang tikung hm?" Tanya pemuda itu sambil mencubit gemas pipi chubby Yara.

"Sakiit ih gendut, lo pikir pipi gue apaan maen asal cubit aja." Yara mengusap kedua pipinya yang terasa panas akibat cubitan pemuda itu. "Nanti aja gue ceritain di jalan oke, gue kangen sama lo baangg. Lo sih jarang pulang kaya bang toyib." Ledek Yara kepada pemuda itu yang memang jarang pulang ke rumah karena ia harus tinggal di asrama.

"Yeh gendut, kan gue disana asrama. Yakali gue bisa cabut sesuka gue, gue juga kangen kok sama lo. Kuy balik, tar keburu makin sore." Ajak pemuda itu sambil merangkul bahu Yara berjalan untuk pulang.

***

BBBUUUGGGG

"Sialan tuh si Vano, berani-beraninya dia bikin lo sakit hati kaya gini!!!" Ujar pemuda berseragam pelayaran itu penuh emosi hingga ia meninju tembok di sebelahnya.

Nama pemuda itu adalah Dika, ia merupakan sahabat laki-laki kesayangan Yara yang bersekolah Pelayaran. Ia dan Yara bersahabat sejak mereka kelas 7 SMP, mereka memang tidak pernah sekelas bareng, namun mereka sangat akrab. Mereka juga memiliki beberapa kebiasaan yang sama. Seperti contohnya, setiap mereka marah, mereka sering kali melampiaskan amarah mereka kepada benda atau apapun itu yang berada di dekatnya. Entah itu menggebrak, menendang, bahkan meninjunya hanya untuk meluapkan segala kekesalan yang ada pada diri mereka masing-masing.

"Udah bang biarin aja, lagian gue juga udah nggak mau peduliin dia lagi." Yara menghela nafas lelah dengan permasalahan yang menimpanya saat ini.

Ia masih tidak menyangka mengapa tega sekali teman dekatnya mengkhianati dirinya. Padahal seinget Yara, ia tidak pernah berbuat jahat kepada Gita maupun Vano. Ia selalu bersikap baik kepada siapa pun, ia selalu bersikap ramah kepada semua orang, lantas mengapa Vano dan Gita tega mengkhianati dirinya.

"Nggak bisa. Gue nggak terima lo di sakitin kaya gini sama si Vano. Kurang ajar tuh orang, dengan dia yang nyakitin lo, itu sama aja dia ngibarin bendera perang sama gue."

"Eh gendut, udah siii biarin aja. Sabarin aja, karma lagi otw. Tar juga kalo si karma udah sampe, dia bakal ngerasain apa yang gue rasain bahkan bisa jadi lebih dari apa yang gue rasain saat ini bang." Yara berusaha menyibukkan diri dengan membaca novel yang ada di rumah Dika dengan maksud agar Dika berhenti untuk membahas soal Vano.

Ya, saat ini mereka sedang berada di rumahnya Dika. Pulang yang di maksud Dika pada saat di stasiun tadi adalah pulang ke rumahnya Dika, bukan pulang ke rumah masing-masing. Yara berusaha fokus terhadap novel yang di pegangnya saat ini, namun fikirannya masih saja setia kepada satu nama, yaitu Vano.

"Kasian banget tuh novel, cuma di pegang doang sama lo tapi nggak lo baca." Sindir Dika yang sedari tadi memperhatikan Yara, sekilas gadis itu terlihat seperti sedang membaca novel yang di pegangnya itu. Namun bila di perhatikan lagi, gadis itu hanya menatap kosong setiap huruf yang berjajar rapih di dalam novel itu.

Sadar bahwa Dika mengetahui ia tengah menatap kosong novel itu, maka ia menutup novel tersebut dan beralih menatap Dika.

"Sotau kan lo yeee, orang tadi gue beneran lagi baca novel ini." Yara mengangkat novel yang di pegangnya tadi untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar membaca novel itu.

"Ck..masih ae lo boong sama gue dut. Gue kenal lo itu udah lama, gue tau apa aja kebiasaan lo, dan salah satu kebiasaan lo itu kalo lo udah fokus sama novel lo, mau itu ada ujan badai, gempa bumi, tsunami sekalipun lo bakal tetep sama novel lo. Sedangkan sekarang? Lo cuma natap kosong tuh novel, dan ekspresi lo itu ekspresi orang yang lagi ngelamun. Trus juga di jidat lo yang jenong itu, tertulis jelas 'MASALAH' makanya gue tau lo lagi nggak fokus sama tuh novel. Gausah sok bego-begoin gue deh, sampe kapan pun lo nggak bakal bisa bego-begoin gue." Jelas Dika panjang kali lebar kali tinggi.

Mendengar penuturan Dika barusan, Yara sadar. Bahwa ia memang tidak akan pernah bisa berbohong kepada Dika. Entah bagaimana pun caranya, Dika selalu tau kalau dirinya tengah berbohong.

"Lo pasti masih mikirin si Vano kan." Tebak Dika 100% benar.

Yara hanya menghela nafasnya tanda ia benar-benar lelah dengan masalah ini.

"Dasar kang boong, tadi bilangnya sama gue lo udah bodo amat sama dia. Tapi apa buktinya, sekarang aja lo masih mikirin dia kan."

"Gue cuma lagi mikir aja, kenapa Vano sampe setega itu sih sama gue. Salah gue apa coba?" Jelas Yara kepada Dika.

Melihat sahabatnya seperti ini, hati Dika ikut sedih. Ia pun seperti merasakan apa yang dirasakan Yara saat ini. Ia berdoa dalam hati agar Vano segera di datangkan oleh karma yang katanya Yara lagi otw itu, dan ia berharap bahwa karma itu mampu membuat Vano merasakan hal yang lebih sakit dibandingkan yang Yara rasakan.

"Udah stop mikirin si bodoh itu, mending ikut gue." Dika mengambil jaketnya untuk menutupi seragam pelayaran yang sampai sekarang masih melekat di tubuh atletisnya.

"Kemana?"

"Kita ke kedai eskrim kesukaan lo."

Mendengar itu, senyum manis terukir indah di wajah Yara. "Eskrim yeeeyyyy, ayo bang kita pergi." Ujar Yara penuh semangat sambil mengamit lengan Dika.

Dika tertawa kecil melihat tingkah laku sahabat kesayangannya itu, dan ia ikut merasa senang karena melihat Yara tersenyum lagi.