webnovel

Diego & Irene

Aku hanya seorang gadis malang. Hidupku itu sangat keras, dan semua itu dimulai saat aku diculik oleh penjahat. Mereka membawaku ke New York dan aku tiba-tiba terbangun dengan keadaan sudah berada di negara gemerlap itu, tepatnya disebuah klub. Ternyata aku dijadikan budak, seorang wanita pemuas nafsu, alias jalang. Mereka menjual tubuhku. Aku sangat menderita, terutama saat malam itu. Dimana seorang pria berhasil menjamah tubuhku dan mengambil keperawananku.

Nainaa · 青春言情
分數不夠
81 Chs

Chapter 32 : Lure The Devil

At ALVAROS Mansion. NY - USA | 07:00 AM.

Irene mengerjapkan matanya. Mengucek mata dan tangannya yang lain meraba ranjang disebelahnya. Kosong. Irene membuka mata lalu terduduk, menatap tempat tidur disebelahnya yang masih rapi. Ternyata Diego tidak tidur bersamanya. Wait.... Irene bahkan tidak tau apakah Diego pulang atau tidak. Tapi, biasanya dimalam hari Diego selalu menemaninya tidur atau sekedar menemuinya. Aish, memikirkan lelaki itu membuat kepala Irene pusing. Karena itu Irene lebih memilih untuk bangkit dan berjalan ke kamar mandi.

Lima belas menit kemudian Irene baru selesai, ia mengenakan kimono mandi berwarna putih begitu keluar dari kamar mandi. Rambut panjangnya yang basah dililit dengan handuk kecil, membuat bahunya yang jenjang terekspos bebas dan Irene yang berinisiatif jika seseorang tiba-tiba masuk kedalam kamar ini ia segera melepaskan handuk dikepalanya--menutupi lehernya yang dipenuhi tanda-tanda merah. Ck, Menyebalkan! Bisa-bisanya Diego melakukan ini--Irene pasti malu jika terlihat oleh orang-orang. Huh, lebih baik dia segera memakai bajunya, Irene pun berniat masuk ke walk on closet ketika sebuah suara di dekat jendela membuatnya menoleh.

"Boom!"

"Oh, Jesus!" Kali ini Irene benar-benar terkejut, saking terkejutnya dia bahkan sampai menjatuhkan handuk kecil yang sedang dia pegang.

Bagaimana tidak?

Dia terkejut. Sangat terkejut.

Nyatanya Irene tidak akan bisa menghindari sosok pria yang begitu dia cintai bertahun-tahun lalu. Karena begitu dia membalikkan badannya, Alva sudah ada dibelakangnya, berdiri, bahkan sekarang mata biru Alva malah menatap Irene dengan pandangan gelinya.

"Wah, jadi Irene-ku habis mandi ya?" tanya Alva sembari melangkah ke arahnya.

"Alvaro....." ucap Irene tidak percaya. Matanya membulat--dia benar-benar shock. Irene menatap tubuh lelaki yang ada didepannya. Wajahnya, lehernya, lengannya--tidak ada tato. Oh God! Itu berarti.... Dia benar-benar Alva?

Irene menggeleng panik. Susah mempercayai jika Alvaro Samuel sudah ada di depannya, berdiri, menatapnya dengan pandangan geli sebelum menelan ludah begitu pandangannya turun ke kaki telanjangnya. Wait..... Apa?!

Glek! Irene ikut menelan ludahnya. Terlebih gerakan Alva membuat Irene hanya bisa mundur perlahan sebelum dinding di belakangnya membuat gerakannya tertahan. Dia benar-benar terpojok. Di saat yang sama Alva malah mendekatkan tubuh mereka dan makin sengaja mengurungnya di dinding menggunakan lengannya.

Irene langsung panik, dia bahkan nyaris tidak bernapas ketika Alva mulai mendekatkan wajah mereka. Saat ini kedua hidung mereka juga hanya dipisahkan jarak beberapa senti saja. Posisi seperti ini benar-benar membuat Irene langsung membeku. Terlebih ketika mata coklatnya malah bertatapan dengan mata biru Alva yang kini menatapnya dengan binar yang dia rindukan. Binar yang seharusnya tidak dia lihat karena itu hanya akan membuatnya jatuh berkali-kali.

"Sayang... akhirnya kita bertemu." bisik Alva tepat ditelinganya.

Bisikan Alva itu untungnya membuat perhatian Irene pada mata lelaki itu bisa teralihkan, membuatnya lebih memilih memfokuskan perhatiannya pada bisikan Alva berikutnya.

Tapi sayang, pengalihan itu ternyata tidak membantu banyak. Karena ucapan Alva selanjutnya malah membuat napas Irene tertahan.

"Jika demi dirimu... Aku rela merasakan panas untuk menghapus tatoku. Hanya demi dirimu." bisik Alva.

Irene mememjamkan matanya mendengar kalimat Alva yang begitu dekat, dalam, berat--seakan memperingati Irene akan kerinduannya yang besar.

"Lepaskan aku! Pergi!" pekik Irene panik.

"Itu perintah?" Alva malah balik bertanya dan merapatkan tubuh mereka.

Irene makin panik. Terlebih ketika helaan napas Alva dilehernya membuatnya merinding. Kehadiran Alva dikamarnya sama sekali tidak pernah dia bayangkan.

"Alvaro Samuel! Please...." cicit Irene. Oh God! Dia ingin lepas!

"Kenapa? Kau tidak mau bertemu dengan kekasihmu?" bisik Alva kembali.

Jantung Irene berpacu cepat. Oh, ayolah... Apa yang lelaki katakan? Kekasih? Kekasih macam apa yang tega meninggalkannya sendiri disaat ia yakin jika lelaki itu satu-satunya orang yang dia cintai? Kekasih macam apa yang dulu pernah memutuskan hubungan mereka disaat Irene begitu mencintainya? Kekasih macam apa?!

"Aku bukan kekasihmu!" ucap Irene sembari mendorong tubuh Alva.

"Lalu kau kekasih siapa? Si Diego yang bodoh itu?"

Bukannya lepas, dorongan Irene tadi malah membuat Alva semakin merapatkan tubuh mereka. Alva bahkan makin berani, melihat sekarang saja mantan kekasihnya ini sudah mengecup lehernya. Irene mengerang. Oh tidak... Ini tidak benar...

"Alva..."

"That's right... Alva... Namaku Alva. Waktu tiga tahun tidak akan membuatmu melupakanku ya kan?" ucap Alva dengan erangan yang sama. Irene tidak menjawab. Bibir Alva sudah naik ke rahangnya, mengecupnya, sementara jemari Alva sudah berada di belakang kepalanya, mendorong agar wajah mereka mendekat. Irene kembali memberontak--dan gagal. Tangan Alva beralih memeluk tubuhnya erat, terasa sangat dominan. Irene benar-benar berbeda dengan Alvaro Samuel yang dulu dia kenal.

"Jangan pergi dariku lagi, Irene. Aku masih mencintaimu, sangat." Alva berkata dengan nada rendah. "Kau milikku. Hanya milikku." tekan Alva dengan kilat dimatanya.

Seketika segalanya menjadi terlalu intens. Alva memangut bibir Irene. Terlalu keras. Terlalu menggoda. Ciuman Alva begitu memabukkan--menghilangkan kewarasannya pelan-pelan. Irene bahkan tidak sadar kapan Alva mengangkat tubuhnya, menggendongnya, membaringkan dirinya di ranjang besarnya. Irene ingin menangis--ternyata lelaki ini masih mencintainya. Meski hatinya sudah sepenuhnya untuk Diego, Irene masih terlalu merindukan Alva. Irene menutup mata. Alva mencumbunya, membelai tubuhnya--mulai menurunkan kimono mandinya.

Lalu ciuman dan sentuhan Alva mendadak lenyap. Irene merasa kehilangan. Tapi setelah itu bunyi gedebum terdengar. Irene membuka mata--langsung duduk sementara satu tangannya menutup mulutnya, terkejut.

Diego ternyata sudah ada dikamarnya. Dia menarik Alva kasar--menghajar Alva tanpa ampun, menghantamnya keras sampai wajah Alva mencium dinginnya lantai.

"Astaga, Diego! Hentikan!"

Diego tidak peduli. Amarah menguasai dirinya, menjalar ke seluruh pembuluh darah. Darahnya seakan mendidih. Bahkan mata birunya sudah berkilat menyeramkan. Diego menarik Alva berdiri, menyodok perutnya dengan kakinya--sangat keras hingga Alva terbatuk. Irene bergegas turun dari kasur, hendak menolong Alva ketika....

Dug!

"Irene!"

Satu bogeman mentah yang dilayangkan Diego untuk Alva malah mengenai wajah Irene. Irene langsung tumbang, dia terjatuh ke lantai sementara tangannya memegangi wajahnya, meringis. Sakit. Panas. Nyeri. Diego memukulnya.

Lalu tanpa bisa ia tahan, kepala Irene langsung berkunang-kunang. Matanya buram, dan berakhir dengan kegelapan dimatanya--semuanya menjadi gelap, Irene pingsan.

Satu jam kemudian.

"Fuck!"

Alva mengumpat kesal. Tangannya dicekal keras oleh Diego Alvaro dari belakang. Si bodoh itu dengan beraninya menyeret tubuhnya dengan cara seperti ini, dicekal dengan kepalanya yang dibuat tunduk kebawah berkali-kali. Kurang ngajar. Diego Alvaro benar-benar ingin ia habis.

Sementara Diego malah menyeriangi senang, dia puas menekan kepala Alva ke bawah--mirip seperti buronan yang tertangkap polisi. Dia membawa Alva menuju ruangan yang biasa ia gunakan untuk mengevakuasi korbannya yang berada di bawah tanah--tempat rahasia.

"Sialan kau, Diego! Lepas!" Alva memberontak.

"Diam!"

Hanya satu kata, dan Diego memukul kepala belakang Alva--merasa muak, cukup membuat lelaki itu tak sadarkan diri. Lalu tubuh Alva yang terkapar di lantai langsung diambil alih oleh Lucas yang entah sejak kapan sudah ada di belakang Diego.

"Bawa dia ke tempat seharusnya. Urus dia sampai aku datang." ucap Diego dingin, sedingin matanya yang menatap Alva.

"Baik, Sir...." ucap Lucas.

Diego mengepalkan tangan, berbalik, lalu mengambil napas dalam-dalam, berusaha menahan sisi iblisnya yang hendak keluar. Lancang! Apa yang dilakukan Irene tadi benar-benar membuat Diego marah. Diego bisa saja mengampuni Irene jika wanita itu tidak menginginkan hal yang sama. Karena Diego melihat Irene yang hanya diam saat si bajingan Alva itu menciumnya, bahkan dia tidak memberontak ketika Alva hampir saja melepaskan kimononya! Brengsek! Si cantik itu.... Diego benar-benar ingin menghukumnya!

"Christian!" panggilan Diego yang menggema membuat Christian yang berdiri beberapa meter darinya langsung berlari.

Christian berlari cepat menghampiri Diego, lalu menunduk, tidak berani menatap lawan bicaranya yang kini sudah memasang ekspresi membunuhnya.

"Iya, Tuan?"

"Kosongkan jadwalku tiga hari kedepan, aku ada urusan penting dengan Irene." ucap Diego kelewat dingin. Sontak itu membuat Christian meneguk ludahnya. Seriously? Walaupun ini sudah terjadi, Diego masih ingin menghukum Irene?

Christian mengangguk, sementara dalam hatinya ia berdoa. Semoga Diego dan kemarahannya itu tidak membuat Irene mengalami hal yang buruk. Semoga saja.

To be continued.