webnovel

Raibnya Jarum Emas

Pak Titu, seorang pengusaha besar, meninggal dunia. Selain warisan berupa beberapa rumah mewah dan perusahaan Pak Titu juga mewariskan koleksi unik, yaitu jarum-jarum jahit yang terbuat dari emas dan platina. Entahlah, mengapa Pak Titu suka mengoleksi jarum. Konon ceritanya, kegemaran itu sudah dilakukan sejak masih remaja. Mungkinkah saat usia bocah jarinya tertusuk jarum sehingga sangat terkesan? Tak ada yang tahu sejarahnya. Tapi keluarganya mencatat, sejak usahanya berkembang dan makin maju dia mulai mengoleksi jarum emas dan platina. Benda-benda runcing itu dipesan kepada ahli emas. Jelas, selain hobi yang unik juga koleksi yang sangat mahal. Masalahnya kini, di mana jarum-jarum itu berada? Sebab jarum-jarum itu hilang tanpa jejak, sehingga anak dan istrinya timbul sikap saling curiga.

Karena jarum-jarum itu tidak kunjung ditemukan maka Nyonya Blip, istri Pak Titu, menghubungi Mayor Dud. Dia minta tolong agar Mayor Dud melacak keberadaan jarum-jarum itu. "Bukan harga emas dan platinanya yang kami ributkan tetapi kami ingin peninggalan almarhum bisa kami rawat dengan baik!" kata Nyonya Blip, saat konsultasi di Pos Topi Merah. "Kami juga tidak ingin anggota keluarga saling menuduh!"

"Apakah gigi Pak Titu yang terbuat dari emas dan platina juga hilang, Bu?" tanya Mayor Dud.

"Saya mencari jarum, bukan gigi!" seru Nyonya Blip sewot, tersinggung dengan pertanyaan itu.

"Maaf, Bu! Siapa tahu pencuri yang mengambil jarum emas dan platina itu juga mengincar gigi emas atau platina!" terang Mayor Dud. "Ada lho pencuri yang mengincar gigi-gigi mahal seperti itu!"

Setelah reda marahnya, Nyonya Blip menerangkan jika gigi suaminya asli. "Meskipun beberapa geraham suami saya ompong, tapi suami saya tidak mau memakai gigi palsu!"

"Baiklah, jika begitu kami perlu datang ke rumah ibu untuk mendapat petunjuk yang berarti!"

"Baiklah, Mayor! Oya, bila nanti datang ke rumah saya minta disuguh minuman apa?"

"Juice jengkol saja, Bu, jika ada!" jawab Mayor Dud.

Nyonya Blip tertawa terbahak-bahak. "Ha, juice jengkol? Saya tidak salah dengar? Cemilannya apa?" tanya Nyonya Blip sambil mencatat, wah, rezeki nomplok buat Mayor Dud.

"Ah, sediakan pete goreng saja, Bu!" kata Mayor Dud. Snot dan Vista yang menguping pembicaraan itu tertawa cekikikan.

"O, ternyata selera Mayor sama dengan selera saya!" kata Nyonya Blip senang. Tetapi bisa jadi kata-kata Nyonya Blip itu hanya sekadar basa-basi saja. Biar Mayor Dud tidak tersinggung "Saya tunggu segera, lho, ya! Akan saya pesankan ayam panggang juga, asal jarum itu segera ketemu!"

"Sore ini saya akan datang. Saya menunggu teman, kebetulan baru les bermain yoyo!" kata Mayor Dud. Tak tahulah siapa yang dimaksud dengan orang yang sedang les bermain yoyo.

Mata Nyonya Blip terbelalak. "Les bermain yoyo? Aneh sekali orang-orang Topi Merah!" Mayor Dud tertawa.

Sorenya, Mayor Dud mengajak Snot mengujungi rumah Nyonya Blip. Rumah mewah itu berada di Galur Sari, Utan Kayu. Rumah-rumah besar yang kesepian karena berpagar tinggi dan banyak anjing. "Apakah Nyonya Blip ada?" tanya Mayor Dud ketika sampai di depan pintu pagar.

"Anda siapa?" tanya perempuan yang berada di depan rumah. Tetapi dia tidak segera membukakan pintu pagar. Tampaknya pembatu Nyonya Blip. Usainya sekitar empatpuluhan tahun dan berbadan kurus.

Karena belum juga dibukakan pintu pagar maka Snot berkata, "Katakan saja kepada Nyonya Blip bila tamu yang pesan juice jengkol dan pete goreng sudah datang!" Pembantu itu masuk ke dalam, tidak lama kemudian kembali bersama perempuan muda yang berbadan gemuk.

"Mayor Dud, ya, silakan masuk!" kata si gemuk yang ternyata anak kedua Nyonya Blip. "Saya sudah diberitahu Mami bila akan ada detektif ke sini!"

"Ya betul. Nyonya Blip sudah menceritakan tentang jarum-jarum almarhum yang raib!" kata Mayor Dud. Mereka dipersilakan duduk di teras. "Oya, nama Anda siapa? Maaf, ada beberapa pertanyaan yang harus saya ajukan kepada Anda!"

"Nama saya Cri karena sewaktu masih kecil saya cengeng sekali!" jawab si muda yang gemuk.

"Jadi bukan Sri?" tanya Mayor Dud.

"Bukan! Bukan Sri tetapi Cri. Berbeda dong tulisan Sri dan Cri. Yang satu pakai hurup 's' dan satunya pakai hurup 'c'. Coba ucapkankan kata cepluk. Nah seperti itulah yang benar!" kata Cri. "Tentu saja dengan senang hati saya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda!"

"Kapan terakhir kali Anda melihat jarum-jarum itu?" tanya Mayor Dud.

"Beberapa bulan sebelum Papi sakit. Kalau tidak salah lima bulan sebelum sakit Papi menunjukkan koleksi terbarunya. Saya senang menghitung jumlah koleksi jarum-jarum Papi. Malah saya sempat usul agar Papi juga mengoleksi jarum suntik, tapi ditolak. Papi sangat bangga dengan jarum-jarumnya!"

"Jadi Anda tahu jarum-jarum itu ditaruh di mana?"

"Di peti kayu cendana yang berlapis beludru hijau, ya, dari dulu tempat itu yang dipakai Papi!" jawab Cri. Saat itu Nyonya Blip ikut bergabung dengan mereka. Tetapi hanya mendengarkan saja pembicaraan yang terjadi.

"Lalu peti cendana itu sekarang ada di mana?"

"Ada! Ketika Papi meninggal peti itu terkunci rapat. Tetapi setelah kami buka ternyata sudah tidak ada isinya!'

"Apakah ada yang memegang anak kunci peti itu selain almarhum?"

"Tidak ada! Setahu saya hanya Papi yang memegang anak kunci. Kami, maksud saya Mami dan anak-anaknya, tidak pernah mengganggunya!"

"Apakah selain keluarga inti ada yang tahu tentang hobi Pak Titu?"

"Maksud Anda?"

"Misalnya orang lain, termasuk pembantu yang ada di rumah ini!"

Si gendut diam sejenak, melirik sebentara kepada pembantunya. "Keluarga besar kami, termasuk pembantu, tahu semua. Karena mereka sudah kami anggap keluarga sendiri!"

Mayor Dud lalu berpaling kepada pembantu itu. "Sudah berapa lama Ibu bekerja di sini?"

"Dua puluh lima tahun, Pak!"

"Jadi, juga tahu kalau Pak Titu punya jarum-jarum emas dan platina?"

Sang pembantu menjawab, "Tentu saja, karena saya juga sering diminta membersihkan kotak itu. Hanya melap bagian luarnya saja agar debunya hilang. Saya juga pernah diperlihatkan jarum itu. Memang beliau akrab dengan siapa saja!"

"Siapa yang sering keluar masuk kamar?"

"Selain saya juga Mami!" jawab pembantu itu.

"Oke, pertanyaannya sekian dulu!" kata Mayor Dud. Lalu mereka minta izin untuk masuk ke ruang pribadi Pak Titu. Dengan diantar si gendut dan Nyonya Blip mereka masuk ke kamar pribadi itu. Bukan main, luas sekali ruangnya! Bukan hanya tempat tidur tetapi juga ada perpustakaan dan semacam laboratorium kecil. Laboratorium kecil? Ya karena mereka melihat ada bermacam gelas ukur dan spiritus.

"Benda-benda almarhum sengaja kami biarkan apa adanya!" kata Nyonya Blip. "Ini kotak tempat jarum itu dan ini kuncinya. Saat sakit Papi sempat menunjukkan koleksinya. Tepatnya empat bulan setelah jatuh sakit. Tiga bulan berikutnya Papi memberikan kunci itu kepada saya. Selama Papi dirawat di rumah sakit dan akhirnya berpulang, saya yang memegang kuncinya. Tapi sekalipun saya belum pernah membukanya. E, begitu kami buka ternyata kosong!"

Snot memperhatikan kotak kayu cendana itu. Memegang dan mendekatkan peti itu ke hidungnya. Tercium harum khas kayu cendana. Mayor Dud tertawa melihat tingkahnya yang mirip si guk-guk yang sedang mengendus sesuatu. Snot meraba slot kunci dan dudukan kuncinya. Masih sangat rapi. Tidak ada tanda-tanda kerusakan. Jadi tidak pernah dibuka paksa. Tampaknya tidak perah ada yang mencoba mengambilnya diam-diam. Kecuali si pencuri memakai kunci duplikat.

"Mungkin almarhum memberikan kepada salah satu anak?" tanya Mayor Dud.

"Tidak, kalau memberi sesuatu kepada anak Papi selalu cerita kepada saya. Kami selalu terbuka. Demikian anak-anak kami. Jika diberikan kepada anak tentu kami tidak repot-repot membuat juice jengkol dan keripik pete!"

Mayor Dud manggut-manngut sambil tertawa, kepalanya pening. Snot mendekati Nyonya Blip dan berkata, "Maaf, Nyonya. Apakah saya boleh membuka lemari-lemari meja laboratorium itu?"

"Boleh saja. Tetapi hati-hati jangan sampai ada yang pecah. Kami ingin membuat ruang ini sebagai musium agar Papi selalu dikenang oleh anak cucu dan karyawan kami!" kata Nyonya Blip.

Snot membuka rak kaca gelap. Dilihatnya ada beberapa bejana dan baskom plastik. Ada botol besar berisi cuka. Ada bungkusan plastik hitam. Diraba dan dibukanya. Saat itu tercium bau telur busuk. Mereka pun segera menutup hidung. "Yang ini pasti tidak pantas untuk museum, Bu!" canda Snot.

"Ya Allah, biar disingkirkan itu!" kata Nyonya Blip sambil tertawa dan menutup hidungnya besar.

"Mengapa ada telur di ruang ini?" tanya Snot.

"Oya, Papi senang menggambar di telur. Malah bukan hanya telur bebek tapi juga telur angsa dan kasuari. Hanya saja telur-telur koleksinya itu telah diberikan kepada anak-anak yatim piatu. Malah diberikan oleh Papi sendiri!" kata Nyonya Blip. "Hanya beberapa saja yang tersisa! Itu di dalam buffet!"

Snot dan Mayor Dud melihat buffet dan mendekatinya. Ada tiga telur angsa dan dua telur kasuari dengan lukisan yang sangat indah. "Papi memang jago melukis. Beberapa tahun sebelum wafat Papi menekuni lukis telur! Malah sempat kursus melukis di Berlin, Jerman!" kata Cri.

Mayor Dud dan Snot berada di rumah besar itu selama beberapa. Tetapi mereka tidak mendapatkan sebuah petunjuk pun untuk melacak keberadaan jarum-jarum itu. Meskipun demikian Mayor Dud sudah mendapat makanan pavoritnya. Sesampai di Pos Topi Merah Mayor Dud berkata, "Tampaknya saya mesti menanyai setiap toko emas yang ada di daerah ini. Siapa tahu ada yang menjual jarum-jarum itu!"

"Mana mungkin keluarga Pak Titu menjualnya? Pasti gengsi!" sergah Vista.

"Maksud saya bukan keluarganya!"

"Jadi mencurigai pembantunya?" tanya Snot.

"Saya tidak ngomomg begitu! Saya hanya ingin memastikan apakah ada toko emas yang membeli benda-benda itu!"

"Juga tanyakan kepada semua tukang emas di pinggir-pinggir jalan. Mereka, katanya, sering menadah emas hasil curian! Kalaupun mereka membeli jarum-jarum itu saya rasa mereka lebih suka tutup mulut!" kata Vista.

"Itulah kesulitan kita!" kata Mayor Dud. Keesokan harinya Mayor Dud keliling dari toko emas dan tukang emas pinggir jalan. Sendirian, karena Snot dan Vista sekolah. Sorenya Mayor Dud memberi tahu kepada Snot dan Vista bila usahanya itu sia-sia. "Malah mereka heran tentang jarum emas. Karena selama ini orang memesan atau membeli perhiasan. Paling banter juga memesan peniti untuk kancing baju. Terutama baju-baju tradisional semacam kebaya. Tapi yang memesan peniti emas sebatas orang kaya-raya!" Lha iyalah soalnya harga emas sangat mahal.

Berkali-kali Nyonya Blip menelepon Mayor Dud. Tentu saja si kumis delapan itu bingung mesti bilang apa. Tapi kalau teka-teki jarum emas ini tidak segera terkuak di mana dia akan menaruh muka. Sebagai mantan polisi bagian reserse dan pendiri biro detektif swasta bernama Topi Merah.

"Bukankah di rumah Nyonya Blip ada satpam?" kata Vista.

"Apa maksudmu?" tanya Snot. "Tetapi saat kami ke sana tidak ada satpamnya!"

"Kalau begity tanyakan saja siapa-siapa yang datang ke rumah itu selain keluargnya!" kata Vista.

Snot pun menelepon rumah Nyonya Blip da diterima Tante Cri. Snot menanyakan apakah ada buku yang mencatat tamu-tamu yang datang ke rumah itu. Tante Cri berkata, "Dulu ada satpam berjaga di rumah ini. Tetapi setelah Papi meninggal satpam itu kami tugaskan di kantor!"

"Tante Cri, apakah kami bisa meminjam buku tamu itu?" pinta Snot. "Juga tolong panggil satpam yang bertugas di rumah dulu!"

"Baiklah detektif cilikku!"

Lalu Snot segera menghubungi Mayor Dud yang baru menyepi karena pusing. Paling-paling juga sambil memborong es krim. "Om, kita ke rumah Tante Cri lagi. Kita korek keterangan satpam dan buku tamunya!"

Mereka pergi ke rumah Nyonya Bip dan meminjam buku tamu. Rumah orang sekelas "Banyak, sih, yang datang ke sini. Selain famili juga teman-teman bisnis!" ujar satpam sambil mengambil buku tamu yang sudah disimpan. Mayor Dud dan Snot memperhatikan catatan-catatan tentang siapa saja yang datang ke rumah itu. "Kami catat semua. Tidak ada yang terlewatkan!"

Cukup lama Snot dan Mayor Dud mencari sesuatu yang bisa memberi petunjuk. Snot terpaku pada rombongan tamu yang ternyata anak-anak panti asuhan "Sempat ada anak-anak panti asuhan ke sini?"

"Ya, itu permintaan Pak Titu! Mereka mengadakan pengajian di sini!" jawab satpam.

Snot termangu. "Apakah ada yang masuk ke ruang Pak Titu tidak?"

Satpam tercenung sejenak. "Tidak mungkinlah. Mereka mengadakan pengajian di ruang tamu!"

"Apa ada yang aneh saat mereka keluar dari rumah ini?" tanya Mayor Dud.

"Ah biasa-biasa saja. Kalaupun bercanda itu biasa saja namanya juga anak-anak. Bahkan mereka mendapat bingkisan makanan dan uang saku!" jawab satpam. "O ya, saya ingat. Anak-anak itu juga mendapat hadiah khusus dari Pak Titu. Telur-telur yang sudah dilukis! Malah ada yang membawa telur besar sekali!"

"Telur kasuari!" sambung Snot. "Apa tidak khawatir pecah dan tidak sayang dengan lukisannya!"

"Kalaupun jatuh juga tidak apa-apa. Karena telur itu sudah matang dan sudah diawetkan oleh Pak Titu sendiri!" jawab satpam. Hari itu mereka juga belum mendapat petunjuk. Hanya mendapat cerita bila anak-anak panti asuhan mendapat telur istimewa.

Sampai di Pos Topi Merah, Snot ditunggu Mama Snot yang hendak menyuruhnya pergi ke tukang jamu untuk membeli suatu bumbu masak. "Untuk masak apa sih, Ma?"

"Sop gajah!" jawab ibunya sambil tertawa.

"Namanya apa, Ma?"

"Angkak! Itu lho yang biasa untuk memoles bebek panggang di restoran china!" jawab Mama Snot. Snot meluncur dengan sepeda mininya. Bersiul-siul menuju tukang jamu di dekat Puskesmas Brombek.

"Beli angkak, pak!" seru Snot. Saat pedagang jamu sibuk mencari pesanannya Snot memandang sekeiling. Banyak botol-botol berjajar yang berisi jamu. Mata Snot tertuju pada sebuah panci kecil yang di daamnya ada telur yang terendam air. Anehnya, cangkang telur itu lembek. "Kok kulit telurnya kelihatan lunak, pak? Tidak seperti telur biasa!"

Pedagang jamu menawab, "Itu gara-gara direndam air cuka!"

"Untuk jamu juga, ya?"

"Tentu saja! Masa saya harus repot seperti itu jika hanya akan membuat telur mata kucing!" kata pedagang jamu itu sambil tertawa. Snot tertawa mendapat jawaban itu. Setelah mendapat angkak dan membayarnya Snot pun meninggalkan kios jamu. Di jalan dia masih penasaran dengan cangkang telur yang lunak itu. Belum cukup jauh Snot balik lagi ke tukang jamu dan bertanya, "Maaf, pak! Apakah cangkang telur itu akan empuk terus?"

Tukang jamu yang bermata sipit menjawab dengan ramah, "Tidak! Bila telur itu dicuci dengan air maka kulitnya akan mengeras lagi. Jadi hanya saat di rendam cuka saja telur itu empuk! Kamu tahu telur 'nggeburi' tidak?" Snot menggeleng. "Telur nggemburi adalah telur yang belum saatnya keluar tapi keburu keluar sehingga cangkangnya empuk. Bila kamu memelihara ayam atau itik akan tahu itu! Bisa juga terjadi karena ayam atau bebek itu kurang makan zat kapur!"

Lucu, ya? Up, tapi bukan itu yang ditangkap otak Snot. Begitu sampai rumah diteriakinya Vista. "Vista, ayo membuat percobaan! Mama, kita punya telur nggak?" teriak Snot

"Ada telur asin!" seru Mama Snot.

"Masksud saya telur mentah, Ma!" seru Snot. "Apakah Mama juga punya cuka?"

Vista bersungut-sungut. "Jangan ganggu Mama yang sedang memasak kesukaanku! Bukankah yang enak dibuat acar itu ketimun? Bukan telur metah?"

"Ya sudah kalau begitu. Biar saya cari telur dan cuka sendiri!" Snot diam-diam pergi ke warung Mak Yo. Snot lalu membawa panci kecil. Telur diletakkan di panci lalu dituang cuka sampai terendam. Beberapa jam kemudian cangkang telur itu tampak melunak seperti plastik.

"Lucu, ya?" seru Vista yang tiba-tiba muncul.

"Ambil jarum, Vis!" seru Snot tidak sabar. Dadanya bergemuruh menahan kegembiraan.

"Kamu bisanya perintah terus. Bukankah bu guru tidak hanya mengajarkan kalimat perintah, ha?" Toh, Vista jalan juga mengambil jarum. Oleh Snot jarum itu ditusukkan ke telur lembek dan didorong sampai betul-betul masuk. Hanya putih telurnya yang sedikit keluar. Setelah itu cuka dibuang diganti air. Mereka melihat kulit telur itu lama-lama mengeras lagi.

"Ini dia rahasianya!" seru Snot sambil melompat kegirangan. Vista melongo melihat kelakuannya. Tampaknya Snot perlu dipanggilkan tim pemburu hantu! Snot bergegas menghubungi Mayor Dud. "Ketemu, Om!" teriaknya girang. Lalu Snot minta tolong Mama Snot merebus telur itu.

"Apanya yang ketemu?" tanya Mayor Dud ketika bertemu Snot.

"Coba makan telur ini!" kata Snot.

Vista berterirak-teriak, "Jangan ada jarumnya! Snot kenapa kamu kok jadi jahat begitu sih?"

Snot tertawa. "Hanya bercanda!"

"Sini saya makannya!" seru Mayor Dud.

Tapi oleh Snot telur itu buru-buru dipecahnya. "Lihat! Inilah teka-teki jarum Pak Titu!"

"Mengapa bisa ada jarum di telur ini?" tanya Mayor Dud sangat keheranan.

"Aduh, Om kami yang kutu buku. Mungkin saat baca buku ilmu yang ini dilewati begitu saja. Atau ilmu ini hanya ada di tukang jamu saja?" kata Snot. Bertiga mereka pergi ke rumah Nyonya Blip untuk menanyakan dari yayasan manakah anak-anak yatim piatu yang telah menerima telur dari Pak Titu.

Nyonya Blip berkata, "Mereka dari Yayasan Darul Janah! Kami donator tetapp yayasan yatim piatu itu!" Mayor Dud mengutarakan bahwa kemungkinan besar jarum-jarum itu ada di telur tersebut. "Apa? Di dalam telur-telur itu?" seru Nyonya Blip tidak percaya. "Mana mungkin, suami saya bukan tukang santet!"

"Ini tidak ada hubungannya dengan takhayul, Bu! Tapi dengan cuka!" kata Snot. Nyonya Blip segera menelepon yayasan tersebut. Untunglah telur-telur yang diberikan kepada anak-anak itu masih utuh karena mereka menyimpannya sebagai kenang-kenangan dan tidak berniat memecahnya. Mereka pergi ke yayasan itu dan semua telur lukis dikumpulkan. Tapi Nyonya Blip belum percaya.

"Mana yang boleh kami pecah, Bu?" tanya Mayor Dud kepada Nyonya Blip.

Sejenak Nyonya Blip memandangi telur-telur itu. Susah untuk mencari yang tidak disukainya. Lukisan-lukisan itu telalu berharga untuk dirusak. Tapi mau tak mau ditunjuknya satu. "Ini saja!"

Snot memecahnya pelan, lalu dengan hati-hati dicuwilnya telur itu. "Ini, ada satu jarum di sini!" Nyonya Blip sampai terpekik tetapi girang bukan main. "Kita pecah semua?" tanya Snot.

"Jangan!" seru Nyonya Blip. "Lukisan Papi nanti ikut hancur! Tapi bagaimana caranya agar kami tahu ada jarum di dalam telur-telur itu?"

Mayor Dud punya ide dan dihubunginya temannya di markas kepolisian untuk meminjam alat pemindai logam, yaitu Sinar X. Begitu alat itu datang telur-telur itu dideteksi. Ternyata mengandung logam. Pasti itu jarum-jarum emas dan platina yang hilang. Nyonya Blip sadar kalau telur-telur itu sudah jadi milik anak-anak yatim piatu. Nyonya Blip lalu berunding dengan pimpinan yayasan. "Begini saja, telur-telur ini akan kami ganti dengan uang. Gedung yayasan ini juga akan kami bangun agar lebih nyaman buat anak-anak. Kami juga akan memberi beasiswa untuk anak-anak di yayasan ini sampai perguruan tinggi." Tentu itu kabar baik bagi yayasan dan anak-anak asuhnya.

Telur-telur pun diboyong pulang ke rumah Nyonya Blip. Disimpan di musium untuk mengenang Pak Titu. Keluarga itu menepati janji. Segera dibangunnya gedung yayasan itu. dan anak-anak asuhnya menjadi anak asuh keluarga Pak Titu.

Saat Topi Merah diundang dalam peresmian Musium Titu, Snot, Vista, dan Mayor Dud mendatangi pembantu di rumah itu. "Maaf, Bu! Kapan disuruh beli telur itik terakhir oleh Pak Titu?" tanya Vista.

Pembantu itu menjawab, "Saat beliau sudah divonis dokter bahwa usianya tinggal sebentar lagi!"

"Apakah telur-telur itu direbus dulu sebelum diberikan kepada Pak Titu?" tanya Mayor Dud.

"Tidak, beliau minta telur mentah!"

"Selain itu beliau minta dibelikan apa?" tanya Snot.

"Apa ya? Banyak sih!" jawab pembantu itu.

Snot tertawa. "Pernah diminta membelikan cuka?"

"Ya betul, cuka! Tapi saya sempat heran, mengapa beliau minta dibelikan cuka cukup banyak!" kata pembantu itu. "Setelah itu secara berkala minta direbuskan telur-telurnya itu karena akan dilukisi!"

Snot manggut-manggut. Nyonya Blip mendekati mereka sambil tersenyum. "Hebat kalian. Bagaimana Mayor Dud? Minta dikirim juice jengkol dan pete goreng?"

"Tapi untuk tiga orang ya, Bu!" jawab Mayor Dud. Tentu saja berbuah beberapa pukulan di tubuhnya yang tambun. "Snot! Vista! Ampunnnn….!" teriak si kumis delapan. (*)

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

setiawansasongkocreators' thoughts