"Bolehkah aku menginap lagi di rumahmu," ucap Dimas pelan dengan pandangan mengiba.
Rahma menganguk, lalu berjalan membuntuti Dimas.
Hening, sepanjang perjalanan menuju rumah Rahma, mata Dimas hanya tertuju pada jalan di depannya.
Dimas tak habis pikir akan keputusan Papanya, yang ingin menikahkan ia lagi dengan Siti. Perempuan yang tak pernah dikenalnya sama sekali hanya demi bisnis. Sial.
***
"Kamu tidur di sofa saja,"ucap Rahma sembari melemparkan bantal ke pangkuan Dimas.
"Baiklah, tapi ... bisakah temani aku sebentar. Ada yang harus kubicarakan denganmu.
Langkah Rahma terhenti dan Ia pun memutar badan.
"Baiklah, mau bicara apa?"
"Apakah kau setuju kalau aku menikah lagi?" ucap Dimas dengan bibir bergetar.
"Itu hakmu,"ucap Rahma ketus.
"Apakah kau tidak mempunyai rasa iba sedikit pun?"Dimas mulai gelisah karena harapannya pupus.
"Apakah kau berharap aku akan melarangmu, aku tak punya perasaan apapun denganmu. Semua lelaki sama saja!"
"Oke, baiklah. Aku tak akan bertanya lagi, tidurlah sana,"Ucap Dimas sembari menelungkupkan wajah.
Rahma berdiri dan hendak melangkah ke kamar tapi tiba-tiba listrik padam.
Rahma pun reflek berlari ke sofa dan tak sengaja menggamit lengan Dimas.
Terdiam lama.
Rahma menatap wajah Dimas yang seketika terlihat gagah di bawah cahaya rembulan. Jaraknya sangat dekat hingga degup jantung Dimas bisa dirasakannya.
"Lepaskan aku, ucap Rahma malu.
Nggak,!"ucap Dimas nakal.
"Jangan coba-coba menyentuhku. Kau sudah berjanji sebelum aku ikhlas untuk disentuh kau tak akan melakukannya,"Ucap Rahma lagi.
Dimas melepaskan tangan Rahma. Lalu duduk bergeser menjauh.
" Ada lilin ?" tanya Dimas
"Ada, tapi di kamar."
"Terus? Kenapa nggak diambil ?"
"Aku takut gelap," ucap Rahma.
"Ya sudah, aku yang ngambil,!" ucap Dimas seraya berdiri.
"A-aku ikut." ucap Rahma sambil menarik ujung lengan baju Dimas. Membuat Dimas tersenyum senang.
Mereka berjalan beiringan kekamar dan menyalakan lilin.
***
Keesokan paginya Rahma terbangun masih lengkap dengan rambut kusut. Tampak Dimas sudah duduk di tikar sambil menyesap kopi hitam. Ditambah ada dua buah nasi goreng dengan telur dadar di atasnya.
Mata Rahma terpana, dari mana Dimas mendapatkan semua itu. Bukan kah Dimas anak orang kaya ? Kenapa dia bisa memasak?.
"Sudah bangun? Mandi sana. Biar kita sarapan bareng. Aku hari ini mau ngajak kamu jalan-jalan," ucap Dimas.
Rahma mengangguk. Berselang setengah jam, ia sudah siap dan sarapan bersama Dimas.
Ternyata nasi goreng buatan Dimas lumayan enak. Nilai plus untuknya dari Rahma yang mulai membuka hati untuk Dimas. Walaupun sulit, karena trauma masih membekas akan cintanya terhadap Danu. Ia tak ingin lagi mencintai seseorang terlalu dalam. Cukup. Hati perempuan bukan untuk dimainkan.
Selesai sarapan Dimas membawa Rahma jalan-jalan. Ia tak menolak, karena ia juga butuh refreshing. Dua jam perjalanan dilalui hingga sampailah di sebuah desa kecil di pinggiran sungai. Membuat Rahma bertanya, apa tujuan Dimas membawanya ke sini?
Dimas turun dari mobil, lalu meniti jembatan yang menuju sebuah rumah besar. Rumah itu terlihat paling bagus dari pada rumah- rumah sebelumnya.
"Tungguin dong, aku takut ketinggian, "ucap Rahma sembari berpegangan pada kedua sisi jembatan.
Dimas tertawa terbahak, melihat Rahma yang tak bergerak sedari tadi. Ia pun menghampiri Rahma dan meraih tangannya. Mereka berjalan beriringan melalui jembatan gantung yang hanya berjarak 2 meter.
Dimas mengetuk pintu pelan.
"Assalamualaikum,bu. Ini Dimas."
Ibu ? Apakah ini rumah Ibunya Dimas ? Terus yang di kota Ibunya Dimas juga ? Fix, Dimas keturunan Pak Bayu yang punya banyak istri. Memang buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Pikiran Rahma mulai kalut.
Perempuan setengah baya dengan kerudung lebar membukakan pintu dan langsung memeluk Dimas erat. Rahma pun menyalimi tangan perempuan itu. Tangannya yang keriput pertanda usianya tak muda lagi.
"Bu, Ini Rahma. Dia istriku," ucap Dimas.
Wajah Ibu Dimas tampak sumringah karena kedatangan anak pertamanya. Semenjak SMA Dimas memilih tinggal bersama Papanya karena ingin menuntut ilmu di kota, dan sangat jarang menengoknya. Terakhir ketika pernikahannya dengan Yanti. Sudah lumayan lama Dimas tak menemui Ibunya.
"Ada apa, Nak? Apakah kamu bertengkar lagi dengan papamu ?" tanya Ibu seraya menyuguhkan teh untuk kedua tamu dadakan itu.
Ibu tahu betul dengan kelakuan Dimas, ia akan pulang ketika bermasalah dengan Papanya, dan hanya Ibu yang paling mengerti kemauan anaknya itu. Sejak bercerai, ibu kandung Dimas lebih memilih tinggal di pedesaan dengan alasan tak ingin meninggalkan kampung halaman.
"Papa menyuruhku kawin lagi, Bu, demi bisnis penggilingan padinya."
Ibu tersenyum tipis.
"Lalu ?"
"Aku nggak mau,Bu. Aku ingin Rahma menjadi istri terakhirku, aku lelah mengikuti kemauan papa."
Mata Rahma terbelalak mendengar pengakuan Dimas. Ribuan kupu-kupu terbang di kepalanya. Seakan melayang ke langit ketujuh.
Belum selesai keterkejutan Rahma akan pengakuan Dimas, datanglah seorang perempuan cantik berkacamata. Usianya diperkirakan baru 17 tahunan dengan rambut kepang anyaman khas anak desa. Ia langsung memeluk Dimas.
"Ka, aku kangen. Mana oleh- olehnya ! Kan aku sudah bilang, kalau ke desa aku minta belikan komik," ucapnya manja sambil melingkarkan tangan di leher Dimas.
"Aku lupa, Dek. Lain kali saja ya," ucap Dimas sembari memencet hidung bangir Nabila.
Nama adik semata wayangnya. Hasil pernikahan Ibu dengan suami keduanya.
Rahma membuang muka. Dadanya terasa panas. Sedikit cemburu membakar hati.
"Bil, Malu! Itu ada Istrinya Ka Dimas," ucap Ibu agak keras.
Nabila menggeser tubuhnya lalu duduk di samping Ibu.
"Ya, sudah. Nanti kita bicarakan lagi. Mendingan kalian istirahat dulu. Dimas, ajak Rahma ke kamarmu," perintah Ibu.
Dimas mengangguk lalu meraih tangan Rahma dan mengajaknya menaiki tangga kayu. Tepat di depan kamar Rahma melepaskan tangan Dimas dengan kasar.
"Jangan curi-curi kesempatan!"
"Ayolah. Bersikap manislah sedikit terhadapku. Agar Ibu tak curiga," ucap Dimas seraya membuka pintu.
Rahma melangkahkan kaki membuntuti Dimas memasuki kamarnya. Ruangan kamar tidur dengan ranjang terbuat dari kayu jati, terdapat lemari besar di sudut ruangan. Dan kursi tua terbuat dari antaman rotan Beberapa foto keluarga tersusun rapi di dinding.
Hujan turun dengan lebat. Rahma takjub dengan pemandangan yang dilihatnya dari jendela kamar. Air sungai yang berubah deras dan dedaunan dari pohon pinus yang basah. Ia pun menadahkan tangan hingga air hujan melewati sela jemarinya. Bau tanah ketika hujan itu romantis.
Diam- diam Dimas pun melakukan hal yang sama lalu memercikkan air hujan ke wajah Rahma, lantas Rahma pun membalasnya hingga mereka saling kejar. Posisi Rahma sekarang terdesak berada di sebuah kursi kayu dengan lengan Dimas yang mencengkeram kedua sisinya.
Nafas Rahma mulai tak beraturan disaat wajah Dimas semakin dekat. Kini ujung hidung mereka bersentuhan. Sedikit lagi bibir ranum itu akan ....
"Permisi. Kata Ibu jangan lupa menutup jendela kamar, nanti air hujan merembes masuk," ucap Nabila seraya berlalu pergi.
Hampir saja, ucap Dimas lesu dan duduk menjauh di samping ranjang.
Rahma tertawa pelan sambil beranjak menutup jendela.