webnovel

6. Cinta Seorang Julia

"Kita harus ke mana lagi?"

Gill mengernyitkan dahinya, lalu ia menggeleng pelan. Ia menyodorkan peta yang ada di tangannya dengan wajah bingung. Jeremy menggaruk tengkuknya, ia menyambar peta tersebut.

"Harusnya 500 meter ke depan ada jalan yang bercabang," ujar Jeremy sembari menunjuk gambar yang dibuat seperti cabang pohon.

Gill mengangguk cepat. "Tapi bagaimana cara kita melewati hujan peluru ini?"

Jeremy terdiam sejenak. Ia memejamkan kedua matanya untuk mencari solusi. Suara peluru yang menancap di baja mobil itu terus memenuhi gendang telinga mereka.

Gill menggoyangkan tubuh Jeremy dengan gemas. Berdiam seperti ini hanya akan membuat keduanya mati lebih cepat. Hingga akhirnya pria itu membuka matanya. Ia tersenyum lebar sembari menatap Gill.

"Kita dorong mobilnya," usul Jeremy.

Gill menautkan kedua alisnya dengan bingung. "Kau berpikir cukup lama hanya untuk itu?"

Jeremy mengangguk cepat. "Kau dorong bagian belakang, lalu aku di depan."

Gill mengusap wajahnya kasar. Lalu ia menoyor kepala sahabatnya dengan gemas. Ia menudingkan telunjuknya jauh ke depan mobil.

"Ya, depan! Silakan kau berdiri di depan sana, agar mereka bisa menembak dengan mudah!" ujar Gill.

Kini gantian Jeremy yang menoyor kepala Gill. "Bukan begitu, bodoh!"

Gill membulatkan kedua matanya. "Lalu bagaimana?"

Jeremy langsung berdiri, namun sedikit menekuk lututnya agar kepala mereka tidak bisa dibidik oleh lawan. Setelah itu, ia menepuk bagian belakang mobil yang akan menjadi kawasan Gill. Sementara ia segera membuka pintu mobil dan bersiap di posisinya.

"Kau dorong bagian itu," titah Jeremy.

Gill mengangguk cepat. "Baik. Dalam hitungan ketiga kita dorong bersamaan."

Jeremy mengangguk. "Satu."

"Dua," gumam Gill.

Keduanya mengangguk cepat. "Tiga!"

Mereka mendorong mobil itu sekuat tenaga. Tapi masih tidak ada perubahan, bahkan 1 senti pun. Jeremy melepas pegangannya dari pintu mobil. Ia mengusap keringat yang mulai membuatnya resah. Terik matahari benar-benar berhasil membuatnya kewalahan. Sementara Gill di belakang masih berusaha mendorong mobil tersebut.

"Ayo! Sedikit lagi!" kata Gill dengan penuh semangat.

Jeremy meringis, ia menepuk bahu Gill beberapa kali. "Cukup, berhenti dulu. Mobil ini tidak bergerak sama sekali."

Gill langsung mengusap keringat yang ada di pelipisnya. Ia tersenyum lebar ke arah pria yang ada di hadapannya. Bersamaan dengan itu, terdengar suara kaca yang pecah. Nampaknya peluru berhasil memecahkan kaca mobil milik Jeremy.

"Bagaimana? Kau punya rencana lain?" tanya Jeremy.

Gill mengangguk cepat. "Kita harus melawannya!"

Jeremy mengernyit bingung. "Melawannya?"

Gill merayap masuk ke dalam mobil. Lalu ia mengambil kotak berisi senjata api yang ditemukannya di Buford. Setelah itu, ia memberi Jeremy salah satu dari banyaknya senjata yang ada di dalam sana.

"Kau bisa menggunakan pistol?" tanya Gill pada sahabatnya.

Jeremy menggeleng sembari tersenyum lebar. "Tapi aku hebat dalam permainan battleground."

"Semoga saja kita bisa makan ayam," gumam Gill dengan senyum yang penuh paksaan.

~~~

Ben membuka sebuah kotak yang ada di dalam ruangannya. Nampak sebuah foto yang dilengkapi figura cantik. Beberapa pria di dalam foto itu terlihat sangat bahagia. Ben tertawa pelan, lalu ia bangun dari tempat duduknya.

Bugh!

Dalam sekali pukul dengan palu, figura kaca itu hancur. Ben mengambil foto yang kini sudah tidak terlindungi lagi. Ia menatap walah salah satu pria berjas biru donker tersebut.

"Ini semua salah Myujin." Ben mengambil gunting dari laci mejanya. "Apa ucapanku benar?"

Hening.

Ben yang kesal, melempar palu di tangannya ke arah pria yang tergeletak di atas karpet. Benda berat itu mengenai tulang kering pria tersebut. Samar-samar terdengar rintihan dari mulutnya.

Ben berjalan semakin mendekat. Bibirnya melengkung sempurna, seakan ia merasa puas melihat kondisi tahanannya yang sudah begitu mengenaskan. Ia menepuk pipi pria itu beberapa kali.

"Kau sudah bangun, Juan?"

~~~

Julia berusaha melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya. Ruangan yang ditempatinya saat ini sangat gelap, berbeda dengan ruangan Myujin. Namun sebenarnya mereka hanya dipisahkan dengan tembok.

"Julia," panggil Myujin dari tempatnya.

"Aku di sini," jawab wanita tersebut.

Myujin tertawa pelan, nyaris tidak terdengar karena jarak yang cukup jauh. "Bagaimana keadaanmu di sana?"

Julia menoleh ke segala arah, berusaha mencari alat yang bisa digunakan untuk memotong tali. Ia melihat sebuah korek api yang ada di sudut ruangan. Seulas senyum terbit di wajahnya.

"Aku baik-baik saja. Apa ada pintu yang bisa menghubungkan ruangan ini?" tanya Julia.

Myujin mengangguk pelan. "Di sudut ruangan ada pintu. Kau pasti melewati pintu itu saat ke sana."

Julia tersenyum puas. Ia menggerakkan tubuhnya agar kursi itu ikut bergerak. Walau sulit, tapi sedikit demi sedikit ia bisa mendekati korek tersebut. Lebih dari 15 menit ia berjuang untuk mengambil benda itu. Bahkan ia sampai tidak menjawab Myujin yang terus memanggilnya.

"Hei, Julia! Apa kamu baik-baik saja?!" teriak Myujin untuk kesekian kalinya.

Julia mendesis pelan. Ia tidak bisa meraih korek yang ada di lantai. Akhirnya ia memilih untuk menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Kini ia bisa menyentuh benda itu. Secercah harapan untuk hidup membuat Julia begitu bersemangat.

Saat korek sudah ada di tangannya, kini ia kesulitan untuk membakar tali. Nyalinya menciut saat tangannya sedikit terbakar di percobaan pertama. Untuk beberapa saat, wanita itu terdiam. Ia mencari alternatif yang bisa menjamin keselamatannya.

Tapi sayangnya, nihil.

Mau tidak mau, Julia kembali menghidupkan korek itu lalu mendekatkannya ke tali tanpa melihat. Wanita itu meringis saat rasa panas menjalar di tangannya. Tapi demi keluar dari tempat ini, ia merelakan kulitnya terbakar.

"Apa yang kau lakukan? Mengapa ada cahaya?" tanya Myujin.

"Aku akan segera menyelamatkanmu, Myujin! " kata Julia dengan penuh semangat.

"Tolong jangan melakukan apa pun, Julia. Mereka bisa saja membunuhmu!" cegah pria tersebut.

Tapi Julia tetap keras kepala. Ia tetap membakar tali yang mengikat tangannya. Rasa sakit semakin menjadi-jadi, namun usahanya membuahkan hasil. Wanita itu tersenyum lebar saat tangannya berhasil bebas.

"Aku akan ke sana," ujar Julia.

"Tidak! Tetap di sana, Julia!" teriak Myujin dengan penuh penekanan.

Myujin mendecak pelan saat pintu yang ada di sudut ruangan terbuka. Nampak sosok Julia yang tersenyum lebar ke arahnya. Wanita itu sudah tidak muda lagi, namun pesonanya di mata Myujin benar-benar tidak bisa ditandingi siapa pun. Terutama saat ini!

"Masuk, Julia. Kau bisa dalam bahaya!" kata Myujin.

Julia menggeleng cepat. Ia mengangkat korek yang ada di tangannya. Ia tersenyum lebar lalu berlari kecil ke arah Myujin.

"Kau mau menbakar rantai besi ini?" tanya Myujin.

Julia menggeleng cepat. Ia menunjuk sebuah kunci yang tergantung cukup tinggi. Sebelum dibuat pingsan dengan stun gun, ia berhasil menemukan letak benda tersebut. Berbekal kursi yang dijadikan tempat untuk mengikatnya, Julia berhasil mengambil kunci itu.

Sebelum upaya penyelamatan dilakukan, Julia terlebih dahulu mengganjal pintu dengan kursi dan kayu. Setelah itu, barulah ia kembali pada Myujin. Ia langsung mencoba satu per satu kunci yang ada di sana. Namun gerakan Julia terhenti saat pria itu menyentuh lengannya.

"Tanganmu terbakar," gumam Myujin dengan wajah cemas.

Julia tersenyum lebar hingga menampilkan jajaran giginya. "Terbakar saat melepas tali."

Myujin menatap wanita itu lekat-lekat. "Sudah ku bilang jangan melakukan apa pun."

"Lalu terbunuh begitu saja? Tidak! Aku tidak mau mati sebelum mencoba apa pun," sanggah Julia.

Begitu rantai terlepas, Myujin langsung menarik sebelah tangan Julia yang terluka. Ia menatapnya luka itu dengan sedih. Padahal ia sudah berusaha semaksimal mungkin agar istrinya tidak terluka, tapi semua berakhir sia-sia.

"Lukamu harus segera diobati, Julia."

Julia mengangguk dengan penuh semangat. "Maka dari itu, kita harus keluar dari sini bersama-sama."