"Aku mendengar jelas suara tembakan!"
Gill mengusap wajahnya dengan gusar. Semalaman ia menceritakan kejadian itu pada polisi. Namun hingga pagi hari, masih tidak ada yang memberi tinjauan lebih. Mereka terus mengatakan kalau suara tembakan itu bisa saja hanya berasal dari suara televisi.
"Santai saja. Kami tidak akan marah kalau Anda bilang ini hanya tipuan," ujar polisi berkumis tebal yang tengah meminum kopinya.
"Tapi ...." Gill menoleh ke arah Jeremy. Ia meminta pertolongan pada temannya tersebut.
"Tidak ada siapa pun di Buford," ujar polisi tersebut.
Gill menggeleng cepat. "Tidak! Kedua orang tuaku ada di sana!"
Kedua polisi yang bertugas menerima laporan Gill terlihat bingung. Mereka saling pandang, lalu melempar tatapannya ke arah pria muda yang ada di hadapannya.
"Bagaimana bisa ada yang tinggal di Buford saat ini?" tanya polisi tersebut.
"Kami tinggal sejak akhir tahun 2018. Saat itu tidak ada yang tinggal di sana selain keluarga kami," jelas Gill.
Polisi itu menautkan kedua alisnya. "Hei ... Itu 6 tahun sejak Buford dilelang. Bagaimana bisa kau tinggal di tempat itu?"
Gill menggaruk tengkuknya. Selama ini ia selalu mempertanyakan hal tersebut. Tapi ayahnya tidak pernah memberitahukan alasan tinggal di sana. Terlebih, mereka tidak punya izin memasuki tempat tersebut.
"Ayahku tidak suka keramaian. Maka dari itu dia meminta kami untuk tinggal di sana." Gill mendesis pelan. "Ayahku sangat menutup diri."
Polisi itu menghela napas. Lalu ia mulai mengetikkan sesuatu di layar monitornya. Jeremy yang duduk di sebelah Gill hanya bisa diam. Ia mencoba untuk mencerna semua percakapan yang masuk ke telinganya.
"Siapa nama ayahmu?" tanya polisi tersebut.
"Gerrard Nath," jawab Gill dengan cepat.
Polisi itu mengangguk, lalu mencari nama tersebut di antara banyaknya data penduduk. Ia menoleh ke arah rekannya. Ia menudingkan telunjuk ke layar dengan wajah bingung. Lalu rekannya juga terlihat mengernyitkan dahi.
"Tidak ada satu pun penduduk yang bernama Gerrard Nath," ujar polisi tersebut.
"Tapi nama ayahku memang Gerrard Nath. Bagaimana mungkin tidak ada?" tanya Gill dengan wajah bingung.
Polisi itu terdiam sejenak. Lalu menjentikkan jarinya. "Bagaimana dengan ibumu? Siapa namanya?"
"Julia Morgan," jawab Gill cepat.
Polisi itu langsung mencari nama tersebut. Cukup lama mereka melakukan penelusuran di layar monitor tersebut. Hingga akhirnya mereka menemukan identitas wanita bernama Julia Morgan. Namun wajah mereka terlihat bingung begitu melihat nama suami dari wanita tersebut.
"Namamu Gill Nath, bukan?" tanya polisi tersebut.
Gill mengangguk dengan antusias. "Iya. Benar sekali."
Polisi itu memutar layar monitornya. "Di sini tertulis suami dari Julia Morgan bernama Myujin A."
Gill membulatkan kedua matanya. Ia sama sekali tidak mengenal pria bernama Myujin A. Terutama wajah pria itu sangat berbeda dengan ayahnya. Lebih terlihat seperti warga negara Jepang. Gill menoleh ke arah Jeremy yang sama terkejutnya.
"Myujin A? Siapa dia?"
~~~
"Kami berhasil menemukan dia dan istrinya di Buford."
Bagasi mobil yang gelap langsung terbuka lebar. Nampak kedua pria bertubuh besar dengan topi baseball dan topeng hitam langsung menyeret orang tua Gill yang tidak sadarkan diri. Mereka membawa tubuh itu ke dalam hutan. Kemudian kedua tubuh lemah itu digeletakkan di tanah.
"Buka pintunya," titah pria berambut panjang sebahu.
Rekannya mengangguk. Ia menekan sesuatu di balik pohon. Lalu nampaklah pintu yang bergeser dengan sendirinya. Mereka kembali menyeret kedua tawanan yang berhasil dilumpuhkan. Setelah mereka masuk, pintu itu kembali tertutup.
"Sulit dipercaya, Myujin A ada di sini," gumam pria berambut panjang itu sembari terus menyeret kedua tangan ayah Gill.
"Benar dugaan Dokter Ben," sahut rekannya.
"Di mana kita akan meletakkan kedua orang ini?"
"Buang saja ke penggilingan."
Pria berambut panjang itu langsung memukul kepala rekannya dengan keras. "Bagaimana kalau kau saja yang dilempar ke penggilingan?"
Mereka tertawa bersamaan. Sementara pria bernama Myujin A atau yang selama ini bersembunyi dibalik Gerrard Nath itu sudah sadarkan diri. Ia bisa mengingat dengan jelas jalan yang gelap dan pengap itu. Bahkan hari di mana pelariannya berhasil, masih berbekas di kepalanya.
Myujin menoleh ke samping. Nampak istrinya yang masih tidak sadarkan diri. Ia langsung memejamkan kedua matanya saat pria itu menoleh. Cukup lama ia terpejam, hingga mulai terdengar jeritan yang begitu mengiris hati. Tangisan mendayu-dayu seakan mengharapkan iba dari para penjaga di tiap ruangan. Namun Myujin tau, itu hanya usaha yang sia-sia.
"Bagaimana kalau lempar ke ruang sifilis?" usul pria berambut panjang itu.
Rekannya nampak berpikir cukup lama. Lalu ia menggelengkan kepala. Ia menudingkan telunjuk ke arah ruangan yang dikunci menggunakan kawat.
"Ke ruang kosong itu saja. Kita harus menunggu perintah dari Dokter Ben," jawab rekannya.
Pria itu mengangguk pelan. Mereka menyeret kedua tawanan itu masuk ke dalam ruangan yang dingin. Myujin tahu betul fungsi ruangan yang menjadi tempat persinggahannya ini.
Ruang pendinginan mayat, batin Myujin.
Setelah kedua orang itu keluar, pintu langsung ditutup dari luar. Tapi Myujin tahu kalau ruangan itu tidak bisa dikunci. Saat itu di malam yang dingin, salah satu pengawas melarikan diri dan bersembunyi di ruangan ini. Lalu Ben menghancurkan kuncinya dengan kapak besar.
Nasib pengawas itu berakhir sangat tragis. Mata kanannya dicungkil keluar tanpa anestesi. Lalu kedua kakinya dipukul dengan linggis hingga remuk. Walau pengawas itu sudah memohon dan bersujud agar mendapat ampunan, tetap saja siksaan diberikan tanpa henti.
"Julia?" panggil Myujin setengah berbisik.
Myujin langsung merebahkan tubuhnya dengan mata terpejam saat terlihat sekelebat bayangan dari celah pintu yang sedikit terbuka. Ia mendesis pelan sembari menggoyangkan tubuh istrinya tersebut.
"Ah ... punggungku," ringis Julia.
Myujin dengan hati-hati membantu istrinya bangun. Ia menggeser tubuhnya agar bisa melihat punggung Julia. Wajahnya terlihat sedih saat melihat banyak luka di sana. Bahkan pakaian yang dikenakan istrinya itu sudah robek-robek karena diseret selama perjalanan.
Myujin melepas mantel yang melekat di tubuhnya. Lalu ia memaksa Julia untuk mengenakan pakaian itu agar punggungnya tidak terkena angin. Berulang kali terdengar ringisan pelan dari istrinya. Apalagi setiap luka di punggungnya itu bergesekan dengan mantel tebal tersebut.
"Bagaimana ini, Gerrard?" tanya Julia dengan takut. Suaranya nyaris tidak terdengar.
Myujin tersenyum manis walau wajahnya terlihat pucat. "Tenang saja. Bagaimanapun caranya, aku pasti akan mengeluarkanmu dari sini."
Myujin menarik tubuh istrinya dalam dekapannya. Ia berusaha menenangkan wanita yang sudah lebih dari 24 tahun menemani dirinya. Ia sudah berusaha sebisa mungkin agar tidak melibatkan Julia dalam kondisi berbahaya seperti saat ini. Myujin bahkan merelakan seluruh aset berharga dan pindah ke Buford hanya untuk menjauhkan keluarganya dari kekejian Ben. Tapi kini semua itu sia-sia.
"Katanya Myujin A sudah tertangkap!"
"Myujin yang melarikan diri 2 tahun lalu?"
Myujin meletakkan kedua tangan di telinga Julia. Ia tersenyum manis sembari menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin wanita itu mendengar semua ucapan yang berlalu lalang di telinganya.
"Aku penasaran, apa dia akan dipanggang hidup-hidup seperti pengawas senior itu?"
Tawa pelan terdengar dari luar sana. Mereka nampak senang, seakan menantikan Myujin mendapat siksaan yang pedih akibat pelariannya. Kepalanya seakan mendidih, napasnya mulai tidak beraturan karena emosi yang memuncak.
Aku yang akan memanggang kalian, bedebah!