webnovel

14. Kabar Gill

"Ponselmu di mana?"

Jeremy meraba saku celananya, namun tidak ada. Ia tidak ingat mengeluarkan ponselnya selama di perjalanan. Padahal di saat seperti ini, alat komunikasi sangat diperlukan. Jeremy menunjuk ke arah Gill dengan wajah panik.

"Tidak ada. Bagaimana denganmu?"

"Ponselku di dashboard mobil," ujar Gill.

Jeremy menghela napasnya pelan. Mereka memandangi jalan yang luas dan sepi di depan. Bangunan hampir runtuh yang berjejer itu juga ikut menambah kesan menakutkan.

"Bagaimana jika orang-orang itu masih mengikuti kita?" tanya Jeremy.

Gill mengedikkan bahunya. "Entahlah. Saat ini yang terpenting kita harus mengambil ponselku."

Mereka bergegas menyusuri jalan di sekitar real estate tersebut. Begitu tiba di depan gerbang, nampak sebuah mobil jeep hitam yang diparkir dengan berantakan. Gill sempat ingin mencari sesuatu di sana, namun tangannya langsung ditarik paksa oleh Jeremy. Pria itu membawanya bersembunyi dibalik rumah yang sudah rusak.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Gill.

Jeremy menempelkan telunjuk di depan bibirnya. "Jangan berisik! Apa aku tidak dengar ada langkah kaki yang mendekat?"

Gill menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mendengar apa pun."

"Kita harus kembali sebelum matahari terbit."

Gill menautkan kedua alisnya begitu mendengar suara asing tersebut. Ia sedikit mengintip keluar walau tubuhnya terus ditarik oleh Jeremy. Ia bisa melihat pria muda berjas hitam yang membawa pistol di tangannya. Pria itu nampaknya tengah berbincang dengan rekannya yang berkepala botak.

"Apa kau tidak ingin menangkap wanita cantik itu?"

Pria berjas itu menggeleng cepat lalu tersenyum. "Aku yakin dia pasti akan datang dengan sendirinya padaku."

"Wanita cantik? Maksudnya wanita menyebalkan itu?" kata Jeremy setengah berbisik.

Gill mengangguk sembari menempelkan telunjuk di bibirnya. Kedua orang yang tengah bercengkrama itu langsung masuk ke dalam mobil, lalu melesat pergi dari tempat tersebut. Gill dan Jeremy keluar dari persembunyiannya. Mereka kembali fokus pada tujuan awal.

"Jangan menjauh dariku," ujar Gill.

Jeremy menaikkan sebelah alisnya. "Memangnya dengan begitu kau bisa melindungiku?"

Gill menoleh ke arah sahabatnya dengan senyum yang dipaksakan. "Kau berharap dilindungi olehku? Kau kan laki-laki!"

"Kalau begitu aku akan jalan di depan!"

Jeremy langsung berjalan mendahului sahabatnya. Ia terus menyapukan pandangannya ke segala arah dengan teliti. Seakan ia tidak akan membiarkan sehelai daun pun lolos dari penglihatannya.

Langkahnya berhenti tiba-tiba hingga membuat Gill cukup terkejut. Ia menunjuk ke arah jalan setapak tanpa penghalang yang ada tepat di depannya. Samar-samar terlihat debu yang seakan diciptakan karena adanya pergerakan di sekitar sana. Langsung saja Gill menyambar tangan Jeremy dan membawanya bersembunyi di balik rerumputan yang sudah berwarna kuning kecoklatan.

Benar saja, segerombol orang datang dengan berjalan kaki. Mereka membawa banyak senjata, pakaiannya pun nampak sangat aman. Rompi anti peluru dan helm militer, berbeda dengan kondisi Gill dan Jeremy. Kedua orang itu memilih untuk tetap diam di tempat dan menunggu orang-orang itu pergi.

"Bagaimana ini, Gill?" tanya Jeremy.

Gill tidak menjawab, ia masih terus menatap gerombolan orang yang mulai menjauh. Setidaknya mereka harus tetap bersembunyi agar tidak terlibat dengan orang-orang tersebut.

"Kita harus menemukan wanita itu sebelum Ferland dan teman-temannya."

Gill yang mendengar itu langsung teringat dengan Revanta. Sepertinya wanita berusia lebih tua darinya itu sangat terkenal di kalangan orang-orang asing tersebut. Tiba-tiba saja Gill bangun dari tempat duduknya. Ia berjalan dengan perlahan mengikuti gerombolan orang itu tanpa ketahuan.

"Hei, kita mau ke mana?" tanya Jeremy dengan suara yang begitu pelan hingga nyaris tidak terdengar.

Gill menoleh ke arah sahabatnya itu, lalu ia menunjuk gerombolan orang yang sudah hampir menghilang. "Aku harus mendahului mereka."

Jeremy menautkan kedua alisnya. "Tapi bukannya kita harus mengambil ponsel dulu?"

Gill menggeleng pelan. "Sekarang kita harus menyelamatkan Revanta dan temannya."

~~~

Myujin dan Julia terus memeriksa kedua orang yang ada di depannya. Ia sudah mengumpulkan barang-barang yang bisa dijadikan sumber informasi. Banyak sekali lembaran kertas yang berisi curahan hati. Julia yang membacanya bahkan sempat menangis.

"Tidak ada yang bagus," ujar Julia.

Myujin menengadahkan kepala ke atap yang berlubang. Saat ini langit sudah sedikit terang, ia juga bisa mendengar suara kicauan burung tepat di atas kepalanya.

"Sebentar lagi Ben pasti datang untuk memeriksamu." Myujin langsung menarik kedua tangan Lexus. "Aku akan membereskan mereka."

Julia mengangguk cepat. Ia langsung merapikan tempat tidur yang hanya berupa kardus dan kain tipis. Sedangkan Myujin menyeret satu per satu dari kedua pria yang tidak sadarkan diri di ruangan tersebut. Ia membiarkan Lexus dan Juan tidur di tempat Julia. Benar saja, mereka bisa mendengar dengan jelas suara langkah kaki dan roda troli mulai mendekat. Tanpa mengucapkan apa pun, Ben menendang pintu yang sudah rusak tersebut.

"Myujin?!" panggil Ben yang baru saja masuk dengan kepala berapi-api.

Myujin bergegas menghampiri pria itu. Wajah datarnya langsung menyambut Ben. Dokter gila itu melemparkan sebuah kaleng hingga menimbulkan kegaduhan di ruangan tersebut. Lalu ia berkeliling di tempat itu seperti mencari sesuatu.

"Di mana kau menyembunyikannya?" tanya Ben.

Myujin mengerutkan dahinya. "Apa yang kau maksud, Ben?"

"Bonekaku. Dia pasti datang ke sini." Ben berjalan cepat ke arah pintu yang terhubung ke ruang sebelah.

Belum sempat Ben membuka pintu itu, Myujin langsung menodongkan pistol ke arahnya. Ia reflek mengangkat kedua tangannya untuk mencari aman. Myujin mengintruksikannya agar menjauh dari pintu itu. Untuk saat ini, Ben hanya bisa menurut.

"Dia pasti ada di sana, 'kan?" tanya Ben lalu tertawa.

Myujin menggeleng masih dengan ekspresi datarnya. "Tidak, ruangan itu sudah menjadi toilet kami. Jadi jangan berani masuk ke sana."

"Uh ... Menjijikkan!" ujar Ben.

Myujin mulai memberanikan diri untuk maju beberapa langkah mendekat ke arah Ben

Tangannya tidak pernah mengalihkan pistol ke arah lain. Saat ini tekadnya untuk menembak Ben sudah sanhat kuat.

"Apa tujuanmu datang ke sini?"

Ben menunjuk kaleng yang tergeletak di lantai. "Memberikan makanan."

Myujin mengernyitkan dahinya. "Kau memberikanku makanan di kaleng bekas?"

Ben menarik sebelah sudut bibirnya. "Apa itu salah? Aku yang berkuasa di sini, Myujin. Aku bisa saja memberikanmu makanan seperti anjing."

Myujin tidak menjawab, ia semakin mendekat ke arah Ben. Lalu tangannya bergerak menarik belakang jas laboratorium dokter gila itu. Ia membawa pria itu secara paksa keluar dari ruangan tersebut. Ia menempelkan moncong pistol tepat di pelipis Myujin.

"Kau yang memberiku pistol, jadi jangan menyesal jika diperlakukan seperti ini!" kata Myujin.

Ben menyeringai, lalu ia mengangguk. "Inilah alasan mengapa aku sangat menyukaimu, Myujin."

"Tidak. Jangan menyatakan perasaan seperti itu. Aku sudah punya istri."

Bruk!

Myujin mendorong tubuh Ben hingga terjatuh ke lantai. Kemudian disusul dengan troli yang ditendangnya sekuat tenaga. Ben benar-benar diperlakukan begitu memalukan. Pasti petugas di ruang cctv sangat puas menyaksikan kejadian itu.

"Kau harus datang siang ini ke lapangan, Myujin!" teriak Ben.

"Jangan harap!" balas Myujin.

Ben menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk senyum yang lebar. Lalu setelah itu ia bangun dari tempatnya terjatuh. Ia menahan pintu yang sudah ingin ditutup oleh Myujin.

"Kau pasti penasaran dengan keadaan putramu, 'kan?"