"Untuk apa aku bersusah payah menghargai diri sendiri, jika orang lain saja tidak menghargaiku?"
- Laura Chintya Bella
***
"Vikram, Laura di mana? Kenapa dia tidak menemaniku belajar?" Angkasa menatap Vikram yang tampaknya bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Setelah insiden di rumah sakit, Laura menyuruh Angkasa untuk belajar ilmu pengetahuan karena Angkasa sudah tertinggal banyak. Suara Angkasa sudah terdengar jelas, walau terkadang suaranya akan terbata-bata di waktu-waktu tertentu.
Vikram merapihkan kerah seragamnya, jemarinya menyisir rambutnya. Matanya melirik Angkasa melalui cermin. Pria yang dibawa Laura itu menatapnya dengan tatapan sayu. Tampak begitu menantikan kedatangan Laura.
"Laura nyuruh gue mengawasi lo untuk giat belajar. Sebelum lo selesai membaca dan memahami materi yang ada di semua buku itu, lo enggak boleh bertemu dengan Laura." Vikram berdecih, kenapa ada pria yang begitu bergantung pada Laura?
Bukan, Vikram bukan merasa cemburu. Jujur saja, selama ini dia tak punya rasa romantisme walaupun sudah bersama Laura bertahun-tahun lamanya. Hubungan persahabatannya dengan Laura itu terjalin atas dasar keterpaksaan. Dulu, mungkin Vikram menghabiskan waktunya untuk memikirkan bagaimana cara melepaskan dirinya dari Laura. Namun sekarang, Vikram menikmati hubungan palsu mereka. Yah, setidaknya Vikram memiliki sahabat yang tak memanfaatkannya dari segi materi.
Manik hitam pekat Angkasa terbelalak. "L-Laura tidak mau bertemu denganku?" Suara Angkasa bergetar samar, sorot matanya berubah menjadi sendu. Wajahnya seketika mendung seolah akan ada air mata yang mengalir.
Vikram menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Kenapa pria ini sangat cengeng? Padahal saat Vikram melihat masa depan Laura melalui mimpinya, di sana Angkasa tampak seperti pria yang menakutkan. Pria yang walaupun diam tapi membawa aura yang menakutkan. Sampai sekarang, Vikram masih merasa merinding saat merasakan hawa dingin Angkasa yang dia lihat dari mimpinya.
Couple yang satu ini... menyusahkan orang lain saja.
"Lo itu merepotkan, makanya Laura enggak mau mengurus lo." Vikram meraih tas sekolahnya lalu menyampirkannya pada bahu kanannya. Kakinya melangkah menuju pintu kamarnya. Yah, Angkasa diinapkan di rumahnya, bahkan di kamarnya. Sekali lagi, Laura dan Angkasa adalah couple yang selalu menyusahkannya.
"Sampai lo keluar dari kamar ini walau hanya satu langkah, jangan harap lo bisa bertemu dengan Laura."
Blam!
Vikram menutup pintu kamar, dia tak mau repot-repot melihat respon yang Angkasa berikan. Vikram tak mengunci Angkasa di kamarnya sesuai permintaan Laura. Vikram yakin Angkasa tidak akan keluar dari kamar jika Vikram sudah memberi ancaman atas nama Laura.
"Bodo amat kalau dia nangis, gue gak mau repot." Berbeda dengan ucapannya, hati Vikram merasa gelisah. Dia takut jika Laura akan menghabisinya jika membuat Angkasa menangis seharian. Laura itu gadis yang nekad, ancamannya bahkan tak main-main.
Di kamar Vikram, Angkasa mulai membaca buku dengan tangan gemetar. Dia menggigit bibir bawahnya menahan tangisan yang hendak keluar. "H-harus bertemu... A-aku harus bertemu dengan Laura."
Mata Angkasa bergulir menatap buku-buku yang ada di sekitarnya. Ada puluhan buku tebal yang belum dia baca, buku memuat materi Sekolah Dasar, SMP, dan SMA. Angkasa harus menyelesaikannya secepatnya.
"A-aku mau Laura."
***
Sebuah mobil Lamborghini berwarna merah menyala terparkir di tempat parkir yang dikhususkan untuk guru. Pemiliknya tak merasa takut apabila ada guru yang melihat kelakuan kurang ajarnya. Laura, pemilik mobil itu keluar dengan seragam ketat. Panjang rok yang seharusnya di bawah lutut menjadi sebatas pahanya.
Dua kancing seragamnya sengaja tidak dia kaitkan sehingga memperlihatkan leher mulusnya yang putih tanpa cela. Penampilan Laura seperti akan pergi ke club' saja. Penampilannya bahkan menarik perhatian beberapa laki-laki mata keranjang.
"Hey, Susan!" Laura melambaikan tangannya pada Susan, gadis yang sempat dia tolong- mungkin - saat dibully.
Susan menghampiri Laura dengan langkah ragu. Dia mengamati penampilan Laura yang mencolok di penglihatannya. "Gimana? Gue cantik, 'kan?"
Susan mengangguk tanpa ragu. Memang, dilihat dari manapun Laura itu gadis yang cantik. Kesan nakalnya bahkan memberi daya tarik tersendiri. Tapi, sekarang, 'kan di sekolah. Apa tak apa bila Laura mengenakan seragam seperti itu?
"Seragam kamu, apa enggak terlalu... terbuka?" Susan mencicit di akhir ucapannya. Tangannya saling meremas, kakinya bahkan bergerak gelisah. Susan takut jika Laura juga akan berujung membullynya seperti kejadian yang sudah-sudah.
Tawa Laura meledak. Dia tertawa terbahak-bahak sampai menarik perhatian beberapa siswa-siswi yang berlalu-lalang. Tangan Laura menepuk-nepuk bahu Susan melampiaskan rasa geli yang dia rasakan. "Bagus dong! Gue malah suka kalau pakai pakaian yang terbuka. Apa gue ke sekolah pakai tank top aja yah?"
"Jangan mengada-ada, dasar sinting." Sebuah jaket tersampir di bahu Laura. Vikram yang baru saja datang menatap Laura dengan tatapan tak habis pikir. "Lo pakai tank top ke sekolah yang ada merusak nama baik sekolah."
Laura memutar bola matanya malas. "Lo kok malah khawatir sama nama baik sekolah yang enggak penting, tapi enggak khawatir sama gue yang bisa aja diapa-apain sama cowok-cowok berengsek?"
Vikram mengernyit heran. "Ngapain gue harus khawatir? Yang ada lo yang ngapa-ngapain mereka." Vikram mengendikkan bahunya acuh.
"Ah, tau aja sih, beb." Laura hendak melayangkan ciuman di pipi Vikram. sebelum itu terjadi, telapak tangan Vikram sudah mendarat di wajah Laura. Laura tak kehabisan akal, dia menjilat telapak tangan Vikram membuat Vikram berteriak jijik.
"Dasar sinting! Ngapain lo jilat-jilat tangan gue! Lo kira gue apaan?!" Vikram mengelap telapak tangannya di seragam Laura yang terlihat tak peduli akan perbuatannya.
"Lo manis sih, pengen gue makan, 'kan jadinya." Laura berkacak pinggang, dia mengedipkan sebelah matanya bermaksud menggoda Vikram yang tetap biasa-biasa saja. "Lo udah ada rasa enggak sama gue? Tertarik jadi pacar gue yang seksi ini?"
Vikram mengernyit jijik melihat sikap narsis Laura. "Jawaban gue masih sama. Gue enggak tertarik pacaran sama lo! Gue aja enggak ada nafsu sedikitpun walau lihat lo telanjang sekalipun." Vikram berucap dengan penuh keyakinan.
"Halah, kayak lo pernah lihat gue telanjang aja! Atau lo mau lihat gue telanjang?" Laura hendak membuka kancing seragamnya yang tersisa tapi tangannya segera ditepis oleh Vikram.
"Lo itu enggak bisa yah sesekali menghargai diri sendiri?" Vikram tersenyum miris. Mau bagaimana lagi? Gadis di depannya ini menganggap dirinya sendiri tak berharga. Dia bahkan sudah tak memedulikan harga dirinya sebagai perempuan yang rentan sekali rusak.
Laura memiringkan kepalanya, seringai terbit di wajah cantiknya. "Ngapain gue harus repot-repot menghargai diri sendiri? Gue udah berperilaku baik-baik, tapi apa? Di mata mereka, gue enggak ada apa-apanya. Mereka orang-orang gak tahu diri yang enggak menghargai gue. Jadi, untuk apa juga gue menghargai diri gue kalau mereka aja enggak pernah mau lihat gue?" Laura melengos, dia menarik Susan bersamanya melangkah meninggalkan Vikram yang masih termenung di tempatnya.
Laura menghentikan langkahnya, dia menoleh ke belakang dengan senyum mengerikan. "Dan yah, lo kalau enggak tahu apa-apa mendingan diam. Jangan banyak bacot hal yang gak berguna!"
Vikram menghela napas berat. Dia mengacak-acak rambutnya merasa bersalah. Vikram memang tak tahu apa-apa mengenai masa lalu Laura. Dia hanya tahu sifat Laura tanpa tahu penyebab sifat Laura dan bagaimana sifat Laura yang sebenarnya.
"Gak guna banget! Gue udah bertahun-tahun jadi 'sahabatnya' tapi gue bahkan gak tahu apa-apa tentang dia. Enggak ada bedanya dengan orang asing."