"Sebenarnya, masalah apa yang kamu hadapi sehingga hanya tersisa keinginan untuk mati? Tolong katakan yang sejujurnya padaku sehingga aku dapat bersiap untuk menemanimu dalam kematianmu."
- Angkasa Ardiansyah
***
"Laura..." Angkasa memanggil nama Laura ketika merasa bahwa Laura tidak dalam suasana hati yang baik. Dia mempererat genggamannya untuk menarik perhatian Laura agar memberikan atensi padanya.
Laura merasakan sesuatu yang kasar melingkupi tangannya. Manik matanya bergulir menatap tangannya yang tertutup oleh tangan Angkasa yang dibalut perban. Kerutan tercipta di kening Laura ketika merasa terganggu dengan kehadiran perban yang merusak pemandangan di matanya.
"Perban ini... Apakah itu dibutuhkan?" Laura menarik lilitan perban di tangan Angkasa. Ekspresinya terlihat terganggu seolah tak ingin kehadiran perban tersebut di tangan Angkasa.
Angkasa mengerjapkan mata. Dia menurunkan pandangan, memandangi perban di tangannya. "Uhm... Aku tidak tahu. Tapi, menurutku tanpa perban ini luka di tanganku juga tak akan bertambah parah."
"Maka, lepaskan perban itu. Kehadiran perban itu sangat mengganggu." Laura memberikan instruksi pada Angkasa untuk melepaskan perban yang melilit telapak tangan pria itu.
Angkasa tentunya tak akan menolak keinginan Laura. Lagipula, saat insiden di mana Angkasa memergoki Laura bersama Rangga, dia sudah memutuskan untuk memenuhi semua keinginan Laura selama gadis itu mau menuruti permintaannya.
Jari-jari tangan Angkasa yang tak terbalut perban bersiap untuk melepaskan perban di tangannya. Ujung jarinya menyentuh permukaan perban, namun sebuah suara memaksanya menghentikan aktivitasnya.
"Jangan berpikir untuk melepaskan perban itu! Laura, apa lo enggak lihat luka di tangan Angkasa sebelum diperban atau lo pura-pura enggak tahu?! Kuku-kuku jari Angkasa sudah melubangi telapak tangannya sendiri sampai berdarah banyak! Lo pikir itu luka sepele? Sayangnya, lukanya enggak sesepele yang lo pikir karena lubang di tangannya sangat dalam! Gue sampai kuwalahan menghentikan pendarahan di lukanya saking dalamnya luka itu! Ck, ini seperti dia menggali tangannya sendiri karena sesuatu!" Vikram berteriak marah memperingati dua orang di belakangnya yang seenaknya memutuskan tanpa mempertimbangkan dirinya.
Sejak tadi, Vikram marah bukan tanpa alasan. Dia sangat emosi begitu melihat Angkasa lah yang menjadi orang yang terluka sampai mengeluarkan banyak darah. Vikram saat itu datang secepat mungkin ke kelas sambil membawa kotak P3K seperti yang diminta Laura pada pesan yang gadis itu kirim.
Sesampainya di kelas, Vikram melihat lantai keramik kelas yang sudah terdapat tetesan darah dalam jumlah banyak. Setelah dilihat dengan seksama, ternyata darah tersebut bersumber dari tangan Angkasa yang terkepal erat. Vikram seketika marah karena Laura yang berada di samping Angkasa tak berniat meminta pria itu untuk mengendurkan kepalan tangannya yang berdarah agar tak memperparah lukanya.
Vikram hampir tak percaya bahwa orang yang mengirim pesan seolah khawatir karena adanya keadaan darurat yang tiba-tiba tercipta, sama dengan orang yang berada di hadapannya yang tampak tak memiliki kepedulian apapun di matanya. Pada akhirnya, Vikram harus mengobati Angkasa dibantu oleh Susan yang mengikatkan perban.
"Cih, lo dari tadi marah mulu! Gue capek denger ocehan lo yang enggak enak didengar!" Laura berdecih sambil memelototi Vikram.
Vikram mencengkeram stir mobil dengan erat. Ekspresi di wajahnya terlihat buruk tanpa ada sedikitpun senyuman. "Laura, gue enggak akan marah seandainya lo enggak membuat Angkasa sampai melakukan tindakan tak terkendali itu! Dia pasti mengepalkan tangannya dengan erat karena lo melakukan sesuatu yang bikin dia marah. Tapi dia enggak bisa mengungkapkan kemarahannya karena takut sama ancaman lo!"
"Kalau lo pada akhirnya membawa dia hanya untuk dijadikan korban kegilaan lo, tolong hentikan niat lo itu! Cukup gue aja yang dikorbankan." Vikram memelankan suaranya. Nada suaranya bahkan terdengar muram disertai atmosfer di dalam mobil yang berubah menjadi suram.
Laura kali ini diam sepenuhnya tanpa ada satupun kata untuk membalas ucapan Vikram yang bagaikan pisau tajam yang dapat menyayat hatinya. Dia terlihat merenung, lalu sebuah ingatan tiba-tiba melintas di pikirannya.
( "Apa dia marah saat aku bersama Rangga?" ) Laura bertanya-tanya dalam hatinya dengan penuh ketidakpercayaan. Apakah benar-benar mungkin seseorang yang Laura bawa dari rumah sakit jiwa itu menyukainya? Dia sampai terlihat sangat tidak suka saat Laura bersama dengan Rangga tanpa berniat untuk bergabung dalam aktivitas panas mereka.
Jika benar Angkasa marah karena Laura bersama dengan Rangga, maka ini adalah hal yang masuk akal seperti yang dikatakan Vikram. Maka, alasan Angkasa mengepalkan tangannya dengan erat hingga berdarah dikarenakan dia marah tapi tak bisa mengungkapkan kemarahannya. Singkatnya, itu disebabkan oleh Laura. Tak heran, Vikram marah besar.
"Angsa, lain kali kalau lo marah, tidak perlu menahannya. Gue paling tidak suka sama orang yang tidak bisa mengungkapkan perasaannya sendiri." Laura bertatapan dengan manik mata Angkasa yang hitam pekat seolah menenggelamkannya dalam kegelapan.
Angkasa menipisnya bibirnya. Dia sebenarnya tak tahu-menahu mengenai hal-hal yang dibahas oleh Vikram. Apa maksud perkataan Vikram yang mengatakan bahwa Laura berniat mengorbankannya? Lalu, mengapa Vikram sampai rela menjadikan dirinya sendiri sebagai korban untuk Laura? Lebih dari itu, apa yang terjadi pada orang yang dikorbankan oleh Laura?
Angkasa mengeratkan genggaman tangannya pada Laura. Kegelisahan menjalar di hatinya, membuat Angkasa tak bisa tenang. "Laura, jika aku marah, apa kamu tidak akan membuang ku ke tempat itu?"
Laura menggelengkan kepalanya. "Gue enggak akan membuang lo ke tempat itu selama lo menuruti semua perkataan gue."
Angkasa menghela napas lega. Setidaknya dia mengetahui batasan mana yang ditetapkan oleh Laura untuknya. Jika hanya menuruti ucapan Laura, Angkasa sanggup melakukannya.
"Baiklah. Aku akan jujur dalam mengungkapkan perasaanku jika kamu tidak keberatan, Laura." Angkasa mengulas senyum tipis sehingga hanya Laura yang berada di dekatnya yang dapat melihat senyum itu.
Pikiran Laura mendadak kosong begitu melihat kelembutan di mata Angkasa yang ditujukan padanya. Dia benar-benar tak menyangka bahwa akan ada hari di mana seseorang bergantung padanya. Tingkah Angkasa yang seolah-olah tak bisa hidup tanpanya, membuat Laura merasa bahwa pria itu juga akan mati untuknya.
Ini sangat menggiurkan.
Laura memiliki keinginan untuk menggunakan Angkasa sebagai korban kegilaannya seperti yang dikatakan Vikram. Namun, melihat perban yang melilit telapak tangan Angkasa, rasa tidak suka justru menggerogoti hatinya.
( "Gue lebih suka perban itu berada di tubuh gue daripada di tubuhnya." )
***
"Angsa, bersiap-siaplah! Gue mau pergi bersenang-senang di suatu tempat." Laura melemparkan sebuah pakaian yang telah dipilihnya untuk Angkasa pakai.
Angkasa dengan sigap menangkap pakaian yang Laura lemparkan padanya. Dia memandangi pakaian di tangannya dan Laura yang terlihat sedang berdandan di depan cermin secara bergantian.
"Ini sudah malam, Laura. Sebenarnya kita mau ke mana?" Angkasa bertanya dengan raut wajah bingung. Walaupun demikian, dia tetap melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk berganti pakaian.
Laura yang sedang mengoleskan liptint di bibirnya, menatap Angkasa melalui cermin. "Enggak usah banyak tanya! Cepatlah bersiap-siap atau gue tinggalkan!"
"Oke, aku akan bersiap-siap!" Angkasa buru-buru menutup pintu kamar mandi dan berganti pakaian karena tak ingin ditinggalkan oleh Laura di rumah sendirian.
Laura mendengus dingin melihat tingkah Angkasa. Pria itu selalu bertanya setiap kali Laura memintanya melakukan sesuatu. Sepertinya Angkasa sangat penasaran dengan semua hal yang berkaitan dengan Laura.
"Dia benar-benar peliharaan yang tak bisa jauh dari majikannya," gumam Laura sambil melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda.
Sama seperti Laura yang dipenuhi kegilaan, Angkasa juga lebih tidak masuk akal. ¯\_(ツ)_/¯
Like it ? Add to library!
Creation is hard, cheer me up! VOTE for me!