DEAD ZONE
Zombie Crisis
-Chapter III-
beberapa zombie berhasil di ditumbangkan namun bukan berarti keselamatan dan amannya keadaan masih berpihak pada kami berdua.
Meski Helen telah mendapati bantuan dari kedua rekannya yang juga beranggotakan Mercenery Ops, namun bukan berarti aku dan Helen harus berpangku tangan kepada mereka. Kini kami harus menuruni atap dan kembali ke sebuah ruangan yang kusebut sebagai kamar, yang terletak pada lantai dua.
Dikala aku hendak melewati koridor, sekumpulan zombie dengan wajah yang buruk rupa hendaklah menghadang kami berdua. Mereka yang
berjumlahkan lebih dari lima orang hendaklah melangkah maju dengan kedua tangan yang menggapai ke udara.
"sepertinya ini bukan ide yang bagus, ayo kita kembali ke atap Mich." ajak Helen dengan wajah yang kian memucat.
"Tidak Helen, sampai kapan kita harus berlari? Jika memang ini waktunya, maka aku harus rela menghadapinya..." ucapku lirih dengan kepalan pada kedua tanganku.
Helen menggelengkan kepala seraya ia berkata,
"Kau gila Mich!"
Salah seorang dari mereka-zombie hendaklah mendekatiku dengan langkah kaki yang melambat dan terlihat sempoyongan pada saat berjalan. Ia segera membuka mulutnya yang penuh lendir kuning kehijauan dalam rangka melakukan penyerangan pertamanya terhadapku.
Serentak kucoba untuk menghantam dagunya dengan pukulan upercut, tidak lupa aku yang segera mencekram dagu beserta dahinya dan memutar kepalanya ke kiri dengan seluruh kekuatan yang bertumpuh pada kedua tanganku.
*KLAAK!
Alhasil aku telah mematahkan lehernya dan membuatnya tumbang secara seketika.
Seorang zombie kembali menyerangku dengan cakaran yang hampir saja menyayatkan dadaku, namun aku berhasil menghalaunya dan segera kucoba untuk menyerangnya balik dengan sebuah tendangan keras yang menghantam pada bagian leher kirinya.
*BRUUACK! PYAAR!!
Alhasil ia terjungkal keluar jendela berlapis hingga membuatnya terjatuh keluar gedung bar.
Helen merinding ketakutan dengan semua aksi yang telah aku lakukan, hingga pada akhirnya ia segera berbalik arah dan kembali masuki ruangan untuk mencari benda tumpul atau sejenisnya yang bisa dipergunakan untuk melawan sekumpulan zombie lapar di hadapanku.
Sesaat ia keluar dari dalam ruangan dengan sebilah pisau belati yang bernamakan amok kukri pada genggaman tangannya.
"Michael, tangkap!" ucapnya seraya melemparkan belati ke udara.
Aku melompat, dan segera menggengam rapat genggaman pada belati tersebut.
"Aku akan membuat pertarungan ini menjadi semakin tidak adil." sembariku dengan acungan belati yang mengarah pada Helen.
Tanpa kusadari sesosok zombie hampir saja menggigitku dari belakang.
"Michael, Awas!"
Aku menoleh, mendapati sesosok zombie yang tengah berdiri di belakangku dan hampir saja menerkamku. Namun dengan cepat aku segera memutar tubuhku 180 derajat dengan di ikuti oleh sabitan belati amok kukri yang mengarah pada wajah musuhku.
*SREAACK!
Hanya dalam hitungan detik kepala zombie pun terbelah menjadi dua bagian bagian dengan otak dan darah segar yang berhamburan keluar dari cangkangnya.
Tinggal beberapa lagi, mereka kini menyerangku secara bersamaan, namun dengan cepat aku ayunkan belatiku untuk melawan mereka.
Beberapa diantaranya lengannya terputus akibat sabitan dari belatiku.
Meski tubuhku kini berlumuran darah dengan nafas yang terengah-engah, namun aku lega karena dapat menumbangkan enam zombie di dalam gedung bar tempat kami berpijak untuk bertahan hidup.
Berulang kali kudengarkan suara letusan peluru, hingga pada akhirnya aku segera menuruni anak tangga untuk mengamati keadaan di lantai dasar.
Seorang pria berkumis tebal tampak terlihat sibuk menembaki sekumpulan zombie dengan senapan serbu berjeniskan M-28 SAW
Machine Gun. Sementara rekannya tengah sibuk mengisi ulang peluru pada senjata berjeniskan Shoutgun SPASH-12.
Tidak salah lagi, mereka berdua adalah orang-orang yang telah menembaki zombie pada saat aku dan Helen tengah berada di atap gedung pada saat itu.
"George, Alice... Mereka berdua adalah bala bantuan yang telah di kirimkan dari markas untuk menolong kita." ucap Helen pelan.
"Dimana yang lain, mungkin markas hanya mengirimkan personil yang hanya beranggotakan dua biji." jawabku dengan lirikan tajam, menyinggung sang rekan yang tampak terlihat gelisah tanpa menunjukan ekspresi bahagia.
Sesaat ia menundukkan kepalanya disampingku dan lalu berkata,
"Mereka telah tewas, sama halnya seperti Jack yang mati tertembak, itulah yang dikatakan Jessie kepadaku..."
"Penyesalan bukanlah suatu bentuk perjuangan, mereka berperang dan rela kehilangan nyawanya demi kau Helen... Maka dari itu, bertempurlah tanpa rasa takut, tunjukkanlah siapa kau sebenarnya."
Helen mengepalkan seluruh jemarinya dengan tatapan mata yang terpaku pada perjuangan kedua rekannya. Kobaran api telah membakar lubuk hatinya untuk memicu adrenalin yang sekian lamanya tersimpan dalam aliran deras darahnya.
Sesaat ia menggerakan seluruh giginya dengan emosi yang kian mencuat dalam kepalanya, hingga ia mulai berkata,
"Kau benar Michael, menangis pun tidak akan mampu merubah takdir yang telah terjadi. Kini aku sadar bahwa hidup tidak hanya untuk sebuah perjuangan, namun juga untuk melindungi mereka yang membutuhkan uluran tangan dari kita..."
"Bagus! Sekarang mari kita ratakan mereka seperti tanah."
"Ayo kita beraksi."
"Let's do'it soldier!"
-Bersambung-