webnovel

Bab 15 - Foto Prewedding

"Tuan, semua perlengkapan untuk pergi ke luar kota telah disiapkan. Kini hanya tinggal menunggu nona Widya saja."

"Dimana posisinya saat ini?"

"Nona sedang berada di rumah sakit, melalui informasi mengetahui bahwa ibu dari nona sedang dirawat."

Lantas Kenzi bangkit lalu berjalan sambil berkata, "Kita kesana sekarang!"

••••

"Mengapa ibu masih saja bertahan dalam kesakitan yang diperbuat pria itu!"

Layaknya air terjun, air mata Widya jatuh begitu deras. Sang ibu yang belum siuman membuat Widya mengadu dengan memeluk tangan Cahaya yang terasa sangat dingin. Kesedihan mendalam dia rasakan bertubi-tubi, harusnya senang. Namun, mengetahui bagaimana kejadian hari ini membuat Cahaya jatuh dalam api penderitaan.

"Eunghhh…." 

Lenguhan dari seseorang membuat tangisan Widya terhenti. Begitu senangnya saat melihat sang ibu menggerakkan kepala.

"Ibu…." Widya memanggil sambil menggenggam tangan ibunya.

"Jangan banyak bergerak, Bu," katanya lagi saat melihat sang ibu berusaha untuk duduk.

"Widya, ibu mengapa ada di sini?" tanya Cahaya keheranan saat melihat tangan berselang infus. 

"Katanya ibu pingsan saat berada di hotel. Tadi aku bertemu dokter."

Sontak kepala Cahaya menunduk, tak berapa lama mendongak dan diarahkan kepalanya menatap setiap sudut ruangan.

"Kemana ayahmu, Nak?" Cahaya keheranan sebab Dhani tak terlihat dari tadi.

Mendadak tangannya mengepal kuat, ingatan tentang pertengkaran antara dia dan sang ayah kembali terputar. Cahaya sendiri mengarahkan kepala menatap sang putri. 

"Mengapa kamu diam, Nak?"

Tak banyak basa-basi, Widya dengan tegas menyatakan, "Jangan pernah sebut pria pengecut itu, Bu!" Menatap nyalang bagaikan sebuah dendam terdalam, kemudian Widya memutarkan arah pandang pada Cahaya. "Pria itu tak pantas mendapatkan cinta tulusmu, Bu!"

Tidak disangka-sangka, Cahaya berteriak kencang. "Tutup mulut kamu, Widya! Dia ayahmu!"

Namun Widya membungkukkan badan dan memegang kedua bahu Cahaya, mencoba menjelaskan.

"Bu, dia lari dari tanggung jawab!"

"Apa maksudmu?"

Awalnya Widya belum ingin memberitahu pada Cahaya untuk sekarang, tunggulah sampai sembuh. Akan tetapi, takdir berkata lain. Dia harus memberitahu saat ini daripada terjadi kesalahpahaman.

Widya menarik napas sebelum berbicara lalu, "Ibu tahu mengapa saat ini berada di rumah sakit?" tanyanya dengan menatap iba.

Cahaya pun menggeleng, membuat Widya mendekat lalu menatap nanar ke arah perut wanita yang dia panggil ibu.

"Karena ada nyawa di dalam perutmu, Bu."

Reaksi Cahaya saat ini benar-benar terlihat berbinar, bahkan seperti tidak sabaran meminta untuk menghubungi Dhani. Lagi-lagi Widya harus menghembuskan napas kasar, tak tahu bagaimana harus menjelaskan kelanjutan.

"Dia sudah tahu, Bu…."

"M–maksudmu apa, Nak?"

"Pria pengecut itu yang membawa ibu ke rumah sakit dan dia lari dari tanggung jawab."

Cahaya menggeleng tak percaya saat mendengar pernyataan Widya. Bahkan dirinya berucap kasar pada sang putri karena mengira Widya berbohong.

"Aku tak berbohong, Bu!"

Keadaan pun hening, tampak Cahaya seperti terdiam dengan mata kosong berkaca-kaca. Dengan cepat Widya memeluk ibunya erat, seperti sedang kehilangan arah.

"K–kamu berbohong, W–widya," cicit Cahaya dengan suara pelan.

Pada saat itu juga tangisan pecah dan dari mata Cahaya, mulutnya ikut mengeluarkan suara isak tangis yang dapat menarik seseorang untuk ikut merasakan bagaimana hancur dirinya sekarang.

"Jangan menangis, Bu!"

Dapat dia rasakan juga, pelukan semakin mengerat dan itu membuat Widya semakin merasa gagal. Gagal karena selama ini tak bisa lebih tegas terhadap sebuah permasalahan.

Di tengah tangisan antara ibu dan anak, ada seseorang dari balik pintu sedang menyaksikan. Wajahnya yang datar menatap lurus ke arah gadis berpakaian sederhana yang sedang memeluk. Tangannya mengetuk pintu, membuat kegiatan kedua orang tadi terhenti.

"Maaf mengganggu!"

Sontak Widya yang tadinya menitikan air mata, buru-buru berbalik untuk menghapus sisa-sisa bulir siap mengalir.

"T–tuan, ada gerangan apa anda datang?" tanya Widya, sebenarnya hanya berniat untuk basa-basi saja.

Kenzi berdecak lalu melangkah sekali sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana. 

"Apakah aku tak boleh datang, Nona?" jawab Kenzi membuat Widya gugup dan berniat untuk menjelaskan.

"B–bukan—" 

"Sttt!" ungkap Kenzi, jari telunjuk ditempelkan pada bibir Widya.

Lalu arahnya berganti menatap pada Cahaya. Wanita tersebut terlihat bergetar saat Kenzi ingin mendekat padanya.

"T–tuan…." panggil Cahaya.

Tepat berada dihadapan Cahaya, Kenzi menarik tangan Widya kemudian melingkarkan pada pinggang gadis itu. 

"Aku izin membawanya karena besok kami akan ada pemotretan."

"Betulkah, Nak?" tanya Cahaya ke arah Widya.

Sedangkan gadis itu kelihatan bingung sebab tak tahu kabar dari mana mengenai pemotretan. Saat menatap ke arah Kenzi, pria tersebut seperti mengisyaratkan padanya untuk mengatakan iya, membuat Widya tersenyum.

"Iya, Bu. Aku ada pemotretan."

Mendengar jawaban putrinya tentu ada rasa lega. Cahaya pun menyunggingkan senyuman lebar lalu menarik tangan anaknya.

"Pergilah, Nak. Jaga dirimu baik-baik. Maafkan kesalahan ibu yang membuatmu menjadi seperti sekarang."

"Ibuuu…." sendunya lalu memeluk kembali.

Lagi dan lagi aksi kasih sayang antara ibu dan anak disaksikan oleh pria bernama Kenzi. Walaupun wajahnya terlihat sangat datar, tak ada ekspresi namun di dalam hati terasa seperti menggelitik. Dia jadi merindukan sosok sang ibu yang telah lama pergi meninggalkannya dan tak tahu keberadaan saat ini.

••••

Sudah berlalu sehari dan kini proses pengambilan foto prewedding diadakan pada lokasi Danau Toba. Objek ini sudah diimpikan oleh Kenzi sejak dulu. Kebetulan saat melakukan pekerjaan di kampung, Kenzi melihat suatu destinasi yang begitu menakjubkan. 

Padahal dia sudah mengetahui bagaimana bayangan danu tersebut, namun siapa sangka? Saat pertama kali melihat, realita yang sesungguhnya lebih dari ekspektasi. Sejak itu dia bertekad ingin menjadikan Danau Toba sebagai tujuan utama untuk berlibur.

"Boleh lebih mendekat pada tubuh tuan, Nona?" 

Suara fotografer terdengar sambil berusaha mengarahkan Widya untuk mendekat pada tubuh Kenzi.

Ragu-ragu Widya sedikit merapatkan tubuhnya. Namun, tetap saja berjarak akibat dia yang begitu ragu dan banyak malu. Membuat sang fotografer mendesah kecewa.

"Ubah posisi!" ungkap fotografer sambil berjalan mendekati dua calon pengantin.

Diarahkannya dua orang itu untuk saling berhadapan. Mendekatkan kepala mereka hingga saling menyentuh, menyisakan beberapa senti saja bibir saling bertemu. Detik itu juga, tubuh Widya menegang, membuat si fotografer berdecak.

"Come'on, Nona! Jangan tegang. Calon suamimu sangat tampan dan wangi, mengapa begitu gugup?"

Perkataan dari fotografer semakin membuat wajah Widya merah malu. Saat ingin memberi jarak, sudah lebih dulu tangan Kenzi melingkarkan tangan di pinggangnya. 

"Jangan membuatku malu! Ikuti saja alurnya!"

Sang fotografer tersenyum karena merasa posisi inilah yang dia butuh. Pada saat itu juga tangannya cepat-cepat mengambil kamera lalu memotret.

Membutuhkan waktu lama untuk dapat hasil yang memuaskan. Kini mereka telah menyelesaikan seluruh rangkaian dan hanya butuh dua hari untuk sampai pada tahap pernikahan. 

Memandangi indahnya danau, Widya tiba-tiba merasa tepukan di bahu dan ia pun menoleh.

"Apa yang sedang nona pikirkan?"