"Silakan masuk. Maaf tempatnya berantakan," ujar Hasan sambil membuka lebar pintu kosnya.
Haris berjalan ke dalam sambil menggandeng Niar. "Kamu yakin tidak apa kalau aku dan menginap di sini? Bagaimana kalau pengelola kos tidak setuju?"
"Saya sudah memberitahu, kalau rumah Pak Haris kebakaran."
"Syukurlah," gumam Haris lega. Pandangannya jatuh pada Niar. "Lalu, tentang malam ini..."
"Kalian tidurlah di kasurku, aku bisa tidur di sofa," sela Hasan sebelum atasannya itu bermain tarik ulur.
"Nggak mungkin aku tidur di kasur bareng Niar 'kan?" bisik Hasan yang membuat mata Haris melotot.
"Awas kalau kamu macam-macam dengan anakku," ancam Haris yang spontan memeluk Niar.
Hasan hanya mengangkat kedua telapak tangan ke udara.
"Kalian sudah makan malam? Aku baru mau pesan." Hasan duduk di sofa sambil menggeser layar ponselnya. "Niar, kamu mau ayam goreng? Om tahu ayamnya yang enak."
"Niar alergi ayam dan makanan laut," sahut Haris yang meletakkan barang-barang di dekat kasur. Dia mengambil baju ganti anaknya.
"Awww, nggak apa, Niar. Nanti ayamnya buat Om Hasan. Kamu makan kentang gorengnya oke?" Hasan mengedipkan satu mata pada anaknya yang hanya mengangguk dengan nurut.
Untung saja Haris tahu kalau Hasan sedang bercanda dan mencoba membuat anaknya lebih rileks.
"Aku mandikan Niar dulu, kalau ada apa-apa..." Haris berhenti sesaat sebelum melanjutkan. "Kalau ada apa-apa, selesaikan saja sendiri."
Pemuda berkulit eksotis itu tersenyum lebar. Dia senang Haris bersikap biasa saja dan tidak merasa sungkan. Mungkin dia bisa mendapat apa yang dia inginkan jauh lebih cepat.
.
Malamnya mereka tidur sesuai saran Hasan dan berangkat ke kantor naik mobil milik pria itu. Haris sempat iri karena sekretarisnya lebih stylish dan berada dibanding dirinya.
"Orang tua saya memaksa. Saya senang, kita jadi bisa berangkat bareng."
Haris berpikir dalam hati, dia juga menginginkan yang terbaik untuk Niar.
Awalnya Haris berencana hanya sebentar berada di kantor. Menandatangani beberapa dokumen lalu izin untuk mengurusi barang-barangnya setelah kebakaran kemarin. Satu hal yang dia lupa adalah bahwa atasannya juga mengambil cuti. Sehingga ada jauh lebih banyak dokumen untuk di-review. Pria itu baru bisa meninggalkan kantor menjelang makan siang.
Dalam perjalanan menuju rumah kontrakannya dia berpesan pada Niar agar tidak bercerita kepada kakek dan nenek kalau rumahnya kebakaran.
"Nanti kakek dan nenek kuatir kasihan."
"Iya Ayah," sahut Niar.
"Pintar anak ayah," puji Haris dengan bangga.
Hari itu banyak orang yang hari hubungi termasuk pemilik kontrakan. Dia menceritakan apa yang terjadi.
"Rumahnya terbakar mana bisa saya tempati," ujarnya pada pemilik kontrakan.
"Motor dan barang-barang saya lainnya juga terbakar Pak, saya juga rugi."
"Ya sudah kalau bapak tidak mau, tolong kembalikan uang dari sisa kontrak. Masih ada 6 bulan sebelum kontrak selesai."
"Tapi Pak... halo! halo!"
Haris ingin memperpanjang urusan dengan pemilik kontrakan, tapi karena Niar melihatnya dengan seksama, duda itu mengurungkan niat. Dia batal minta pertanggung jawaban.
Selain mencari rumah kontrakan yang baru Haris juga berpikir untuk beli motor baru. Harga perbaikan motornya yang rusak hampir sama dengan yang baru. Dengan langkah lemas dia kembali ke tempat kost milik Hasan.
Malam itu setelah Niar tidur pandangan Haris kosong saat melihat televisi.
"Saya mungkin nggak bisa banyak bantu tapi saya bisa bantu dengar."
"Siapa yang nggak pusing kalau kena musibah, San. Uangku benar-benar mepet untuk biaya berobat neneknya Niar dan tabungan sekolah."
"Pak Haris tahu kan kalau bapak bisa tinggal di sini," ujar Hasan sambil lalu tapi dengan keseriusan yang sama.
"Mungkin aku bisa sehari dua hari tapi aku nggak mungkin merepotkanmu sampai berbulan-bulan," tolak Haris halus.
"Apa Bapak ada pilihan lain kalau ingin berhemat?" tanya Hasan.
Pemuda berkulit sawo matang itu melanjutkan, "Untuk biaya kos paling tidak sudah satu juta sebulan. Belum untuk makan. Kalau Bapak tinggal di sini kita bisa bagi dua, biaya makan dan lainnya. Kita juga bisa berangkat ke kantor bersama."
Haris tersenyum sinis, menertawakan dirinya, "Aku bisa ambil pinjaman ke kantor."
"Tentu saja, Pak Haris 'kan wakil direktur," sahut Hasan sebelum menghabiskan minumannya.
.
Pagi itu saat Haris mengira dirinya tidak bisa lebih apes lagi, dia mendapat telepon dari ayahnya.
"Ada bagian pinggul yang patah dan harus dioperasi untuk penyambungan. Ibumu sudah berpesan untuk tidak memberitahu dan merepotkanmu. Maafkan ayah, Ris."
"Sampai berapa, Yah, biaya operasinya?"
"Perkiraan sementara 20 juta, karena sebagian besar sudah di tanggung BPJS."
"Baiklah akan aku coba carikan," sahut Haris.
Haris benar-benar bingung, selama ibunya masih sakit otomatis Niar akan ikut dia. Tidak mungkin dia meninggalkan Niar sendirian di kamar kos.
Saat itu yang terpikir ke kepalanya adalah tawaran Hasan untuk tinggal bersama. Apakah sudah tidak ada cara lain lagi? Tapi aku juga tidak mungkin meminjam uang dengan jumlah terlalu besar.
Selama di kantor, pikiran Haris terbagi. Berkali-kali dia kehilangan fokus dan melamun.
"Pak, mungkin Pak Haris sebaiknya pulang lebih awal," ujar Hasan sambil menyentuh pelan lengannya.
"Jam berapa sekarang?" tanya Haris.
"Jam 04.10. Sisanya bisa Bapak kerjakan besok," bujuk Hasan.
Kali ini Haris menganggukkan kepala. "Kamu juga pulang?"
Hasan menyeringai, "Kalau Bapak mau."
Saat di parkiran, Haris memegang lengan Hasan.
"Apa kamu tahu tempat mengobrol yang enak? Ada yang ingin ku bicarakan."
Hasan mengemudikan mobilnya ke taman bermain terdekat. Disana, keduanya duduk sambil melihat Niar bermain di kejauhan.
"Tawaranmu waktu itu.. apa masih berlaku?" tanya Haris.
"Tawaran yang mana?" Hasan berusaha agar tidak menampakkan senyumannya, pura-pura tidak tahu. Sebentar lagi dia akan mendapatkan Haris. Dia tidak mau duda itu lepas, saat jarak mereka hanya tinggal sedikit lagi.
Haris mengaitkan kedua tangan. Sulit baginya meminta tolong pada orang lain.
"Apa boleh aku dan Niar menumpang di tempatmu?" Haris memaksa diri mengatakannya. Dia sengaja menunduk agar Hasan tidak melihat wajahnya yang memerah.
Hasan mengangguk. "Iya, tentu saja. Tapi bisakah Pak Haris melakukan sesuatu untukku?"
Haris sangat lega mendengar bahwa Hasan bersedia menampung dirinya dan Niar.
"Tidurlah dengan saya sekali saja," ujar Hasan. Tangannya menggenggam erat tangan Haris, mencegah sebelum lelaki seniornya itu kabur.
"Tapi kalau Pak Haris tidak mau, tidak apa," Hasan menundukkan wajah. Senyumnya sedih, dia pun perlahan melepaskan tangan atasannya. "Aku tidak mungkin menutup mata kalau Pak Haris sedang kesusahan."
Haris tahu kalau bukan pada tempatnya dia mengasihani Hasan. Dia juga tidak mau mengambil keuntungan dari kebaikan Hasan.
Setelah mengalami cobaan beruntun, Haris berpikir kalau saat ini tidak ada yang tidak bisa dia lakukan.
.
.