Hasan paham dengan konsep bahwa di dunia tidak ada yang bertahan selamanya. Dia tahu kalau permainannya dengan wakil direktur itu akan berakhir suatu hari. Cepat atau lambat.
Namun dia masih terkejut mendapati hatinya belum siap. Seperti mainan koleksi yang tiba-tiba direbut oleh orang lain. Sesuatu yang cukup berharga untuk dimasukkan dalam koleksi, untuk dikagumi, dilihat, dibanggakan, dan dipuja dari waktu ke waktu.
Kemarahan yang memuncak dan begitu tiba-tiba, juga cukup mengejutkan Hasan. Karenanya dia mengangguk dan membiarkan Haris kembali ke kamarnya malam itu.
Dia butuh waktu mencerna situasi agar bisa mengambil langkah yang tepat. Bagaimanapun, Pak Haris bukan koleksi yang bisa dia simpan selamanya. Sehingga Hasan tidak mau gegabah dibanding saat mendekati pria itu.
.
Malam itu, Haris tidur dengan pulas. Meski bangun sekali untuk membantu Niar ke kamar mandi, dia bisa kembali tidur nyenyak tanpa masalah.
Suasana juga lebih baik saat pagi tiba. Niar tidak lagi mengambek dan Hasan juga bersikap wajar.
Haris menganggap Niar yang minta dipangku saat makan, sebagai sifat manja yang sesekali muncul. Hasan yang duduk sangat dekat di sebelah kanannya, juga tidak terlalu mengganggu. Kecuali tangan kanan Haris berkali-kali menyodok dadanya tanpa sengaja.
"Saya suapi saja, ya?" tanya Hasan.
"Aku bisa makan sendiri. Geser kesana dikit, kenapa?" protes Haris.
"Pak Haris kan sibuk menyuapi Niar," bantah Hasan.
"Kamu juga sedang makan." Haris tidak mau kalah.
"Saya sudah selesai," elak Hasan dengan senyum ramah.
Beberapa menit kedepan, Haris membiarkan Hasan melakukan yang dia mau. Membiasakan suasana yang akrab, bagus untuk perkembangan anak-anak dibanding pertengkaran dan cekcok.
"Terimakasih. Setelah ini, biarkan aku makan sendiri," kata Haris dengan tegas dan sedikit ketus.
"Tentu saja, Pak," jawab Hasan.
.
"Ini laporan yang masuk kemarin sore," ujar Hasan sambil meletakkan tumpukan dokumen dimeja Haris. Karena posisinya berdiri di belakang kursi yang diduduki Haris, dengan mudah sekretaris muda itu memegang pundak Haris sebagai tumpuan.
Haris bertanya-tanya dalam hati, apa penyebab Hasan bersikap seperti kerang limpet begini.
"Terima kasih, kamu bisa kembali ke mejamu," perintah Haris. Tangannya menampik telapak Hasan.
"Tapi saya belum selesai briefing jadwal Pak Haris hari ini," kilah Hasan.
Haris berbalik di kursinya, menatap tajam ke arah sekretaris yang berani ngelunjak itu. "Aku tahu kalau tidak ada hal yang mendesak atau rapat apapun."
"Tidak juga. Karena sudah memasuki musim penghujan, bagian transportasi mengajukan revisi proposal untuk servis dan pengadaan armada tambahan," lanjut Hasan. "Tentu saja saya menolak proposal tersebut."
Kata-kata Hasan itu membuat Haris sangat-sangat-sangat terkejut.
"Hei! Bagaimana kalau ada penundaan pengantaran? Kita bukan cuma berhadapan dengan banjir. Kerusakan mesin, jembatan roboh, dll sudah sangat mengganggu. Harus diantisipasi lebih awal!" tegur Haris. "Bagaimana kamu bisa memutuskan sepihak?!"
Hasan mencoba meraih sesuatu di meja wakil direktur itu. Haris tidak bergeming, menyebabkan wajahnya menjadi sangat dekat dengan pemuda itu.
"Apa yang..?!?!" bentak Haris, sudah bersiap mendorong tubuh pemuda itu menjauh.
"Ini, laporan pembelanjaan departemen transportasi 3 bulan lalu." Hasan menarik map yang terselip, di antara tumpukan dokumen dari kantor direktur.
Haris membuka map tersebut dan membaca isinya sekilas. Dalam sekejap, kepalanya terasa berdenyut. Proposal itu disetujui dan dilakukan tanpa sepengetahuannya 3 bulan lalu, dan baru muncul sekarang.
"Ika! Hubungi Pak Bangun, bilang aku minta bertemu nanti sore. Sekitar jam3. Hasan, kamu ikut aku sekarang," perintah Haris diikuti jawaban 'siap' dari anak buahnya.
"Baik, Pak!" Hasan memberi ruang bagi Haris untuk berdiri. Dia lalu mengekor di belakang pria yang berwajah jengkel itu.
Kedua pria itu berjalan menuju lift.
"Langsung ke garasi?" tanya Hasan.
"Iya. Nanti kamu bantu ambil foto kendaraan buat bukti," instruksi wakil direktur itu.
Hasan mengangguk.
Haris pun kembali mengendalikan emosi agar tetap tenang. Dia tidak merespon saat Hasan berkali-kali mencuri pandang ke arahnya. Bahkan saat pemuda itu berada di balik kemudi, menuju garasi gudang yang lokasinya cukup jauh.
"Untung kamu ingat kalau ada pembelanjaan kendaraan 3 bulan lalu." Haris memecah sunyi di antara mereka.
"Hmm.. Seingat saya Pak Haris sedang tidak masuk, dan sempat ada dokumen dari akuntansi yang dikirim ke meja Pak Haris. Saya minta salinan proposal yang disetujui dari mereka." Lagi-lagi mata Hasan lebih sering tertuju pada Haris dibanding jalan di depan mereka.
Wakil direktur itu jadi curiga, kalau apa yang mereka diskusikan tadi malam, menyebabkan Hasan jadi aneh. Pemuda itu lebih manja dan cari perhatian dibanding biasanya.
Wajah Haris sedikit memanas, memikirkan kenapa reaksi Hasan begitu kuat.
Apa karena Hasan masih muda dan gampang horny? Jadi sulit untuk mengendalikan diri...? Padahal aku hanya meminta agar lebih berhati-hati karena ada Niar. Apa Hasan salah kira?
Haris mencerca Hasan dalam hati. Karena sudah membuat dirinya ikut berpikiran yang tidak-tidak selama jam kerja.
..
Di gudang yang terletak di daerah Rungkut, Haris langsung mencari kepala bagian transportasi.
Pria paruh baya itu tampak kesulitan, menambah kerutan di wajahnya yang tua.
"Saya cuma melakukan apa yang disuruh Pak Bangun, Pak Haris," ujar pak Yosef. "Saat saya ke kantor untuk mengajukan proposal, Pak Bangun minta anggarannya diubah. Menambah satu kendaraan lagi."
Haris mendengarkan bagaimana kendaraan tambahan itu diganti jadi mobil jenis suv. Sedangkan proposalnya langsung ditangani sendiri oleh Pak Bangun. Saat itu bertepatan dengan Haris menghadiri acara di luar kota untuk beberapa hari.
Mobil suv itu pun digunakan oleh pak Bangun, berdalih sebagai kendaraan dinas. Menggunakan semua anggaran yang harusnya dipakai untuk perawatan mobil box dan lainnya. Pak Yosef terpaksa mengajukan proposal lagi untuk keperluan gudang yang sebenarnya.
"Lain kali saya harap Pak Yosef mengabari saya dulu kalau Pak Bangun berbuat ulah lagi. Kalau tidak,saya bisa melaporkan Pak Yosef, karena sudah menyalahgunakan anggaran," ancam Haris.
"Silahkan ajukan lagi proposal untuk maintenance yang sesuai. Hasilnya akan saya crosscheck sendiri. Saya harap Pak Yosef lebih hati-hati ke depannya," ujar Haris.
Pria tua itu mengangguk. "Baik, Pak Haris."
Wakil direktur itu lalu berjalan ke garasi, dimana para pekerja memandangnya dengan tatapan penasaran. Sedang yang lain cuek, dan sisanya bersikap curiga.
Haris tidak mempedulikan mereka. Dia tengah mencari Hasan. Namun, setelah berjalan berputar dan berkeliling, dia tak kunjung menemukan sekretarisnya itu. Saat bertanya pada orang-orang, petunjuk mereka saling berlawanan.
Satu-satunya cara adalah menelepon ponsel pemuda itu.
"Iya, Pak?" sapa Hasan.
"Kamu dimana? Apa sudah selesai?" tanya Haris tidak sabaran.
"Iya, ini saya arah garasi," jawabnya.
Bingung dengan jawaban Hasan, Haris tak urung menutup ponsel. Sejurus kemudian, sebuah kendaraan dengan bunyi mesin yang keras disertai decitan, memasuki area garasi. Hasan turun setelah memarkirkan mobil yang kedengaran reot itu.
"Saya sudah selesai, mau balik ke kantor sekarang?" tanya Hasan. "Atau mau makan siang sekalian?"
"Tadi 'kan bawa bekal. Aku makan itu saja."
Keduanya kembali menaiki mobil Hasan. Haris tidak bertanya meski pemuda yang duduk di sebelahnya itu mengambil jalan yang tidak biasa dan menjauh dari tujuan mereka. Rasa penasarannya terbayar saat mobil berhenti di samping sebuah taman.
Seperti taman pada umumnya, ada pedagang kaki lima di pinggiran jalan. Walau begitu, tidak mengurangi esensinya sebagai tempat beristirahat.
Haris bahkan merasa beberapa urat nadinya yang tegang, rileks saat wajahnya diterpa angin sepoi-sepoi.
Pikiran duda itu terhenti saat kepala Hasan bersandar di pundaknya. Spontan dia menyikut dada pemuda itu.
"Hei! Bagaimana kalau ada yang lihat?" tegur Haris.
"Sebentar saja," gumam Hasan pelan. Kali ini, dia bahkan menggenggam tangan kanan Haris. Seolah sedang mencari dukungan emosi.
Biasanya, Hasan hanya tertawa kecil jika Haris main fisik dengannya. Tindakan aneh pemuda itu sejak semalam, membuat Haris jadi khawatir.
Mungkin ada baiknya mereka bicara terbuka.
..
Sesampainya di kantor, Haris sudah langsung sibuk dengan pekerjaannya yang lain. Sementara Hasan menyusun data yang dikumpulkan dari gudang dan garasi di Rungkut.
Ditambah dengan acara outbond di depan mata, Haris ingin menyelesaikan semua tanggungannya agar bisa santai saat liburan. Dia terpaksa membawa sebagai dokumen untuk dikerjakan di rumah. Sedangkan Hasan membantunya menyiapkan makan malam dan menemani Niar.
Saat Haris mengucek mata, jam di laptop sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Dia pun masuk ke kamar dimana Niar dan Hasan sudah tidur lebih dulu.
Tanpa pikir panjang, Haris berbaring di sebelah Hasan. Tangannya meraih tubuh pemuda itu dalam setengah pelukan.
Hal yang sama berlangsung keesokan harinya. Begitu terus hingga Hasan berpamitan hari Jumat sore itu.
"Saya berangkat dulu. Pak Haris jaga diri baik-baik, ya. Jangan sampai telat makan," pamit Hasan dengan senyum.
Pemuda itu lalu keluar dari apartemen tanpa berkata-kata lagi.
Dan kesempatan Haris untuk mengajaknya bicara serius pun hilang..
.
.