"Ngapain lo ke sini bangsat?" gretak cewek tubuh tinggi, warna kulit putih susu, dan bergigi tidak rapi..
"Slow, babe," Cowok tadi berjalan cepat mendekati cewek yang pernah tidur satu ranjang tanpa busana bersamanya.
"Gue baru sadar aja si, kalo tidur sama lo ternyata nyaman," ucapnya terkekeh, dia ikut menjatuhkan tubuhnya disatu kursi yang sama. Cewek tadi berdecit, dia merasa madah. Tubuhnya sangat kotor semenjak mengenal cowok didekatnya ini, dia menyesal pernah cinta dan mau saja diajak ke club malam waktu itu.
"To the point aja, lo ke sini mau ngapain. Basa-basi lo enggak bermutu," Nita memasang earphlne untuk menutupi telinganya.
"Beneran nih, langsung to the point. Enggak mau basa-basi dulu?" goda cowok tadi memegang halus dagu Nita.
"Bisa serius enggak? gue gak punya banyak waktu buat ngeladenin bajingan kaya lo," Nita mulai kesal, dia ingin sekali membunuh cowok yang memang membuatnya merasa tidak mempunyai harga diri. "Bajingan ini juga buat lo nyaman," Nita meludah ke samping kasar.
"Gue nyaman karena lo dulu enggak gini, mana Gara yang gue kenal? Lo dulu manis, romantis, enggak kaya sekarang. Lo udah janji mau berubah, gue mau nerima lo lagi, tapi kenapa sikap lo enggak mau mencerminkan itu. Gue capek, gue capek pernah jatuh sama lo," Nita menyampaikan masalahnya, mereka memang mereka berpacaran.
Lagipun, Gara itu selalu bersikap seenaknya dan 'ya' seperti itu. Tapi diawal berpacaran, Gara hanya cowok biasa yang tidak kenal minuman keras, seks, dan semua barang yang membuatnya menjadi keji.
"Percuma. Kita balikan lo enggak jadi punya gue seutuhnya, dan mungkin emang dengan cara ini gue bisa dapetin lo seutuhnya," jawab Gara menatap Nita memelas, dia lelah.
'Memang dia berubah bukan karna sesuatu, tapi dia kenal barang haram pun karna dia tidak bisa jauh dari Nita,' Namun, dia lebih mau dan memilih sahabatnya. Bukan memilihnya, Gara pacarnya. Tapi Nita lebih mendahulukan sahabatnya. Bukan dia yang jelas-jelas memiliki hubungan lebih dekat dengannya.
"Apa setelah lo lakuin hal ini sama gue, lo merasa puas? Iya? Kalo lo mau gue jadi punya lo seutuhnya, bukan cara ini yang harusnya lo ambil. Gue tahu lo cowok baik-baik Ga, gue tahu," Nita terus saja menyangkal, cowok yang selama ini dia rubah adalah cowok yang baik, dia baik pada Nita.
"Enggak Nit, gue bukan cowok baik-baik. Makanya gue buktiin kalo gue emang bukan cowok baik-baik. Gue sering main ONS, gue peminum, gue enggak baik. Makanya gue mau punya elo yang baik, buat perbaiki gue," Gara menunduk, baru pertama kalinya dia jujur. Dia jujur pada Nita, selama ini Nita hanya diam. Karna dia ingin pacarnya jujur, Nita juga sering memergoki Gara memesan minuman keras untuk dibawa pulang, entah apa yang akan Gara lakukan.
"Gue enggak bisa berubah," lirihnya lagi, entah karena apa yang membuat Gara berbicara seperti itu, Nita pahan Gara bukan type seperti ini. "Lo bisa berubah, kalo lo mau berubah," Nita memberi semangat, dia memang kesal, marah bahkan emosi. Dia tidak habis fikir dengan perakukan Gara diawal. Gara bahkan rela menghancurkan masa depannya demi ingin mendapatkannya, Gara juga rela melakukan hal seperti itu.
Nita tidak habis fikir, sebenarnya Gara itu memiliki kepribadian seperti apa. Baru saja kemarin dia disebut-sebut jalang dan sekarang dia menangis merasa bersalah?
"Tapi gue enggak bisa Nit, nyatanya selama ini gue selalu berusaha terus dan enggak berubah menjadi baik," Garanya menangis, Nita melihat pacarnya dengan haru. Ada apa dengan seorang Gara?
"Kalo lo mau jadiin gue milik lo seutuhnya, lo harus bisa berubah Ga," ucap Nita berjalan menjauh dari Gara, walaupun Nita menyayangi pacarnya. Dia tidak ingin sesuatu hal terjadi lagi, dia tidak semurahan itu.
•••
Dewa menatap datar pada dua orang disebrang sana. Dia berdecit, mereka sedang melakukan adegan kissing yang membuatnya ingin muntah. Jika akan melakukannya usahakan jangan ditempat umum, apa mereka sangat tidak tahu malu?
Belum selesai dengan itu, dia melihat seseorang sedang terduduk dengan kepala menunduk. Dewa paham betul jika itu Gara,si pembuat masalah. Pacar dari sahabatnya Nita, entah apa yang sedang dia lakukan di halte itu. Entah mendapat naluri dari mana Dewa melangkahkan kakinya menuju kearah Gara, berjalan dengan ringan. Saat langkahnya hampir sampai pada tempat duduk itu namun orang menghentikan langkahnya.
"Cowok brengsek kaya lo enggak gue bolehin deketin gue," Dewa tertegun, bagianmana yang membuat Dewa dikatakan brengsek?
"Gue enggak brengsek," jawab Dewa tidak suka, dia sama sekali tidak melakukan hal yang menurutnya menyangkalkejadian buruk. Seingatnya. "Lo terlalu ikut campur urusan gue, jadi jangan dateng. Gue enggaj butuh ceramah lo yang enggan bermutu!"
"Gue ngelakuin itu karena gue perduli, lo terlalu banyak berfikir buruk tentang pacar lo sendiri Ra. Rasa khawatir lo tentang dia salah, kalo semakin kesini lo semakin berpikir buruk, lo sendiri yang akan nyesel sia-siain dia," ucap Dewa menasihati adik tirinya, walaupun Gara lebih suka menyendiri dan tidak tinggal satu rumah dengannya. Fakta mentah itu masih bisa Dewa toleransi karna dia juga harus berusaha menerima hal itu, dia harus mulai menyayangi adiknya.
"Lo udah rebut ayah dari gue. Dan sekarang lo mau ambil Nita dari gue? Enggak izinin," Gara berdiri, dia ingin pergi menjauh dari Dewa. 'Rasanya, hidup dengan bayang-bayang Dewa membuatnya merasa khawatir, dan selalu takut kehilangan,'
"Enggak, gue engggak ambil ayah dari lo. Ayah lo ayah gue juga, mama gue mama lo juga,"
"Sejak kapan? gue enggak punya mama didunia ini," bantah Gara mendorong Dewa untuk menjauh darinya, Gara benci Dewa. Mama Dewa yang membuat bunda nya pergi, dan Dewa juga mengambil perhatian ayah.
"Ra," panggil Dewa memperingatinya untuk tenang, sebelum apa yang Gara lakukan selama ini percuma. "DIEM BA*GSAT," pukul Gara pada rahang kakak tirinya dan pergi berlalu meninggalkan Dewa dengan meringis, ujung bibirnya mengeluarkan darah.
"Mau kemana lo anak sialan?" tanya Dewa berteriak melihat Gara yang sama sekali tidak tahu aturan, dia hidup sendiri dengan uangnya. Bisa sekolah, dan anehnya dia sehat-sehat saja.
Gara menatap sinis kearah belakang, dia mengumpat habis-habisan. Gara benci sosok Dewa.
•••
"Dari mana aja lo?" tanya Aldi yang melihat Wiga dengan baju kotor seperti gembel.
"Service otak," jawab Wiga asal, dia berjalan mendekat dan ikut duduk di sofa yang sama. "Bunda mana?" sambung Wiga yang melihat Aldi hanya fokus tayangan televisi dengan diam.
"Teriak aja," respon Aldi dengan acuh, dia siap-siap menutup kedua telinganya menunggu Wiga memanggil mama. Namun, hampir lima menit Aldi menutup telinganya Wiga sama sekali tidak berteriak. Dengan percaya dirinya dia melepas tutup telinganya dan suara nyaring Wiga memekakan telinga Aldi.
"BUNDA," teriak Wiga tepat ditelinga Aldi, mendapat teriakan seperti itu Aldi hanya bisa mengumpat. 'Anjing, sialan!' Di dalam hati. Aldi memukul kepala Wiga dengan sangat enteng, dan menatap Wiga yang sedang cengengesan.
"Kebiasaan lo bisa hilangkan enggak. Sakit telinga gue bego!" Wiga terus saja tertawa melihat Aldi yang mengomelinya tidak berhenti sama sekali.
"Wigara, kebiasaan deh kamu kalo baru pulang langsung teriak-teriak gini," omel bunda yang membuat Wiga, ikut tersenyum. Menurutnya, bunda Aldi sangat mirip dengan bundanya.
"Disuruh Aldi, bund. Tuh, tadi aku disuruh teriak," adu Wiga yang mengambil toples dipelukan Aldi, dengan pandangan sok polosnya. Aldi memukul kepala Wiga dengan sangat kesal, kenapa ada saja saat kalau Aldi harus terkena omel bundanya karena Wiga.
"Aldi," tegurnya yang memelototi Aldi tanda tidak setuju. "Astaga, bukan Aldi. Dia nya aja yang mau teriak, masa bunda enggak percaya sama Aldi," ucap Aldi mendramatisir hidupanya.
"Mochi bunda kasih tetangga ya," ancam bunda menunjuk kucing kesayangan Aldi yang sedang tertidur dilantai dengan nyaman. Yang katanya akan dibuang oleh bunda ratunya. Aldi memajukan bibirnya. 'Dasar Wiga. Gak tahu diuntung banget ini anak. '
Didalam hati, Wiga hanya bisa tertawa. Aldi itu punya kelemahan, kalau bukan Bunda ya Kucingnya.
Latar belakang Wiga kasaf buat semenyedihkan yang kasaf rasakan saat nulis