Clara keluar dari kamar dan pergi menuju ruang tamu, tak ada siapapun di sana. Tak terlihat sepatu Bram di lemari sepatu, bisa dipastikan Bram sudah pergi dari apartemennya.
"Dia keterlaluan! Datang tak diundang, pergi pun tak diantar. Sudah seperti hantu saja!" geram Clara.
Clara teringat ucapan Bram tadi. Di mana Bram mengatakan bahwa dirinya tak akan menjadi apa-apa jika bukan karena Bram. Clara pun kesal mengingatnya. Seketika ide untuk mengerjai Bram pun datang dalam pikirannya.
"Aku akan membalas mu!" ucap Clara dan pergi ke kamarnya. Dia pun memilih tidur dan menenangkan pikirannya, dia tak sabar menunggu hari esok dan ingin melihat ekspresi Bram.
***
Di sisi lain.
Bram melajukan mobilnya menuju salah satu klub. Dia sedang merasa tak baik-baik saja dan tak mengerti apa penyebabnya. Rasanya dia selalu ingin marah akhir-akhir ini, dan Clara lah yang selalu menjadi sasarannya.
Bram memasuki Bar yang sudah mulai didatangi beberapa pengunjung. Dia duduk di depan Bar dan memesan minuman. Tak lama seorang wanita seksi menghampirinya. Menyentuh lengannya yang sontak membuat Bram melihat ke arah wanita itu.
"Jessie?" gumam Bram.
Ya, wanita itu bernama Jessie. Seorang model seksi dan cantik yang pernah dekat dengannya. Jessie adalah anak dari sahabat orangtua Bram. Mereka pun sudah dekat sejak lama.
"Hai, Bram? How are you?" tanya Jessie.
Bram hanya menggidigkan bahunya dan memilih menenggak minumannya.
"Sepertinya, kamu sedang tidak baik-baik saja," ucap Jessie.
Bram hanya tersenyum tipis dan masih tak menghiraukan ucapan Jessie.
Bram terdiam saat sesuatu yang kenyal menyentuh punggungnya. Dia melihat sekilas ke samping dan ternyata Jessie memeluknya dari belakang.
"Aku merindukanmu," bisik Jessie tepat dibelakang telinga Bram. Hembusan napas Jessie yang hangat dan harum membuat Bram tersenyum.
"Lalu, kamu mau apa?" tanya Bram.
"Aku mau kamu, sekali saja," ucap Jessie dengan nada seksi.
"Aku sedang tidak ingin," ucap Bram.
"Aku yang akan melakukannya, dan kamu cukup menikmati," bujuk Jessie.
Bram masih tak bergeming dan terus menenggak minumannya.
"Sesuai perkataan mu, aku akan menikmati dan tak akan melakukan apapun," ucap Bram.
Jessie tersenyum dan mengangguk antusias.
Bram mengajak Jessie menuju hotel terdekat dan melakukan chek in.
Dengan rasa bangga Jessie mengaitkan tangannya ke lengan Bram, sehingga Bram seolah menggandengnya. Bram hanya diam saja dan tak melakukan penolakan hingga mereka pun sampai di kamar yang sudah dipesan.
"Ladies first," ucap Bram mempersilahkan Jessie masuk lebih dulu ke kamar.
Jessie pun tersenyum.
"Thank you," ucap Jessie dan masuk ke kamar dengan di susul oleh Bram.
"Kamu ingin sekarang?" tanya Jessie.
Bram menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dan memperhatikan lekuk tubuh Jessie yang begitu menggoda.
Dia mengisyaratkan Jessie agar mendekat padanya dengan tangannya.
"Kemarilah!" pinta Bram.
Jessie pun mendekat pada Bram dan duduk di sebelah Bram.
"Kenapa kamu ingin melakukannya denganku?" tanya Bram.
Jessie terdiam mendengar ucapan Bram.
"Tak bisa menjawabnya? Ya sudah," ucap Bram dan beranjak dari tempat tidur. Bram akan memasuki kamar mandi. Namun, langkahnya tertahan saat mendengar ucapan Jessie.
"Aku mencintaimu, Bram!" ucap Jessie.
Bram berbalik dan menatap Jessie.
"Aku tidak bermain dengan cinta," ucap Bram.
"Ya, tapi sampai kapan? Apa kamu akan terus hidup seperti ini? Apa kamu tidak menginginkan pendamping dalam hidupmu? Apa kamu tidak ingin memiliki keluarga? Lalu memiliki seorang anak yang akan memanggilmu dengan sebutan Papa? Aku ingin hidup bersamamu, Bram. Kenapa kita tidak mencobanya?" ucap Jessie.
Bram berbalik membelakangi Jessie dan perlahan melangkah menuju kamar mandi.
"Yang serius saja dipermainkan, apalagi yang hanya sekedar mencoba," ucap Bram sambil berlalu menuju kamar mandi.
Jessie mengerutkan dahinya, dia tak mengerti maksud ucapan Bram.
Jessie menghela napas panjang dan menatap dirinya di cermin. Perlahan dia membuka helai demi helai kain yang menutupi tubuhnya. Kini hanya tinggal pakaian bagian dalamnya saja yang tersisa menutupi area-area sensitifnya. Tak lama Bram keluar dengan memakai bathroobs dan setelah itu terdengar seseorang mengetuk pintu kamar.
Bram membuka pintu itu dan ada seorang pelayan yang membawakan pesanan minumannya. Bram pun mengambilnya dan meletakannya di meja.
"Minumlah, malam ini akan menjadi malam yang panjang," ucap Bram sambil memberikan segelas minuman pada Jessie. Jessie menyambutnya dengan senang hati. Mereka pun bersulang.
Tak lama, Jessie terhuyung dan dia pun tak sadarkan diri. Bram mengangkat tubuh Jessie dan menidurkannya di atas tempat tidur.
Aku tak suka bermain dengan wanita yang menawarkan tubuhnya sendiri, sekalipun kamu temanku. gumam Bram dan menutupi tubuh Jessie dengan selimut.
Bram pun meminum minumannya dan larut dalam pikirannya hingga dia merasa kantuk dan tertidur di atas sofa.
***
Keesokan harinya.
Bram terbangun saat terdengar suara dering ponselnya. Dia mengambil ponselnya dan ada telepon dari Bank. Dia pun menjawab telepon tersebut dan bicara dengan orang Bank tersebut.
Bram terkejut saat mendengar penjelasan bahwa telah terjadi transaksi yang cukup besar melalui credit card miliknya dan pihak Bank mempertanyakannya karena belum adanya konfirmasi.
Bram bergegas memakai pakaiannya dan melihat Jessie sekilas. Jessie masih belum bangun karena efek obat tidur yang Bram berikan semalam di minumannya. Bram pun bergegas keluar dari kamar dan pergi menuju mobilnya. Dia melajukan-nya menuju apartemen Clara.
Sudah dapat dipastikan, Clara lah yang melakukan transaksi yang sebelumnya dijelaskan oleh pihak Bank. Karena credit card itu memang benar yang dia berikan pada Clara.
Sesampainya di apartemen.
Bram membuka pintu apartemen dan mencari keberadaan Clara. Bram mengerutkan dahinya saat Clara tengah duduk di ruang santai dengan terdapat banyak paper bag.
"Apa kamu melakukan transaksi?" tanya Bram.
Clara diam saja dan hanya menunjuk paper bag yang ada di dekatnya.
"Aku membeli ini," ucap Clara.
Bram melihat isi yang ada di dalam masing-masing paper bag.
"Apa kamu gila? Untuk apa membeli semua ini begitu banyak?" tanya Bram.
Bram tak habis pikir, Clara membeli sepuluh buah ponsel dengan merk Vertu yang satunya dibandrol dengan harga lebih dari Sepuluh Ribu US Dollar. Jika di Rupiah-kan, bahkan bisa membeli satu buah rumah sederhana menurut Bram.
Bram tidak melarang Clara menggunakan credit card, karena itu memang Bram sengaja berikan untuk memenuhi kebutuhan Clara, akan tetapi jika uang sebanyak itu digunakan hanya untuk membeli ponsel, maka sungguh sangat keterlaluan.
Clara hanya tersenyum tipis dan tak menjawab pertanyaan Bram.
"Jawab aku, Clara. Atau aku akan membe--" ucapan Bram terhenti saat Clara memotong ucapannya.
"Apa? Membekukan credit card ku? Yang benar saja. Ini semua salahmu, menghancurkan ponselku yang di dalamnya banyak sekali pekerjaanku! Lagipula, aku membeli banyak agar aku bisa antisipasi jika sewaktu-waktu kamu menghancurkan ponselku lagi!" kesal Clara.
Bram mengerutkan dahinya dan tersenyum tipis.
"Aku suka sikap pembangkang mu. Maka, lakukanlah yang kamu inginkan. Jika perlu, beli seratus buah ponsel yang sama. Aku tidak keberatan," ucap Bram santai dan meninggalkan Clara dengan penuh kebingungan.
'Apa-apaan dia? Bukannya tadi dia kesal? Lalu, kenapa sekarang dia jadi terlihat santai?' batin Clara.
Clara tak habis pikir, uang sebanyak Seratus Ribu Dollar sudah dia pakai untuk membeli sesuatu yang sebetulnya memang mubajir. Clara hanya membutuhkan satu ponsel, dia melakukan semua itu karena ingin balas dendam pada Bram dan ingin melihat Bram kesal. Nyatanya, Bram justru memberikan respon santai setelah mendengar ucapannya.
"Benar-benar tidak berguna! Untuk apa aku belikan semua ponsel jika dia tak marah? Seharusnya, aku belikan saja tas baru," kesal Clara.
Clara pun merasa menyesal, uang sebanyak itu seharusnya bisa dia belikan barang-barang branded lainnya.
Sudahlah, biarkan saja. Aku akan menjualnya lagi dan aku akan belikan tas baru, gumam Clara sambil tersenyum.
Clara pun membawa semua paper bag itu ke kamar dan menyimpannya di lemari.
Clara menghela napas saat terdengar suara gemericik air di kamar mandi. Bram sepertinya tengah mandi. Dia tak ingin menyiapkan baju ganti untuk Bram, dia pun memilih keluar lagi dari kamar dan pergi melanjutkan pekerjaannya yang memang sudah dia bawa ke apartemen agar lebih fokus mengerjakannya. Sayangnya, dia harus memulai dari awal. Padahal waktu pun sudah tak banyak lagi hingga menuju hari pernikahan Liora.
Di dalam kamar mandi.
Bram berdiri di bawah guyuran shower. Dia tersenyum melihat ekspresi Clara yang terlihat bingung tadi.
Kamu mencoba mempermainkan diriku, aku tahu itu. Sayangnya, kamu lupa satu hal. Bahwa, uang itu tak berarti apa-apa untukku, gumam Bram.
Bram sudah bisa menebak maksud Clara. Dia pun sudah tahu Clara akan membalasnya dengan hal gila. Sayangnya, Clara tak mengerti bahwa dirinya lebih gila lagi.
Beberapa saat berlalu, Bram sudah selesai mandi. Dia mengambil ponselnya. Ada sebuah pesan email dari orang suruhannya. Terdapat informasi tentang Gerry di sana yang sebelumnya dia minta.
Bram hanya tersenyum remeh. Dia pergi menuju dapur dan mengambil segelas air minum, lalu meminumnya.
'Tidak selevel denganku,' gumam Bram sambil memikirkan informasi tentang Gerry yang ternyata adalah pemilik dari beberapa restoran yang cukup ternama. Meski Bram tahu omset dari restauran tidaklah sedikit, tetapi dia tak khawatir Clara akan tertarik pada Gerry. Nyatanya, apa yang dia miliki sangatlah jauh lebih banyak dari apa yang Gerry miliki.
Bram bergegas bersiap, dia akan ke kantor. Waktu mungkin sudah cukup siang untuk pergi ke kantor, tetapi dia ingin bekerja dengan lebih santai hari ini. Entah mengapa, hatinya merasa senang saat ini.