~Semesta tidak pernah merangkai cerita sederhana karena memang benar-benar tidak ada yang sederhana di dunia ini~
***
Author
Gedung putih memenuhi indra penglihatan sang hazel. Ia menyusuri koridor berlapiskan marmer putih bersih itu. Dengan tangan kanan yang masih memegang paper bag berisi beberapa cemilan favorit orang yang akan ia temui, sang hazel terus menatap ke arah depan dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Ia berhenti dan memilih mengubah arahnya ke sebuah taman di daerah itu. Bau obat mulai menghilang dari indra penciumannya. Ujung bibirnya tertarik saat melihat sang bidadari duduk dengan pakaian biru muda sedang menatap kosong ke arah air mancur.
"Ma," panggilnya dengan nada yang begitu lembut. Wanita itu menoleh, menatap sang hazel, sedetik kemudian mengangkat sebelah alisnya.
"Kamu gak bawa pelangi?" tanyanya masih mencoba mencari sosok yang dimaksud.
Sang hazel berlulut, menyejajarkan wajahnya dengan wanita di hadapannya. Ia menghembuskan napas pelan dan mencoba mempertahankan bibirnya agar tetap tersenyum.
"Pelangi lagi sibuk, Ma," jawabnya berdusta. Sudah jelas ia tak mengajak gadis itu karena ia masih kesal.
Wanita itu menghembuskan napasnya kasar dan memilih memalingkan wajahnya dari sang hazel. Semilir angin menyapu wajah pucat wanita itu. Membuatnya menggosokkan kedua telapak tangannya. Sang hazel yang menyadari hal itu segera merangkul wanita itu.
"Balik ke kamar ya, Ma," pintanya yang hanya ditanggapi dengan anggukan. Sang hazel membawa wanita itu menyusuri koridor, mengembalikan sang hazel dengan hal-hal berwarna putih dan bau menyengat yang tak pernah ia sukai.
"Ma, lain kali Nata akan bawa Pelangi," katanya sambil menggenggam tangan wanita di sampingnya. Namun, wanita itu masih tak mau menatap putranya.
"Tapi mungkin bukan Pelangi seperti biasanya, " tambahnya. Sukses membuat Dina -Mama Nata- kembali menatap sang hazel.
"Maksudnya?" tanyanya dengan suara agak keras, lengkap dengan kerutan di keningnya membuat sang hazel tersenyum.
"Pelangi yang lebih indah dari yang biasa Nata bawa," wanita itu tak menjawab dan memilih menatap lantai yang ia pijaki.
"Mama jangan nakal ya di sini," pesan sang hazel dengan tawa hangatnya. Wanita yang kini sedang berbaring itu hanya mengangguk lemah.
"Nata pulang, Ma." katanya dan segera keluar dari ruangan putih itu.
"Nak Nata. Nyonya Dina semakin membaik sekarang," kata seorang pria yang sekarang berdiri di hadapan Nata. Sang hazel hanya tersenyum tipis, ia sudah bosan dengan kata-kata itu. Tiap kali ia ke tempat ini pasti selalu itu, tapi apa. Ia tak pernah bisa mendapatkan yang ia inginkan. Bahkan menurutnya sang Mama masih jauh dari kata sembuh. Ia kembali menghembuskan napas kesal dan memilih melangkahkan kakinya menjauhi tempat itu.
***
"Papa yakin itu bukan darah dari tubuhmu, kan? Apa yang kau lakukan? Hah?" bentak pria tinggi itu di hadapan sang pemilik manik hitam. Gamma menatapnya tajam tapi tak berniat membalas ucapan sang pria.
"Sejak kapan kamu belajar melukai orang lain?" lanjutnya. Manik hitamnya memilih mengalihkan pandangan dari pria di hadapannya dengan sedikit dengusan.
Ia sadar ucapan pria itu benar, ia telah membuat orang lain terluka.
"Atau mungkin Dandi yang mengajarimu seperti itu?" ucapnya dengan senyum kecut membuat sang hitam mengeraskan rahangnya dan berusaha sekuat mungkin agar kepalan tangannya tidak mengenai wajah pria di hadapannya. Ia masih bisa menahan gemuruh di dadanya.
"Anda tidak perlu menyalahkan beliau! Saya tidak sengaja melukai orang lain, bukan seperti Anda yang dengan sengaja! Anda tidak pernah mengajari tapi Anda mempraktikkan!" katanya dengan penuh penekanan dan segera berlalu dari hadapan pria itu.
"Gamma!"
Sang manik hitam memacu motornya meninggalkan rumah megah itu. Masih dengan rahang mengeras ia membawa motornya ke sebuah taman yang sekarang sedang sepi. Ia melangkahkan kakinya mendekati sebuah bangku taman.
Wajahnya ia tenggelamkan di kedua telapak tangan yang sekarang bertumpu pada lututnya.
"Kenapa harus kayak gini? Gue capek! Gue bingung, gak paham kenapa bisa kek gini," ucapnya lirih.
Hatinya kalut, ia lelah dengan semua ini. Ia tak paham kenapa harus seperti ini. Ini semua di luar nalarnya. Kenapa harus papanya yang tidak bersalah yang harus menggantikan posisi itu? Kenapa bukan pria tadi saja, yang secara akal masih ada hubungannya?
Ia memejamkan matanya, membiarkan sang senja menyinari wajahnya. Hembusan napas kesal beberapa kali tetdengar.
***
Ero menutup benda pipih yang baru saja dipakainya untuk menonton sebuah film.
"Aaahh. Bosen! Lagian gue kan bisa jalan. Ngapain juga gak masuk. Mama ah, lebay banget," gerutunya pada diri sendiri. Ia memindahkan laptopnya ke meja belajar dan memilih duduk di sofa untuk menonton televisi. Ya, Ero terbilang wanita tangguh. Padahal baru kemarin kedua lututnya dijahit cukup panjang, belum juga jahitannya dibuka ia sudah mondar-mandir bak setrika tanpa merasakan sakit yang berarti.
Tangannya masih sibuk memencet tombol remote, berusaha mencari acara menarik tapi tak kunjung ia temukan.
"Bacukk, iya icuu. Alay banget sih! Gak kreatif banget bikin iklan. Apa hubungannya bawa bule terus gak bisa bilang 't' sama obat batuk? Emang kalo minum tu obat si bule bisa ngomong 't'. Unfaedah banget, " komentarnya pada sebuah iklan. Ia meraih ponselnya. Menatap benda pipih itu, seandainya ia sekolah pasti sekarang sedang membereskan barang-barang untuk segera pulang walau ia tau ia sebenarnya sangat malas untuk pulang. Jika saja di sekolahnya ada asrama mungkin ia memilih tinggal di sana. Ditambah sekarang ia seharian di rumah dengan kebosanan. Mungkin beberapa jam yang lalu ia tak terlalu bosan karena sang hazel menemaninya dalam sebuah chat. Entah kenapa ia merasakan kehangatan saat itu walau terkadang ia sering mengabaikan pesan dari sang hazel. Entah karena ia benar-benar tidak bergairah atau malas mendapat labrakan dari cewek bernama Pelangi seperti tempo hari.
"Aargggh. Bosen gue boseeeeen. Mana gak bisa liat mata hitamnya Kak Gamma. Sedihnya diriku. Oh Tuhan kenapa kau seperti ini padaku? " katanya yang mulai frustasi dengan keadaannya.
"Dikabarkan sekarang Jorge Lorenzo sedang menjejal Desmosedici baru untuk menghadapi balapan musim depan... " suara itu cukup membuat sang pemilik netra abu-abu itu mengatupkan mulutnya dan memilih memandang televisi yang sekarang sudah tidak menampilkan iklan lagi tapi sebuah berita yang sangat menarik perhatiannya.
"Tuh kan. Apa gue bilang! Lorenzo gak bakal sulit adaptasi. Gampang, mah" katanya pada diri sendiri sesaat berita itu sudah lenyap dan tergantikan berita lain. Ia memilih mematikan televisi dan berjalan mendekati ranjang.
"Lagian hatersnya Lorenzo itu perhatian amat sih, pake cari kesalahan Lorenzo. Baik banget, kan jadinya Lorenzo mudah perbaikinnya,"
"Hadeh, lo ya. Habis ngapain? Lorenzo lagi Lorenzo lagi," kata seorang gadis yang sekarang menutup pintu kamar Ero.
"Lo, asal masuk aja. Gak pake salam, ketuk pintu kek, " gerutu Ero. Namun, sang gadis yang baru saja menutup pintu memilih melemparkan tubuhnya ke kasur berukuran queen size milik Ero. Kemudian memejamkan matanya sejenak.
"Lo dikasi bunga sama coklat sama Kak Gamma," katanya pelan.
"Hah? Apa, Dah?" Ero memastikan pendengarannya tak salah. Indah merubah posisinya menjadi duduk di tepi ranjang dan segera memungut ranselnya yang ia letakkan di samping ranjang Ero kemudian mengeluarkan bucket bunga yang tidak terlalu besar dan sebatang coklat panjang kesukaan Ero. Netra abu-abu gadis di depannya berbinar melihat itu.
"Nih, barusan Kak Gamma ke kelas. Soalnya lo gak masuk, dia titip ini ke gue. Katanya lo suruh cepet sembuh ya. Maaf gak bisa jenguk," jelasnya sambil memberikan kedua benda itu. Ero menerimanya dengan senyum yang mengembang.
"Serius lo? Kak Gamma? Gamma Akhtar, kan?" tanya Ero masih tak percaya.
"Di name tagnya sih gitu. Kenapa? Lo suk... " suara dering ponsel membuat Indah menghentikan ucapannya dan memilih menatap layar ponselnya.
"Ro, gue balik dulu ya. Suruh balik sama nyokap. Gue lupa ngasi titipannya tante. Haha. Bego gue," katanya yang hanya direspon anggukan oleh sang lawan bicara.
Gadis dengan netra abu-abu itu merebahkan tubuhnya saat pintu kamar tertutup sempurna. Ia meletakkan bunga pemberian dari Kak Gamma di nakas dan memilih membuka bungkus coklat yang sekarang ada di genggaman tangannya. Namun, dering ponselnya membuat ia mengurungkan niatnya sejenak.
"Kak Gamma ngevc gue! Anjiiiir," pekiknya.
***
Hai hai. Maaf lama gak update.
Gimana?
Kritik
Saran
See you:)