Mila’s Pov
“Gimana Van? Apa mereka mau memaafkanku? Apa yang kau bicarakan pada mereka?” Tanyaku penasaran saat Vano keluar dari ruang rawat Papaku. Tanpa menjawabnya, Vano hanya mengangkat kedua bahunya. Aku mulai lesu, tidak tahu harus melakukan apalagi agar keluargaku memaafkanku. “Tidak bisakah mereka memaafkanku?” Ucapku pelan.
“Mereka ingin bertemu kita berdua, didalam juga ada Ayah.” Seru Vano kemudian.
“Benarkah mereka mau bertemu denganku? Syukurlah, terima kasih ya Allah.” Ungkapku kegirangan, lalu segera masuk kedalam ruangan Papa. Saat telah berhasil membuka pintunya, aku langsung menghambur kedalam pelukan Papa yang saat ini sudah bisa duduk di ranjang rumah sakit.
“Papa.. maafin Mila. Mila memang anak yang tidak berguna untuk kalian, Mila hanya bisa membuat kalian malu. Maafin Mila Pa.” Sesalku.
“Sejujurnya Papa benar-benar kecewa padamu nak, tapi biar bagaimanapun kamu tetap putri Papa satu-satunya, kebanggaan papa. Meski cara menikahmu yang salah, tapi Papa senang karena kamu memilih suami yang seperti Vano. Dia anak yang baik.” Jelas Papa. Aku sama sekali tidak percaya bahwa Papaku akan mengatakan hal ini, Vano sama sekali tidak pernah bersikap baik padaku. Lalu, bagaimana aku bisa mengakuinya bahwa dia laki-laki yang baik. Semua orang mengatakan begitu.
“Apa kamu tidak merindukan Mama?” Ujar mama. Aku menoleh ke arah Mama dan langsung memeluknya.
“Mila kangen banget malah sama Mama. Maafin Mila ya Ma, percayalah Mila tidak ada maksud untuk melukai hati kalian.” Aku menangis dipelukan Mamaku.
“Sudahlah sayang, Vano sudah menjelaskan semuanya. Mama mengerti, dia hanya takut kehilanganmu sehingga ia memaksamu menikah dengannya terburu-buru.” Jelas Mama. Aku semakin tidak percaya, apa sebenarnya yang telah dikatakan Vano sehingga dengan mudahnya ia menyulap keluargaku hingga dengan begitu mudahnya memaafkanku. Atau mereka memuji Vano, karena disini ada Om Harlan. Entahlah, aku sama sekali tidak mengerti.
“Emm… tapi Mama mau tanya sama kamu, dan kamu wajib jujur sama Mama. Apa kamu benar-benar mencintai Vano?” Tanya Mama. Apa? Cinta? Bermimpipun aku tidak sudi mencintai orang sekejam Vano. Batinku. “Mila? Kok bengong?” Tanya Mama kembali. Aku melirik ke arah Vano, Vano menatapku dengan tajam seraya berkata.
“Katakan saja Mila, tidak perlu takut. Katakan sesuai kata hatimu.” Seru Vano tersenyum. Pintar sekali dia ber-acting. Umpatku dalam hati.
Aku tersenyum memandang Mamaku, “Mila sangat mencintai suami Mila Ma. Tidak ada istri yang tidak mencintai suaminya.”
“Tapi selama ini kamu tidak pernah mengatakan apapun bahwa kamu mencintai Vano. Tapi gak pa-pa, Mama lega mendengarnya bahwa kalian saling mencintai. Vano sangat mencintaimu Nak, berbaktilah pada suamimu, jangan membuatnya kesal, penuhi semua tanggung jawabmu sebagai istrinya.” Seru Mama padaku. Aku menggangguk pelan, tidak tahu harus mengatakan apa pada Mamaku. Aku tidak ingin berbohong terlalu banyak pada Mama.
“Van, Mama titip putri Mama sama kamu ya. Kalo misalnya Mila salah, ditegur aja, dibimbing ya biar dia gak salah terus. Mama percaya jika harus melepaskan putri Mama ini sama kamu.” Pinta Mama pada Vano, hohohoho Mama sudah salah besar menyerahkanku pada laki-laki gila itu.
“Iya Ma, Mama gak usah khawatir.” Ucap Vano tersenyum. Rasanya ingin muntah melihat acting-nya itu, dan sejak kapan ia menyebut Mamaku dengan sebutan Mama juga. Menjengkelkan sekali.
“Lan, aku titip putriku ya. Maafkan dia jika dia melakukan kesalahan, meski dia sudah dewasa tapi bagiku dia masih tetap seperti putri kecilku. Tolong anggap Mila seperti putrimu juga.” Pinta Papa pada Om Harlan.
“Kamu tidak usah mencemaskan hal itu Bi.” Ujar om Harlan pada Papa. “Mila, Ayah tidak tahu alasan kalian memilih jalan ini. Yang Ayah tahu, Ayah ikut bahagia jika kalian bahagia.” Ungkap Om Harlan. Mila gak bahagia om. Batinku menangis.
“Setelah aku sehat nanti, aku punya keinginan untuk menikahkan mereka kembali secara resmi, agar tidak ada yang bisa meragukan status hubungan mereka. Bagaimana menurutmu lan?” Tanya Papa.
“Aku sangat setuju denganmu, tapi pernikahan itu butuh proses untuk menyiapkan segala sesuatunya. Aku ingin acara yang perfect untuk pernikahan mereka, jadi harus kita siapkan secara matang. Yang jelas, aku memiliki rencana, saat kamu sudah pulang dari rumah sakit nanti kita adakan pesta kecil-kecilan dirumah yang hanya keluarga saja yang menghadiri untuk merayakan pernikahan anak kita. Bagaimana Van, Mila? kalian setuju kan.” Jelas Om Harlan.
“Terserah Ayah aja.” Jawab Vano singkat.
“Mila ikut aja Om, mana yang terbaik.” Jawabku.
“Loh kok masih panggil Om, panggil Ayah dong Mila. Kan kamu udah nikah sama anak Ayah.” Jelas Om Harlan.
“Oh iya Ayah. Maaf yah, masih belum terbiasa.” Ujarku tersenyum.
***
Pesta kecil-kecilan yang telah direncanakan oleh ayah Vano telah berlangsung dengan meriah, aku diperkenalkan pada keluarga besar mereka. Begitu juga dengan Vano. Acaranya berlangsung di rumah Vano. Aku sangat merasa lega setidaknya meski aku terjebak dalam status pernikahan dengan Vano, tetapi keluargaku tidak membuangku sebagai bagian dari mereka. Saat mereka mengetahui apa yang aku lakukan saat ini adalah untuk kebaikan orang tuaku, aku yakin mereka pasti akan merasa bangga padaku. Setidaknya, mama papa berhasil menjadi orang tua yang terbaik didunia untukku.
“Ikut denganku sebentar!” Tiba-tiba Deni mengejutkanku dengan menarik tanganku.
“Apa yang kamu lakukan? Hei.. lepaskan tanganku, kalo ada yang melihat kita bagaimana?” Berontakku.
“Aku tidak perduli.” Jawabnya sambil terus menarikku pergi bersamanya, hingga kami sampailah di depan gudang belakang.
“Apa yang sebenarnya kamu inginkan?” Teriakku.
“Pelankan suaramu, jika tidak semua orang akan mendengar kita disini.” Perintahnya.
“Tadi saja kamu menarikku dan tidak perduli jika ada yang melihat kita. Lalu mengapa sekarang suaraku menjadi masalah bagimu?” Ungkapku.
“Apa yang kau lakukan disini? Mengapa kamu menikah dengan Vano. Kau hanya milikku, bukan miliknya. Jadi jangan pernah biarkan dia menyentuhmu sedikitpun.” Deni terlihat sangat kesal.
“Aku mau menikah dengan siapa saja itu bukan urusanmu. Berhentilah menggangguku, aku tidak pernah menyukaimu meski hanya sedikit saja.” Jelasku.
Mendengar perkataanku, Deni mendorongku ke dinding. Tatapan matanya terlihat penuh amarah, ia mendekatkan wajahnya pada wajahku hendak menciumku. Aku berusaha melepaskan diri dari himpitannya hingga aku berhasil mendorongnya menjauh dariku.
“Jangan terlalu naif Mila, kita ditakdirkan untuk bersama. Bahkan sekarang Vano malah mempermudah jalanku untuk bersamamu, dengan membawamu masuk kedalam rumah ini. Kita akan bahagia setelah ini Mila. bersabarlah sayang.” Seru Deni kembali mendekatiku.
“Apa yang sedang kalian lakukan disini?” Tiba-tiba suara Vano mengejutkanku. Melihat Vano berdiri tidak jauh dari tempat kami berdiri, aku segera berlari padanya mencoba mencari perlindungan dari laki-laki gila seperti Deni.
“Emmm… Van.. ini gak seperti yang kamu bayangkan. Tadi aku hanya….” Kalimatku terputus saat Vano mengangkat tangannya mengisyaratkanku untuk diam.
“Biarkan Deni yang menjelaskannya.” Ujar Vano.
“Emm.. kamu jangan salah paham dulu Van. Tadi Mila mau ke gudang, terus aku gak sengaja liat dia mau masuk gudang, terus aku halangin dia. Gudangnya kotor, ntar kalo ada tikus atau apa gimana.” Jelas Deni.
Vano menaikkan sebelah alisnya, aku tahu Vano bukanlah orang bodoh yang mudah untuk dikelabui. “Ayo ikut aku Mila, disini bukan tempatmu.” Ajak Vano menggenggam tanganku, lalu membawaku pergi dari tempat itu. Semakin lama genggaman Vano terasa semakin kuat, aku yakin kali ini dia akan menyiksaku lagi. Sesampainya di kamarnya, Vano mendorongku hingga aku terjatuh di atas kasurnya.
“Sebegitu murahankah dirimu sehingga kamu harus mengganggu laki-laki yang telah beristri?” Tanyanya dan sontak membuatku terkejut. Aku yakin Vano pasti telah salah paham padaku.
“Ini tidak seperti yang kamu pikirkan Van, percayalah padaku.” Jelasku.
“Sudah sejauh mana hubunganmu dengan Adik iparku?” Bentaknya.
“Kamu sudah salah paham padaku, aku sama sekali tidak memiliki hubungan apapun dengan Deni. Percayalah padaku Van.” Jelasku kembali.
“Aku sama sekali tidak perduli kau ingin menggoda lelaki manapun bahkan lelaki yang telah beristri sekalipun, tapi kali ini laki-laki yang kau cintai itu adalah suami Adikku!” Ujarnya penuh amarah.
“Aku tidak pernah mencintainya Van.” Bantahku.
“Aku tidak suka di bohongi Mila!” Teriak Vano. Jika saja kamarnya tidak kedap suara, maka semua orang pasti akan mendengar suara Vano.
“Aku tidak membohongimu Van.” Aku mencoba membela diriku. “Bahkan jika kamu minta, aku sanggup bersumpah atas nama Tuhan.”
Vano hanya menatapku penuh dengan kemarahan. Lalu hendak pergi meninggalkanku, aku mencoba meraih tangannya. Entah mengapa aku sangat ingin ia mempercayaiku.
“Jangan menyentuhku Mila, aku sangat jijik disentuh oleh wanita sepertimu!” Ungkapnya sambil menepis tanganku hingga aku kembali terjatuh diatas kasurnya.
***
Alvano Adibrata’s Pov
“Permisi Pak.. Nona yang kemarin sempat membuat keributan dengan Bapak di kantor sekarang sedang menunggu Bapak di ruang tunggu. Dia memaksa untuk bertemu dengan Bapak.” Ungkap Jeje.
“Maksudmu Mila?” Tanyaku tidak percaya. Apa yang sedang Mila lakukan di kantor sekarang? Batinku. “Katakan saja, aku sedang sibuk.”
“Baik Pak.” Jawab Jeje lalu keluar dari ruanganku. Namun, ketenanganku tidak berlangsung lama. Kini giliran dering telelpon kantor yang berbunyi.
“Iya, ada apa?” Tanyaku singkat.
“Nona Mila bilang, dia akan menunggu bapak hingga bapak mau bertemu dengannya.” Jelas Jeje kembali.
“Biarkan saja dia menunggu, kita lihat seberapa betah dia menunggu disana.” Ujarku lalu menutup teleponnya. Sepertinya, Mila orang yang keras kepala. Tapi sudahlah, aku sama sekali tidak perduli padanya. Aku terus saja sibuk dengan semua pekerjaanku, tanpa terasa aku telah menghabiskan waktuku kurang lebih selama 3 jam lamanya saat aku melihat ke arah jam dinding sudah menunjukkan pukul 12.30 WIB. Sudah waktunya untuk istirahat, aku memutuskan untuk makan siang bersama kedua sahabatku. Kami sudah janjian untuk makan diluar, ku pikir tidak masalah untuk pergi makan diluar bersama mereka karena aku akan meeting bersama client ku pukul 2 siang nanti. Di samping itu, bisnis yang kami geluti bertiga juga sangat penting. Saat aku berjalan hendak keluar kantor, aku melihat Mila masih duduk menungguku di ruang tunggu. Astaga, aku tidak percaya dia masih disini. Gumamku. Tanpa menghiraukan kehadirannya, aku terus saja berjalan melewatinya.
“Van, kamu harus dengerin aku dulu. Plisss.. aku butuh bicara sama kamu.” Ungkap Mila yang kini mengikuti langkahku. Aku sama sekali tidak bergeming.
“Van, kasih aku waktu buat jelasin semuanya.” Pintanya.
“Aku sedang sibuk Mila. Nanti saja. Dan, berhentilah mengikutiku!” Seruku padanya. Akupun segera memasuki lift dan menutupnya hingga Mila tak dapat mengejarku lagi.
***
“Hoaammm…” Aku merasa sangat lelah sekali hari ini. Ingin rasanya segera memanjakan tubuhku di atas kasur, itu pasti akan membuat tubuhku merasa lebih baik. Sambil mengeringkan rambutku yang basah karena habis mandi, aku mengamati jam didinding ternyata sudah menunjukkan pukul 22.30, sudah larut sekali pikirku. Aku harus segera istirahat, besok ada banyak pekerjaan penting yang harus aku selesaikan.
Nada dering ponselku kembali berbunyi, ku amati di layar ponselku tertera nama Jeje disana. Aku sedikit bingung, ada gerangan apa hingga Jeje menelponku selarut ini. Aku segera menerima panggilannya.
“Iya Je, ada apa?” Tanyaku saat aku sudah terhubung dengannya.
“Pak… Nona Mila pingsan.” Terdengar suaranya panik.
“Apa??? Kalian dimana?” Tanyaku cemas.
“Masih di kantor Pak. Tadi No……” Aku tidak tahu Jeje ingin mengatakan apa lagi setelahnya, aku langsung saja menutup teleponnya dan meraih kunci mobilku. Aku segera bergegas kembali ke kantor. Aku sama sekali tidak percaya dengan apa yang dilakukan Mila hari ini, bahkan hingga selarut inipun dia masih menungguku disana dan aku sama sekali tidak menghiraukannya.
Ya, memang sudah beberapa hari ini aku jarang pulang ke rumah. Bahkan malam ini pun aku masih memutuskan untuk menginap di hotel. Aku mengatakan pada ibuku, pekerjaanlah yang menjadi alasanku tidak pulang ke rumah. Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Mila, jika dia dan kak Deni saling mencintai, lalu untuk apa dia sangat ingin aku mempercayainya. Apa karena surat asset keluarganya, atau ada hal lain aku sama sekali tidak mengerti. Tapi jujur, aku merasa sangat bersalah padanya. Aku sangat mencemaskan keadaannya, aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya karena semua itu membuat hatiku terasa sakit. Aku sudah sangat berusaha untuk berhenti mencintainya, tapi entahlah cinta yang ku miliki untuknya tidak mudah untuk ku hapus begitu saja. Aku hanya berusaha untuk menutupinya, karena aku sangat membencinya yang telah merusak kebahagiaan Adikku. Sesampainya di kantor, aku berlari menuju ke ruang tunggu.
“Dimana Mila? Apa kalian sudah memanggil Dokter?” Tanyaku cemas.
“Sudah Pak, Dokternya masih disana.” Jelas Jeje. Beberapa karyawanku yang sedang lembur disana menatapku dengan penuh tanya. Mungkin saja mereka penasaran dengan hubunganku dengan Mila, atau mungkin juga karena ini kali pertamanya mereka melihatku dengan penampilan yang hanya mengenakan baju kaos putih polos dan celana piyama, datang ke kantor larut malam hanya demi seorang wanita.
“Dokter, bagaimana keadaannya?” Tanyaku pada Dokter.
“Dia hanya kelelahan. Istirahat yang cukup dan makan yang teratur akan membuat kondisinya kembali pulih.” Jawab Dokter.
“Terima kasih banyak Dok, maaf sudah merepotkan malam-malam begini.” Ungkapku.
“Tidak masalah, sudah menjadi tugas saya. Kalau begitu saya permisi dulu ya.” Seru Dokternya lalu berlalu pergi. Aku segera menghampiri Mila yang masih terbaring di sofa panjang ruang tunggu kantorku.
“Dasar gadis bodoh. Kenapa masih disini?” Umpatku kesal pada Mila. Mila hanya menatapku tanpa mengatakan apapun, mungkin dia masih merasa lemah. “Kalian juga, apa kalian tidak memberinya minum atau makan selama dia disini?” Tanyaku pada karyawanku.
“Maafkan kami pak.” Ujar Jeje. Yang benar saja, semua karyawanku membiarkan Mila menunggu disini tanpa memberinya makan ataupun minum. Aku menghela napasku.
“Kenapa kamu belum pulang? Semua orang pasti mencemaskanmu di rumah.” Aku melembutkan suaraku pada Mila, biar bagaimanapun aku sangat mencemaskannya.
“Aku hanya ingin berbicara denganmu. Kamu juga gak pulang, kalaupun kamu pulang, aku udah tidur. Dan saat aku terbangun kamu sudah pergi dari rumah pagi buta.” Jelasnya.
“Minumlah dulu.” Seruku sambil memberikan segelas air padanya.
“Van….”
Aku tahu apa yang ingin Mila katakan padaku. Namun, aku segera menutup mulutnya dengan jari telunjukku. “Syuutttt… kamu butuh istirahat.” Akupun menoleh kearah semua karyawanku. “Bisa tolong tinggalkan kami berdua?” Pintaku.
“Baik pak.” Jawab mereka dan satu persatupun pergi meninggalkan kami berdua.
“Apa yang sebenarnya ingin kamu tunjukkan padaku dengan kamu melakukan semua ini?” Tanyaku pada Mila. Mila langsung menjelaskan semua yang ingin ia katakan padaku, dan mengatakan bahwa aku hanya salah paham terhadapnya. Dia sama sekali tidak pernah mencintai Deni. Entahlah, melihat matanya, aku sangat tahu bahwa ia sedang tidak berbohong. Lega rasanya mendengar pernyataannya bahwa ia tidak mencintai Deni, tapi bagaimana dengan Deni, dan bagaimana juga jika Mila berbohong padaku. Aku tidak ingin ada satu orangpun yang menyakiti Adikku.
“Vhhan, jangan diam saja. Apa kamu tidak bisa melihat suatu kebenaran dari mata seseorang? Aku berkata jujur Vano.” Ungkapnya kembali. “Aku sekarang juga baru mengerti, mengapa hari itu kamu mengancamku dan sangat membenciku hingga saat ini. Tapi kamu salah paham padaku Van, aku mengatakan semua kebenaran ini bukan karena asset keluargaku ada padamu, tapi memang itulah kenyataannya.”
Aku tetap saja diam dan hanya menatapnya, matanya mulai berkaca-kaca dan ia pun meraih tanganku lalu menggenggamnya. “Aku mohon.. percayalah padaku, terniatpun tidak pernah untuk menghancurkan kebahagiaan Adikmu.”
“Kenapa kamu sangat ingin aku mempercayaimu?” Tanyaku kemudian.
“Entahlah, aku juga tidak mengerti mengapa aku sangat ingin kamu mempercayaiku. Yang aku tahu, kamu tidak boleh salah paham padaku. Ku mohon Van, percayalah padaku.” Tatapan Mila begitu menyentuh hatiku. Please Mila… jangan menatapku seperti ini, aku tidak akan sanggup membendung perasaanku padamu. Batinku. Aku menyeka air mata yang menetes di wajahnya.
“Sudah sangat larut, ayo kita pulang ke rumah. Semua orang pasti mengkhawatirkanmu.” Ajakku. Mila pun mengganggukkan kepalanya menyetujui ajakanku. Karena melihatnya begitu terlihat lemah, aku memutuskan untuk menggendongnya hingga ke dalam mobil. Bahkan akupun melupakan bahwa aku sedang di kantor dan ada banyak karyawanku yang masih di kantor.
“Ya ampun, di gendong guys. Gila.. aku juga mau kali digendong sama bos.”
“Mungkin dia kekasihnya bos. Kalau tidak mana mungkin bos terlihat begitu khawatir.”
“Iya, sampai ke kantor aja dengan penampilan begitu. Saking khawatirnya kali ya..”
Sayup-sayup terdengar suara beberapa karyawanku yang sedang membicarakan kami berdua. Dasar wanita-wanita biang gosip. Aku terus saja meneruskan langkahku tanpa menghiraukan mereka.
“Van, kita diliatin semua orang. Turunin aja, aku bisa jalan sendiri kok. Aku malu dilihat mereka.” Ungkap Mila.
“Diam dan nikmati saja, bahkan semua wanita mengharapkan ada diposisimu.” Ujarku.
***
Kriiinggggg…..
Dering ponselku berbunyi membuatku terbangun dari tidurku. “Iya ada apa Jeje?” Jawabku masih belum terlalu membuka mataku dengan benar.
“Pak, saya hanya mau mengingatkan kalau pukul sepuluh nanti kita ada meeting bersama pak Hendro.” Ujar Jeje dari seberang sana.
“Batalkan saja. Saya tidak bisa ke kantor hari ini.” Seruku padanya.
“Tapi pak, ini proyek penting.” Bantahnya.
“Jika dia mau, atur ulang jadwal meetingnya. Jika tidak mau maka batalkan saja.” Jelasku lalu menutup teleponnya.
Setelah meletakkan ponselku kembali di meja, aku meletakkan punggung tanganku di dahi Mila. syukurlah dia sudah tidak demam lagi. Dia benar-benar sangat merepotkanku, membuatku terjaga hampir semalaman hanya karena dia sakit. Aku segera beranjak dari tempatku duduk lalu menuju ke kamar mandi. Haahh… segar rasanya setelah kena guyuran air hangat di pagi hari. Setelah menyelesaikan ritual mandiku, aku keluar dari kamar mandi. Ternyata Mila sudah bangun dari tidurnya, dia masih duduk di atas kasur dan hanya mengamati setiap hal yang ku lakukan.
“Apa kamu menjagaku semalaman?” Mila memulai pembicaraan.
“Tidak. Hanya hampir semalaman. Jangan sakit lagi, aku tidak suka kamu sakit karena itu akan merepotkanku.” Ucapku datar padanya.
“Terima kasih.” Ucapnya singkat. Aku menoleh ke arahnya, dia tersenyum padaku tapi aku tidak membalas senyumnya. “Kamu belum berangkat ke kantor? Ini sudah jam Sembilan loh.” Lanjutnya.
“Tidak. Tidak ada pekerjaan yang mengharuskanku untuk ke kantor, jadi lebih baik aku di rumah.” Jawabku. Mila hanya menganggukkan kepalanya. “Apa kau lapar?” Kini giliranku yang bertanya padanya. Mila menganggukkan kepalanya. “Tunggulah disini, akan ku ambilkan sarapan untukmu.”
“Eeehh.. gak usah. Biar aku aja yang turun ke bawah. Aku masih bisa kok.” Ujarnya.
“Semua orang di rumah bahkan tahu bahwa kau sedang sakit, jadi duduk dan diamlah disitu. Istirahat saja, biar aku yang mengambilkannya.” Seruku lalu pergi ke dapur untuk membawakan sarapan untuknya.
Sesampainya aku di kamar kembali, aku sudah menemukan sosok Deni yang tengah menghidangkan sarapan untuk Mila. buset daahh, lewat dari mana dia sampai aku aja gak liat dia membawa sarapan. Batinku geram. Emosiku mulai memuncak, mereka berdua memang tidak tahu tempat. Bahkan di rumahpun dengan beraninya mereka ingin berduaan. Mila sudah berbohong padaku dengan mengarang cerita tentangnya dengan Deni.
“Ehhmmm…” Aku merusak suasana mereka. “Lah, kok Deni ada disini? Sampai repot membawakan sarapan untuk istriku?”
“Oohh.. ini tadi Indi yang nyuruh karena kalian belum sarapan.” Jawab Deni, dan aku tahu itu hanyalah alasannya untuk mendekati Mila. “Kamu makan ya Mil.” Serunya pada Mila, menjengkelkan sekali menyaksikan drama yang mereka buat.
“Tidak. Maaf Den. Aku ingin makan makanan yang dibawakan Vano.” Jawaban Mila benar-benar mengejutkanku.
“Loh kenapa? Kan ini udah aku bawain juga, bahkan lebih dulu daripada Vano.” Ujar Deni.
“Aku akan lebih cepat sehat saat aku makan dari tangan suamiku. Kamu bawa aja makanannya kembali ke dapur, kalo Indi nanya bilang aja Vano udah bawain sarapan buat aku.” Jelas Mila.
“Oke baiklah.” Ujar Deni lalu membawa kembali makanan itu keluar kamar, terlihat sekali bahwa wajahnya sangat kesal. Lihat saja, aku tidak akan membiarkan dia berlama-lama menghianati Adikku. Akan ku bongkar semua kebusukannya.
“Kenapa masih disitu? Ayo kemarikan sarapanku, aku sudah sangat lapar.” Pinta Mila. Aku pun berjalan mendekatinya dan memberikan makanan yang ku bawa untuknya. “Tidak ingin menyuapiku?” Mila tersenyum seperti sedang mengolokku.
“Tidak usah bermimpi. Cepat makan sana.” Jawabku lalu aku beranjak dari kasurku.
“Eh mau kemana? Disini aja, temenin aku sarapan. Aku juga tahu kalo kamu belum sarapan. Ayo sarapan sama aku.” Ajaknya sambil menyodorkan sesendok nasi untukku.
“Ini apa? Aku bisa makan sendiri. Nanti aku ambil sendiri.” Ucapku ketus padanya. Mila hanya tersenyum melihatku.
“Emm.. kamu lucu juga orangnya. Mungkin akan menyenangkan jika kita benar-benar menikah.” Ungkapnya. Aku sangat terkejut mendengar kalimatnya dan menatapnya tidak percaya. Kalau saja dia tidak memiliki hubungan dengan Deni, menikahinya adalah impian terindahku. “Hahaha…. Serius amat. Aku becanda kali. Kamu udah mau percaya sama aku aja itu sudah cukup.”
“Kalo udah bisa ketawa gitu berarti kamu udah sehat. Jadi jangan bermalas-malasan ditempat tidur, sana mandi atau ngapain kek biar tubuh kamu digerakin gak dimanjain terus.” Seruku.
“Kita bisa berteman kan?” Tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya.
“Tidak. Aku tidak suka berteman denganmu.” Jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
“Baiklah kalo tidak mau. Padahal jika kita berteman, mungkin saja suatu hari nanti aku benar-benar jatuh cinta sama kamu terus kamu juga cinta aku dan kita bakalan nikah sungguhan.” ucapnya santai lalu menyuap nasinya kembali.
“Sepertinya kamu masih sakit. Minum obatmu dan Istirahatlah, biar otakmu juga bisa ikut sehat.” Aku berlalu meninggalkannya, aku tidak sanggup berada lama didekatnya. Apalagi dengan tingkahnya yang seperti itu, aku tidak ingin hatiku luluh padanya.
“Heii.. mau kemana? Aku tidak sedang bergurau teman.” Teriaknya. Aku sama sekali tidak memperdulikan perkataannya.