webnovel

Seharusnya

"Temenku yang mana?" Tanya Andi penasaran.

"Masih pakai tanya lagi, emang temen dekat kamu yang suka sering kesini siapa sih?" Jawab Dina balik tanya.

"Masa Fajar" celetuk Andi terlihat gak yakin dengan ucapannya tersebut.

"Ya siapa lagi kalau bukan dia," Balas Dina.

"Serius Kamu Din?" Sahut Andi meyakinkan.

"Gak percaya ya udah, wong gak ada untungnya juga kok buatku, Kamu mau percaya ya silakan enggak juga gak masalah," terang Dina.

"Oke, Oke, Aku percaya, terimakasih informasinya ya Dina manis ... gini wes sekarang aku mau pesan anggur dan langsung anterin di bilik siput, siang ini Aku ingin ngamar sama kamu di sana, Oke manis," ucap Andi sambil mencubit mesra dagu Dina.

Dina adalah salah satu pelayan yang bertarif sederhana, ya tentu faktor casing lah yang menentukan itu, dia memiliki rupa yang manis dengan hidung yang tidak mancung, berkulit agak kecoklatan, dengan postur agak sedikit tambun.

Untuk bisa mengajak kencan dengannya biasanya Dina memasang tarif lima ratus hingga satu juta untuk sekali kencan dengan durasi tiga sampai empat jam, tergantung tua atau muda yang memboking nya.

Biasanya kalau Dina nya merasa cocok dia juga akan betah untuk berlama-lama dengan pelanggannya itu.

Sedangkan bilik siput itu adalah bilik kelas menengah dengan tarif lima ratus ribu untuk waktu enam jam.

Tarif yang terbilang murah bagi Andi saat ini, melihat isi kantongnya yang lagi tebal, tapi ya itulah Andi aslinya, kalau untuk sekedar melepaskan nafsu birahinya ia tidak terlalu muluk-muluk, pokok semua wanita yang ada di cafe situ menurut Andi sudah bisa untuk memenuhi pelampiasan birahinya.

Dan setelah merasa puas melepaskan hasrat seksualnya pada Dina Andi pun segera keluar dari cafe dan dia hendak ingin pulang.

Sambil melaju pulang Andi masih terus kepikiran dengan ucapan Dina tentang Novi yang katanya pulang ke Malang dengan diantar Fajar.

Andi sebenarnya masih belum yakin seratus persen, dan dia ingin menelpon Fajar, tapi itu diurungkan, karena gak enak untuk menanyakan hal yang dianggapnya penting tapi cuma dibicarakan lewat telpon, dia tahan dulu rasa penasarannya itu, biar nanti pas sudah ketemu Fajar akan ditanyakan secara langsung kebenaran berita yang telah didengarnya dari Dina tersebut.

Tidak lama kemudian Andi pun sampai di rumah, setelah turun dari kendaraannya diapun langsung masuk rumah tanpa mengucapkan salam.

Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, sebenarnya dia langsung ingin tidur tapi karena badannya terasa kotor juga gerah karena sejak dari Banyuwangi kemaren belum mandi ditambah lagi habis berkeringat panas karena habis bercinta di cafe bareng si tambun Dina, maka Andi pun memutuskan untuk mandi terlebih dahulu.

Di rumah Andi hanya bersama dengan Neneknya yang saat itu terlihat sedang menghangatkan sayur yang dimasaknya tadi pagi.

"Masak apa nek?" Tanya Andi sambil berjalan menuju kamar mandi.

"Masak semur ikan tongkol," jawab wanita yang sudah banyak ditumbuhi uban tersebut.

"Sip Nek, habis mandi Aku mau makan," sahut Andi sambil menutup pintu kamar mandi.

Setelah selesai mandi Andi pun langsung makan masakan Neneknya tersebut, dan meski lauknya pakai semur sisa masakan tadi pagi tapi Andi terlihat sangat lahap menikmatinya.

"Andi, nanti kalau sudah habis makan jangan langsung pergi ya? Ada yang mau Nenek bicarakan sama Kamu," pinta Nenek pada Cucunya yang sangat bandel itu.

"Habis makan Aku mau tidur Nek, kalau mau ngomong ya ngomong aja sekarang," cetus Andi sambil terus melahap masakan Neneknya tersebut.

Sambil menghela nafas Nenek Aminah yang tadinya berdiri itu langsung duduk di samping cucunya tersebut.

"Tadi pagi Pamanmu Burhan nelpon Nenek," terang Nenek Aminah.

"Apa, terus Nenek mau ikut ke sana maksudnya?" Cetus Andi mendahului omongan yang mau dikatakan oleh Neneknya tersebut.

"Iya Nak ... Nenek sudah sangat tua, dan sering di rumah sendiri, jadi Pamanmu merasa kasian."

Mendengar penuturan Neneknya tersebut Andi tidak menjawab, dia cuma diam disebelah Neneknya.

"Sebenarnya Ibumu juga mau ajak Nenek untuk tinggal di sana, tapi Nenek gak mau karena kalau Bandung itu terlalu kejauhan," terang Nenek Aminah.

"Jadi Nenek benar mau tinggal di Madiun?" Tanya Andi.

"Iya, dan sebenarnya Ibumu juga menginginkan kamu untuk ikut ke Bandung, Nenek disuruh membujuk kamu supaya mau tinggal di sana, dan Nenek pun berharap kamu mau ikut tinggal bareng Ibumu di Bandung," lanjut Nenek menasehati Cucunya tersebut.

"Enggak lah Nek, Andi gak mau tinggal di Bandung, Andi mau tetap tinggal disini," balas Andi pada Neneknya.

"Udah Nek, Andi ngantuk banget Andi mau tidur," ucap Andi sambil bergegas meninggalkan Neneknya dan langsung masuk ke kamarnya.

Nenek Aminah itu cuma memiliki Anak tiga, yang pertama meninggal sejak masih balita yang kedua adalah Ani Rahmawati atau Ibunya Andi dan yang terakhir adalah Burhan yang menjadi pegawai PLN dan ditugaskan tinggal di Madiun.

Sementara itu diluar telah terdengar suara adzan maghrib, Nenek Aminah pun segera beranjak mengambil air wudlu, dan setelah selesai berwudlu tanpa mengajak cucunya si Andi untuk pergi ke Masjid Nenek pun langsung segera berangkat.

Bukannya gak mau mengajak Andi ke Masjid tapi percuma saja mengajak Andi untuk sholat, bukannya mau untuk diajak sholat yang ada malah Neneknya yang kena bentak.

Setibanya di Masjid Nenek Aminah pun segera membentang kan sajadah dan secara kebetulan Ibu Eni atau Ibunya Fajar yang baru datang langsung mengambil posisi di samping Nenek Aminah juga.

Biasalah para Ibu-ibu, udah tau didalam Masjid, sambil menunggu sholat jama'ah dimulai bukannya berdzikir atau melantunkan puji-pujian, eh malah ngrumpi.

"Nek Minah Andi ada di rumah atau enggak?" Tanya Bu Eni.

"Ada Bu, baru saja datang," jawab Nek Minah.

"Lha Fajar kok kaya jarang keliatan dimana to Bu? Ucap Nek Minah balik tanya.

"Minggat Nek," balas Bu Eni dengan nada terlihat kesel.

"Ya do'akan aja lah Bu, semoga Allah segera memberinya hidayah," tutur Nenek Aminah memberi saran pada Bu Eni.

"Iya Nek, doa nya saja," balas Bu Eni singkat.

"Iya Bu Eni, amin..." sahut Nenek Aminah.

Tidak selang berapa lama Iqamah sholat pun berkumandang tanda sholat jamaah akan segera dimulai, terlihat Haji Somad sudah berdiri di dalam Mihrab Masjid yang terlihat sangat mewah itu.

Masjid yang ada di perkampungan situ memang terbilang sangat megah dan mewah dan itu sebagian besarnya yang menjadi donatur adalah Haji Somad yang memang terkenal sangat loyal dalam urusan bantu membantu, terlebih dalam urusan agama.

Orang yang ada disekitar situ juga sudah tahu kalau Haji Somad yang terkenal kaya dan dermawan itu memiliki nasib kurang beruntung dalam urusan anak.

Ya, karena si Fajar yang semestinya bisa menjadi andalan orang tua dan bisa menjadi penerus malah terjerumus dalam kubangan maksiat dan dosa.

Bersambung.