webnovel

Chattan

"Allah akan menerima taubat hamba. Apa kamu tertarik dengan Afrin?" Pertanyaan itu membuat Barra terpaku dan bengong.

Drettt!

Drettt!

"Apa Dik? Lahiran? Aduh ... mobil Mas di bengkel, oke. Iya, tunggu ya. Di RS Famili, oke," ujarnya sambil mengambil tas.

"Bapak mau saya antar?" tanya Barra, mengikuti langkah cepat dari dosennya.

"Boleh," jawab Rusdi. Keduanya berjalan cepat, Barra berlari lalu membukakan pintu mobil. Barra masuk dan duduk di samping supir, mobil pun melaju.

Barra pemuda yang terkenal kaya raya di kampusnya, banyak juga para gadis mengincarnya. Namun, karena sikap Barra, mereka mundur. Selama ini Barra terkenal cuek dengan para wanita. Walaupun dia memang suka dugem dia tidak pernah sama sekali tidur dengan wanita. Banyak yang mengatainya penyuka sesama jenis. Namun, dia tidak pernah mendengarkan omongan orang.

Gadis yang kini memikatnya adalah Afrin Fariha Alia dengan bukunya.

"RS Famili Pak Ali," pintanya kepada supir.

"Setelah ini kamu pulang. Biar Afrin besok yang datang ke rumahmu. Biar dia yang mengajarimu. Oke ...."

"Siap," jawabnya sangat bersemangat. Mobil berhenti Dosen itu turun.

*****

Hari demi hari di lalui Barra, belajar huruf Hijaiyah, menghafal bacaan solat, dengan tulisan bahasa indonesia.

Belajar gerakan solat. Ia benar-benar berjuang ingin mengenal agama islam. Selama dua hari terakhir ini, dia fokus ke yang dia pelajari yaitu agama islam.

[Hai ... salam kenal. Aku Afrin.]

Chat itu membuat Barra berbunga-bunga dan sangat bahagia.

"Kalau gitu aku semangat, Allah memang is magic, i love Allah. Subahanaallah ...." 

***

Tiada  mendung namun langit menangis, hujan turun dengan sangat deras. Barra menoleh ke kanan di luar kaca. Di sebrang jalan ada gadis berdiri di Halte Bus gadis bercadar yang beberapa waktu lalu dilihatnya.

Lampu merah dan mobil berhenti, Barra tak melepaskan pandangannya. Lampu hijau, pandangan Barra  berlalu begitu saja.

 

"Gadis bermanik hazel bercadar, kenapa denganku, ingin terus menatapnya, eeeh dasar aneh kau Barra!"

"Den, kalau mau bicara ajak-ajak Den ...." kata pak Ali menjalankan mobil, Barra hanya cengar-cengir. Mobil sampai kampus. Barra meraih ponselnya dia hanya menatap nomer Afrin ingin menghubungi namun tidak berani.

Ia berjalan cepat ke perpus, mengambil beberapa buku, yang akan di pelajarinya.

Sambil memegang ponsel dan main game. Barra keluar dari pintu dan tak sengaja bertabrakan dengan gadis bercadar.

Bugh!

Barra mengambil buku-bukunya, yang berserakan. Gadis itu berdiri lebih dulu, berjalan satu langkah, tak sengaja mengijak semua jari Barra yang masih mengambil buku-bukunya.

"Eih ... heh. Kamu! Hey, minta maaf kamu!" seru Barra dengan berdiri, lalu memperlihatkan tangannya memerah. "Lihat jari-jari ku! Warnanya sama dengan kerudungmu, merah merona!" tunjuk Barra sambil mengangkat tangannya, hingga jari-jari kanannya ke depan mata gadis itu.

"Maaf saya  tidak sengaja, kamu juga kan menabrak saya, tanpa minta maaf," jawab gadis itu.

"Oooh dasar merah merona!" bentak Barra.

"Maaf." Gadis itu pergi.

Barra bersandar sambil tersenyum karena terpukau. Dan merasa lemas sambil memegang dadanya.

'Ninja sang pemikat hati cihui ... ah kok plin-plan aku, sukanya sama Afrin atau dia,' batinnya.

*****

Hari demi hari berlalu begitu saja.

Barra merasa pusing dan tidak berani menghubungi Afrin, ia lari sangat kencang lalu berteriak, ke lantai atas kampus

"Aaaaaaa."

"Setidaknya menjadi ringan.

Lari ngos-ngossan hanya untuk membuang suara, sungguh tak bermanfaat! Aku pria ganteng, kaya, tapi kesepian, aku kasian pada diriku sendiri. " Barra mengeluhkan dirinya.

"Hay, jangan bunuh diri, dosa tau!" tegur gadis berhijan merah merona dengan napas terputus-putus.

Barra berjalan turun kembali ke kelas, ia sama sekali tak menggubris, gadis yang

menegurnya.

"O ... ternyata gak mau bunuh diri," kata gadis itu di belakang Barra ia merasa malu.

"Lebih baik kamu jauh-jauh, aku tak akan naksir kamu," ucapan yang sangat PD dari Barra.

"Nggak usah halu, ini hanya sikap kemanusiaan!" jawab cepat dari gadis itu.

Barra berlalu dengan senyum dan memegang dadanya.

'Rasanya seperti di terjang badai wurhus ... kenapa aku merasa terpikat dan terpesona?' batinnya.

 

"Ya Allah ini benar-benar magic," kata Barra menatap langit luas, ponsel Barra berdering.

"Halo," sambut Barra "Iya Ma. Mama transfer saja, atau lebih bermanfaat untuk anak yatim," jawab Barra malas.

"Barra mama kangen," ujar Mamanya dengan suara lembut.

 

"Kalau kangen ya ke Indonesia," sahut Barra cepat dengan kesal.

"Nggak bisakan? Sibuk kan? Tidak usah pulang Ma! Mungkin aku bukan anak yang di harapkan hingga tak ada yang merawatku, orang lain menyayangiku, jadi yang aku butuh hanya uang Mami, itukan fikiran Mami, kepada ku?" Barra memutus telpon dan berkata.

"Heh. mengerikan, wewegombel saja ingin anak, Mama ku malah menelantarkanku, hih ... untung aku tidak di culik wewegombel. Kan ... jadi tambah streskan aku! Ngomong sendiri."

*****

Barra masuk ke ruang televisi melihat bibi-bibinya menangis, karena baper "Heee, tak ada yang menangisi ku ...." rengek Barra.

"Yang sabar Den, suami saja dilantarkan

gara-gara, artis-artis itu, Den ajak solat asar Den," suruh pak Ali, lima dari pembantu istri tukang kebun, yang empat janda.

"Lima belas menit lagi sudah selesai, nanti saya ajak solat, Pak." Barra duduk ikut nonton film salesai.

"E ... baper ...." Barra bergurau, semua menoleh dan serempak

"Den Barra ...."

"Bibi-bibi nggak capek? Ini sudah jam salat. Saya tau bibi-bibi ku yang cantik-cantik sudah disiplin tapi mohon jaga kesehatan, kalian semua kesayanganku, ayo salat," imbuhnya mengajak.

"Iya den," kata para asisten rumah tangga yang semakin takjub dengan perubahan dari Barra.

*****

Siang itu Barra pergi ke kampus, sambil tunggu bel, dia duduk di serambi masjid.

"Pria hampa, meranaku menjulang setinggi menara, aduh. Ya Allah, setidaknya buat aku senang hari ini, ya Allah, Aamiin." Dia berjalan malas ke kelas.

"Aku sudah tua dan masih semester satu, memalukan, kenapa aku sering ngomong sendiri," mengrutu menyesali bicaranya.

Sudah enam bulan sejak koma ia tidak, dugem. "Aku ingin,  tapi sudah takut kepada Allah." Barra merasa sesak. Lalu dia mengambil air wudlu.

 

****

Barra dan supir menuju panti asuhan yang sering ia sambangi. Dalam perjalanan ingin menghubungi Afrin namun dia meredam keinginannya.

Mereka sampai lalu mereka turun Pak Ahmad supir pengganti pergi ke panti. Barra berjalan ke sungai dua ratus meter dari panti.

"Ya Allah, aku tersiksa perasaan ku sendiri, ini sesak ya Allah." Barra menangis dengan merunduk. Menekuk badanya seperti orang rukuk.

Dia duduk, dari kejauhan terlihat gadis bercadar tengah main bersama anak panti.

"Apa aku mimpi?"

"Aden ayo pulang!" teriak Pak Ahmad.

Hujan turun tiba-tiba, Barra berlari ke mobil, seakan tak rela melepas pandangannya. Dengan terpaksa Barra membuka pintu mobil, tapi masih berdiri menatap dia gadis yang dijuluki si merah merona.

Gadis itu mengangkat wajahnya menikmati setiap tetes hujan yang jatuh di wajahnya.

"Aden ...." Pak Ahmad.

"Iya pak," ucap Barra lalu naik mobil, mobil berjalan, tempat panti dan rumah Barra berjarak 30 KM jauhnya.

 

*****

Mobil terparkir dia masuk kemudian memeluk Pak Ali.

"Eh he ... aku sakit, hati ku perih, padahal sudah bertahun-tahun, tapi aku semakin rapuh,  aku merindukan, orang yang melahirkanku, tapi dia sama sekali tidak merindukan, anak yang pernah dilahirkannya. Jika tak dirindukan kenapa dilahirkan. Eh ... aku semakin dewasa, tapi aku semakin cengeng. Ayahku sudah bahagia dan melupakan ku," keluh Barra menyandarkan kepalanya ke Pak Ali.

Pak Ali memeluk Barra. "Den, terkadang orang tua punya alasan, kenapa melakukan itu, dan sebagai anak, aden harus mengalah dan memaafkan," ucap Pak Ali menghibur.

"Aku mengerti pak, tapi satu kali saja jengguk aku, dari umur aku delapan sampai duapuluh enam tahun kami tidak bertemu. Entah hukuman apa yang Mama berikan kepadaku, bahkan dalam keadaan koma pun, dia tak menjengguk, padahal anaknya diambang kematian. Dia sama sekali tak perduli, dia mengira aku cukup bahagia dengan kehidupan mewah seperti ini," lanjut Barra menariki benang sarung pak Ali.

"Semua ada hikmahnya den Barra. Den Barra bersedekah, menyumbang untuk anak cucu kami agar bisa sekolah. Merawat kami para pekerja. Mama Aden sayang sama Aden, hingga tak mau aden hidup susah karna, perceraiannya," sahut Pak Ahmad mencoba memberi pengertian yang dari tadi duduk di belakang Pak Ali.

Drettt!

"Halo. Maaf Mama, aku tidak merasakan jadi Mama, tapi Mama juga tidak merasan jadi aku, aku bak price yang sengsara, maafkan aku, aku selalu kasar sama Mama, aku terlalu keras sama Mama, ini semua salahku," ucap Barra saat mengangkat telpon.

"Barra ...." suara mamanya menangis.

"Im sorry, Barra i love you, i miss you." Lalu menutup telponnya. Barra membuang napas yang lelahk dan air mata kerinduan dan kebencian kepada Mamanya menetes ke bantal. Barra memejamkan mata dan tidur.

Bersambung.