webnovel

Cinta Istri Kedua

Aku adalah orang kedua dalam hidup seorang penakluk cinta Terbaring dalam keheningan malam tanpa kepastian perjalanan masa depan Tangan terbelenggu di antara serpihan hati Menutup mata dan telinga demi kata cinta Harapan demi harapan muncul di sela kepahitan hidup Janji terucap depan langit dan bumi Apakah aku bisa meraih masa depan jika melepaskan semuanya? Apakah aku akan terdampar sekali lagi pada sebuah kehilangan? Note. * Cover milik pinterest * Cover bisa berubah-ubah * Harap bijak mengambil kesimpulan cerita * Jangan menghakimi * Berikan ulasan di kolom ulasan jika suka [ semangat ;) ] Volume 4 : Mereka merenggut jati diriku. Mereka merubah segalanya. Tidak ada yang tersisa selain penyesalan di masa lalu. Apakah ada jalan untuk mengambil kembali kata bahagia ketika segalanya di atur sang kehidupan? Frederick memandang wajah cantiknya dengan senyum di bibir. Maureen salah tingkah di depannya, pria aneh pikirnya. Langit menyayikan lagu konyol dengan sejuta ironi di dalamnya.

natalia_sinta · 现代言情
分數不夠
461 Chs

72 Jam Sebelum Pesta

Minuman beralkohol masuk dengan cepat dalam perut Robi. Caoli menatap santai pria di hadapannya, ia terus menambahkan terus minuman di gelasnya.

"Kalau kamu membantuku maka perusahaan kamu aman. Aku hanya butuh kamu masuk dalam kehidupan Riu sekali lagi"

"Aku tidak bisa" tolak Robi seraya menenggak cairan merah itu.

"Bagian mana yang tidak bisa?" tanya Caoli mulai tidak senang.

"Dia wanita baik" jawab Robi dengan enggan.

"Aku hanya ingin kamu membuat Jero melepaskan Riu, tidak ada hal lainnya yang akan membahayakan Riu" tegas Caoli gusar. Makian nyaris keluar dari mulutnya bak air di terjun.

"Aku--". Perkataan Robi tersangkut di lehernya, ada hal yang seharusnya tetap disimpan dalam kepalanya dan ada yang perlu di singkirkan.

"Kamu mencintainya. Aku tahu dan buka jalan sekali" jelas Caoli dengan tekanan pada suaranya. Kegusaran tampak di setiap kali mengisi cairan merah ke dalam gelas.

"Itu terlalu riskan mengingat Jero akan murka" kata Robi mengingat sekali lagi bagian yang harus dilewati.

"Pernikahan mereka hanya kebohongan publik. Aku tahu, di hati Jero hanya ada Ayun" jelas Caoli lagi, ia tidak mau berurusan dengan manusia menyedihkan satu ini jika tidak ingat Riu.

"Kamu bisa memastikan?" tanya Robi terkejut. Ini berita baru yang didengarnya. Siapa yang tidak mengenal, persahabatan mereka bertiga dan ingin panjat sosial di dalamnya.

"Tentu saja" ujar Caoli keras. Semakin keras ia bicara, Caoli khawatir dengan Riu.

"Tapi, aku sempat melihat Riu, dia terlihat bahagia" bantah Robi ketika sekilas ingat malam itu di mal.

"Kapan kamu bertemu Riu?" tanya Caoli terkejut. Ia sendiri tidak pernah bisa bertemu tapi pria menjijikkan ini bisa bertemu, dunia tidak adil padanya.

"Tidak bertemu, hanya melihat dari jauh saja" jawab Robi memijit kepalanya yang mulai tidak nyaman.

"Begitu" kata Caoli datar. Emosinya berubah-ubah bagai wanita PMS, kalau begini terus terancam rencananya gagal.

"Kebetulan aku berjalan di mal bersama anakku lalu melihat Riu bersama Leti sahabatnya" ungkap Robi santai mengambil gelas berisi cairan merah menawan seperti memanggil jiwanya untuk merangkak dan memujanya.

"Itu... sudah lama?" selidik Caoli semakin tidak nyaman. Kecemburuan pribadinya bisa muncul sewaktu-waktu, tidak ada yang boleh melihat Riu selain dirinya.

"Belum terlalu lama, Riu sangat cantik" puji Robi dengan wajah seperti mengenang dan terlihat bodoh. Walau tidak senang wanita pujaannya di puji orang lain tapi harus di akui jika Riu memang bertambah cantik seiring pertambahan usia.

"Aku setuju... kalau itu" kata Caoli kalem terseret mengingat wajah Riu yang luar biasa lembut, bahkan tangannya gatal ingin bersentuhan dengannya.

"Apakah mereka sudah memiliki anak?" tanya Robi mengerutkan dahinya. Ia merasa bersalah dengan Riu tapi dalam hal ini, ia juga tidak dapat disalahkan.

"Aku rasa belum" jawab Caoli bersyukur dalam hati, Jero belum membuahkan hasil yang pasti.

"Mengenai tawaran ini, biar aku pikir lagi" kata Robi bangkit berdiri dengan sempoyongan.

"Pikir saja baik-baik. Tidak ada salahnya berfikir tapi sepertinya perusahaan tempat kamu bekerja tidak bisa menunggu lebih lama" ujar Caoli mulai santai.

"Aku--". ujar Robi ragu, hati ingin bertemu tapi mulut berkata lain. Caoli benci pria yang mirip wanita. Sebentar bicara sebentar di putus, sangat menjijikkan tanpa ada kepastian di dalamnya.

"Aku beri satu hari" putus Caoli berusaha keras untuk tidak berdiri tegak di tempat berdiri Robi sebelum keinginan menghajarnya muncul.

"Tapi, ini bukan perkara mudah" keluh Robi, bagaimana juga ia tidak bisa mendadak muncul dalam pesta.

"Asal ada cinta di hatimu maka itu akan mudah. Jero tidak pantas bersama Riu" tepis Caoli pelan, sedikit merendahkan antusias dalam suaranya.

"Mengapa?" tanya Robi berdiri sempoyongan, Jose yang diam mendengarkan di samping mereka berdua segera berdiri dan menopang supaya Robi tidak jatuh tersungkur.

"Ada rahasia yang belum kamu ketahui" kata Caoli nyaris teredam oleh suara musik dalam diskotik.

"Apa ini berkaitan dengan bangkrutnya perusahaan aku dulu?" tanya Robi kaget, kalau benar maka seharusnya Riu tidak seperti sekarang.

"Aku tidak mengatakan itu, silahkan simpulkan saja sendiri tapi aku benar-benar butuh bantuan darimu supaya perusahaan aku terbebas dari Jero demikian juga Riu" jawab Caoli sedikit misteri, menambahkan sedikit bumbu diperlukan agar Robi mengikuti keinginannya.

Robi mengangguk mengerti, "Aku pulang dulu. Besok aku kabari" katanya berjalan menjauh di bantu Jose menuju mobilnya diparkir.

Caoli menggoyangkan gelas di tangannya tepat saat Carlo duduk di hadapannya. Wajahnya tidak bisa dikatakan baik. Penampilan berantakan dengan bau tidak enak.

"Aku ikut apapun rencanamu" teriak Carlo kencang, ia takut Caoli tidak bisa mendengar perkataannya. Ia baru saja menerima laporan dari anak buahnya dan terkejut.

Caoli mengangkat alisnya sebagai tanda ejekan. Carlo tertawa terbahak-bahak melihat itu sementara Robi mengelengkan kepalanya, ada perasaan tidak nyaman melihat Carlo berada di sini.

"Aku tahu di belakang ada drama. Mengapa tidak jika aku berhasil mendapatkan Ayun di antara kakiku dan buku nikah" ungkapnya tanpa sopan santun.

"Kamu gila" tuduh Caoli cepat. Biar bagaimanapun, ia tidak mungkin menarik sahabat yang disukainya ikut dalam permainan berbahaya menentang Jero.

"Gila karena cinta" ujarnya sedih, air matanya keluar bagai air kencing seekor anjing.

"Aku tidak mengerti, ayun sudah dilukai sampai tak tersisa dan kamu masih menerima barang dia. Sungguh membuatku jijik" ucap Caoli memperhatikan wajah Carlo.

"Cinta itu tidak perlu dimengerti tapi dirasakan" ungkapnya dengan nada di lebihkan.

"Kamu mabuk!" tuduh Caoli lagi, konyol melihat sahabat kuliah bisa tumbang karena masalah sepele.

"Mabuk cinta hahahaha". Suara tawa sumbang di keluarkan Carlo keras lalu menangis tersedu-sedu. Tepukan simpati di berikan di punggung supaya reda, berubah menjadi suara dengkuran keras.

Jose terkejut mendapati Carlo berada di meja Caoli. Sungguh pemandangan langka dimana Caoli menepuk sedangkan Carlo menangis keras. Mau tak mau Jose mengaruk kepalanya yang tidak gatal. Ada apa ini, apa bos sudah berubah haluan menjadi sama, rasa ngeri di tunjukan. Beruntung situasi diskotik temaram di tempat mereka berdua duduk jadi tak terlihat.

"Antar Carlo pulang" suruh Caoli begitu menyadari Jose berdiri di dekatnya.

"Tapi... "bantah Jose enggan. Dua kali mengurus orang mabuk, sungguh malam yang menyebalkan.

"Tidak apa-apa. Aku masih menunggu orang" katanya mengangkat Carlo supaya berdiri, terpaksa Jose membantu dengan merangkul.

"Baik. Saya antar sebentar lalu balik lagi" putus Jose merangkul dan setengah menyeret tubuh besar Carlo.

Caoli duduk lagi, matanya menjelajah di setiap tamu yang datang sepeninggal Jose. Malam sudah sangat larut tapi orang yang sebenarnya ditunggu, belum juga muncul.

Tangan hendak menuang cairan merah ke dalam gelas ketika bau parfum lembut menghampiri hidungnya bahkan berani menahan gerakan tangannya.

"Terlalu lama" keluhnya malas. Orang yang ditunggu muncul tepat di depan hidung memberikan mantera untuk menanggapi sinyal kehausan yang sempurna. Decak dan hembusan nafas yang bergantian mengiringi insting, tanpa sebuah perkataan yang banyak, ia duduk di pangkuannya dan memasuki dunia malam penuh keindahan.

"Tidak untuk kali ini" ujarnya menjawab keluhan yang diiringi serbuan dari sebuah kenyataan primitif yang di manipulatif. Permainan dan perselingkuhan menjadi ajang realita di kota besar.