webnovel

Cinta Diujung Kabut

Rukha memutuskan berangkat ke Yogyakarta untuk belajar Seni Batik Tulis agar ia mendapati perhatian dari sang Ayah. Disana Rukha bertemu dengan seorang pemuda bernama Ghandy yang tidak lain adalah anak dari Larasati seorang seniman Batik Tulis yang nanti nya akan melatih Rukha. Mereka saling memendam rasa yang mendalam. Kisah lampau yang telah lama terkubur kembali terkuak ketika Rukha menceritakan kepada Larasati tentang alasannya belajar Seni Batik Tulis. Rahasia besar satu-persatu terungkap, membuat semua orang terjerat dalam belenggu perasaan yang menyakitkan. Sanggupkah Rukha dan Gandhy menghadapi kenyataan pahit cinta yang telah menjerat bagai akar beringin tak berujung? Bagaimana hidup ini bisa begitu kejam dalam mengisyaratkan sebuah cinta. Ikuti kisah Rukha dan Gandhy yang penuh Tragedi dan air mata. -KembangJati-

KembangJati · 现代言情
分數不夠
24 Chs

Tentu aku akan sangat merindukannya…

Hamparan hijau pohon murbey membentang sejauh mata memandang. Kabut tebal yang perlahan menipis sangat terlihat dibalik bukit pegunungan. Kicauan burung menyambut mentari seakan mengucapkan selamat pagi kepada para pekerja. Masing-masing pekerja asyik memetik pucuk daun murbey yang nantinya akan menjadi pasokan makanan ulat sutra.

Setiap jarak setengah meter dari pohon murbey diisi oleh pekerja perempuan dengan jarak usia yang berbeda. Sesekali mereka mengobrol bahkan bersenda gurau satu sama lain. Para pekerja mengenakan baju kaos berlapis untuk menjaga kehangatan dari dinginnya udara.

Mereka juga membalut kain panjang dan membentuknya menjadi tutup kepala sebagai penahan tampah yang akan mereka junjung setelah mengumpulkan daun murbey yang sudah dipetik.

Beberapa pekerja laki-laki paruh baya juga terlihat sibuk. Mereka memperhatikan rumput-rumput liar yang tumbuh disekitar pohon murbey.

Rumput-rumput liar pun segera dicabut atau disemprot oleh mereka. Agar tidak menjadi benalu yang mengganggu pertumbuhan pohon murbey.

Pohon murbey termasuk tanaman yang mudah untuk ditanam karena tidak memerlukan perawatan yang khusus.

Namun, para pekerja selalu dengan sigap dan rajin memperhatikan pertumbuhan makanan ulat sutra tersebut agar sutra yang dihasilkan berkualitas tinggi.

Semakin bagus kualitas daun murbey maka sutra yang dihasilkan oleh kepompong ulat sutra akan semakin tinggi bahkan produksi kokonnya bisa 20% lebih banyak.

"Non". sapa lembut seorang pekerja paruh baya yang menyadari kehadiran Rukha, sambil sedikit membungkukkan kepalanya.

Beberapa pekerja yang mendengar sapaan itu ikut tersenyum kepada gadis bermata biru gelap yang baru saja tiba dilokasi.

Rukha membalas dengan senyuman ramah kepada para pekerja yang tersenyum padanya.

"Ada yang bisa saya bantu non?" Lanjut pekerja wanita paruh baya.

"Mengapa kau bertanya Nurmi." sambar seorang nenek yang datang dari belakang Rukha sambil berjalan menjujung tampah berisi daun murbey yang sudah dipetiknya.

Bersamaan dengan itu Rukha juga mengolehkan kepalanya dan tersenyum pada nenek yang berjalan mendekatinya.

"Tentu Rukha akan memetik pucuk daun murbey bersama kita seperti biasanya." Nek Darsih melanjutkan perkataannya dengan penuh semangat sambil tersenyum lebar.

Rukha membalas perkataan Nek Darsih dengan senyum anggunnya. Sambil menyambut Nek Darsih yang sudah berada tepat disampingnya.

"Berikan padaku." Rukha mengambil dengan sopan tampah yang dijunjung Nek Darsih dan membawanya sambil melangkah sembari melihat pohon murbey yang akan dipetik.

"Permisi." Rukha izin pamit kepada pekerja yang telah berhenti melakukan pekerjaan karena menghormati kedatangannya.

Para pekerja yang lain sangat segan untuk mengobrol bebas pada Rukha. Namun, mereka sangat menyanyangi dan menghormati gadis bermata biru gelap itu.

Walau Rukha bersifat pendiam terhadap orang disekitarnya. Tetapi Ia memiliki kehangatan yang dipancarkan dari dalam dirinya.

Nek Darsih terus mengikuti langkah Rukha dari belakang sambil terus mengoceh.

"Mengapa berapa hari ini kau tak terlihat? Apa kau sakit? Atau kau sedang ada masalah? Atau kau mulai bosan bertemu denganku?" Nek Darsih terus bertanya sambil mengeluarkan ekspresi wajah manyunnya.

Rukha berhenti melangkah ia memutarkan badannya, dan sekarang ia berdiri tepat berhadapan dengan Nek Darsih.

"Aku sedikit ada kesibukan nek. Lusa aku akan berangkat ke Yogyakarta."

Rukha memutar badannya kembali berjalan menuju pohon murbey tujuannya.

"Wah, kau akan ke Yogyakarta? Dengan siapa? Ibu mu? A'. . ." tiba-tiba perkataan Nek Darsih terseka. Seakan iya menyadari sesuatu.

"Hmmm maksudku… a apa yang membuatmu pergi kesana? Kau ingin berlibur?"

" Tidak nek. Aku akan belajar disana." Rukha menjawab pertanyaan Nek Darsih sambil memetik pucuk-pucuk daun murbey.

"Belajar? Kau akan kuliah? Masuk perguruan tinggi seperti anak- anak yang lain dikampung ini? Dan pasti kau tidak akan kembali lagi ke kampung ini." Nek Darsih bertanya dengan nada yang sedikit kecewa.

Nek Darsih adalah pekerja yang bekerja paling lama dengan keluarga Sandjaya. Ia sempat membantu Hanum merawat Rukha kecil.

Hanum sudah menganggap Nek Darsih seperti sanak saudaranya sendiri. Hingga menawarkannya untuk tidak perlu lagi bekerja karena mengingat umur Nek Darsih yang sudah menginjak usia 72 tahun.

Untuk segala kebutuhan akan ditanggulangi oleh Hanum. Namun, Nek Darsih menolak mentah-mentah tawaran Hanum. Karena ia memang orang yang sangat penyegan dan memiliki semangat yang tinggi untuk bekerja.

Ia memiliki kedekatan dengan Rukha karena ialah yang merawat Rukha sewaktu kecil. Memikirkan Rukha akan pergi meninggalkan tempat kelahirannya menimbulkan ke khawatiran tersendiri bagi dirinya.

"Aku akan belajar Seni Batik Tulis disana." tegas Rukha.

'Seni Batik Tulis?Ternyata kau masih sangat mengingatnya sampai kau dewasa Rukha.'

Ucap Nek Darsih dalam hatinya sambil menatap Rukha yang sedang memunggunginya.

"Berapa lama?" Nek Darsih kembali bertanya mencari tahu.

"Entahlah. Sampai aku benar-benar ahli dalam bidang itu. Baru aku akan pulang."

"Apakah kau tidak akan merindukan tempat ini?"

Tangan Rukha yang sedang memetik pucuk daun Murbey terhenti dan ia membalikkan badannya melihat seluruh sekitar pandagannya.

'Tentu aku akan sangat merindukannya. Namun saat ini aku harus melangkah menemukan cahaya dibalik kabut, agar tak selamanya merasa gelap dan kosong.'

Lirih Rukha dalam hati.

Tangan Nek Darsih menyentuh bahu Rukha yang membuat gadis itu sedikit terhentak dari lamun sendunya.

"Rukha, Bisakah kau lihat semua ini? Begitu luas bukan? Lahan seluas ini yang meperlihatkan keindahan alam.

Keindahan yang serta-merta bukan ditawarkan begitu saja. Segalanya menjalani proses. Dari pembersihan lahan, pembibitan, pemupukan sampai perawatan hari demi-hari hingga pohon-pohon murbey ini tumbuh dengan subur dan berfungsi sebagai pakan ulat-ulat sutra yang nanti-nya ulat-ulat itu akan menghasilkan benang-benang sutra dengan kualitas terbaik.

Begitu pula kehidupan sama seperti lahan kosong yang harus kau lalui dengan proses. Hingga pada akhirnya nanti kau tak lagi merasa kosong. Walau kau menanam bibit terbaik bukan berarti hama tidak akan menyerang tanaman mu. Nenek yakin kau pasti mengerti maksud Nenek. Jemputlah anganmu nak." Nek Darsih berkata dengan nada serius sambil memeluk Rukha.

" Ayo Rukha, kita bawa pucuk-pucuk murbey ini untuk para ulat sutra yang sepertinya sudah menahan lapar karena obrolan kita." Nenek bergurau mencoba mencairkan suasana.

Mereka berjalan melewati hamparan hijau pohon-pohon murbey yang ditanam dengan penataan yang rapi.

Buah-buah murbey yang sudah memerah mengundang burung-burung datang menghinggapi melahap satu demi satu buah yang mirip strawbery namun dengan ukuran yang lebih kecil dan memanjang.

Burung berterbangan dan berkicauan silih berganti seakan tak ingin ketinggalan merasakan simerah lonjong nan manis.

Rukha berjalan sambil memperhatikan para pekerja yang semua terlihat bahagia tanpa adanya tekanan dalam mengerjakan pekerjaan mereka. Ia tersenyum kecil menghela napas leganya, ia merasa bangga terhadap Ayahnya yang bisa memberikan kebebasan dan rasa nyaman terhadap para pekerja. Tak jarang ia juga sering melihat Ayahnya membantu para pekerja maupun warga desa yang sedang membutuhkan bantuan. Sehingga warga desa dan seluruh pekerja yang berada digudang ulat sutra, rumah, maupun pabrik sangat menghormati dan setia terhadap Ayahnya.

'Dibalik dinginmu aku yakin kau menyimpan seribu kehangatan yang mungkin tak bisa kau berikan padaku dan ibu saat ini, Ayah…'

Ucapnya dalam hati.