webnovel

Cinta Diujung Kabut

Rukha memutuskan berangkat ke Yogyakarta untuk belajar Seni Batik Tulis agar ia mendapati perhatian dari sang Ayah. Disana Rukha bertemu dengan seorang pemuda bernama Ghandy yang tidak lain adalah anak dari Larasati seorang seniman Batik Tulis yang nanti nya akan melatih Rukha. Mereka saling memendam rasa yang mendalam. Kisah lampau yang telah lama terkubur kembali terkuak ketika Rukha menceritakan kepada Larasati tentang alasannya belajar Seni Batik Tulis. Rahasia besar satu-persatu terungkap, membuat semua orang terjerat dalam belenggu perasaan yang menyakitkan. Sanggupkah Rukha dan Gandhy menghadapi kenyataan pahit cinta yang telah menjerat bagai akar beringin tak berujung? Bagaimana hidup ini bisa begitu kejam dalam mengisyaratkan sebuah cinta. Ikuti kisah Rukha dan Gandhy yang penuh Tragedi dan air mata. -KembangJati-

KembangJati · 现代言情
分數不夠
24 Chs

Begitu ingin lari. Namun, ingin tetap tinggal

Rukha menggeser secarcik kertas dan bunga rose lavender keujung sudut meja yang melekat pada dinding.

Ia membentang kain mori, tarikan garis-garis motif terlihat hampir memenuhi separuh kain.

"Aku akan berusaha lebih keras hari ini," ujarnya dalam hati sambil memandang motif jiplakannya kemarin.

Hari ini Rukha mengikat seluruh rambut coklat bergelombangnya menjadi satu. Kemudian, ia menggulungnya membentuk sanggul.

Tak lupa ia memakai bando pita kesukaannya, agar gerakan rambutnya tidak mengganggu konsentrasinya ketika berlatih.

Tangannya yang mengenggam pinsil terus mengikuti garis lengkung yang menghubungkan antara pola satu dan yang lainnya.

Sesekali ia menegakkan kepalanya, memperhatikan dengan seksama garis-garis pola yang telah dibuatnya.

Lalu ia melanjutkan kembali, menarik garis-garis motif batik yang sangat detail diberikan oleh Larasati.

Rukha tenggelam dalam pekerjaannya, meski sulit ia menikmati hal baru yang saat ini dijalaninya.

Untuk sementara, Rukha tidak mengingat suasana kebun murbey yang biasa membuat ia merasakan ketenangan.

"Baru saja berlatih, Ibu sudah memberimu motif Grageh Waluh."

Suara lembut pemuda yang berasal dari sampingnya, memecah konsentrasi Sigadis mata biru tua.

Rukha menoleh ke arah kanan dan sedikit mendongakkan kepala dalam posisi duduknya, matanya membulat karena mendapati wajah Ghandy.

Ghandy memberikan senyum tipis.

Rukha menoleh kembali kearah kain mori, memperhatikan sekilas motif yang memiliki bentuk dasar sayap dan ekor cendrawasih dengan tambahan detail pola-pola tumbuhan.

Dengan melihatnya saja, semua orang sudah bisa merasakan kerumitan pola yang tergambar dimotif ini.

Lalu dengan cepat Rukha kembali menoleh kearah Ghandy.

"Motif Grageh Waluh?" tanyanya.

Ghandy mengangguk dan tersenyum.

"Itu adalah motif yang sulit. Tapi, sepertinya Ibu tidak meragukan kamu." Ujar Ghandy sambil menatap motif jiplakan Rukha yang belum selesai.

Spontan Rukha langsung berdiri dan berbalik arah ingin menutupi motif jiplakannya karena ia merasa pekerjaannya belum pantas untuk dilihat.

Pergerakan spontannya membuat Ghandy terkejut dan sedikit melangkah mundur, begitupun dengan Rukha. Karena tanpa sengaja membuat posisi mereka saling berhadapan dengan jarak yang sangat dekat.

Ghandy bisa merasakan hempasan angin ketika Rukha berbalik, hingga ia bisa mencium khas wewangian dari tubuhnya.

Mata biru tua itu kini berada tepat dihadapan mata hitam lekat milik Ghandy. Hidung mancung mereka hampir saja bertabrakan.

Bola mata Rukha terus bergerak memandang mata Ghandy hingga turun ke hidung mancung pria tampan itu. Sementara Ghandy menatap lekat mata biru tua.

Rukha salah tingkah dengan tatapan itu, ia merasa tak nyaman dengan keadaan ini. Namun, dirinya seolah terjebak dengan pergerakannya sendiri.

Tubuhnya yang terhempit dengan meja dan jarak tubuh Ghandy. Membuatnya tak bisa bergerak kemanapun walau ia sangat ingin berlari dari sana.

Pipinya memerah, jelas memperlihatkan bahwa saat ini ia sedang merasakan hal yang tidak biasa.

Semilir angin pagi berhembus melewati tubuh mereka dari celah-celah posisi mereka.

"Keindahan yang membuatku tak ingin berpaling walau hanya sedetik waktu." Ghandy berkata tanpa sadar dengan tatapan yang begitu dalam pada Rukha.

Rukha terbelalak dan jantung berdebar begitu cepat mendengar pernyataan Ghandy. Entah perasaan apa yang dirasakannya saat ini.

Begitu ingin lari dari sana. Namun, ingin tetap tinggal.

Rukha mulai memandang lekat bola mata hitam yang sudah memandangnya lekat sedari tadi.

Mereka hanyut dalam tatapan yang begitu dalam seolah tak berdasar.

Pintu yang terbuka membuat angin dengan bebas masuk kedalam ruangan Rose Galery. Menghampiri dua insan yang sedang tenggelam dalam pandangan.

Disisi lain (ruang tamu) terdengar jelas suara obrolan dua wanita yang saling bergurau sambil menikmati secangkir teh hijau.

"Teh hijau yang khas ini hanya bisa ku nikmati dirumah mu Laras."

"Maka kau akan rugi bila melarang ku menghidangkannya." Gurau Laras.

Mereka tertawa kecil sambil menyerut kembali teh hijau hangat.

"Apa Rukha belajar dengan cepat?" Tanya Ningrum.

"Aku belum bisa memastikan, tapi yang jelas dia memiliki tekad yang kuat. Aku belum pernah melihat tekad yang begitu besar dari gadis seumuran dia sebelumnya."

"Dia memang sudah berniat belajar membatik sedari kecil. Itu yang dikatakan ibunya padaku."

"Mungkin tekad itu lahir dari dukungan penuh orang tuanya."

"Aku dan Mas Basri kurang apa mendukung Ranti. Tapi tekadnya tetap saja tipis." Gurau Ningrum.

"Mungkin dia punya mimpi yang tinggi. Seperti, berkolaborasi dengan Ayahnya." Timpal Ningrum.

"Ayahnya? Apa ayahnya juga seorang pembatik?"

"Bukan, Ayahnya seorang pengusa…,"

"Kenapa sepi ya mbak, harusnya mbak Rukha sudah mulai berlatih," terdengar suara yang tak asing dari luar.

Larasati dan Ningrum sepontan menoleh kearah pintu.

"Sepertinya itu suara Melur." Tegas Larasati.

"Sebentar ya," timpal Larasati sembari berdiri dari ruang tamu dan melangkah berjalan menuju pintu.

"Benar saja, ternyata itu kalian." Ujar Larasati yang melihat Ayu dan Melur sedang berjalan menuju pintu masuk rumahnya.

"Wah, Melur kau tampak selalu bersemangat." Sambut Ningrum yang juga sudah berada didepan pintu.

"Bu Ningrum." Sapa Ayu dan Melur.

Ayu dan Melur menyalami kedua wanita yang berada dihadapan mereka.

"Kalian berdua sehat?" Tanya Ningrum.

"Sehat Bu, sehat." Jawab Melur semangat.

"Bu Ningrum sendiri bagaimana?" Tanya Ayu.

"Kau bisa melihat dari senyumku." Jawab Ningrum dengan senda.

Mereka semua saling membalas senyum.

"Aaa… Laras, Aku harus kembali. Sepertinya sudah banyak yang menunggu mu."

"Tinggal-lah lebih lama lagi Ningrum. Apa Kau tidak rindu dengan paguyuban ini?"

"Lain kali saja. Aku pasti akan lebih lama, mungkin juga akan ikut membatik bersama. Untuk hari ini aku harus segera pulang. Sebelum Ranti bangun dengan rengekannya."

"Mbak Ranti masih tidur?"

"Mbak mu sakit Melur." Tangkas Larasati.

"Waduuh, sakit apa Bu?"

"Hanya demam karena kehujanan. Ya sudah, Aku jalan ya Laras. Mari ndok…" ucap Ningrum pada Laras, Ayu dan Melur.

"Mari Bu, hati-hati dijalan." Jawab Ayu.

"Hmmm, pantas saja sepi. Ternyata mbak Rukha dan mbak Ranti tidak jadi datang." Gumam Melur.

"Kalian lanjutlah dengan apa yang mau kalian kerjakan. Aku akan kedalam melihat Rukha."

"Rukha?" Ucap Ayu bingung.

"Rukha sedang berlatih didalam. Aku akan melihatnya."

Ayu mengangguk dengan wajah bingung seiring dengan masuknya Larasati kedalam rumah.

"Ayo mbak." Ajak Melur sambil menarik tangan Ayu kedalam Rumah.

"Mau kemana Melur." Jawab Ayu sambil menahan tarikan tangan Melur.

"Ikut kedalam, melihat mbak Rukha berlatih. Aku penasaran Mbak." Bisik Melur.

"Kau ini, kita lanjutkan saja latihan mu. Kau juga masih harus sering-sering berlatih. Ayo cepat bereskan semua barang-barang mu dan letakkan semua ditempat ternyaman menurut mu, supaya tak ada keluhan ditengah-tengah latihan."

Paguyuban memiliki tempat yang luas, ruang yang langsung terhubung dengan alam tanpa dinding pembatas.

Melur bisa dengan bebas memilih dimana ia harus duduk untuk membatik. Apalagi disaat sanggar memang dalam keadaan yang sepi.

"Baik Mbak," jawab melur manyun.

Walau Melur manja kepada Ayu, ia tetap mendengarkan perintah Ayu ketika melihat Ayu sudah tegas terhadapnya.

*****

Pintu berdenyit sembari suara langkah kaki masuk kedalam Rose Galery.

Rukha menoleh kearah pintu dari duduknya, melihat Larasti yang baru saja masuk. Ia menarik nafas lega sambil memejamkan matanya.

"Bagaimana Rukha? Sejauh apa kau menyelesaikan jiplakanmu. Apa kau menemukan kesulitan?" Tanya Larasati.

"Rose Lavender hanya tertuju pada pelangi yang akan selalu kulihat bahkan tanpa mendung ataupun hujan yang menderai." Ujar Ghandy sebelum melanjutkan langkahnya.