"Apa yang aku katakan tidak boleh dilanggar." tegas Mo Liancheng.
"Baik." ucap Qu Tan'er. Lebih baik dia menurut daripada mencari masalah dengan pria ini.
"Jika aku mau kamu mengarah ke timur, berarti kamu tidak boleh mengarah ke barat."
"Baik." ucap Qu Tan'er lagi sembari mengangguk lembut. Kalau tidak mengarah ke timur atau barat, ke selatan atau utara juga lumayan, bukan masalah besar baginya.
"Istri yang aku nikahi bukanlah sebuah boneka."
Lagi-lagi Qu Tan'er hanya mengangguk dan menjawab, "Baik." Dia dari dulu memang manusia, bukan boneka, jadi…
"Karena kamu tadi sudah mengunjungi kediaman Qu, maka kamu tidak akan keberatan jika harus mengunjungi kediaman lain."
"Baik." Qu Tan'er mengangguk tidak keberatan, dia benar-benar tidak keberatan. Hanya saja… Tunggu, bukannya kita pulang ke kediaman Pangeran Kedelapan? Sekarang kita mau ke kediaman yang mana lagi? pikirnya dalam hati.
Mo Liancheng melihat Qu Tan'er lalu memerintah, "Jangan kembali ke kediaman saya, jalan terus saja."
Eh? Ke mana? Qu Tan'er menatap Mo Liancheng dengan penuh tanda tanya, berharap pria itu memberikan jawaban. Namun, pria yang diharapkannya malah menutup matanya tidak mempedulikannya.
"Pangeran, kita sedang mengarah ke mana?" Qu Tan'er yang tidak mendapat jawaban akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
"Nanti kamu juga tahu." Mo Liancheng menjawab pertanyaan itu dengan tetap menutup matanya.
"Kenapa tidak memberitahu sekarang?" protes Qu Tan'er pada Mo Liancheng. Setidaknya dia harus memberinya waktu untuk mempersiapkan diri.
"Kamu akan tahu nanti."
"..." Qu Tan'er memutar bola matanya. Ini adalah kali pertama dia mengangkat kepala dan memutar bola matanya di hadapan orang lain. Untung saja Pangeran tak melihat apa yang dilakukan gadis itu kali ini. Qu Tan'er pun memutuskan untuk tidak bertanya lagi, dia akhirnya bisa bersantai dan bersandar ke dinding kereta.
Namun... Saat punggung Qu Tan'er menempel ke dinding kereta, dia langsung mengerutkan kening kesakitan dan membuatnya hampir saja berteriak. Dia mencoba menahan rasa sakit di punggungnya yang berdenyut-denyut tanpa henti.
Tak lama kemudian, kereta kuda akhirnya berhenti.
"Pangeran, kita sudah tiba." ujar Yuhao memberitahu Mo Liancheng dari luar.
Mo Liancheng mengiyakan dengan suara kecil. Dia dengan pelan merenggangkan tangan dan kakinya yang panjang. Dilihatnya Qu Tan'er sekilas, lalu dia pun berdiri dan keluar dari kereta.
Qu Tan'er langsung memasang gaya seperti putri bangsawan sambil menahan rasa sakit di punggungnya. Namun, tidak ada sedikit pun suara rintihan yang keluar dari mulutnya. Saat Mo Liancheng turun dari kereta, dia diam-diam mengelap keringat dingin di keningnya. Dia sendiri merasa heran, kenapa sikapnya begitu aneh? Saat tidak kesakitan, dia akan berpura-pura menjadi gadis lemah. Namun saat benar-benar kesakitan, dia akan berpura-pura semuanya baik-baik saja.
Qu Tan'er keluar dari kereta mengikuti jejak Mo Liancheng. Saat melihat tempatnya berpijak, dia langsung terperanjat kaget. Di depan matanya kini adalah bangunan kuno yang megah. Tempat apakah ini? Istana?! Dia mengetahui jawabannya saat pengawal istana menyapa pangeran. Dia berusaha menenangkan diri, kemudian mengikuti Mo Liancheng melangkah masuk ke istana.
Rasa penasaran Qu Tan'er tak bisa dibendung dan terus memandangi sekeliling istana. Setiap lekukan bangunannya dibuat dengan sangat indah. Bangunan-bangunan di dalamnya dibangun dengan atap tinggi yang menjulang serta berhiaskan batu giok putih yang berkilap. Suasana di istana tampak tenang dan khidmat, persis seperti apa yang dilihatnya pada adegan-adegan drama di TV. Tetapi diam-diam dia menggelengkan kepalanya. Sangkar raksasa ini terasa sangat suram dan diliputi dengan aura yang membuat orang bergidik ngeri. Setiap orang yang masuk ke istana secara tidak sadar akan bertindak dengan ekstra hati-hati.
Istana Yi Lan, dari kejauhan Qu Tan'er sudah melihat tiga huruf besar berlapis emas itu. Dia akhirnya tahu siapa yang akan ditemuinya nanti.