"Wanita?" Andre mengerutkan dahinya.
"Menurutmu? Apa ada masalah?" tanyanya ketus.
Andre mengerjapkan matanya. "Tidak, tidak… tidak ada masalah, hanya di luar bayangkanku saja." Andre pun menatap Kim yang berdiri di samping Dean. "Aku Andre Pierce." Ia mengulurkan tangannya.
"Kimberly Rodriguez." Kim berjabat tangan dengan Andre sebentar lalu melepaskannya.
"Ini sudah larut malam, lebih baik kita pergi sekarang. Victor meminta kalian berdua untuk datang pagi-pagi," jelasnya.
Untuk pertama kalinya Kim menginjakan kaki di New York, kesan pertamanya tentang New York sangat luar biasa, rasanya sangat berbeda dengan kota tempat tinggalnya dulu. Sepanjang perjalanan Kim menatap ke luar jendela, di depan Dean dan Andre sedang berbincang, dirinya tidak tahu mereka sedang membicarakan apa, Kim memilih diam. Mobil Andre berhenti di sebuah gedung, mereka bertiga pun turun dan masuk ke lift lalu menuju sebuah apartemen di lantai sembilan, pintu kamar bernomer sembilan kosong empat itu terbuka setelah Andre memasukan pin nya. Keadaan apartemen itu gelap dan Andre menekan tombol lampu yang terletak di atas rak sepatu.
Kim terpesona dengan ruangan apartemen yang bercat hijau muda itu, terkesan sangat segar. Kamarnya hanya ada satu, ada ruang tamu cukup besar, dapur, kamar mandi di dalam dan toilet di luar. Kim membuka pintu balkon, udara dingin pun menerpa tubuhnya, ia bisa melihat keramaian dari atas sini.
"Bagaimana kau suka dengan tempat ini?" tanya Andre ketika ia mengambil sebotol bir kaleng dari dalam lemari es.
Kim menoleh. "Ini apartemen yang akan aku tempati?"
"Ya. Victor yang mempersiapkannya." Andre duduk di sofa ruang tamu sambil menikmati birnya.
"Ini terlalu berlebihan untukku, aku tidak bisa tinggal di sini," tolaknya. Ia merasa terlalu banyak yang ia dapatkan setelah bertemu dengan Dean dan ia tidak bisa menerima kebaikan lebih banyak lagi.
"Jangan kau tolak, Victor memang seperti itu kepada semua bawahannya dan ia sangat benci penolakan," jelas Andre. "Dia hanya membantu mempersiapkan tempat tinggal," lanjutnya.
"Aku tidak tahu harus berkata apa lagi selain terima kasih atas bantuannya," jawabnya. Seperti yang dikatakan oleh Andre tadi, berarti dirinya yang akan membayar sewa apartemen ini selanjutnya. Kim bisa bernafas lega, ia tidak mau tinggal dengan cuma-cuma di sini, sangat tidak nyaman untuknya.
"Tidak usah berterima kasih padaku, berterima kasihlah pada Victor besok," balas Andre.
"Aku akan melakukannya."
"Aku tinggal dulu, besok pagi aku akan menjemputmu. Jika kau perlu bantuan, hubungi saja aku," kata Dean. "Ya." Kim tersenyum.
Tadi sebelum berangkat ke New York ia memang sudah menyimpan nomor ponsel Dean, jadi sekarang ia tidak akan kebingungan jika butuh bantuan. Dean dan Andre meninggalkan apartemen Kim, setelah mengantar mereka berdua ke depan pintu, Kim pun langsung merebahkan diri di atas ranjang, ia cukup lelah hari ini, Kim langsung tertidur.
Mobil Andre memasuki basement gedung apartemen yang ia tempati bersama Dean yang hanya berbeda kamar saja, mereka tinggal bersebelahan. Malam ini mereka tidak tidur dan melanjutkan pembicaraan yang sempat mereka bahas di mobil tadi. Andre mengatakan bahwa beberapa orang yang bekerja dipelelangan itu sudah ditangkap oleh pihak berwajib dan beberapa lagi dalam pengejaran, sedangkan Grace tidak tahu ada di mana, ia menghilang dengan orang kepercayaannya yang diketahui bernama Van. Pihak berwajib pun tidak berani menganggu kelompok mafia tempat Grace bergabung, mereka tidak ingin cari masalah dengan para mafia itu dan kepolisian mengatakan kalau mereka tidak tahu menahu soal bisnis yang dilakukan oleh Grace, karena itu urusan pribadi dan tidak ada hubungannya dengan kepentingan kelompok mereka.
"Apa kau percaya begitu saja?" Dean mendengkus kasar.
"Mau bagaimana lagi, mereka tidak ingin berhubungan dengan para mafia nekat itu dan Victor juga tidak mau terlibat," jelas Andre.
"Bagaimana dengan para tamu undangan acara itu?"
"Aku tidak tahu tentang itu, lebih baik kau tanyakan pada Victor besok pagi."
Mereka melanjutkan pembicaraan sampai pukul lima pagi ditemani bir, kacang dan dua bungkus mie instan.
***
Dean menekan tombol kamar Kim, gadis berambut sebahu itu pun muncul dari balik pintu dan mempersilakan Dean masuk. Dari penampilan Kim ia baru saja selesai mandi dan hendak mengganti pakaiannya. Mereka akan ke kantor jam sepuluh pagi dan sekarang masih jam sembilan pagi, Dean terlalu cepat menjemputnya.
"Apa kau sudah sarapan?" Kim menghidangkan secangkir kopi untuk Dean.
"Belum."
"Bagus. Aku baru saja membuat roti bakar dengan telur, sebentar, aku ambilkan dulu."
Kim beranjak menuju dapur mengambil tiga potong roti, dua buah telur, lengkap dengan selada dan tomat. Ia memberikannya pada Dean, alisnya naik sebelah mellihat makanan yang dihidangkan oleh Kim.
"Kelihatannya enak dan sepertinya aku memang lapar," ucapnya. Dean pun mengambil piring dari tangan Kim, tercium aroma wangi dan itu membuat perut Dean bergemuruh, ia mulai mengunyah selembar roti bakar tersebut.
"Apa terlalu pedas?" tanya Kim.
"Tidak, ini sesuai seleraku," jawabnya.
"Syukurlah. Aku ganti pakaian dulu sebentar." Kim beranjak mmenuju kamarnya.
Tidak banyak pakaian yang ia bawa dari rumah dan hanya ada tiga potong kemeja yang Kim miliki, ia harus membeli baju baru untuk bekerja setelah pulang nanti dan sepertinya dirinya akan meminta Dean untuk mengantarkannya ke toko yang menjual baju murah, ia tidak tahu apa-apa tentang New York dan hanya Dean yang dapat ia andalkan saat ini. Kim memilih memakai kemeja putih dan celana abu-abu, ia tidak memiliki rok dan Kim memang tidak suka menggunakan rok, semua bawahannya adalah celana. Setelah itu Kim mengikat kebelakang rambutnya dan memoleskan sedikit lipstik berwarna nude agar ia tidak terlihat pucat.
"Apa yang harus aku bawa?"
"Tidak ada. Nanti kau hanya akan mengisi data diri dan langsung mulai bekerja, untuk berkas yang lainnya aku tidak tahu, nanti saja tanyakan pada Vic," ucap Dean yang sedang memakan potongan terakhir rotinya.
"Baiklah kalau begitu."
"Ayo kita berangkat sekarang." Dean berdiri setelah meneguk habis kopinya, ia berniat untuk mencuci piring dan cangkir kotor itu.
"Tidak usah, biar aku yang mencucinya nanti. Letakan di wastafel saja," sela Kim. Dean pun meletakan piring dan cangkir itu di wastafle.
Sesampainya di bawah Dean memesan taksi. "Apa Mr. Pierce sudah berangkat kerja?" tanya Kim. Dean menatapnya dengan kening berkerut.
"Tidak perlu memanggilnya seperti itu. Panggil saja dia Andre, dia tidak terlalu suka dipanggil dengan sebutan itu," jelas Dean.
"Ah, baiklah kalau begitu. Jadi apakah dia sudah berangkat kerja?"
"Sepertinya dia masih tidur dan akan berangkat siang nanti."
"Apa diperbolehkan?" Kim heran, kantor mana yang membolehkan karyawannya untuk terlambat masuk hingga siang.
"Tidak apa-apa. selama Vic yang menjadi atasan," jawabnya santai.
Kerutan di dahi Kim semakin bertambah, ia jadi penasaran dengan atasan Dean yang bernama Victor itu. Baru kali ini ia menjumpai atasan yang sangat loyal pada bawahannya, ia juga rela mempersiapkan tempat tinggal untuk dirinya. Kim berjanji akan bekerja dengan baik dan tidak membuat calon atasannya itu kecewa dengan pekerjaannya.