"Aku cinta dia, tapi dia yang pemilih…" gumamku pelan kala mengikuti alunan musik merdu melalui headset atau perangkat jemala.
Mataku sedang fokus memandang komputer. Sedari tadi aku berselancar mengarungi ombak internet melihat berbagai foto perempuan cantik dalam berbagai macam gaya gambar untuk projek kantor berikutnya. Tema gim kali adalah kisah cinta. Bercerita tentang seorang lelaki yang memasuki sebuah rumah tua besar dan berusaha memecahkan berbagai kuis agar bisa membuka puluhan pintu untuk membebaskan gadis pujaannya. Mirip-mirip pangeran berkuda putih melawan naga untuk menyematkan calon permaisuri. Sungguh klasik.
Saat itulah tiba-tiba pundakku ditepuk sesuatu. Aku menoleh ke samping, mendapati abangku memberi isyarat tangan ingin berbicara denganku. Tentu saja kusanggupi. Kuangkat masing-masing tangan menarik keluar headset dari kedua telingaku sambil mencondongkan badan ke arah abangku.
"Ada apa, Irvan?"
"Kau mau dengar cerita menarik ngak?"
Aku hanya mengernyitkan kening. Penasaran.
"Ini cerita tentang teman istriku," Abangku membuka cerita. "Dia punya seorang teman cantik jelita. Seorang perempuan yang berumur lebih muda darimu serta berpendidikan tinggi."
"Kau mau menjodohkanku lagi?"
Abangku menggeleng kepala. "Aku pun ngak mau menjodohkanmu dengan perempuan satu ini walau aku bisa."
"Hah?"
"Makanya, dengar dulu ceritaku."
Kali ini aku menyandarkan punggung ke kursi sebelum melipat tangan. "Kenapa perempuan itu?"
"Dia menolak semua laki-laki yang mencoba mendekatinya. Katanya ngak cocok, tapi lebih tepatnya ngak selevel dengan dia."
"Maksudmu dia cari yang tampan yah?"
"Bukan hanya tampan, tinggi dan kaya juga."
Entah kenapa aku merasa janggal. Ini tanda-tanda bendera merah dalam istilah berpacaran yang sering dibilang orang. Tanda ngak beres.
"Kondisi keluarganya gimana?"
"Anak orang kaya, anak gadis satu-satunya, dan semua keinginannya pasti dipenuhi."
"Waduh," lontarku langsung. "Bahaya itu."
"Itulah. Dia ngak bisa mandiri sehingga mau cari laki-laki mapan dengan spesifikasi tinggi."
"Kayak mau dimanja oleh calon suaminya seperti dia dimanja orang tuanya."
Irvan mengangguk setuju. "Umurnya sekarang hampir 30 tahun. Aku ragu dia akan menemukan laki-laki yang dia inginkan."
"Belum tentu laki-laki itu mau kalau dia mau," lanjutku. "Kerja apa dia memangnya?"
"Ngak kerja."
Aku terdiam sesaat. Benar-benar mirip parasit, sebentar, aku ngak boleh berpikiran negatif. Aku ngak tahu hidup orang sama sekali. Lebih baik aku diam mendengarkan tanpa menghakimi.
"Kau lihat gimana?"
"Pasti kutolak setelah tahu latar belakangnya."
"Makanya ngak mau kujodohkan padamu." Abangku menepuk pundakku. "Takutnya kita ngak sanggup."
Apa yang dikatakan abangku benar adanya. Kami bukan dari keluarga berada sehingga perlu bekerja untuk hidup dari bulan ke bulan tanpa bantuan siapapun. Terutama kami lelaki, ngak boleh malas. Kalau mencoba mendekati gadis tipe seperti dia, kami tahu apa resikonya. Baiknya cari yang sekufu atau selevel.
Ketahui kondisimu sebelum bertindak