webnovel

Bab IV: Sisi lain dari si siswi baru.

Hari Rabu. Sekitar 3 bulan setelah semester pertama di tahun pelajaran.

Di sekolah Anggrana, kelas XI-2.

Pagi hari, sekitar waktu jam pelajaran pertama di sana.

Di kelas itu, telah kedatangan siswi baru.

Cantik, tingginya sedang, rambutnya yang pendek lalu diikat ponytail, kurang lebih itulah perawakannya.

"Baiklah, sekarang perkenalkan diri kamu."

Mendengar perintah dari si guru yang berjalan bersama dirinya sebelumnya. Si siswi baru itu, berdiri sambil menghadap ke arah para siswa di kelas, kemudian baru itu mulai memperkenalkan dirinya.

"Halo. Perkenalkan, namaku adalah Tania."

Siswi baru di kelas XI-2, yang namanya adalah Tania, mulai memperkenalkan dirinya. Asal sekolah dirinya yang sebelumnya, alamatnya, hobi, tanggal lahirnya, dan berbagai identitas yang bisa ia katakan mengenai dirinya.

Semuanya terdiam, mendengarkan mengenai sosok di depan mereka. Senang, dan biasa saja, kurang lebih seperti itu sikap kebanyakan sikap para siswa di kelas XI-2. Dan hanya ada sedikit kebisingan, seperti suara bisik dari para siswa mengenai pendapat mereka tentang si Tania.

Namun diantara para siswa yang mendengarkan perkenalan diri Tania, salah seorang siswa. Yang posisi bangkunya berada di bangku belakang.

Tinggi, tampan, atletis, layaknya seorang laki-laki idaman. Dibandingkan dengan para siswa lain disana, dirinya yang paling begitu menyimak mengenai perkenalan diri dari Tania.

Daripada dibilang begitu, mungkin lebih tepatnya dirinya memperlihatkan sebuah ekspresi, wajah yang penuh pertanyaan, rasa heran, dan penasaran yang begitu besar terhadap si Tania.

"Siapa dia?" Tanya si siswa itu yang tidak lain adalah Adrian atau Ian.

Wajahnya yang saat ini begitu serius, dengan tatapan yang tajam. Padahal beberapa detik yang lalu, bahkan lebih tepatnya saat si Tania masuk ke kelas ini. Wajah yang ditampakkan Ian benar-benar berbeda.

Pipinya yang memerah, jantungnya yang berdetuk kencang, dan dirinya seolah ingin memandang terus si siswi baru.

Namun sekarang, perasaan itu hilang.

Bahkan kalau diangkakan dalam satuan waktu Ian merasakan perasan itu, hal yang dirasakannya itu hanya berkisar 10 detik saja.

Meskipun begitu, meski hal yang dirasakannya itu, di dalam hati dan ingatannya adalah sesuatu yang pertama kali dirasakannya. Meski hal itu adalah sesuatu yang benar-benar baru baginya.

Tapi diri Ian begitu tahu, dirinya begitu sadar, kalau yang dirasakannya saat waktu itu adalah sebuah perasaan menyukai. Bukan seperti menyukai layaknya keluarga, ataupun seorang teman dan sahabat. Tapi benar-benar ke arah menyukai karena lawan jenis.

Menyelesaikan perkenalan dirinya, Tania kemudian duduk di sebuah kursi yang letaknya belakang, apabila dianggap dalam satuan baris, posisi Tania hampirlah sama dengan posisi Ian. Namun dipisahkan oleh satu baris bangku diantara mereka.

Menatapnya terus menerus. Melihat detil tiap detil dari wajah ataupun bagian tubuh Tania yang lainnya. Sambil dirinya terus memproses otaknya mengenai alasan Ian bisa merasakan perasaan suka terhadap si Tania.

Apabila dikatakan cantik, Ian lebih setuju mengatakan bahwa masih lebih banyak perempuan yang lebih cantik darinya di sekolah ini. Bahkan untuk para perempuan yang telah ditolak Ian. Dan kelebihan-kelebihan dari Tania yang tampak bagi Ian, dirinya yakin bahwa dari beberapa perempuan yang ditolaknya, mereka bahkan lebih bagus lagi dibandingkan dengan Tania.

Menyadari dalam hal fisik, Ian tidak dapat hal yang membuat dirinya tertarik pada Tania, sambil dirinya sekali lagi memutar otaknya, Ian kemudian melihat Tania dari sudut pandang lain selain dari fisiknya saja.

Sementara itu, mengakhiri penjelasannya mengenai materi yang diajarkannya. Guru yang mengajar di kelas XI-2, terdengar mulai membuka beberapa halaman di buku pelajaran yang dipegangnya. Berhenti di salah satu halaman. Dengan suaranya yang agak besar namun bernada datar, si guru mengatakan.

"Baiklah! Buka halaman 19. Kalian semua lihat di nomor 10. Ibu minta salah satu dari kalian mengerjakan soalan ini di papan tulis. Apa ada yang mau menjawab pertanyaan di soal nomor 10 ini?"

Pelajaran yang saat itu adalah pelajaran Matematika yang tidak lain adalah Bu Anita, tentunya sekali lagi kebanyakan atau bisa dibilang sebagian besar dari para siswa kelas XI-2 terdiam senyap. Menutup diri mereka dengan buku, ataupum berusaha tidak langsung menatap ke depan, kurang lebih seperti itu yang mereka lakukan. Mungkin seperti kegiatan harian mereka, saat mendapatkan kejadian seperti ini saat Bu Anita mengajar di kelas XI-2.

Dan tentunya diantara semua siswa, menyadari atas perintah dari Bu Anita kepada dirinya bersama teman kelasnya untuk mengerjakan suatu soal di buku pelajaran. Ian yang melihat soal ditujukan oleh Bu Anita, kemudian membuyarkan pikirannya mengenai Tania. Mengganti focus dan konstenrasinya dari pikiran sebelumnya, ke soal yang ditunjuk oleh Bu Anita.

Satu…,dua…,tiga detik Ian memikirkan soal itu. Memikirkan tentang rumus, cara dan hal-hal lainnya yang menurut Ian bisa ia gunakan untuk mengerjakan soal yang ditujukan dan menjawabnya dengan benar. Hingga 10 detik dirinya memikirkannya, dengan sebuah senyuman yakin yang terpancar di mulut Ian, seolah memperlihatkan dan memberitahukan, bahwa dirinya kurang lebih mampu menyelesaikan soal yang ditujukan.

Berbalik sekali lagi ke arah teman-temannya untuk memastikan apakah ada dari teman kelasnya yang mampu mengerjakan soal yang ditujukan. Pada akhirnya dari pandangannya, Ian tidak melihat satupun dari teman kelasnya yang mengajukan diri. Mengetahui hal itu dan yakin untuk mengerjakan soal yang ditujukan, Ian kemudian mulai mengangkat tangannya untuk mengajukan dirinya.

"Ibu sa—!"

"Saya yang akan mengerjakannya bu!" ujar salah seorang siswi yang mengajukan dirinya.

Terkejut, dan tentunya baik bagi Ian maupun dari semua teman kelas yang lain, mendengar seorang siswi yang mengajukan dirinya untuk mengerjakan soal dari Bu Anita. Mereka semua lalu berbalik ke asal suara itu.

Wajahnya yang lumayan cantik, dan rambut pendek ponytailnya yang menjadi salah satu ciri khasnya. Adalah kurang lebih ciri dari si pemilik suara itu. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah si siswi baru di kelas mereka yakni si Tania.

Ian yang diikuti oleh para siswa lain yang mendengar asal suara itu, lalu berbalik ke arahnya. Dan menyadari bahwa siswi baru yakni si Tania dengan wajahnya yang tersenyum ramah sambil terlihat begitu percaya diri.

"Kamu Tania?! Baiklah. Coba kamu kerjakan."

Tania lalu naik ke atas. Para teman kelasnya dengan rasa terkejut dirasakan mereka, lalu diikuti dengan kebisingan kecil lalu terdengar di antara mereka. Dengan sesuatu yang tak terduga. Dimana selain dari Ian yang mereka kenal mampu menjawab semua pertanyaan yang ditujukan oleh Bu Anita. Sisiwi baru di kelas mereka, yakni si Tania juga mampu melakukannya.

Dan untuk Ian, yang tentunya juga sedikit terkejut akan keberanian dan kepercayaan diri dari Tania dalam mengerjakan soal dari Bu Anita. Lalu membuat kesimpulan, atau bisa dibilang dugaan mengenai kelebihan dari Tania apa yang menyebabkan dirinya bisa terarik dengan dia.

"Apa jangan-jangan karena kepercayaan diri dan sikapnya?" duga Ian. Memiliki kesimpulan seperti itu, Ian lalu membenamkan pikirannya, mengingat akan kepercayaan diri dari yang Tania lakukan sebelumnya.

Beberapa detik Ian memikirkan dan mengingatnya, seolah kesimpulannya tadi seolah hampir tertepis. Yang pada akhirnya, Ian kemudian mencoba memandang, menatap serius Tania untuk meyakini tentang apakah yang menyebabkan dirinya bisa menyukai seorang Tania sebelumnya.

Mengambil spidol yang berada di papan tulis, Tania dengan santai lalu mengerjakan soal yang disampaikan oleh Bu Anita sebelumnya.

Dalam pandangan para teman kelasnya yang melihat cara pengerjaan dari si Tania. Berbeda dengan Ian, yang dimana menurut mereka teman kelasnya, Ian biasanya mengerjakan suatu hal dengan rumus, cara, atau jawaban cepat dan simple jadi setidaknya bisam mebantu mereka untuk mengerti akan suatu soal rumit dan membingungkan bagi mereka.

Tania, saat mengerjakan soal yang diminta Bu Anita, dirinya lebih dan malahan secara penuh menggunakan cara biasa, atau rumus umum yang biasanya digunakan. Lama, namun setidaknya Tania bisa menyelesaikan soal itu. Yang pada akhirnya hanya bisa dimengerti oleh beberapa orang saja.

Menyelesaikan soal yang ditujukan. Tania lalu berjalan ke arah Bu Anita, sambil dirinya tetap memperlihatkan ke arah Bu Anita mengenai jawaban dari dirinya.

"Ini bu."

"Yap seperti itulah jawabannya. Dan, makasih Tania."

Bu Anita yang kembali menjelaskan mengenai materi diajarkannya, diikuti pula dengan Tania yang kembali ke bangkunya. Rasa kagum ditambah dengan sikap respek terhadap Tania, dilakukan oleh para teman kelasnya yang dilewati oleh Tania saat menuju ke bangkunya.

Hingga dirinya duduk ke bangkunya, teman kelasnya masih saja membicarakan dirinya, dan kadang kala berbalik ke arah Tania. Dan senyum ramah terpancar di wajah Tania, sebagai bentuk balasannya karena teman kelas barunya yang respect dengan dirinya.

Dan diantara semua orang, yang merasa sebuah decak kagum terhadap Tania, Ian pada akhirnya hanya memperlihatkan sebuah wajah kekecewaan. Bukan terhadap Tania, tapi lebih ke arah sebuah hal lainnya.

"Bukan juga, yah…" gumam Ian.

Menyadari suatu hal, Ian lalu berbalik menghadap ke papan tulis. Dengan dirinya yang masih focus mengikuti pelajaran, namun dengan pikiran mengenai yang menyebabkan dirinya bisa merasakan perasaan suka terhadap Tania sebelumnya.

***

"Kring….kring….kring…."

Waktu pelajaran pertama berlalu, dan digantikan dengan waktu istitahat.

Dengan wajahnya yang masih serius, dan tangannya yang memegang dagu miliknya, Ian masih saja memikirkan mengenai alasan dirinya merasakan perasaan suka terhadap Tania sebelumnya.

Tiba-tiba….

"Ian!"

Dengan tepukan dibelakang, dan suara yang memanggilnya. Ian seketika kehilangan kefokusannya untuk berpikir. Berbalik ke arah yang menepuk dirinya, Ian menyadari bahwa yang memanggilnya tidak lain adalah sahabat masa kecilnya, yakni Sahar.

"Ada apa Sahar?"

"Ayo, kita pergi ke kantin!" ajak Sahar dengan ramah.

Dengan wajah enggan dan terlihat menolak Ian mengatakan.

"Maaf Sahar. Aku lagi sedang ada pikiran, jadi tidak mood makan. Kamu pergi saja sendiri dulu. Mungkin saja nanti aku ke sana."

"Kalau kamu memang ada yang kamu pikirkan, bukannya lebih bagus kalau kamu beritahu sama orang lain supaya lebih lega. Dan bisa sajakan, mereka bisa kasih kamu saran kalau memang bisa dipecahkan."

"Ta-tapi…"

Sambil menarik salah satu tangan Ian, dengan sekeras mungkin, Sahar memaksa lebih keras Ian untuk pergi bersamanya ke kantin.

Dengan paksaan yang dilakukan oleh Sahar dengan rasa enggannya untuk pergi ke kantin masih ada, Ian pada akhirnya dengan Sahar menuju ke kantin.

Perjalanannya ke kantin, dengan kepopuleran dan keakraban yang dilakukan selama bersekolah, dirinya sering kali disapa dan sebagainya. Dan meski pikirannya masih saja gelisah, bingung dan masih tetap memikirkan mengenai hal yang dialaminya, Ian dengan sikap ramah, wajah tersenyum, menyapa balik siswa, ataupun guru yang menyapa dirinya.

Dan untuk Sahar sendiri, bahkan untuk menyapa, mereka seolah memalingkan wajah mereka darinya bagaikan orang yang tidak berani mereka tatap atau lihat. Mungkin saja karena wajahnya yang memancarkan layaknya seseorang yang marah-marah dan jutek, pastinya orang akan bersikap seperti itu. Lalu sikapnya menanggapi sikap orang-orang terhadap dirinya, Sahar hanya mengabaikan mereka dan tidak peduli juga ke mereka.

Lagi, mengesampingkan sikap dan perilaku kebanyakan siswa ke dirinya, Sahar lalu mengatakan.

"Ian! Jadi masalah apa yang kamu miliki kali ini?"

Menunduk setelah mendengar pertanyaan Sahar, membuat diri Ian tenggelam ke pikirannya mengenai sebuah pilihan. Apakah dirinya mesti memberitahukan masalahnya lagi ke Sahar atau tidak. Mungkin sebuah elakan apabila Ian tidak memberitahukan Sahar karena kegagalan saran Sahar sebelumnya. Meskipun dalam artian sebenarnya saran Sahar tidak bisa dibilang gagal. Namun setelah Ian sudah merasakan ketidakpercayaan itu, tentunya dirinya mesti berpikir ulang kembali.

Sedangkan disisi yang lain. Ian yang tentunya meskipun dirinya telah berpikir seperti itu, menyadari fakta lainnya mengenai Sahar adalah sahabatnya, bahkan untuk pikiran rumit seperti Ian paham, bahwa hanya karena saran seorang sahabat gagal sekali, bukan berarti tidak bisa dipercayai lagi.

Memikirkan kedua pilihan itu secara mendalam, meski hanya sepersekian detik. Dengan hasil yang menurutnya sudah mantap, Ian lebih memilih untuk tetap memberitahukan apa yang dipikirkannya kepada Sahar.

"Jadi Sebenarnya Sahar, ini mengenai masalah yang aku sampaikan dulu."

"Mmmhh~~ yang itu yah. Jadi, bagaimana masalahmu itu? Apa sudah kamu dapat seseorang yang membuatmu tertarik?"

"Bisa dibilang begitu. Tapi…"

Kepalanya yang miring bingung, Sahar menatap Ian yang penuh kebimbangan.

"Hal itu bisa kukatakan Sahar, dalam keadaan Iya dan Tidak. Iyanya, karena saat aku melihat si perempuan itu pertama kali, aku merasa— Tidak, aku yakin kalau aku merasakan perasaan suka sama dia."

"Bukannya itu bagus Ian. Berarti, seperti yang aku katakana, kalau memang alasanmu tidak menyukai seseorang karena mereka saja yang bukan tipemu. Terus alasan kamu bilang tidak?"

Ian menunduk lebih dalam, wajahnya makin cemberut, seolah pemicu dirinya begitu karena pertanyaan Sahar tadi. Terdiam sebentar, Ian lalu menjawab.

"Tidaknya karena…, Aku tidak tahu alasanku bisa merasakan suka terhadap perempuan itu."

Sahar terdiam sebentar. Terlihat bingung, mengenai bagaimana lebih tepatnya cara dirinya mengekspresikan, menyikapi jawaban dari Ian. Karena pikirnya hal itu bukanlah sesuatu yang bagi dirinya terlalu dipusingkan. Malahan Sahar, menganggap hal yang diannggap Ian masalah, menurutnya adalah sesuatu yang wajar untuk menyukai seseorang. Meskipun begitu…

"Jadi hanya karena itu kamu begini Ian. Padahal kukira memang sesuatu hal yang benar-benar dikhawatirkan."

Wajah Ian menatap ke arah Sahar. Dengan perasaannya yang agak kesal dengan pernyataan Sahar yang menurut dirinya terlalu menganggap sepele masalahnya.

"Sahar kamu...—."

Namun…

"Tapi, karena hal itu sampai-sampai membuatmu terlalu memikirkannya, pasti ada alasannya kan,Ian?"

Dengan menghentikan apa yang dikatakannya, dan seketika mengubah ekspresinya menjadi dengan tenang. Ian sambil menghadap ke depan lalu mengangguk setuju akan pernyataan Sahar.

"Yah, bisa dibilang begitu."

Tersenyum, Sahar lalu mengatakan.

"Jadi Ian, siapa yang kamu sukai itu dan alasan yang dimaksud itu bagaimana?"

Ian kemudian mulai menjelaskan, menjawab pertanyaaan Sahar yakni seseorang yang dirinya rasakan perasaan menyukai yaitu si siswi baru di kelas mereka, Tania. Dan juga, menjawab pertanyaan Sahar yang lainnya, dengan dirinya yang mulai menjelaskan semuanya.

Hingga disampai akhir penjelasan Ian, wajahnya yang terlihat serius namun seolah menampakkan kemarahannya. Sambil dirinya memegang dagunya layaknya seseorang yang berpikir. Sahar dengan dirinya sambil mendengarkan, juga terlihat memikirkan mengenai hal ini pula.

"Kurang lebih, seperti itu Sahar."

Di akhir penjelasan Ian, untuk beberapa detik, Sahar masih saja dengan gaya, dan posisinya, ditambah dengan raut wajahnya yang seolah marah, memberitahukan kalau dirinya masih saja berpikir.

Hingga diakhir dirinya mengakhiri proses berpikir dirinya. Bersama dengan Ian, Sahar akhirnya sampai ke kantin.

"Ian, mungkin lebih baik kita duduk dulu baru melanjutkan perbincangan kita. Bagaimana?"

"Aku ikut saja Sahar."

Dengan Sahar yang berada di depan, dan Ian yang berada di belakang. Mereka pada akhirnya, mulai mencari meja kosong diantara para siswa yang kebanyakan sudah mengisi disana. Makan, berbincang, belajar, membaca dan bermain handphone, kurang lebih kebanyakan kegiatan para siswa disana.

Hingga diantara semua meja yang ada di kantin, pandangan Sahar lalu tertuju di sebuah meja yang berada di pinggir. Bukan meja kosong seperti yang sedariawal mereka cari, dan malahan telah diisi oleh 2 orang siswa disana. Meski begitu, dipandangan Ian, 2 siswa yang duduk disana tentunya sangat familiar baginya, dan bahkan bagi Sahar.

Dengan yang satunya menggunakan kacamata yang terlihat sibuk dengan laptop miliknya sambil tetap berbincang dengan lawan bicaranya. Sedangkan yang satunya lagi, dengan tubuhnya yang terlihat berotot dan atletis. Yang mengindikasikan kalau 2 siswa itu tidak lain adalah….

"Calip! Dirga!" panggil Sahar terhadap 2 siswa itu.

Berbalik ke arah yang memanggil mereka, Calip dan Dirga, lalu menghentikan perbincangan mereka.

"Ternyata Sahar!" respon Calip.

Berbalik ke arah belakang Sahar, Calip dan Dirga menyadari bahwa Ian saat itu ada disana pula.

"Ada Ian pula." Respon Dirga dengan wajahnya yang terlihat senang.

Berbeda dengan Dirga, Calip saat melihat Ian langsung saja menampakkan wajah begitu serius. Dan begitu pula dengan seseorang yang dipandangnya yakni Ian.

Ian mulai mendekat ke meja Calip dan Dirga. Saat dirinya sudah dekat dengan Calip, tangannya mulai ia angkat. Bersamaan juga dengan yang dilakukan oleh Calip. Tangan mereka mendekat. Dan saat itu pula...

"Halo Ian."

"Hai Calip."

Tangan mereka yang mendekat menjadi sebuah jabatan tangan. Saat itu pula, wajah serius Ian dan Calip, lalu berubah menjadi sebuah senyuman yang penuh keakraban. Dan tidak seperti yang lalu, diantara jabatan tangan yang dilakukan mereka sekarang, Ian tidak merasakan sebuah aura tidak suka dari Calip lagi. Dan yang malahan aura yang dinampakkannya adalah keakraban.

Ian yang kemudian duduk persis di samping Calip. Dan Dirga yang berada disampingnya tidak lain adalah Sahar.

Sebuah hubungan yang bisa dibilang diimpikan oleh Ian sebulan yang lalu. Dimana dirinya yakin bahwa hubungan dirinya dengan 2 temannya ini, khususnya si Calip, pasti cepat atau lambat akan menjadi hubungan antar teman.

Pada awalnya, sikap Calip yang masih saja melakukan ekspresi dan aura yang menampakkan ketidaksukaan. Dengan cara Ian yang mencoba memperkenalkan dirinya dengan sikap, dan kepribadiannya saat bersamaan dengan Sahar, dan Dirga. Yang pada akhirnya mengubah pola pikir Calip mengenai Ian. Dan seperti sekarang.

Dan karena keakraban yang dilakukan Ian terhadap Calip dan Dirga, khususnya si Calip. Adalah salah satu alasan Ian mampu melewati berbagai hal mengenai sikap para perempuan yang ditolaknya. Menjadikannya hal biasa, dan lebih memprioritaskan hubungan dirinya ke Calip dan Dirga. Itulah kurang lebih aktivitas Ian selama 1 bulan lebih ini.

"Jadi Sahar, tentang yang ingin kamu katakan tadi."

Mendengar perkataan Ian yang mengingatkan Sahar akan hal yang niatnya akan dirinya katakan sebelumnya. Lalu Calip dan Dirga, yang tentunya tidak mengetahui maksud apa-apa dari perkataan Ian tadi, tentunya menjadi pertanyaan sendiri bagi mereka.

"Tentang itu Ian, aku rasa sebaiknya kita memesan makanan dulu."

"Ah..kalau gitu Sahar, bagaimana kalau aku dan Dirga saja yang memesannya. Supaya kamu dan Ian bisa berbincang lebih baik."

"Kalau memang begitu Calip. Terima kasih yah. Aku mohon padamu."

Mendengar jawaban Sahar, Calip dengan diikuti oleh Dirga kemudian mulai berdiri dari kursi mereka.

"Kamu Ian, apa kamu tidak ingin memesan makanan?" Tanya Calip.

"Ti-tidak perlu Calip. Lagipula, aku kesini karena Sahar memaksaku pergi ke sini."

"Begitu yah. Kalau begitu, Sahar untuk pesananmu apa yang seperti biasanya?"

Sahar mengangguk lalu menjawab.

"Seperti biasanya."

Mendengar jawaban dari Sahar, Calip dengan diikuti oleh Dirga di belakangnya, pergi menuju ke salah satu kios makanan di kantin sekolah, sambil meninggalkan Ian dan Sahar yang masih duduk.

"Sahar! Kenapa sikapmu seperti itu?! Seperti kamu seolah-olah menganggap Calip dan Dirga pengganggu saja untuk pembicaraan kita ini?!" protes Ian mengenai sikap Sahar.

Namun, bukannya merasa bersalah ataupun terlihat menyesali perbuatannya. Sahar malahan lebih menampakkan wajah santai, dan bahkan sedikit tidak adanya rasa bersalah dari raut wajahnya.

"Tidak apa-apa Ian. Lagipula kan, yang kamu bicarakan ini bisa dikatakan cukup privasi, Ian. Apa kamu yakin, untuk memberitahukan masalahmu saja langsung ke mereka, hanya karena kamu dekat dengan mereka sebulan ini? Kamu harus paham Ian, sebuah masalah yang dialami tidak bisa diberitahukan ke asal orang hanya karena orang itu dekat dengan kita."

"Tapi bukannya mereka itu orang kenalanmu malahan dekat denganmu?"

"Yah, memang benar Ian, mereka berdua itu adalah kenalanku, dan dekat denganku. Tapi kan, mereka berdua bukanlah kenalan baikmu, dan bukan orang juga yang cukup dekat denganmu. Pahamkan kamu Ian?"

Tertunduk, Ian pada akhirnya untuk kesekian kalinya dalam dirinya berbincang dan berdiskusi dengan Sahar, tidak bisa membalas atau memprotes balik akan pernyataan Sahar. Yang kadang kala bertolak belakang dengan prinsip Ian yang membuatnya jadi begini, kata-kata dan pernyataan dari Sahar lebih menampakkan sebuah sisi lain dari manusia selain hanya kebaikannya.

Namun,bahkan untuk Ian sekalipun begitu paham, sangatlah mengerti, bahwa kata-kata, saran, dan pernyataan Sahar yang kadang kala bertolak belakang dengan prinsip Ian ini adalah sebuah kenyataan yang biasanya terjadi di dunia nyata. Atau dalam artian lain, kata-katanya adalah sebuah penggambaran akan kenyataan dunia itu sendiri.

Yang tentunya untuk Ian, setelah mendengar kata-kata, saran, dan pernyataan Sahar, hanya bisa mematuhi dan mengikutinya. Namun, apabila yang disampaikan oleh Sahar itu, benar-benar cocok akan keadannya dan situasinya, dan menurut Ian sendiri memang pantas. Dan apabila yang disampaikan oleh Sahar adalah sesuatu sedariawal memanglah bukan yang menurut Ian tidak mesti ia turuti, tentunya dirinya akan menolak melakukannya.

Namun dalam hal ini, dalam saat ini, Ian di dalam pikirannya, hanya bisa menuruti dan menyetujui perkataan Sahar. Mengikutinya karena memang dikatakan oleh Sahar benar adanya, bahkan menurut Ian sendiri.

Kembali lagi ke arah perbincangan awal mereka. Ian yang pada akhirnya menuruti perkataan Sahar, lalu mengganti topik perbincangan mereka kembali ke awal masalahnya.

"Jadi Sahar! Kita kembali ke topik awal. Mengenai apa yang ingin kamu katakan tadi."

Diingatkan oleh Ian, sambil pandangannya ke ujung atas matanya, sepersekian detik Sahar terlihat mencoba berpikir ulang mengenai kata-kata, atau hal apa saja yang ingin dia katakan sebelumnya.

"Jadi, bagaimana aku mengatakannya yah…."

Sahar lalu menutup matanya, seolah kembali memikirkan suatu hal kembali. Namun berbeda dengan sebelumnya, kali ini bahkan sampai 2 detik dirinya melakukannya, Sahar lalu kembali menghadap ke arah Ian.

"Bisa aku katakan, kejadianmu agak cukup unik Ian. Bahkan menurutku dalam kasusmu Ian, itu adalah hal yang paling langkah. Kamu menyukai seseorang, namun hanya berlangsung sekitaran 10 detik saja. Dan sesudah itu, bahkan kamu tidak merasakannya lagi. Dan juga, kamupun tidak tahu alasan kenapa kamu bisa menyukainya. Benar-benar kejadian yang unik sekali Ian."

Mengangguk akan pernyataan yang disampaikan oleh Sahar, Ian dengan tetap mendengar perkataan Sahar, juga dirinya memikirkan mengenai alasannya merasakan perasaan suka terhadap Tania sebelumnya.

"Tapi si Tania yah, Ian. Seorang siswi baru di kelas kita, kamu merasakan perasaan suka terhadapanya. Aku sendiri agak terkejut mendengarnya. Padahal aku pikirnya ada beberapa perempuan yang aku pikir akan kamu suka. Tapi ternyata dia yah…"

Sahar menatap Ian secara langsung, dengan wajahnya yang menampakkan senyum ramah ke arah Ian.

"Baiklah, sebenarnya aku bisa memberikanmu sebuah saran akan masalah ini. Singkatnya Ian, aku awalnya berpikir kalau kamu coba terus melihat, mengikuti dan memerhatikan setiap kegiatan, dan hal yang dilakukan Tania. Tapi nantinya kalau kamu lakukan itu, nantinya kamu keliatan kayak stalker. Dan kemungkinan buruknya kamu akan ditangkap atas kegiatanmu itu."

"Tentunya kan Sahar."

"Dan, untuk pilihanku yang lain adalah aku ingin memintamu untuk berpacaran dengan si Tania. Mengenalnya dengan mengencaninya, dan hal-hal yang dilakukan oleh seseorang apabila berpacaran."

Mendengar saran kedua dari Sahar, wajah Ian seketika menjadi lebih serius. Bahkan dibandingkan dengan sebelumnya, ekspresinya lebih terlihat menjadi lebih tegas, dengan tatapannya yang begitu tajam langsung menuju ke arah mata Ian.

"Maaf Sahar! Aku tidak akan pilih pilihan itu. Meskipun kamu mengatakan bahwa itu adalah saran terbaikmu pun, aku tetap tidak akan mengikuti dan melakukannya."

Mendapat sorotan tajam dari Ian, mungkin untuk sebagian besar atau kebanyakan orang saat melihat sorotan mata itu. Mereka pastinya akan merasakan rasa intimidasi atau mengambil sebuah sikap siap siaga dalam menanggapi ekspresi dan tatapan Ian itu.

Namun, bahkan untuk merasa terintimidasi akan tatapan Ian itu, Sahar malahan hanya tersenyum dan malahan menyikapi santai tindakan sahabatnya itu.

"Pastinyakan Ian! Mengetahui kalau sikapmu terhadap para perempuan yang kamu tolak seperti itu. Bahkan apabila seseorang telah mendengar ceritamu, kalau mereka hati-hati dan cukup objektif, pastinya mereka tidak akan memberikan saran seperti itu. Ditambah dengan tatapan dan ekspresimu seperti itu Ian. Pastinya mereka tidak akan berani mengeluarkan saran keduaku tadi."

Tertunduk menyesal karena mengeluarkan sikap, ekspresi dan tatapan yang seperti tadi, Ian meminta maaf ke Sahar.

"Ma-Maafkan aku Sahar atas tadi."

Tersenyum setelah mendengar permintaan maaf Ian, senyum yang ditampakkan Sahar makin melebar, yang kemudian dirinya melanjutkan.

"Yah, tidak apa-apa Ian. Selain itu, mengenai saranku kali ini, adalah dengan cukup hanya menjadi temannya saja Ian."

"Te-Teman?!" ujar Ian yang mencoba memastikan akan saran Sahar.

"Iya Temannya saja. Singkatnya, bila kamu ingin dekat dengan detail tapi bukan menjadi seorang penguntit. Namun tidak sampai menjadi hubungan special seperti berpacaran. Yah jawabannnya kamu hanya perlu menjadi temannya saja Ian."

Ian sambil agak menunduk dengan dirinya yang memegang dagunya, memikirkan baik-baik saran Sahar ini.

Dengan pola berpikirnya yang rumit, dengan memikirkan baik-baik akan kerugian apa yang bisa di dapatnya, dari dirinya melakukan itu. Hingga dirinya mendapatkan kejanggalan dari saran Sahar ini, Ian dengan cepatnya lalu mengatakannya ke Sahar.

"Sahar! Tapi bisa sajakan, ada kemungkinan kalau si Tania nanti, bahkan sebelum aku memintanya menjadi teman dekatku, bisa sajakan dia langsung menyatakan perasaannya padaku. Atau saat kami memang berteman, belum sampai aku mengetahui alasanku menyukainya, bisa saja dia langsung menembakku."

Sahar kemudian mengangkat salah satu jarinya, dan kemudian melanjutkan.

"Kalau begitu Ian, kamukan tinggal menolaknya seperti biasa. Mungkin memang setelahnya, kamu akan kesulitan untuk berteman dengannya. Tapi setidaknya ujung-ujunngnya sama seperti yang kamu tolak, si Tania pastinya akan menjadi temanmu kembali."

Sebuah jawaban yang bisa dibilang terdengar biasa bagi Sahar, namun itu seperti menganggap "kalau jelek tinggal dibuang, dang anti yang baru". Dan Ian yang dimana akan melakukan hal itu, tentunya saat mendengar saran Sahar ini, dirinya secara refleks merasakan kembali, rasa frustasi dirinya saat menerima sikap para perempuan yang ditolaknya.

Namun, sekali lagi, Ian kemudian menyadarkan dirinya kembali, untuk mengambil sikap dalam menghadapi itu semua dengan biasa saja, Dan setelah itu dirinya pun menjawab…

"Yah, kalau memang seperti itu."

Kemudian sambil menghilangkan semua pikiran-pikiran sebelumnya, Ian lalu kembali lagi, mencoba memikirkan mengenai saran Sahar sebaik ia bisa. Kemudian, sambil mengangkat kepalanya sedari dirinya berpikir, Ian lalu menatap ke arah Sahar, sambil memberikan senyuman senang seolah hal itu adalah jawaban yang diberikannya.

"Baiklah aku akan melakukannya."

"Baguslah kalau begitu Ian." Ujar Sahar dengan senyuman senang.

Mengakhiri percakapan mereka mengenai masalah yang dihadapi Ian, bersamaan pula dengan kedatangan Calip dan Dirga ke meja. Dengan membawa makanan yang di pesan sebelumnya, mereka duduk, dan melakukan perbincangan yang biasanya mereka lakukan. Cuman ditambah dengan Sahar,Calip dan Dirga yang memakan makanan mereka.

***

Waktu pulang di sekolah Anggrana.

Sore hari yang dimana sebagian bangunan telah diselimuti oleh cahaya jingga matahari. Saat itu pula, sudah hampir sebagian besar kelas, telah menghentikan pembelajaran mereka. Dan tentunya juga di kelas XI-2.

"Kring…Kring…Kring…."

Dengan berbunyinya bel terakhir. Mata pelajaran akhir di kelas XI-2 pun juga berakhir.

"Baiklah, sekian untuk pelajaran hari ini. Dan ingat mohon untuk membaca ulang kembali materi yang bapak ajarkan hari ini. Sekian terima kasih."

Dengan si Pak guru yang meninggalkan ruangan kelas. Diikuti juga dengan para siswa yang telah bersiap sedaritadi. Dan Ian, yang berbeda dengan para siswa lain untuk bersiap pulang, tujuan dirinya malahan berbeda lagi.

"Mungkin lebih baik sekarang juga." Gumam Ian sambil menatap Tania yang sedang bersiap pulang.

Ian kemudian mendatangi bangku Tania, menatapnya sambi memikirkan bahwa pada waktu ini adalah kesempatan terakhirnya pada hari ini untuk meminta Tania menjadi teman.

Setelah berulang kali pada hari ini, Ian mencoba mendatangi Tania dan memintanya secara formal untuk menjadi temannya. Dengan berbagai halangan dan hal-hal yang benar-benar membuat Ian pada akhirnya menjadikan waktu pulang sebagai kesempatan terakhirnya. Seperti guru yang tiba-tiba menyuruh dirinya, ataupun beberapa temannya yang meminta Ian untuk diajarkan, dan beberapa kejadian lainnya.

Dan sekarang, berharap bahwa kali ini sudah tidak ada yang menghalangi dirinya untuk meminta Tania secara formal menjadi teman, Ian dengan jalannya yang secepat mungkin mendatangi Tania. Hingga…

"Ian! Ada perempuan yang mencarimu." Panggil salah seorang teman kelas Ian yang sudah berada di luar kelas.

Panggilan yang disampaikan oleh teman kelasnya, Ian langsung tahu bahwa maksud dari siswi itu tidak lain adalah mencoba menyatakan perasaannya ke Ian. Mengetahui bahwa yang menghalanginya kali ini adalah siswi yang mencoba menembaknya, Ian awalnya mulai berpikir untuk mengabaikannya dan fokus untuk meminta Tania untuk menjadi temannya.

Melanjutkan langkahnya untuk menghampiri Tania, saat langkah ketiga, Ian kemudian memikirkan ulang untuk mengabaikannya. Memikirkan seperti peluang bahwa yang mencoba menyatakan perasaannya ini bisa saja membuat dirinya merasakan perasaan menyukai kembali. Pada akhirnya, Ian lebih memilih untuk menemui si perempuan.

"Bilang saja tunggu. Aku segera datang."

Setelah menyampaikan sebuah balasan, Ian lalu berbalik kembali ke arah bangkunya, mengambil barang dan tasnya, dan mengabaikan Tania sekali lagi dalam memintanya untuk menjadi teman.

Keluar dari kelasnya, Ian kemudian menemui siswi yang katanya sedang mencarinya. Saat melihatnya, bisa dibilang dibandingkan dengan Tania dirinya malahan lebih cantik. Meski dalam tinggi tubuh, dirinya mungkin lebih pendek daripada Tania. Meskipun begitu, saat melihatnya, tidak seperti saat pertama kali melihat Tania, Ian tidak merasakan perasaan apa-apa terhadap perempuan ini juga.

"Ha-halo Ian! Ma-maaf mengganggu waktu pulangmu."

Meskipun tidak merasakan perasaan apa-apa, tetap saja Ian masih saja baik terhadap perempuan itu.

"Ti-tidak apa-apa kok. Jadi, apa alasanmu memanggilku?" tanya Ian untuk basa-basi.

Dan kemudian seperti biasanya, si perempuan menyatakan perasaannya ke Ian. Dan kemudian, Ian menolaknya. Lalu terakhir, seperti biasanya Ian meminta maaf kepada si perempuan, dan perempuan meninggalkan Ian duluan.

Melihat si perempuan sudah pergi, hingga matanya sudah tidak melihat sosoknya lagi. Ian yang kemudian meninggalkan tempat dimana si perempuan menyatakan perasaannya.

"Ternyata bukan juga yah..." gumam Ian sambil berjalan dari lorong ke lorong sekolahnya menuju ke gerbang.

Dengan diriya yang berjalan santai sambil memandang ke langit-langit, Ian kemudian melanjutkan.

"Jadi tinggal Tania yah. Berarti aku harus meminta kepada dia untuk menjadi teman besok."

Bergumam seperti itu, sambil tetap berjalan santai, Ian sekali lagi memikirkan kembali mengenai alasan dirinya menyukai Tania sebelumnya. Menggunakan otaknya lagi, untuk mengetahui alasannya, dan pada akhirnya mulai menggunakan alasan-alasan fiktif.

Terus saja berjalan dengan jalan yang biasa ia lewati saat pulang sekolah. Hingga di depan sebuah gang dekat sekolah Anggrana, terdengar sebuah suara yang cukup menarik perhatian Ian.

"Jadi Tania, bagaimana jawabanmu?" tanya seorang laki-laki di gang itu.

"Ta-Tania?"

Mendengar nama "Tania", untuk seorang Ian, tentunya adalah sebuah yang pastinya membuatnya refleks mencari tahu. Berbalik ke arah gang asal suara itu, sambil dirinya bersembunyi di sisi dinding ujung gang, Ian kemudian melihat.

Seorang laki-laki bisa dikatakan tampan, dan begitu atletis. Ian yang melihatnya, lalu langsung mengetahui bahwa laki-laki itu adalah salah seorang teman kelasnya yang dimana juga dia adalah seorang kapten di tim sepakbola sekolah Anggrana.

Sedangkan yang sedang diajak bicaranya, wajahnya yang cantik, dengan rambutnya yang pendek dikuncir ponytail. Dan Ian yang melihat cirinya, langsung mengetahui bahwa perempuan itu tidak lain adalah Tania.

"Apa yang mereka lakukan disini?"

Melihat mengenai situasi kedua orang itu, Ian kemudian sekali lagi memutar otaknya. Mencoba mereset pikirannya mengenai masalahnya yang dihadapinya sebelumnya, dan menggantikannya dengan mencari sebuah kesimpulan akan kejadian yang dilihatnya.

"Saat pertama kali melihatmu, aku entah mengapa ada sebuah rasa yang muncul, yang berbeda dengan perempuan yang kukenal selama ini. Meski akupun ada beberapa dari perempuan cantik yang ada tertarik, tapi saat aku melihatmu Tania, entah aku yakin kalau aku sudah benar-benar menyukaimu. Kamu Tania, adalah perempuan yang kucari selama ini." Gombal si laki-laki dengan terlihat begitu mendalam.

Saat mendengarnya, untuk perempuan yang sedariawal memang menyukai si kapten, ataupun tiba-tiba ditembak seperti ini, tentunya mereka akan bingung, dengan hati mereka yang langsung berdetak dengan kencang, wajah mereka akan memerah. Dan diakhirnya, jawaban mereka pada akhirnya akan mengatakan….

"I-Iya"

Namun, di dalam kasus Tania yang disini menjadi seseorang yang ditembak oleh si kapten. Jangankan jantung berdetuk kencang ataupun wajahnya memerah. Malahan dari tatapannya dan ekspresi yang ditampakkan Tania, adalah sebuah kebalikan dari itu semua. Bahkan mungkin sesuatu yang lebih parah.

Dahinya mengkerut, matanya seolah menatap sesuatu yang bikin naik darah, dan ekspresinya yang menampakkan begitu kemarahan, rasa tidak suka, permusuhan dan kekesalan. Seolah ekspresi yang dipancarkan Tania saat berada di kelas, tidak pernah ia lakukan dan sebuah ilusi.

Meskipun di dalam ekspresinya yang penuh akan murka, kemarahan dan kekesalan, Tania tetap terlihat begitu memerhatikan mengenai pernyataan dari si kapten. Hingga diakhir pernyataan dan gombal-gombalan dari si kapten. Dengan dirinya menatap langsung ke arah Tania, si kapten sekali lagi bertanya..

"Jadi kukatakan sekali lagi Tania, aku ini sebenarnya menyukaimu. Mau tidak kamu menjadi pacarku?"

"Menjadi sebuah kejadian dimana Tania akan ditembak." Kurang lebih seperti itulah kesimpulan Ian yang melihat dan mendengarkan mengenai kejadian di depan matanya.

Dirinya sendiri bahkan tidak tahu mesti bereaksi, ataupun bersikap bagaimana. Mendukung atau menolak. Dirinya benar-benar tidak tahu. Namun suatu hal yang bisa ia dapatkan dari hal ini adalah bahwa si Tania sendiri memang memiliki suatu hal yang membuat tertarik pada laki-laki

Yang tentunya menjadi suatu kemungkinan lain bagi Ian untuk mengetahui mengapa dirinya bisa menyukai Tania sebelumnya.

Tania yang setelah selesai mendengar gombalan dari si kapten, lalu menghela napasnya. Menatap kembali si kapten, sambil mengurangi tatapan dan ekspresi marah dan kesalnya.

"Kalau begitu, aku ingin bertanya. Apa yang membuatmu tertarik denganku?"

"Ka-kalau itu Tania, tentu saja karena kamu cantik. Kamu orang yang terlihat memiliki percaya diri. Apalagi kamu orangnya saat pintar."

Dalam sepersekian detik, sebuah reaksi terlihat dari Tania setelah dirinya mendengar salah satu alasan si kapten menyukai dirinya. Hal itu, tentunya tidak disadari oleh si kapten. Namun bahkan Ian, yang meski berada agak jauh dari mereka berdua, bisa melihat sebuah reaksi dari tubuh Tania saat mendengar salah satu alasan dari si kapten menyukai Tania.

"Jadi karena itu yah, kamu menyukaiku."

Setelah mengeluarkan sebuah opini dari alasan si kapten menyukai dirinya. Tania sekali lagi menatap si kapten. Dengan ekspresi dan tatapannya yang penuh rasa tidak suka, dan kesal, yang malahan lebih parah daripada sebelum dirinya mendengar alasan si kapten menyukai dirinya.

"Maaf saja. Tapi, aku tidak suka dengan laki-laki tampan sepertimu."

Terdiam. Baik Ian ataupun si kapten yang mendengar jawaban dari Tania. Bahkan untuk Ian yang setelah mendengar pernyataan singkat Tania tersebut, otaknya seolah terhenti untuk mengolah informasi yang di dengarnya.

"A-Apa maksudmu Tania, tidak menyukai laki-laki tampan. Ma-maksud kamu, karena aku itu tampan jadinya kamu tidak suka." Ujar si kapten yang mengeluarkan sebuah kesimpulan.

"Yah, bisa dibilang seperti itu."

Si kapten lalu menelan ludahnya sebanyak yang ia bisa. Menatap Tania yang sudah sedaritadi melihat dirinya dengan wajah yang begitu tidak mengenakkan. Namun tetap saja dirinya menahan dan tetap bertahan dari sikap Tania itu, karena pikirnya dengan terus tulus dan menggombal Tania, cepat atau lambat Tania akan luluh dengan gombalannya itu.

Namun sekali lagi, bahkan diakhir si kapten menggombal dan bahkan memberitahukan alasan dirinya menyukai si Tania, tetap saja reaksi yang di dapatkannya kurang lebih sama, dan malahan lebih parah.

"Apalagi kamu orangnya sudah tampan, tinggi atletis dan kapten tim sepak bola, tentunya aku makin tidak suka. Namun diantara itu semua, yang paling membuatku tidak suka dan menolakmu dengan keras adalah karena alasan yang kamu sampaikan tadi. Jujur saja, apabila aku mendengarnya lagi alasanmu, bisa saja aku langsung memberhentikan perbincangan ini lalu memarahimu dan meninggalkanmu tanpa jawaban apa-apa."

Si kapten yang mendengar jawaban Tania, hanya bisa tertunduk diam. Tidak tahu mesti mengatakan apa-apa. Bahkan untuk mempertanyakan mengenai dirinya seperti itu, tidak ia katakan bahkan dipikirkannya. Yang ada dalam pikirannya hanyalah sebuah keterkejutan karena telah ditolak dengan begitu keras oleh Tania.

Tania yang melihat sikap dari si kapten, lalu menghela napasnya. Sekali lagi mengurangi tatapan tidak suka dan kesalnya, lalu kembali mengatakan.

"Jujur, Terima kasih karena kamu mengatakan perasaanmu padaku. Aku hargai keberanianmu dan ketegaranmu untuk mendengar alasanku menolakmu. Tapi tetap saja, aku tidak suka padamu karena kamu laki-laki tampan. Jadi, jangan pernah berharap aku menjadi pacarmu. Sekali lagi, terima kasih kamu telah mengutarakan perasaanmu."

Setelah mengutarakan apa yang ingin dikatakan oleh laki-laki tampan dihadapannya, Tania lalu berpamitan kepadanya dan meninggalkannya tanpa sekalipun mengucapkan kata-kata lagi.

Si kapten yang ditinggal oleh Tania, terdiam dalam pikirannya yang kacau karena telah ditolak oleh Tania. Namun beberapa detik kemudian dirinya terdiam, cahaya dimatanya yang sebelumnya padam, lalu kembali lagi. Berdiri, sambil berbalik ke arah dimana Tania berjalan meninggalkan dirinya.

"Ternyata gagal yah…" ujarnya sambil menampakkan wajah yang telah gagal.

"Padahal gombalanku, dan kata-kataku biasanya berhasil pada perempuan yang kukatakan seperti itu. Tapi dia tidak yah." Lanjutnya dengan ekspresinya yang kemudian menjadi senyum kecewa.

Si kapten kemudian meninggalkan tempatnya, berjalan melewati arah yang sama dengan Tania dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa pada dirinya.

***

Sedangkan untuk orang yang tersisa di tempat itu. Mungkin lebih tepatnya yang berada di gang itu. Setelah mendengar pernyataan dari Tania, Ian yang mendengarnya hanya terdiam kaku.

Dibandingkan dengan si kapten tadi, Ian malahan menganggap pernyataan Tania adalah sesuatu yang begitu serius. Tidak tahu mesti bertindak apa, setelah mengetahui mengenai kebenaran seorang Tania yang dimana tidak menyukai seorang laki-laki tampan, yang dimana itu berarti termasuk dirinya.

Menyadari hal itu, bahkan untuk Ian sendiri hal itu, pernyataan yang disampaikan oleh Tania itu, sudah benar-benar sebuah pemutus harapan Ian untuk meminta Tania secara formal untuk menjadi temannya.

Prediksinya yang beranggapan bahwa kemungkinan nantinya pun juga ikut runtuh akibat pernyataan Tania itu. Namun tetap saja tidak membuat perasaan Ian menjadi lebih baik.

Saat kefokusannya secara tidak sengaja menuju kembali ke arah si kapten dan Tania, Ian lalu melihat bahwa Tania keliatannya telah selesai berurusan dengan si kapten dan mulai meninggalkan gang itu.

Ian yang berada di depan gang, tentunya lalu bersembunyi. Berusaha tidak terlihat dari Tania, yang bahkan bagi logika Ian sendiri tidak mengerti mengapa dirinya secara refleks melakukan itu.

Kemudian diikuti oleh si kapten yang wajahnya terlihat biasa saja. Yang tentunya bukan menjadi perhatian besar bagi Ian. Karena mengetahui sikap dan perilaku si kapten yang sering ia dengar oleh teman sekolahnya mengenai dirinya yang dimana adalah seorang playboy, tentunya bukan hal yang mengejutkan lagi kalau sikapnya hanya seperti itu saja.

Namun mengesampingkan si kapten, Ian yang mendapati sebuah penghalang besar dirinya untuk berteman dengan Tania, dengan otaknya, mencoba memikirkan apakah ada hal yang bisa ia lakukan untuk melewati penghalang itu.

"Menjadi jelek? Susah. Menjadi perempuan? Tidak mungkin." Dan berbagai cara yang bisa ia pikirkan agar dirinya bisa untuk berteman dengan Tania.

Dan hasil dari buah pikirnya selama dirinya berpikir kurang lebih 1 menit, adalah sebuah kegagalan. Entah karena pikiran Ian yang saat ini diselimuti oleh rasa pesimis setelah melihat itu, atau adanya alasan lain. Tapi itu sudah benar-benar cukup membuat Ian tidak bisa memikirkan kemungkinan atau hal yang bisa ia lakukan untuk menjadi teman Tania.

Hingga hampir dirinya sudah mengatakan bahwa saran yang Sahar katakan ini, sekali lagi tidak berhasil. Sebuah jawaban simpel, dan sedeerhana masuk ke dalam pikiran Ian, yang bisa ia katakan dan anggap benar-benar sebuah cara atau hal terakhir yang bisa ia lakukan.

Mungkin karena sekali lagi mengingat keberanian para perempuan yang mencoba menyatakan perasaan mereka ke dirinya, yang membuat Ian bisa mengeluarkan cara ataupun dalam bahasa lainnya langkah terakhirnya agar bisa menjadi teman Tania. Yakni…

"Berarti satu-satunya cara hanyalah dengan langsung saja yah…" Memikirkan idenya yang sangat- sangatlah sederhana itu. Berbalik ke arah dimana jalan Tania pergi, Ian lalu berjalan ke arah itu.

Ian yang lalu berjalan, awalnya berjalan biasa. Namun, semakin cepat, makin cepat dirinya lalu melangkah, hingga dirinya berjalan dengan lumayan cepat. Yang membuat dirinya sekitaran 2 menit berjalan, Ian sudah mendapati Tania.

Berjalan santai dengan tasnya, dengan ekspresinya yang ramah dan baik, yang terlihat cocok dengan wajahnya yang cantik. Dan seolah hal yang ditampakkan saat berjalan pulang membuat nampak bahwa yang dialaminya tadi benar-benar bukanlah hal yang pentingnya. Kurang lebih seperti itu kenampakan yang terlihat dari seorang Tania.

Setelah melihat orang yang dicarinya, Ian lalu berjalan dengan cepat menuju ke arahnya. Namun, sekitar 2-3 meter jarak dirinya dengan Tania, Ian mulai merasakan kembali perasaan pesmis. Mungkin saja karena mengingat kembali pernyataan si Tania mengenai dirinya tidak menyukai laki-laki tampan, penyebab rasa pesimis Ian muncul.

Meski begitu, dengan keyakinan untuk meneruskan rencananya, Ian terus saja mengikuti Tania dari belakang. Mencoba mencari sebuah kesempatan dirinya untuk mendatanginya, dan menyampaikan maksudnya.

Namun, menurut sudut pandang orang-orang yang melihat tingkah Ian yang terus saja mengikuti Tania daari belakang, mereka mulai beranggapan kalau si siswa ini adalah seorang penguntit. Sangat disayangkan bagi mereka, mengingat penampilannya yang setampan dan sebagus ini, malahan menjadi seorang penguntit.

Sedangkan untuk Tania, pada awalnya dirinya menyadari ada yang aneh di belakangnya, karena beberapa orang yang jalannya searah dengan dirinya dan melewati dirinya, memerhatikan sesuatu dari arah belakangnya, dimana dirinya mendengar…

"Sayang sekali."

"Benar."

Awalnya Tania berpikir bahwa maksud dari orang-orang yang melewatinya, adalah seorang pengemis ataupun gembel yang berjalan di belakangnya. Berpikir akan dugaannya itu, Tania kemudian kembali berjalan dan mengabaikan akan apa yang dibelakangnya.

Dan setelah beberapa perjalanan Tania yang menuju ke rumahnya, orang-orang yang terus melewati dirinya masih saja menampakkan ekspresi dan sikap yang sama, hingga salah satu orang yang melewatinya mulai mengeluarkan komentar lainnya.

"Padahal ganteng, tapi jadi begitu."

Tentunya mendengar kata "ganteng" dari perkataan orang yang melewatinya, pikiran Tania lalu memikirkan sebuah dugaan garis lurus yang menurutnya hanya itu yang patut menjadi dugaan utamanya.

"Apa jangan-jangan ada orang yang mengikutiku?"

Berpikir sepert itu, Tania mulai mempercepat langkahnya. Berbelok ke sebuah persimpangan yang merupakan salah satu jalan lain ke rumahnya. Dan sekira dirinya sudah jauh dari tempat yang diduganya seseorang mengikutinya, Tania lalu berjalan dengan normal.

Namun…

Mendengarkan dari kejauhan, diantara semua langkah orang-orang yang ada dijalan pulangnya, terdengar sebuah langkah yang bisa dikatakan paling keras akibat cepatnya orang itu melangkah.

Berbalik ke arah asal pemilik langkah cepat itu, Tania melihat sekilas, bahwa orang itu memiliki wajah yang tampan. Mengetahuinya, otaknya berpikir bahwa dialah yang mengikuti dirinya.

Menyadarinya, Tania yang meski jaraknya jauh dengan si laki-laki, tanpa berusaha berbalik ke arah si laki-laki itu, dirinya lalu berlari secepat mungkin meninggalkan tempatnya sebelumnya. Melewati berbagai persimpangan menju ke arah rumahnya, Tania meyakini sekali lagi bahwa dirinya telah jauh dari si laki-laki itu.

Hingga terdengar sekali lagi, suara langkah keras dari si laki-laki itu yang jaraknya bisa dibilang masih jauh dengan dirinya, yang membuat Tania yakin bahwa si laki-laki itu mengikuti dirinya.

Tania pada akhirnya berdiri kaku. Terdiam sambil menunggu si laki-laki itu, dilihatnya sekilas berjarak dengan dirinya sudah cukup dekat. Dan saat jarak antara dirinya dan si laki-laki bisa dibilang kembali ke jarak mereka semula yakni 2-3 meter, Tania lalu berbalik ke arah si laki-laki itu yang saat dirinya berbalik lalu berbalik arah dan berjalan santai, dan Tania mengatakan dengan nada tegas.

"Kamu jangan kamu pura-pura seperti itu! Aku tahu kamu telah mengikutiku daritadi."

Ian yang tidak lain adalah laki-laki yang dimaksud Tania. Meski dirinya kembali rasa pesimis dan gugup yang begitu besar, yang bahkan membuat dirinya ingin menunda rencananya ini. Namun terlihat dari ekspresi dan sikap tubuhnya, semua hal yang dirasakannya tidak tampak sama sekali, dan malahan terlihat Ian serius dan menatap tajam ke arah Tania.

Saat Tania memerhatikan dengan baik, selain si laki-laki itu memang terlihat tampan. Dari tinggi badannya dan postur tubuhnya, dirinya bisa benar-benar dikatakan seorang laki-laki ideal. Bahkan dalam perbandingan Tania dengan si kapten yang sebelumnya menembak dirinya sebelumnya, laki-laki yang dihadapannya benar-benar lebih baik. Yang tentunya menjadi sebuah pemandangan yang tidak suka oleh Tania.

Lalu, menyadari hal lain dari si laki-laki tampan ini, yang dimana seragam yang dipakai oleh si laki-laki itu sama dengan seragam yang dipakai di sekolah Anggrana.

"Kamu, kamu pasti telah mengikutiku setelah pulang sekolahkan?" duga Tania dengan tatapan yang tajam dan langsung ke arah si laki-laki.

"Lebih tepatnya Tania, aku mengikutimu setelah kamu di tembak di gang tadi." Jawab Ian dengan wajah serius tanpa adanya gemetar ataupun sikap gugup.

Mendengar jawaban si laki-laki, Tania kemudian memikirkan sebuah hipotesa sederhana mengenai maksud atau alasan si laki-laki ini, yang bahkan menurut Tania sendiri bisa diyakinkannya benar adanya, dan akan terjadi.

"Jadi langsung saja ke intinya. Apa alasan kau mengikutiku daritadi?"

"Begini Tania. Pertama, aku minta maaf karena telah terus mengikutimu daritadi, yang membuatmu pasti risih. Dan alasanku mengikutimu daritadi karena ada hal yang ingin kusampaikan padamu…."

Sebuah kalimat yang membuat sudah sangat begitu meyakini akan dugaan dirinya mengenai alasan si laki-laki ini. Mendengarnya, Tania kemudian menutup matanya sambil bersiap mengatakan jawaban darinya dengan singkat.

…Tania! Bisa tidak kamu—."

"Tidak!!" jawab Tania dengan nada tegas dan singkat.

Tania kemudian membuka matanya, menatap kembali laki-laki di depannya dengan tatapan tajam tidak suka dan kesal, lalu melanjutkan.

"Kamu ini, kalau kamu sudah mengikutiku sejak di gang tadi, berarti kamu melihatkan, aku menolak seorang laki-laki. Meski penampilannya tidak lebih bagus darimu, tapi kamu tahukan alasan mengapa aku menolaknya kan? Aku benci laki-laki tampan. Apalagi sudah tinggi, dan atletis seperti kamu. Bahkan meskipun sikap baik dan sebagainya, aku tetap akan menjawab dengan jawaban yang sama. Tidak! Aku tidak ingin berpacaran denganmu!"

Pada awalnya, jawaban dan pernyataan sampaikan ke diri Ian setelah jawaban darinya yang singkat dan begitu mempertegas jawaban yang disampaikannya, membuat menurutnya sudah mendapatkan jawaban akhir dari Tania, dan pernyataan panjangnya adalah sesuatu hal yang mempertegas jawaban awal Tania sebelumnya.

Hingga sebuah pernyataan terakhir dari Tania, Ian dengan otaknya yang sering kali menyadari sesuatu kesalahan yang disampaikan seseorang, salah satunya di pernyataan terakhir itu, membuat Ian dengan refleks lalu membantah bagian pernyataan Tania yang terakhir itu.

"Tania! Sepertinya kamu ada salah paham."

Tania dengan sepersekian detik bereaksi mendengar pernyataan Tania, hingga kemudian dirinya menatap tajam sekali lagi dengan pandangan curiga.

"Ma-maksudnya?"

"Begini Tania, alasanku untuk menemuimu ini, dan hal yang ingin kukatakan, bukanlah untuk menembakmu atau memintamu untuk berpacaran denganmu seperti yang kamu pikir."

Tania mengkerutkan dahinya tidak mengerti, namun tetap dengan pandangannya yang tajam, curiga dan tidak suka.

"A-Aku masih tidak mengerti! Tapi kalau memang yang kamu katakan benar, jadi apa alasanmu sebenarnya menemuiku, dan hal yang ingin kamu katakan itu apa?"

Seolah diberikan kesempatan kedua untuk mengatakan maksudnya, Ian dengan kecepatan pemikirannya mulai memikirkan kata-kata yang pas.

"Tania! Yang ingin aku katakan adalah…"

Ian mulai menarik napas melalui hidungnya sebanyak yang ia bisa, menatap Ian dengan serius mungkin, lalu melanjutkan..

"…Bisa tidak, aku memintamu menjadi teman dekatmu?"

Berbagai prasangka buruk mulai bermunculan di pikiran Tania, mendengar tujuan dari si laki-laki di depannya. Seperti si laki-laki ini hanyalah mencoba mengerjai dirinya dan sebagainya, yang tentunya membuat dirinya masih tidak percaya dan malahan tidak bisa ia percaya akan perkataan si laki-laki tampan di depannya ini.

"Kamu pasti bercandakan? Aku yakin kamu pasti—."

"Aku serius Tania." Jawab Ian dengan singkat yang memotong dugaan Tania.

Tania sekali lagi menatap laki-laki itu. Meski dirinya bukanlah orang yang bisa mengetahui bahwa seseorang berbohong atau tidak, namun Ian merasakan sebuah perasaan, keyakinan yang mengatakan kalau si laki-laki itu mengatakan hal yang sebenarnya.

Meskipun, rasa ketidakpercayaan masih muncul di dalam hati Tania.

"Ka-kalau memang begitu, terus kenapa? Kalau memang tujuanmu begitu, kenapa kamu tidak menghampiriku dan mengatakan maksudmu secara langsung. Dan malahan mengikutiku terus daritadi seperti seorang penguntit? Bukannya itu berarti kalau kamu sebenarnya ingin macam denganku?" duga Tania yang berasal dari dugaan-dugaan yang terpikirkan olehnya sebelumnya.

Ian terdiam sebentar. Yang kemudian dilanjutkan dengan tundukan, dengan wajah yang mengeluarkan rasa pesimis yang ia sembunyikan sedaritadi.

"Mungkin bisa dibilang, karena aku takut padamu Tania. Mungkin lebih tepatnya, aku takut kamu akan menolakku, karena kelebihanku ini."

Menunduk lebih dalam lagi, Ian lalu melanjutkan.

"Aku sudah beritahukan padamu kan, kalau aku sudah mengikutimu sejak kamu di gang tadi, kan?"

Tania lalu mengangguk sebagai bentuk jawabannya akan pertanyaan Ian.

"Saat kamu mengatakan kalau kamu membenci laki-laki tampan, seolah aku bisa mengerti perasaan yang dirasakan oleh si kapten setelah ditolak olehmu. Ekspresinya yang diperlihatkan padamu waktu itu, kurang lebih itulah yang aku rasakan juga setelah mengetahui kenyataanmu itu Tania."

"Pesimis, dan malah yakin kalau kamu akan menolak permintaanku untuk menjadi teman dekatmu, kurang lebih itulah yang awalnya kupikirkan setelah mendengar pernyataanmu itu, dan membuatku tidak bisa mengatakan maksudku secara langsung. Bahkan sekarang, meski saat ini aku sudah berada di depanmu dan memberitahukan maksudku, diriku entah mengapa masih merasa yakin kalau kamu akan menolak permintaanku ini."

Mendengar penjelasan dari si laki-laki tampan di depannya, ekspresi Tania lalu berubah menjadi lebih tenang. Tidak lagi menampakkan sebuah tatapan tajamnya ataupun ekspresi kesal dan tidak sukanya seperti sebelumnya.

"Kamu mengertikan, Tania?" ujar Ian yang kemudian telah mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Tania.

Tania lalu tertunduk kecil sambil terlihat wajahnya yang sedikit menyesal.

"Iya sepertinya aku paham sekarang. Maaf, karena telah menganggapmu sebagai seorang penguntit sebelumnya."

"Tidak apa Tania. Malahan, seharusnya yang meminta maaf adalah aku karena mengikutimu seperti tadi. Dan bukannya langsung mengatakan maksudku padamu."

"Tidak apa-apa." balas Tania.

Ian yang melihat ekspresi Tania, sebuah ekspresi yang ia lihat saat Tania berada di sekolah bersama dengan teman kelasnya, dan bukan yang ditampakkannya sebelumnya. Yang bahkan bagi Ian sendiri sebuah kelegaan tersendiri karena mendapatkan sikap seperti itu oleh Tania.

Kemudian, dengan sekali lagi dengan wajahnya yang serius dan hatinya yang sudah siap akan jawaban apa saja yang akan diterimanya, Ian lalu mengatakan.

"Jadi Tania. Bagaimana? Apa kamu mau menjadi teman dekatku atau tidak?"

Tania terdiam, dengan dirinya menunduk yang membuatnya terlihat memikirkan hal ini dengan baik.

"Kamu bisa menjawabnya nanti Tania. Lagipun, kalau kamu menolaknya juga tidak apa-apa, setidaknya aku sudah berterima kasih karena kamu meluangkan waktumu."

Mendengar pernyataan Ian, Tania kemudian menatap ke arah Ian. Ekspresinya yang terlihat serius namun tak memperlihatkan ekspresi tidak suka dirinya, seolah memberikan hasil akhir dari dirinya yang berpikir sebentar.

"Yah bisa dibilang jawabanku iya dan tidak. Iyanya karena aku mungkin bisa menolerir kalau hanya menjadi teman dekat saja."

Ian lalu tersenyum senang mendengar jawaban dari Tania. Namun, dengan tatapannya yang kembali tajam Tania lalu melanjutkan.

"Namun tidaknya, adalah karena sekali lagi adalah seorang laki-laki tampan. Ciri-ciri yang bisa dibilang aku benci. Jadi bisa dibilang aku masih mempertimbangkan kalau aku bisa menjadi teman dekatmu atau tidak."

"Be-begitu yah…" tanggap Ian dengan nada lesuh.

Tania lalu berdehum, yang sekali lagi dilanjutkan dengan tatapan biasanya dan wajahnya yang masih serius.

"Tapi, mungkin aku akan lihat bagaimana kedepannya dengan menjadi teman dekatmu. Namun sekali lagi, saat aku mengetahui gerak-gerikmu ataupun hal yang kamu lakukan membuatku menjadi benar-benar tidak suka dan benci. Jangankan menjadi teman dekatmu, malahan aku dengan senang hati akan menjadi memusuhimu, menjauhimu dan malahan menganggapmu adalah pengganggu utamaku. Paham?"

Ian terdiam, seolah diberikan sesuatu amanah yang begitu berat dari Tania, yang membuat dirinya mesti berpikir dengan hati-hati untuk bertindak atau melakukan sesuatu terhadap Tania. Yang berpotensi apabila satu kesalahan atau hal yang dilakukan membuat Tania merasa tidak suka atau benci, maka akibatnya kurang lebih seperti yang dikatakannya. Yang tentunya, Ian ingin sekali menghindari masalah seperti itu.

"Baiklah kalau begitu Tania."

Mendengar jawaban Ian, seolah menghilangkan semua ekspresi dan sikap Tania yang serius, tatapan yang tajam, dan berbagai hal negatif lainnya yang ditampakkan Tania sebelumnya. Kini digantikan dengan sebuah senyuman ramah, yang membuatnya seolah-olah semua sikap dan ekspresi Tania adalah sebuah ilusi dan tidak pernah ia lakukan. Meski hal itu bukanlah senyum terbaik darinya, namun hal itu memberikan rasa lega tersendiri bagi Ian.

Sedangkan untuk Ian, rasa lega, syukur dan senang, memenuhi tubuhnya dan seolah meleburkan Ian yang seolah membuat dirinya ingin tertunduk dan duduk lega. Menahan itu semua, Ian pada akhirnya mengekspresikan itu semua dengan sebuah senyuman. Senyuman yang bisa dianggapnya senyuman lega, yang entah mengapa sudah mengurangi rasa tegang yang dirasakannya sedaritadi.

Saat melihat baik-baik mengenai sosok di depannya itu, Tania lalu menyadari suatu hal. Lebih tepatnya, mempertanyakan suatu hal terhadapnya. Yang lebih tepatnya lagi, mengenai identitas asli dari si laki-laki di hadapannya ini.

Namanya siapa?, dia berasal dari kelas mana?, dan darimana dirinya tahu mengenai sosok Tania, padahal dirinya baru pertama kali berada di sekolah Anggrana. Yang Tania tahu dari laki-laki ini hanyalah dia berasal dari sekolah yang sama dengan dirinya.

Mungkin bisa dikatakan alasan Tania tidak mengetahuinya, karena si laki-laki ini bukanlah perhatian utamanya. Bahkan bisa dikatakan, hampir semua laki-laki di sekolahnya bahkan di kelas baru Tania sendiri, bukanlah hal yang diutamakannya terlebih dahulu untuk dijadikan temannya disini. Yang bisa dikatakan, teman yang baru ia kenalnya di sekolah barunya ini hanyalah perempuan saja.

"Begini, maaf kalau agak kasar. Tapi, kamu ini siapa? Dan darimana kamu bisa mengenalku?" tanya Tania yang tidak memikirkan lebih jauh lagi mengenai alasan si laki-laki mengenal dirinya.

Ian tersenyum. Bukan karena mendengar pertanyaan Tania, yang mungkin kebanyakan dari siswa yang satu kelas dengannya, akan menganggapnya suatu hal yang aneh. Namun bisa dikatakan, sebuah hal yang begitu lumrah bagi dirinya, mengingat kebenaran Tania mengenai tidak menyukai laki-laki tampan. Tapi bisa dikatakan alasan dirinya tersenyum karena, kelupaan dirinya, ketidaksadaran dirinya, yang dimana dirinya tidak menyadari hal ini. Yang padahal, apabila Ian baik-baik, Tania sekalipun tidak pernah memanggil dirinya dengan nama "Adrian", apalagi "Ian".

"Maaf Tania. Begini, namaku adalah Adrian. Kamu bisa panggil aku Ian. Dan alasan aku bisa tahu kamu, yah karena kita sekelas. Lebih tepatnya, kursi kita dipisah oleh satu baris." Jawab Ian.

Tanpa adanya reaksi ataupun menyikapinya dengan cara lain, selain hanya terlihat paham dan kurang lebih sudah menjawab pertanyaan dirinya, kurang lebih itulah yang terlihat dari wajah Tania saat mendengar nama Ian.

"Ian yah. Ian…. Baiklah, aku sudah tahu namamu."

Mereka terdiam sebentar. Seolah jawaban akhir dari Tania tadi, adalah benar-benar bagian akhir dari percakapan mereka berdua.

"Jadi Ian, hanya itukan keperluanmu. Hanya untuk memintaku untuk menjadi teman dekatmu?"

Ian lalu mengangguk akan jawaban Tania, yang kemudian dilanjutkan..

"Be-benar Tania."

"Kalau begitu, kalau sudah tidak ada. Maka aku ingin pergi pulang."

"Oh Iya. Sekali lagi terima kasih Tania. Mudah-mudahan kedepannya kita bisa menjadi teman yang begitu baik."

Tania lalu tersenyu kecil sambil mengucapkan.

"Aku harap."

Tania kemudian mulai melangkahkan kakinya. Berjalan 2-3 langkah meninggalkan Ian dibelakangnya, yang lalu dilanjutkannya lagi.

"Sampai jumpa Ian."

"Sampai jumpa."

Mengatakan sebuah salam perpisahan ke Ian, Tania, tanpa berbalik lagi ke arah Ian, kemudian meninggalkannya di belakang.

Dan untuk Ian, yang melihat Tania, sudah semakin jauh dengan dirinya. Mulai berbalik arah, berjalan dengan berlawanan arah dari arah Tania berjalan, yang memang sedariawal, jalan rumah dari Tania dan Ian sendiri sudah berlawanan arah sejak di sekolah. Meninggalkan tempat dirinya dan Tania menjadi teman disana. Dengan wajahnya yang sekali lagi menampakkan wajah senyum senang, hati yang begitu lega, dan pikirannya yang mengenai apa yang bisa ia lakukan dengan Tania sebagai temannya nanti kedepannya.

Sekali lagi, di sore hari itu. Dengan warna jingga adalah tema utama dari waktu itu.

Ian pada akhirnya menyelesaikan, kurang lebih apa yang mesti dirinya capai. Yakni menjadi teman dekat Tania.