webnovel

BAB III: Kebenaran seorang Adrian

Di Sekolah Anggrana, Kota Sipktar. Hari Rabu.

3 minggu setelah Ian tinggal di kota Sipiktar, dan bersekolah di Sekolah Anggrana, yang merupakan salah satu sekolah hebat di kota Sipiktar.

Ian, yang karena semua kelebihan dimilikinya membuat dirinya menjadi orang yang paling dikenal dan populer di sekolah Anggrana.

Adik kelas menghormatinya sebagai kakak kelas yang baik, angkatannya menganggap dirinya sebagai teman yang akrab, dan kakak kelasnya menganggap Ian sebagai adik kelas yang dihargai.

Dan untuk kalangan guru, karena kepintaran, disiplin, tekun, sopan, dan selalu saja hormat kepada guru-guru yang mengajar di kelas XI-2, tanggapan mereka tentunya menjadikannya sebagai siswa favorit mereka, dan kadang kala menjadikannya contoh kepada siswa-siswa lainnya.

Dan tentunya, karena kepopuleran dan terkenalnya itu, selain tumbuhnya rasa pertemanan dalam diri siswa yang berusaha dekat dengan Ian. Juga, untuk siswi di sekolah Anggrana, akan tumbuh perasaan tertarik atau menyukai terhadap Ian.

Seorang perempuan, dengan rambut terurai, wajahnya yang cantik, dan terlihat ramah, berjalan menuju ke kelas XI-2. Menunggu di depan pintu kelas, yang mengindikasikan dirinya dalam 2 hal. Pertama, dirinya bukan berasal dari kelas XI-2. Dan kedua, dirinya sedang mencari seseorang dari kelas itu.

Berbalik ke kiri ke kanan, memerhatikan setiap tempat, sudut dan bangku untuk mencari orang yang sedang dicarinya. Saat pandangan dirinya mengarah tepat ke sebuah bangku di belakang, dengan orang yang memiliki bangku, sedang duduk sambil mengerjakan sebuah tugas atau catatan.

Si perempuan lalu memasuki kelas XI-2, membawa sebuah buku catatan, kemudian menghampiri siswa yang dicarinya.

"Ian!"

Laki-laki itu, tidak lain adalah Adrian atau Ian, berbalik kepada pemanggil dirinya. Menatapnya, lalu membalas panggilan dari perempuan yang memanggilnya.

"Oh! Kamu Tika. Ada apa?"

Perempuan itu, bernama Tika. Mendatangi Ian, menarik salah satu kursi kosong di sekitar bangku Ian, sambil memperlihatkan buku catatan yang dibawanya.

"Sebenarnya Ian, ada yang ingin aku tanyakan mengenai pembahasan ini."

"Yang mana?"

Menunjuk salah satu catatannya, lalu menyampaikan mengenai catatannya yang ia katakan tidak mengerti.

"Bagian ini Ian! Mengapa pada rumus ini harus ditempatkan cara pengurangan seperti ini? Bukannya nanti bisa hasilnya tak terhingga?"

"Kalau itu Tika, sebenarnya...."

Menjelaskan dengan mudah, singkat dan benar-benar masuk akal. Itulah yang dirasakan Tika mendengar penjelasan Ian mengenai sebuah rumus matematika yang berada di catatannya. Kadang kala menatap wajah Ian yang sedang menjelaskan mengenai rumus di catatan miliknya, yang membuat dirinya tersipu senang mengenai situasinya saat ini.

"Kamu mengerti sekarang Tika?"

Dimana matanya menatap Ian, saat itu pula Ian yang selesai menjelaskan menatap langsung ke arah Tika. Pandangan mereka berdua bertemu, membuat Tika yang menyadari situasinya, wajahnya kemerahan, dan secara refleks termundur dan berbalik menghindari pandangan Ian untuk menenangkan deg-degan dirinya.

"A-Aku mengerti sekarang kok Ian! Ma-makasih akan penjelasannya!"

Tersenyum dan menatap Tika dengan keramahan, Ian menjawab.

"Sama-sama kok Tika."

Tika sekali lagi tersenyum. Dengan wajahnya yang memerah menyala, jantungnya yang berdetuk begitu kencang, perasaan senang dan bahagia bergejolak di dalam diri dan hati Tika saat itu.

Mengambil buku catatan miliknya, lalu menyimpan kembali bangku kosong yang ia seret sebelumnya, Tika lalu berpamitan dan berterima kasih ke Ian atas penjelasannya sebelumnya.

"Makasih sekali lagi Ian atas penjelasanmu hari ini! Aku sangat terbantu akan penjelasanmu tadi."

"Iya kok Tika! Dan kalau misalnya ada yang ingin kamu tanyakan lagi Tika, temui saja aku dimanapun kamu dapati aku seperti biasanya. Setidaknya aku akan berusaha untuk memberikan penjelasan terbaikku untuk sesuatu yang tidak kamu mengerti."

"Baik Ian. Kalau begitu, aku pergi dulu Ian. Salam."

"Salam."

Meninggalkan Ian yang kembali melakukan aktivitasnya yang sedang mengerjakan sebuah tugas ataupun catatan, Tika yang memeluk erat buku catatan miliknya, sekali lagi tersenyum senang lalu berjalan cepat meninggalkan Ian, dan kelas XI-2.

"Hari ini, aku berhasil lagi."

Sekali lagi, wajah yang cantik, rambut terurai, dan parasnya cukup menawan, yang sambil membawa buku catatannya yang sebelumnya dijelaskan oleh Ian. Tika nama siswi itu.

Berada di kelas XI-1 yang merupakan kelas yang dipenuhi siswa pintar seangkatan mereka. Dan Tika adalah yang teratas di antara para siswa di kelas XI-1. Yang membuat dirinya bisa dibilang sebagai orang yang sangat pintar di angkatannya.

Dengan kelebihannya itu semua, tentunya membuat dirinya sebagai salah satu siswi populer di sekolah Anggrana. Banyak laki-laki yang berusaha menembaknya, namun malahan ia tolak karena memiliki alasan.....

"Aku ingin fokus belajar."

Meskipun, pada akhirnya, dari sekian laki-laki yang ada di sekolah Anggrana, Ianlah yang membuat Tika jatuh hati, dan membuat dirinya melupakan alasannya itu.

Tika mengenal Ian dimulai saat di kelasnya yakni XI-1 sedang belajar bhs. Indonesia. Dan itu terjadi tepatnya sehari setelah kepindahan Ian di sekolah Anggrana.

Bersama dengan guru yang mengajar mereka, Ian masuk sambil membawa buku dari si guru bhs. Indonesia.

" Bu, dimana saya mestinya menyimpan buku-buku ini?"

"Di meja ini saja Adrian."

Suara bisik dan keributan seketika menyelimuti kelas XI-1. Apakah dihadapan mereka adalah anak baru, hingga kesan mereka mengenai Ian. Sampai dalam sebuah kebisingan itu, seseorang memberitahukan fakta bahwa mengenai kabar anak baru di kelas XI-2 yang begitu hebat. Karena tinggi, tampan, dan pintar.

Dan hasilnya, seketika mereka seolah teringat akan informasi tersebut. Kabar mengenai kelas di sebelah mereka memiliki siswa hebat seperti itu. Dan siswa itu saat ini berada dihadapan mereka membantu guru bhs. Indonesia mereka untuk membawakan bukunya.

Namun diantara semua kebisingan, dan penyampaian berita itu, Tika yang merupakan salah seorang siswi pintar di kelas XI-1. Saat melihat Ian pada waktu itu hanya bisa terdiam. Fokus melihat sosok laki-laki yang dihadapannya.

Bagaikan sebuah ilusi atau fantasi para wanita yang menjadi kenyataan. Khususnya bagi Tika pada waktu itu. Padahal dirinya tidak pernah mendengar kabar seperti teman-temannya yang lain, karena dirinya yang sangat fokus belajar, dan tidak pernah mengobrol dengan teman-temannya selain hanya hal disukainya ataupun sebuah materi pembelajaran.

Dan saat itu, seorang laki-laki yang begitu ideal bagi Tika berdiri di depan kelasnya saat itu.

"Kalau begitu bu, saya pergi dulu--"

"Tunggu dulu Ian!"

"Ada apa lagi ya, bu?"

Si guru Bhs, Indonesia lalu memberikan salah satu buku miliknya yang judulnya tentang dialog dalam sebuah naskah film.

"Baiklah. Kita akan melanjutkan materi kita tentang naskah drama. Dan seperti yang Ibu katakan minggu lalu, bahwa Tika yang akan membacakan naskah drama yang ibu bawakan untuk tokoh 1. Dan karena minggu lalu dari laki-laki, tidak ada yang mengajukan diri untuk membacakan tokoh 2. Seperti yang Ibu katakan, maka Ibu akan menunjuk salah satu dari kalian untuk mendampingi Tika."

Seketika perasaan resah, dan risau langsung memenuhi tubuh para siswa laki-laki di kelas XI-1. Pusing, bingung, dan gugup karena peluang kemungkinan diri mereka masing-masing dipilih oleh si guru bhs. Indonesia sama.

Meski, alasan mengapa tidak ada satupun yang mengajukan diri, bukanlah karena mereka gugup, demam panggung, dan alasan-alasan biasa lainnya. Bahkan kalau bukan karena alasan yang menyebabkan mereka tidak naik ini, tentunya mereka akan langsung mengajukan diri dan malahan akan terjadi keributan untuk memperebutkan hal ini.

Dan alasan mereka sebenarnya karena sosok lawan dialog mereka, yakni Tika. Bagi siswa laki-laki XI-1, mulai dari kelas X hingga mereka saat ini, sosok yang bisa dibilang sulit di dekati ataupun diajak bicara di kelas mereka hanyalah siswi bernama Tika.

Pintar, dan cantik, namun entah mengapa jarak antara mereka siswa laki-laki di kelas XI-1 dengan Tika dirasa jauh. Seolah, kalaupun secara tidak sengaja salah satu dari mereka berbincang dengan Tika, seketika mereka berusaha semaksimal mungkin agar tidak gugup, kaku, ataupun salah dalam mengucapkan suatu kata.

Mungkin bisa dibilang mereka terlalu melebih-lebihkan sosok dari Tika sendiri. Padahal si Tika, malahan kalau dari sudut pandang para siswi di kelas XI-1, dirinya sangatlah baik, ramah dan selalu mengarahkan dan mengajarkan mereka layaknya seorang yang benar-benar terpintar di kelas XI-1.

Bahkan kalau dalam hal prespektif atau pendekatan, para siswa di kelas XI-1 bisa berusaha mengubah itu, bisa saja mereka menjadi lebih akrab ataupun menjadi lebih lancar dan santai untuk berkomunikasi dengan Tika.

Namun, nasi telah menjadi bubur. Para siswa yang tetap mempertahankan pandangan mereka itu, yang membuat mereka masing-masing mendapatkan kegelisahan dan kegugupan yang luar biasa seperti saat ini.

"Namun, karena saat ini Adrian ada di sini, dan setahu ibu, guru yang mengajar di kelasnya saat ini berhalangan hadir. Jadinya, Ibu meminta Adrian untuk menjadi tokoh 2 sebagai lawan bicara Tika. Tidak apa-apa kan, Adrian?"

Dengan wajah yang tersenyum dan ramah, lalu pada akhirnya Ian lalu mengangguk sebagai tanggapannya atas permintaan dari si guru bhs. Indonesia.

"Baiklah! Kalau begitu, Tika! Kamu naik kedepan."

Si guru lalu memberikan sebuah buku yang sama ia berikan ke Ian kepada Tika.

"Sekarang. Buka buku itu di halaman 7. Sudah?"

Ian dan Tika hanya mengangguk, setelah mereka mendapatkan halaman yang disampaikan tadi.

"Selanjutnya, Ibu minta kepada kalian semua untuk mendengarkan baik-baik naskah yang akan disampaikan ini. Sesudah itu, untuk semuanya kecuali Tika, Ibu minta untuk menganalisis, apakah dialog yang dibacakan ini benar-benar tepat seperti yang Ibu ajarkan minggu lalu, atau tidak. Paham?"

"Paham bu."

"Tika! Adrian! Bacakan naskah itu."

Kata-kata yang disampaikan si guru bhs. Indonesia pada waktu itu, membuat suasana di kelas XI-1 menjadi diam.

Ian dan Tika mulai memandang satu sama lain, lalu membacakan dialognya dengan ekspresif.

Dialog dimulai dengan Ian. Wajahnya, cara penyampaiannya, raut wajahnya. Seolah itu semua membuat para siswa di kelas XI-1 ataupun si guru hanya bisa terdiam. Begitu penuh makna, ekspresif dan terlihat begitu natural menurut pandangan dan pendengaran mereka.

Sedangkan Tika yang melihatnya, meski dalam dialog awal, membuat dirinya sekali lagi menatap Ian. Takjub, sekaligus, kagum dengan lawan dialognya saat ini, yang sampai-sampai membuat dirinya melupakan kalau dirinya juga sebagai tokoh dalam dialog.

Hingga Ian menyelesaikan dialognya, beberapa detik Tika hanya bisa terdiam menatap Ian. Bukan nafsu, ataupun kaget. Tapi hanya sedikit tertarik. Hanya sedikit.

Saat itu pula, Ian yang menyadari Tika terbengung, lalu memberikan sebuah kode wajah ke arah Tika, yang langsung saja menyadarkan Tika untuk membacakan dialog miliknya.

Bisa dibilang, cara bicara, raut wajahnya begitu ekspresif untuk Tika. Namun, terlihat dan terdengar oleh guru ataupun teman kelasnya, kalau beberapa kali Tika terlihat kaku, dan gugup dalam menyampaikan dialognya. Seolah-olah dirinya tidak berada di penampilan terbaiknya.

Hingga akhir, dari itu, dengan wajah yang malu-malu, Tika yang menyadari kesalahannya, menghadap ke arah Ian.

"Ma-maaf ya! Karena aku tadi agak kaku."

"Ndak apa-apa kok."

Ditutup dengan tepuk tangan yang cukup meriah di kelas XI-1, dan si guru bhs. Indonesia yang juga melakukan apresiasi. Ian dan Tika lalu tersenyum menatap semua siswa disana.

"Bagus sekali Ian, Tika! Penampilan kalian sangatlah bagus. Ibu sangat apresiasi."

"terima kasih bu!" jawab Ian dan Tika.

Mengakhiri tepuk tangan kekaguman para siswa di kelas XI-1, Ian kemudian memberikan buku naskah ke pemiliknya yakni si guru bhs. Indonesia, lalu sekali lagi mengucapkan berpamitan ke si guru, dan meninggalkan ruang kelas XI-1.

Dan Tika, yang telah dipersilahkan duduk oleh si guru bhs. Indonesia, bersama dengan temannya di kelas XI-1, melanjutkan pembelajaran di kelas mereka seperti biasa seolah tidak terlalu terjadi apa-apa dengan mereka. Meski, dalam artian lain, kesan yang ditinggalkan Ian untuk di kelas XI-1, adalah kesan kagum dan takjub.

Setelah melihat itu, melihat penampilan dari Ian yang begitu mengagumkan dan membuka mata mereka lebar-lebar karena penampilan sederhana itu, tentunya baik laki-laki ataupun perempuan di kelas itu, akan merasakan perasaan takjub di dalam hati mereka. Dan untuk para perempuan yang tidak lain juga Tika, mulai merasakan perasaan tertarik terhadap sosok yang memberikan kekaguman ke mereka.

waktu istirahat di sekolah Anggrana, Tika mendatangi beberapa temannya yang dirinya dengar sedang membincangkan kurang lebih mengenai Adrian. Seperti dirinya yang merupakan siswa baru, asalnya, dan informasi-informasi lainnya mengenai Adrian.

"Teman-teman! Maaf kalau aku menganggu. Aku hanya ingin bertanya. Kalian..membicarakan Adrian, si laki-laki tadikan?"

Mengangguk atas pertanyaan Tika, teman-temannya yang tidak lain mereka adalah perempuan, agak terkejut dengan pertanyaan Tika terhadap mereka. Bahkan, bagi mereka mendengar Tika menanyakan hal lain selain pembelajaran kepada mereka teman-temannya, adalah sesuatu yang jarang. Dan alasan mereka mengangguk pun bisa dibilang karena refleks dari mereka yang apabila Tika menanyakan suatu hal ke mereka, teman-temannya langsung menjawabnya.

"Kalau begitu, memangnya dia berasal dari kelas mana?"

"Ehh...,kalau tidak salah, di kelas XI-2 Tika."

"Begitu ya, Terima kasih atas infonya."

Meninggalkan teman-temannya yang masih bingung dan bertanya-tanya, Tika dengan jalannya yang tergesa-gesa menuju ke kelas XI-2.

Dan sekitar lima meter dirinya dari jarak pintu depan kelas XI-2. Wajahnya yang tampan, tinggi dan keliatan begitu atletis, berada tepat di depan kelas XI-2 dan hampir masuk ke kelas itu. Siswa itu yang tidak lain adalah Adrian yang sambil terlihat membawa sebuah buku, membuat Tika yang meningkatkan kecepatannya menuju ke arah Adrian.

"Adrian! Tunggu dulu!"

Berbalik ke arah orang yang memanggilnya, dirinya yang melihat sosoknya, awalnya mencoba mengingat mengenai identitas orang yang memanggilnya. Dan dengan kecepatan pemikirannya, tentunya seketika Ian mengingat identitas singkatnya.

"Kamu. Kalau tidak salah, namamu Tika dari kelas XI-1 tadi kan? Ada apa memangnya?"

"Begini Adrian, sebelumnya aku minta maaf karena tadi sebelumnya aku membaca dialogku kaku dan tidak fokus."

"Untuk apa kamu minta maaf Tika. Padahalkan aku hanya membantumu, dan mungkin saja aku melakukan kesalahan, yang jadinya kamu tidak fokus dan kaku seperti tadi."

"Ti-tidak kok Adrian! Bukan karena kamu melakukan kesalahan kok."

Tersenyum, lalu kemudian tertawa kecil akan percakapan mereka ini. Seolah-olah, sebuah hal yang pantas mereka tertawakan. Saat itu pula, entah mengapa dalam hati Tika, dirinya mulai merasakan sedikit kedekatan kepada siswa yang bernama Adrian.

Seketika, matanya yang tidak sengaja menatap ke arah barang yang dibawa Adrian yakni sebuah buku. Membuat, sosok Pintar dan disiplin seperti Tika, tentunya dengan refleks mengeluarkan pikirannya.

"Adrian! Buku--"

"Ian! Kamu bisa panggil aku Ian, Tika."

Hati Tika entah mengapa berdetuk agak kencang. Seolah, bagi Tika yang diperbolehkan memanggil Adrian dengan nama panggilannya, secara tersirat membuat anggapan kalau sosok Tika dianggap menjadi spesial di hadapan Ian.

Namun mungkin saja, karena Tika yang saat itu masih belum mengetahui mengenai fakta bahwa semua teman kelas Ian memanggilnya dengan nama panggilannya, membuat diri Tika pastinya akan berpikir seperti itu.

"Ian!? baiklah kalau begitu-- Ian, mengenai buku yang kamu bawa itu. Memangnya buku tentang apa?"

Ian kemudian mengangkat buku yang dipegangnya, membaliknya ke arah atas, yang memperlihatkan sampul depan dan judul dari buku yang dipegangnya."Buku materi Bhs. Indonesia kelas XI" Kurang lebih itulah judul dari buku itu.

Untuk Tika sendiri yang melihat judul buku yang dimiliki Ian, membuat dirinya agak kagum dengan sosok Ian. Yang dimana dirinya, langsung mengetahui kurang lebih dari kronologis mengenai keterkaitan buku itu dan Ian.

"Ternyata kamu sedang mempelajari materi Bhs. Indonesia, Ian?!"

"Iya. Karena kebetulan saja. Setelah berada di kelasmu tadi, tiba-tiba saja aku agak tertarik untuk belajar lagi mengenai materi di buku Bhs. Indonesia ini. Ya, walau aku sudah sangat paham materi di buku ini sih."

Sekali lagi, sebuah rasa kagum makin meningkat lagi dalam hati Tika. Karena bahkan menurut dirinya, untuk seseorang seperti dirinya saja, yang dianggap sebagai orang yang pintar, hanya akan membaca buku pelajaran saat dirinya berada pada waktu mengerjakan PR ataupun persiapan beberapa hari sebelum ujian.

Namun siswa di depannya ini, seseorang yang cukup membuat dirinya tertarik. Hanya karena tidak sengaja ikut dalam pembelajaran di kelas lain meski hanya dengan sedikit waktu, cukup membuat dirinya ingin serius dalam belajar.

Dan bahkan, yang tidak kalah diantara semua pernyataan Ian yang mengejutkan Tika, adalah mengenai kebenaran bahwa Ian telah mempelajari dan memahami semua materi yang berada di buku materi Bhs. Indonesia yang dipegangnya.

Padahal, mengenai kebenaran Ian sendiri, bahwa dirinya yang baru kemarin memasuki sekolah Anggrana ini, namun ternyata cukup waktu dalam mempelajari satu buku materi Bhs. Indonesia. Dan bahkan adanya kemungkinan kalau Ian pun juga telah mempelajari materi di mata pelajaran lainnya.

Namun, diantara itu semua, pada akhirnya dugaan mengenai Ian yang di sekolah sebelumnya mempelajari semua materi mata pelajaran, dapat menepis semua pertanyaan-pertanyaan di dalam hati Tika yang di penuhi juga dengan rasa kagum yang hebat.

"Ternyata, kamu benar-benar orang yang hebat, Ian." ujar Tika yang mengungkapkan kekagumannya.

"Tidak seperti itu kok, Tika. Aku yakin, kalau kamu berusaha belajar dengan serius, kamu pasti bisa seperti aku."

"Aku harap."

Sebuah ide langsung terpikirkan oleh Tika. Ide yang entah mengapa bagi dirinya mesti ia lakukan, yang saat memikirkannya membuat dirinya tersenyum senang akan hasil yang mungkin di dapatnya dari idenya ini. Lalu tanpa dirinya berusaha memikirkan kembali mengenai idenya ini, dirinya lalu mengatakannya.

"Ehh...Ian! Boleh tidak kamu mengenai materi di buku Bhs. Indonesia itu. Jujur saja, ada beberapa materi yang masih aku belum mengerti. Bisa nggak?"

"Bisa saja Tika. Kalau begitu, bisa tidak kita cari tempat yang lebih nyaman untuk memberitahu pelajarannya?"

"Bi-bisa kok, Ian."

Mendapatkan persetujuan untuk sarannya, Ian yang tadinya berada di depan kelasnya, pada akhirnya menuju ke arah yang berlawanan.

"Kalau begitu, bagaimana kalau mengajarkanmu di taman saja. Aku dengar disana tempatnya bagus untuk belajar disana. Bagaimana?"

Mengangguk akan saran Ian, yang mengindikasikan bahwa Tika menyetujui sarannya. Dan dengan Ian yang berada di depan sambil membawa buku Bhs. Indonesia, kemudian Tika yang berada dibelakangnya mungkin sekitar 10 cm dari jarak dirinya dengan Ian.

Tak ada percakapan diantara mereka, namun dirinya yang melihat Ian, tersenyum melihat pemandangan, dan keramaian dari sekolah Anggrana, sudah cukup membuat dirinya menikmati suasana ini.

Tidak yakin apakah perasaannya ini memang hanya karena kekagumannya, atau rasa ingin tahu, ataukah perasaan lainnya. Tapi perasaan yang dirasakan dirinya saat bersama dengan Ian sekarang ini, entah mengapa begitu ia sukai dan nikmati.

Dan diantaranya, mungkin perasaan suka muncul di dalam dirinya terhadap Ian. Dirinya tidak memungkirinya, namun dirasanya begitu cepat. Tapi apabila memang bahwa hal yang dirasakannya ini memang perasaan suka, setidaknya dirinya berharap kalau perasaannya ini akan selalu berada di hatinya.

Beberapa menit berlalu dengan perjalanan mereka, Ian dan Tika akhirnya sampai di Taman Sekolah.

Warna hijau yang hampir memenuhi lingkungan taman, banyaknya pula kursi dan meja seolah untuk memberikan fasilitas yang terbaik untuk para siswa di sekolah Anggrana untuk belajar. Dan yang paling utama dari taman sekolah, yakni pohon besar yang berada di ujung taman dimana sebagian besar siswa berada disana sambil menikmati kesejukan kerindangan dari pohon besar itu.

Melihat itu, seolah keputusan Ian untuk belajar dan mengajar Tika mengenai materi bhs. Indonesia yang tidak diketahuinya dirasa tepat. Sambil memalingkan pandangan ke berbagai sudut di taman sekolah, untuk mencari tempat agar mereka bisa belajar. Ian kemudian mendapatkan salah sebuah kursi untuk dua orang.

"Tika kita akan duduk disana." ujar Ian sambil menunjuk kursi yang diperhatikannya tadi.

Tika yang berada di belakangnya, hanya bisa mengikuti maksud Ian. Hingga saat berada di kursi itu, dengan mereka yang saling menyamping dengan buku Ian yang di tengah mereka. Tika lalu mulai membuka sebuah halaman di buku itu, yang katanya tidak ia mengerti.

"Yang ini Ian! Jujur saja, aku pernah mencoba mempelajarinya sendiri sekali. Tapi entah mengapa, aku masih saja tidak mengerti."

"Mmmhh.., kalau ini memang awalnya agak susah dimengerti. Tapi sebenarnya..."

Dengan singkat, mudah dimengerti, dan tidak bertele-tele, Ian menjelaskan materi yang Tika katakan ia tidak mengerti. Tika yang mendengarnya, menatap materi yang tidak ia mengerti dan sambil mendengar penjelasan Ian, seolah mengubah pandangannya terhadap materi itu.

'....Yah, kira-kira seperti itulah yang bisa aku jelaskan Tika. Kamu paham?"

Menatap buku-- atau lebih tepatnya halaman dari materi yang tidak ia mengerti. Tika kemudian tersenyum akan penjelasan Ian yang membuat dirinya mengerti.

"Aku paham sekarang. Terima kasih, Ian!"

"Bukan apa-apa kok."

Ian kemudian, layaknya guru yang selesai mengajarkan materinya, dirinya lalu mengatakan sebuah pernyataan yang sering di dengar oleh para siswa saat akhir pelajarannya.

"Kalau begitu Tika, apakah ada lagi yang ingin kamu tanyakan?"

Sambil memiringkan kepalanya, lalu terlihat memikirkannya baik-baik, pada akhirnya dirinya merasa bahwa tidak ada lagi yang bisa ia tanyakan mengenai penjelasan lengkap dari Ian tadi.

"Tidak ada kok Ian! Sekali lagi, terima kasih ya, Ian."

"Sama-sama."

Ian lalu menutup buku yang berada di antara dirinya dan Tika. Berdiri dari tempat duduknya, lalu mengucapkan kalimat perpisahan mereka pada hari itu.

"Karena tidak ada lagi yang kamu tanyakan, aku pergi dulu! Kalau misalnya kamu memang ada lagi tanyakan Tika, datang saja temui aku."

"Baik Ian."

Meninggalkan Tika yang masih duduk menatap dirinya, Ian lalu pergi kembali menuju kelasnya sambil membawa buku bhs. Indonesia miliknya.

Dan Tika yang saat itu berada disana, menatap Ian meninggalkan dirinya, kurang lebih merasakan perasaan senang.

Semenjak hari itulah, Tika mulai sering bertanya mengenai berbagai materi ke Ian. Tidak hanya Bhs. Indonesia saja. Matematika, Bhs. Inggris dan mata pelajaran lainnya Tika tanyakan kepada Ian. Mulai dari yang ia tidak benar-benar tahu, hingga dengan sengajanya dirinya menanyakan materi yang sudah ia tahu.

Itu semua ia lakukan yang awalnya mengagumi kepintaran Ian sehingga dirinya lebih baik lagi dalam pembelajaran. Hingga pada akhirnya, rasa kagumnya itu bertumbuh menjadi sebuah rasa tertarik yang hanya sebesar biji, yang perlahan-lahan tumbuh menjadi perasaan menyukai.

Perasaan menyukai yang dirinya anggap sebelumnya adalah sebuah perasaan samar. Pada akhirnya, ia anggap menjadi benar-benar perasaan yang dirasakannya terhadap Ian.

Dan sekarang, atau lebih tepatnya, saat ini. 3 minggu semenjak hari itu, Tika memutuskan untuk menyatakan perasaannya ke Ian. Mungkin dianggap agak kontradiksi dari seharusnya yang dimana laki-laki menembak perempuan.

Namun, tentunya Tika menyadari, kebenaran kalau bukan hanya dirinya saja yang menyukai Ian. Dirinya yang selama 3 minggu ini dekat dengan Ian, tentunya menyadari, kalau keramahan Ian tidak hanya dilakukannya ke dirinya saja. Yang berarti, selain Tika, karena kebaikan Ian ini kemungkinan-- tidak, pastinya siswi yang selalu diperlakukan ramah oleh Ian, pastinya akan jatuh hati pada dirinya dan kemungkinan akan menyatakan cintanya pula pada Ian. Yang jadinya, tidak ada pilihan lain bagi Tika selain mendahului siswi-siswi yang ada untuk menjadi pertama yang menyatakan cintanya kepada Ian.

***

Hari Rabu, Sore hari, sepulang sekolah di Sekolah Anggrana.

Di Taman sekolah Anggrana.

Dengan pohon besar, yang menjadi salah satu hal mencolok di taman itu.

Seorang perempuan, wajah yang cantik, dan rambut panjangnya yang terurai, berdiri di depan pohon besar sekolah Anggrana, seolah menunggu seseorang. Pipinya yang memerah, dirinya yang keliatan bingung, gugup dan resah, namun dirinya seolah menghilangkannya dengan kepalan tangan, dan pikiran-pikiran yang membuatnya menguatkan tekadnya.

"Tika! Maaf membuatmu menunggu lama." ujar seorang siswa yang memanggil si siswi yakni Tika dari kelas XI-1.

"Tidak apa-apa Ian. Lagipula, aku yang seharusnya meminta maaf karena memintamu datang ke sini."

Si siswa yang mendatangi Tika, yakni Ian. Wajahnya yang penuh tanya mengenai alasan Tika yang tiba-tiba memanggil dirinya ke taman sekolah.

Mungkin lebih tepatnya, setelah sebelumnya Tika menanyakan suatu materi ke Ian, dirinya dengan sedikit grogi, dan agak deg-degan sambil mengeluarkan sedikit keringat dingin. Tika lalu meminta...

"I-Ian! Bisa tidak nanti sepulang sekolah kamu ke taman sekolah? Ka-karena...ada hal yang ingin aku sampaikan pribadi dengan kamu nantinya."

"Bisa saja."

Sebuah jawaban singkat, mendengar jawaban singkat Ian, seolah sebuah pertanda baik yang di dapatkan Tika. Seperti mengatakan ke dirinya kalau rencananya untuk menembak Ian akan berjalan dengan lancar.

Dan selanjutnya, ditempat mereka saat ini. Tika lalu menatap Ian dengan penuh persiapan, meski rasa gugupnya masih saja dirasakannya.

"Jadi Tika, Memangnya kamu ingin beritahu tentang apa?"

Tika terdiam. Meski sebelumnya dirinya sudah memikirkan kata-kata apa yang akan di ungkapkannya kepada Ian nantinya.

Namun, dengan rasa gugup yang berada di dalam dirinya, ditambah dengan pertanyaan Ian tadi, membuat Tika seketika langsung pusing, dan mulai tidak fokus.

Saat itu, entah mengapa rasa deja vu dirasakan olehnya, mengenai apa yang dirasakannya saat ini. Meski diberbeda tempat, namun dengan apa yang dirasanya dan dengan orang yang sama membuatnya seperti ini, tentunya Tika kemudian mengingat kembali saat dirinya pertama kali bertemu dengan Ian.

Dan dengan mengingat itu kembali, seolah-olah Tika merasakan kepercayaan dirinya kembali. Ditambah dengan kilas balik- kilas balik yang dilihatnya. Saat-saat dimana dirinya bersama Ian selama 3 minggu ini. Membuat kepercayaan dirinya makin meningkat.

Tika kemudian menghirup napas melalui mulutnya, dan mengeluarkannya seolah-olah sebagai bentuk dirinya untuk kesiapan dirinya. Dan dengan wajahnya yang penuh percaya diri, sambil dirinya menatap langsung ke arah Ian, Tika mengatakan...

"Ian! Sebenarnya aku suka sama kamu sebagai lawan jenis! Boleh tidak aku berpacaran denganmu?"

Dirinya mengatakannya. Masih merasa tidak percaya bahwa dirinya mengatakannya, namun seolah beban yang dirasa Tika yakni mengungkapkan rasa sukanya kepada Ian menjadi berkurang. Dan sekarang, yang perlu dirinya tunggu dari Ian, adalah tanggapan dirinya. Sebuah jawaban yang apakah mungkin dirinya dapat.

"Diterima" atau "ditolak". Sebuah 2 diantara jawaban itu, akan diterima Tika. Namun, dilihat dari kelancaran dilihatnya, dan tanpa adanya kendala dari rencana yang ia pikirkan, membuat keyakinan dirinya untuk diterima sangatlah tinggi. Dan bahkan hampir, di dalam hati Tika, sudah hampir tidak ada rasa dirinya akan ditolak dan sebagainya.

Namun...

"Tika! Sebenarnya...."

Kata pertama yang Ian katakan, dipandangan Tika sendiri, seperti sebagai pengubah ekspresi Ian secara tiba-tiba. Dan Tika yang melihat ekspresi wajah Ian, layaknya rasa percaya diri dan yakin akan dirinya diterima—sirna layaknya sesuatu yang telah tenggelam ke dasar laut.

"....Aku tidak memiliki rasa tertarik ataupun suka padamu."

Dan akhirnya, jawaban Ian ditambah dengan ekspresinya seperti tadi. Sudah memberikan benar-benar jawaban terhadap Tika. Sebuah "Penolakan", itulah yang ia terima dari dirinya yang menyatakan cintanya ke Ian.

Dirinya ingin sekali bertanya seperti...

"Me-memangnya me-mengapa kamu menolakku?" atau...

"Ta-tapi Ian, a-apakah kita tidak bisa memulainya dulu? Dan sebagainya.

Tapi, dirinya tidak melakukannya. Atau lebih tepatnya, dirinya tidak bisa melakukannya. Wajah Ian yang menampakkan kata "kecewa", membuat Tika tidak bisa mengatakannya. Dirinya merasa kalau tetap melakukannya, bisa saja dirinya merasa lebih kecewa lagi atas situasinya ini.

"Be-begitu ya... uhum...memang begitu ya jawabanmu ya Ian. Jadi memang begitu. Ternyata begitu. Ya, itulah jawabanmu." gumam Tika yang menahan sakit hatinya sambil terus memalingkan pandangannya ke segala arah.

"Kalau sudah tahu begitu, ya sudahlah. Ian! Sekali lagi maafkan aku karena memanggilmu kesini. Aku pergi dulu."

Tika tanpa sekali lagi melihat wajah Ian, lalu berbalik arah. Meninggalkan Ian, tanpa mengucapkan kata-kata lagi. Marah, bingung kecewa, depresi- itu semua mungkin adalah perasaan-perasaan yang bisa dibilang Tika rasakan.

Dirinya tidak tahu, apakah dirinya memang marah, atau bingung, kecewa atau hal-hal lainnya. Hatinya-- dirinya yang terlalu menerima ini semua, membuat dirinya terlalu pusing untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya saat ini.

Mungkin saja ini karena ini terlalu diluar dugaannya? Bisa saja. Tika yang memikirkannya seperti itu, lalu meyakinkan dirinya, meyakinkan hatinya. Bahwa hal yang dirasakannya ini karena kejadiannya ini benar-benar diluar ekspektasinya.

Meyakinkan, meyakinkan, terus meyakinkan. Tika terus saja berusaha meyakinkan dirinya tentang apa yang dirasakannya akibat, ekspektasi itu. Terus, terus, terus saja.

Namun.

Tetap saja, meski dirinya terus saja berusaha memikirkan bahwa akibat yang dirasakannya ini karena hal ini. Ujung-ujungnya dirinya tidak bisa memungkiri, bahwa yang dirasakannya ini- benar-benar, membuat dirinya begitu sakit hati.

Benar, kata sakit hatilah sebagai ungkapan mengenai apa yang dirasakan dan kata yang Tika cari saat ini. Memahami dan mengetahui perasaannya ini, emosi dan pikirannya membuat dirinya merasakan kesedihan, dan mengeluarkan air mata.

"Tika!"

Mendengar sebuah suara dari arah dirinya berlari sebelumnya. Dari arah belakangnya dan suaranya yang terdengar familiar, Tika mengetahui kalau yang memanggilnya adalah orang yang menolaknya yakni Ian.

Dirinya sebenarnya sudah tidak ingin lagi melihat Ian saat ini. Hanya untuk hari ini saja, atau mungkin esok, lusa- Tapi yang pasti, hingga dirinya sudah benar-benar berhasil melupakan semua ini dan move on terhadap Ian. Tika pasti akan berusaha menjadi seperti biasa terhadap Ian.

Meski, yang entah mengapa, apakah karena dirinya sudah terbiasa berbalik terhadap panggilan Ian, ataukah karena pikirannya yang masih kacau- Yang membuat Tika langsung refleks berbalik ke arah Ian dan sekali lagi, melihat orang yang telah menolaknya itu.

Dirinya mengusap air matanya, menghilangkan bekas air mata di pipinya, sembari dirinya berbalik ke arah Ian dan bersikap sebiasa ia bisa.

"A-ada apa Ian?"

Dirinya yang telah berbalik keseluruhan ke arah Ian-- Tika melihat, sebuah ekspresi dari Ian. Benar-benar dari seorang Ian, yang dirinya sering ia lihat dan temui hari-hari sebelumnya. Bukanlah dari Ian yang tadi ia lihat yang menampakkan kata "kecewa",

Ekspresinya begitu terlihat menyesal. Dirinya tertunduk, menghadap ke arah tanah, yang kemudian tatapan dari Ian lalu menghadap ke arah dirinya, dan mengatakan...

"Begini, aku hanya ingin katakan, maaf karena telah menolakmu Tika. Dan meskipun begitu, aku harap, setelah ini hubungan pertemanan kita bisa berjalan seperti biasanya. Bisakan?"

Tanpa adanya kebohongan, hal yang disembunyikan, atau hal-hal seperti itu. Itulah kurang lebih ekspresi penyesalan Ian yang Tika lihat.

Bukan sebuah pemikiran ulang, atau berubah pikiran. Namun cukup membuat hati Tika entah mengapa menjadi lebih tenang. Dirinya kemudian tersenyum ke arah Ian lalu mengatakan.

"Tentu saja kok Ian. Lagipula, aku tidak terlalu memikirkannya juga."

"Be-begitukah? Kalau begitu, syukurlah."

Tika kemudian menampakkan senyumnya menjadi lebih lebar lagi.

"Kalau begitu Ian, aku pergi dulu."

Dengan tasnya yang telah ia gunakan sedaritadi, Tika memegangnya lebih erat lagi. Berjalan meninggalkan taman sekolah dengan pohon besar, dan juga Ian yang masih berada disana.

Dirinya telah ditolak, untuk dibilang bahwa dirinya saat ini sekarang baik-baik saja, maka hal itu tidak mungkin setelah hal ini dialaminya. Sakit hati, dan sedih masih melekat di dalam hatinya. Tapi, setelah dirinya mendengar permintaan maaf Ian, sudah cukup membuat Tika, mengenai apa yang dirasakannya sedikit lebih baik.

Sementara itu, laki-laki yang telah menolak Tika, dan saat ini berada di taman sekolah sambil melihat kepergian Tika yakni Ian. Hanya melihat.

Menatap Tika yang meninggalkan dirinya. Dan saat Tika telah melihat dari pandangannya, maka gilirannya yang kemudian berjalan meninggalkan taman sekolah.

Berjalan meninggalkan taman sekolah, melewati ruangan-ruangan sekolah, sambil dirinya tengah memikirkan suatu hal yang cukup membuat dirinya penasaran.

Daripada dibilang sebuah buah pikiran, mungkin lebih tepatnya dibilang sebagai "pertanyaan".

"Mengapa aku menolak Tika?" Kurang lebih itulah pertanyaan baru Ian yang masuk di katalog pertanyaan di dalam pikirannya.

Sebuah pertanyaan yang sederhana, namun agak membuat dirinya penasaran. Padahal dalam pemahaman logika dirinya, untuk seseorang yang secantik, sebaik, dan sepintar Tika, pastinya menjadi seseorang yang menarik perhatian laki-laki seumuran dirinya. Yang berarti pula pastinya dirinya, saat dinyatakan cinta oleh Tika seperti tadi, seharusnya dirinya menerimanya.

Tapi entah mengapa, daripada kalimat menerima, Ian malahan mengeluarkan kalimat penolakan. Padahal dirinya sudah sangat dekat dengan Tika, kurang lebih meski hubungan pertemanan mereka baru berlangsung 3 minggu. Tapi pastinya, sebuah perasaan menyukai akan muncul di dalam diri Ian ke Tika cepat atau lambat, selama hubungan mereka selama 3 minggu itu.

Yang pada akhirnya, dengan pola pikir Ian yang selalu merumitkan suatu hal, termasuk hal seperti ini. Membuat dirinya terus saja memikirkan mengenai jawaban atas pertanyaan yang dipikirannya itu.

Dirinya terus saja memikirkannya, dan tanpa sadar dirinya telah sampai di apartemenya. Yang pada akhirnya, jawaban yang bisa dipikirkan Ian mengenai ini, hanyalah....

"Mungkin Tika bukan tipeku."

Padahal dirinya telah susah memikirkan mengenai jawabannya, dan hanyalah jawaban singkat dan simpel yang bisa ia dapatkan. Meski, untuk Ian sendiri, mendapatkan jawaban ini saja cukup membuat dirinya agak senang karena dirinya yang pola pikirnya yang selalu saja rumit, bisa pula ternyata mendapatkan sebuah jawaban simpel seperti itu.

Dan dengan dirinya yang sampai di jawaban seperti itu, Ian yang telah sampai di apartemennya mulai melakukan aktivitas yang biasanya ia lakukan.

Keesokan paginya, di Sekolah Anggrana.

Seperti biasa, Ian melakukan aktivitas yang biasa ia lakukan. Hingga dirinya secara tidak sengaja bertemu dengan Tika. Sambil mengangkat tangannya, Ian menyapa Tika.

"Tik--!"

Belum sampai Ian mulai mendekati Tika, dan malahan memanggilnya secara penuh- Tika hanya memperlihatkan sifat acuh, tak berpaling, dan mempercepat langkahnya untuk mengabaikan Ian.

Berpikir untuk mengejarnya, Ian saat itu lalu membuat dugaan mengenai tingkah Tika itu.

"Mungkin saja, dia sedang bergesah-gesah karena ada hal yang ia kerjakan."

Meyakini pemikirannya itu, Ian menghentikan niatnya untuk mengejar Tika.

Dan setelahnya, Ian sudah tidak melihat Tika lagi.

Padahal sebelumnya, setidaknya Ian pasti akan bertemu dengan Tika, dan bercakap-cakap dengannya mengenai pelajaran, atau mengenai sesuatu yang tidak dimengerti olehnya. Namun sekarang, bahkan pada hari itu, Ian hanya bertemu dengan Tika sekali saja, Itupun saat Tika sedang ada urusan lain.

Keesokannya, semuanya hampir sama dengan waktu kemarin. Dimana Ian tidak pernah menemui apalagi berjumpa dengan Tika. Dan daripada hari kemarin, hari ini Ian malahan tidak pernah menemui Tika sekalipun.

Dan tentunya, karena Ian yang juga memiliki urusan di kelasnya, yang membuat dirinya tidak bisa berusaha menemui Tika langsung ke kelasnya.

Keesokannya lagi, dimana Ian sedang memasuki lingkungan sekolahnya, seseorang yang dikenalnya yakni Tika berada beberapa meter di depannya. Ian mendatanginya, berada di sampingnya lalu berusaha menyapanya.

"Hey Tika!"

Tidak ada jawaban, balasan ataupun sapaan balik dari Tika ke Ian.

"Hey Tika. Kenapa kamu diam saja? Memangnya ada masalah ya?"

Tika sekali lagi mengabaikan Ian, dan mulai mempercepat langkahnya. Ian yang makin bertanya-tanya akan tindakan Tika, mulai mengikuti kecepatan langkah Tika.

"Apa karena kamu memiliki masalah, jadinya kamu tidak menemuiku kemarin? Kalau kamu ada masalah Tika, aku akan coba sebisa mungkin untuk membantu Tika."

Tika lalu berhenti dari langkahnya yang diikuti pula oleh Ian. Berbalik ke arah Ian yang berada disampingnya, Tika dengan wajahnya yang sedikit tegas dan serius lalu mengatakan.

"Ian! Kalau kamu ingin menolongku, maka aku ingin minta kamu untuk tidak berbicara ataupun dekat denganku. Bukan maksudku karena aku benci ataupun dendam ke kamu. Seperti yang aku bilang waktu itu, kalau aku akan tetap menjadi temanmu. Tapi tetap saja, sebagai orang yang sebelumnya menyukaimu dan kamu tolak, apabila melihatmu lagi, entah mengapa sakit hatiku menjadi muncul. Jadi aku minta tolong, untuk beberapa hari ini, berhentilah untuk dekat, menyapa dan bicara padaku Ian."

Terdiam- atau mungkin lebih tepatnya tertegun karena pernyataan Tika tadi.

Sementara Tika, setelah mengatakan apa yang dipikirkannya, lalu berlari meninggalkan Ian yang masih saja tertegun yang melihat dirinya menjauhinya.

Tanpa balasan, komentar, alasan, ataupun penyangkalan dari Ian, selain dirinya hanya melihat Tika meninggalkan dirinya. Yang entah mengapa, membuat dirinya agak bertanya mengenai sikap Tika.

Bukan karena dirinya tidak mengerti apa yang dirasakan oleh Tika. Mungkin lebih tepatnya, alasan dirinya bisa memahami apa yang dirasakan oleh Tika. Padahal seingat dirinya, Ian tidak pernah mengalami hal seperti ini, namun dirinya merasa prihatin tentang apa yang dirasakan oleh Tika. Dan perasaan menyesal lainnya yang dirasakan Ian karena menolak Tika.

Ian bisa saja menerima perasaan Tika. Namun, Ian sadar akan satu hal apabila dirinya melakukan itu.

Sekali lagi, bisa saja Ian akan menerima perasaan Tika, dan kemungkinan Tika mengatakan untuk menjauhi dirinya tidak akan terjadi, dan malahan hubungan mereka kemungkinan akan menjadi lebih dekat lagi. Namun, apabila dirinya melakukan itu, itu sama saja dengan membohongi dirinya sendiri, dan juga Tika.

Menjadi pacar Tika bukan karena perasaan sesungguhnya yang dirasakannya, tapi karena kasihan dan mencoba menghargai perasaan Tika. Itu bukanlah sifat menghargai yang benar-benar terhadap perasaan Tika, malahan hal itu hanya membohonginya, dan bukan benar-benar menghargai perasaan Tika yang menyatakan cintanya itu.

Dan, dengan dirinya yang akan bersikap seperti benar-benar menjadi pacar Tika, tanpa adanya perasaan sesungguhnya dari dalam diri Ian, maka sama saja dirinya itu pula akan menjadi beban batin tersendiri bagi Ian yang harus selalu berbohong hanya demi menjaga perasaan Tika.

Jujur, Ian yang menolak Tika ingin sekali membalas perasaan Tika. Namun apabila melakukannya bukan karena perasaan sesungguhnya, maka tidak lain, Ian hanya menjadi orang naif yang ingin menjadi terhadap temannya agar temannya itu merasa lebih baik.

Lalu dengan begini saja, meski Tika saat ini menjauhi diri Ian agar dapat melupakan perasaannya terhadap Ian. Namun sesuai janjinya, Tika pada akhirnya akan tetap menjadi teman dekat Ian. Dan dirinya bisa pula menghindari dirinya dan juga Tika untuk memiliki hubungan, yang sesungguhnya bukanlah hubungan. Tidak membohongi perasaan Tika ataupun dirinya sendiri. Maka hal itu, sudah cukup bagi Ian.

Dan memang setelah beberapa hari kemudian, Tika pada akhirnya bisa berbicara lagi dengan Ian. Meski dalam artian lain, dibandingkan sebelum Tika menyatakan perasaannya, saat ini hubungan mereka lebih terlihat orang dekat saja.

Tika sudah tidak pernah lagi mencoba menanyakan mengenai mata pelajaran ke Ian. Dan dirinya juga, sudah mulai tidak berniat untuk selalu bertemu Ian setiap hari. Dan saat mereka berdua bertemu, Tika hanya menyapa Ian, dan saat mereka melakukan perbincangan, tidak ada topik yang bisa mereka bahas selain hanya pembelajaran atau obrolan ringan saja.

Bagi Ian yang menyadari kelonggaran yang lebar diantara hubungan dirinya dengan Tika. Awalnya mencoba untuk mencari cara agar pertemanan mereka lebih dekat lagi.

Namun ujung-ujungnya, karena Tika yang terlihat untuk lebih dekat lagi ke Ian, membuat Ian hanya bisa mematuhi apa yang diinginkan oleh Tika.

Disesalkan dan disayangkan oleh Ian, tapi inilah yang Ian anggap lebih baik, dan tanpa adanya sedikitpun rasa menyesal akan keputusannya.

Tapi, dari saat ini, atau lebih tepatnya karena Ian yang telah menolak Tika, yang berarti Ian bisa dibilang masih tidak memiliki pacar. Dan karena itu, siswi-siswi ataupun teman perempuan Ian yang lainnya, pada akhirnya pula mencoba untuk menembak Ian.

Cantik, pintar, baik, dan berbagai siswi dan perempuan di sekolahnya dengan berbagai kelebihan yang dimiliki mereka, dan diketahui oleh Ian, mencoba untuk menembak Ian.

Namun, dengan ekspresi yang sama, jawaban yang sama, dan melakukan permintaan maaf kepada yang ditolaknya, yang kurang lebih itulah hal yang dilakukan Ian kepada Tika saat Tika menyatakan perasaannya ke Ian.

Dan hasilnya, untuk orang-orang yang ditolak Ian, keadaan mereka bisa dibilang sama dengan Tika. Setelah ditolak oleh Ian, mereka yang sebelumnya dekat dengan Ian, menjauhi Ian, dan pada akhirnya membuat hubungan pertemanan diantara mereka dan Ian hanyalah orang dekat, atau bisa dibilang teman sekolah saja. Tidak kurang, dan tidak lebih bagi mereka.

Lalu Ian yang mengalami ini semua, yang dimana dirinya hanya menganggap siswi dan perempuan yang ditolaknya tidak lebih adalah teman. Tentunya, saat mereka bersikap egois untuk menjauhi Ian demi perasaan mereka, malahan tidak memikirkan mengenai perasaan Ian yang menganggap mereka sebagai teman.

Mereka berusaha menjauhinya demi perasaan mereka untuk tidak sakit hati. Dan bahkan ada beberapa dari mereka mencoba untuk tidak mendekati Ian lagi, dan menganggap Ian sebagai masa lalu mereka yang buruk. Walaupun sebagian besar pula dari siswi yang ditolak Ian, pada akhirnya melupakan itu semua dan bersikap biasa ke Ian.

Walaupun hasil ini bagi Ian sendiri adalah sebuah tekanan batin yang dirasakannya. Selain melalui para siswi yang mulai tidak dekat seperti sebelum menyatakan peraaan mereka, perasaan bersalah yang dirasakannya karena telah menolak mereka, dan membuat mereka seperti itu.

Menyesal, tapi itulah jawaban dari perasaannya. Dirinya sudah tidak mengetahui apa yang bisa ia lakukan dalam menangani hal ini. Padahal mereka sudah baik ke Ian, namun dirinya malahan menolak mereka, yang saking beratnya beban penolakan Ian bagi siswi yang ditolaknya, mereka bahkan sampai bersikap begitu.

Tapi, diantara itu semua, Ian yang telah mengalami berbagai penolakan ke siswi di sekolahnya dengan berbagai kriteria, kelebihan, umur dan sebagainya memahami satu hal.

"Apa jangan-jangan, aku tidak bisa menyukai perempuan?"

Sebuah ide atau pemikiran, bahkan untuk orang normal menganggapnya hanyalah sebuah pikiran yang timbul dari sebuah rasa cemas berlebihan akibat sebuah tekanan yang dirasakan Ian. Karena tentunya, dalam pemikiran secara logika, mustahil di dunia ini seorang laki-laki tidak memiliki rasa ketertarikan terhadap perempuan.

Tapi dalam pikiran Ian, dirinya yakin kalau hal inilah jawaban dari apa yang dihadapinya. Berbagai dugaan, ide dan kemungkinan yang dipikirkannya seperti yang biasa ia lakukan dalam menangani masalah seperti ini, dirinya hanya bisa memikirkan bahwa hanya jawaban inilah yang bisa terpikirkan olehnya.

Pikiran awalnya yang mengatakan kalau perempuan yang ditolaknya bukanlah tipenya, dalam hari demi hari dirinya menolak perempuan di sekolahnya, mulai surut. Perlahan mulai menghilang dan menumbuhkan keyakinan yang dipikirkannya saat ini.

***

Sekolah Anggrana, Kota Sipiktar.

Satu setengah bulan semenjak Ian telah bersekolah disini.

Ian yang telah mengalami berbagai tindakan penolakan kepada siswi di sekolahnya, pada akhirnya telah mengalami berbagai tekanan batin.

Total dari perempuan dari Ian tolak saat ini berjumlah 28 orang. Termasuk dari kelas X dan kelas XII.

Namun tidak termasuk dengan siswi yang berada di luar sekolah Anggrana, yang mengetahui mengenai Ian di sekolah Anggrana dari siswa-siswa disana. Yang meski hanya mendengar kabar burung dari Ian, tapi saat melihat Ian pertama kali, seolah membuat mereka ingin menyatakan apa yang dirasakan mereka.

Namun pada akhirnya, nasib yang didapatkan mereka kurang lebih sama saja dari siswi di sekolah Anggrana yang menyatakan cinta pada Ian.

Dimulai dari Tika, yang merupakan siswi atau perempuan yang pertama kali di tolak oleh Ian. Dengan beberapa alasan yang menjadikan dirinya sebagai pertama karena, dibandingkan siswi yang lain di sekolah Anggrana, hanya Tikalah yang paling dekat dengan Ian. Yang pada akhirnya beberapa siswa menganggap kalau Ian dan Tika itu berpacaran.

Dimulai dari teman kelas Tika yang pada hari dimana Ian datang ke kelas mereka, Tika setelah itu bertingkah aneh. Yang dipahami mereka kalau sebenarnya Tika suka terhadap Ian. Dan setelah beberapa hari hingga dimana hari Tika menyatakan perasaannya, para siswi di sekolah Anggrana yang memiliki perasaan dengan Ian, pada akhirnya mengurungkan niat mereka untuk menyatakan perasaan mereka ke Ian.

Namun, setelah Tika menyatakan perasaannya ke Ian, kebenaran pun pada akhirnya terungkap mengenai hubungan Ian dan Tika yang hanyalah hubungan pertemanan. Yang menjadikan siswi yang menyukai Ian, apalagi yang sudah cukup dekat dengan Ian, untuk menjadikannya peluang untuk berusaha menyatakan perasaan mereka ke Ian.

Tapi pada akhirnya seperti sekarang. Dimana sebagian kecil dari siswi di sekolah Anggrana yang memiliki perasaan terhadap Ian sudah ditolak Ian saat ini.

Dan sekarang, pada hari ini. Pagi ini. Melewati gerbang sekolah Anggrana dengan tasnya, tersenyum sapa terhadap siswa-siswa yang ada, dan menyapa para guru yang mengajar di kelasnya. Namun dengan kegundahan yang berada dalam hatinya mengenai hal yang dialaminya ini.

Terus berjalan, dengan di hatinya seolah sudah menyerah terhadap apa yang dialaminya dan meyakini kesimpulan terakhirnya mengenai masalah yang dihadapinya.

Ian yang terus berjalan, dan sampai ke kelasnya, memasuki kelas. Menyimpan tas miliknya ke bangkunya seperti biasa. Hingga....

"Ian!"

Suara yang terdengarnya sangat familiar. Sebuah suara yang sudah sangat lama dirinya tidak dengar lagi. Berbalik ke arah asal suara—berada di ujung ruangan. Dirinya dengan bangkunya, duduk sambil berbalik dengan wajahnya yang meski keliatannya sering menampakkan kemarahan, selalu jutek, namun menampakkan senyum yang begitu ramah kepada Ian.

"Sahar!"

Meyakini bahwa orang yang memanggilnya memanglah Sahar, Ian lalu tersenyum senang tapi tetap memperlihatkan ketenangan dalam menanggapi perasaan senang dan rindu dirinya.

Menghampiri Sahar ke bangkunya, Ian melihat 2 orang siswa bersama Sahar disana. Yang satu dengan menggunakan kacamata, seolah dirinya layaknya seorang kutu buku. Dan yang satunya, terlihat begitu atletis dan malahan melebihi Ian sendiri.

Ian lalu berdiri di dekat Sahar, dengan wajah yang agak terheran menatap 2 siswa yang dekat dengan Sahar, Ian lalu berusaha mencoba memikirkan identitas mereka. Namun pada akhirnya dirinya tidak mengetahuinya.

"Sahar! Mereka ini siapa? Padahal aku tidak melihat mereka di sekolah ini, tapi kenapa menggunakan seragam sekolah ini?"

2 siswa itu hanya menatap Ian dengan senyum biasa. Tak ada rasa permusuhan ataupun sebagainya. Mungkin lebih bisa dibilang rasa ingin akrab.

"Mereka Ian?? Mereka adalah siswa pindahan yang kebetulan kenalanku."

"Pindahan?! Berarti mereka teman kelas kita yang baru? Tapi kenapa mereka sudah disini?"

"Sepertinya kamu salah paham Ian. Meski memang siswa pindahan, tapi bukan di kelas kita. Mereka ini nantinya siswa di kelas XI-3."

Memahami dengan cepat penjelasan Sahar, Ian lalu mengangkat badannya, mendatangi 2 siswa itu, lalu berniat untuk berjabat tangannya ke arah 2 siswa itu sambil mengatakan...

"Maaf kalau begitu, pertama perkenalkan namaku adalah Adrian. Kalian bisa memanggilku Ian."

2 siswa itu, yang dimulai dari yang menggunakan kacamata mulai membalas jabatan tangan Ian sambil mulai memperkenalkan dirinya.

"Namaku adalah Calip."

Siswa yang bernama Calip itu dengan senyuman yang masih sama, membalas jabatan tangan Ian. Detik demi detik dari jabatan yang dilakukan Ian ke Calip, dirinya merasa kalau genggaman dari lawan jabat tangannya makin keras saja. Tidak cukup membuat Ian merasa kesakitan, tapi seolah ada rasa atau aura darinya yang menandakan rasa tidak suka ke Ian dari proses Ian berjabat tangan dengan Calip, namun bukanlah rasa permusuhan.

Melepaskan jabat tangannya dari Calip, Ian lalu menggenggam tangan dari siswa yang satunya lagi. Si siswa yang kedua, berbeda dengan Calip, hanya dari senyumnya saja kalau dia memang orang yang ramah. Si siswa itu lalu mulai menggenggam tangan Ian, lalu memperkenalkan dirinya

"Kalau namaku Ian, panggil saja aku Dirga."

"Dirga ya.."

Ian yang berjabat tangan dengan siswa bernama Dirga, dibandingkan dengan Calip, dirinya tidak memperlihatkan adanya rasa tidak suka. Meski, saat Ian menggenggam tangannya, Ian merasakan sedikit rasa sakit. Tapi pada akhirnya, Ian menduga kalau itu karena tubuhnya yang berotot dan atletis, membuat genggamannya dianggap si Dirga biasa saja, tapi bagi orang lain termasuk Ian, menganggapnya pasti agak keras.

"Bagus! Karena kamu Ian, sudah mengenal mereka, aku harap kamu bisa berteman baik dengan mereka, layaknya sama aku."

"Pastinyakan Sahar."

Sekali lagi, Ian lalu menatap 2 siswa itu. Menatap ke arah Calip, yang meski tadinya adanya aura tidak suka, namun kemudian, telah hilang seperti tidak pernah si Calip ini menampakkan aura itu. Dan menatap Dirga, yang meski keliatannya orang yang kasar, tapi dibaliknya terlihat orang yang ramah. Mengetahui itu semua, Ian tersenyum senang menatap mereka, membayangkan mengenai bagaimana pertemanan dirinya dengan mereka ke depannya.

"Oh iya Sahar! Mungkin lebih baik aku dan Dirga segera pergi ke ruang guru. Aku rasa guru wali di kelas XI-3 sudah ada disana."

"Benarkah? Kalau begitu terima kasih sekali lagi Calip, Dirga."

"Sama-sama Sahar. Dirga! Ayo kita pergi."

"Ayo."

Perginya Calip dan Dirga, yang menyisahkan Ian dan Sahar disana. Behadapan dengan meja Sahar yang berada ditengah mereka.

"Jadi Ian! Bagaimana pendapat kamu tentang 2 kenalanku tadi?"

"Mereka keliatannya baik. Meski aku rasa kalau si Calip itu tidak suka padaku. Tapi setidaknya aku tidak merasakan sampai benci ataupun memusuhiku. Dan untuk si Dirga, meski keliatannya orang yang sedikit kasar, tapi dia memang orang yang ramah."

"Begitu ya?"

Ian mengangguk menanggapi pertanyaan Sahar.

"Kalau mengenai si Calip, jangan kamu terlalu ambil hati Ian. Meski sikapnya seperti itu, tapi sebenarnya dia orang yang baik. Cuman, dia tidak terlalu mudah percaya dengan orang yang baru ia temui."

"Tidak seperti itu kok Sahar! Aku tidak ambil hati kok akan sikapnya itu. Malahan, aku agak senang karena sikapnya seperti itu."

"Baguslah kalau tanggapanmu seperti itu Ian."

Nampak ekspresi lega terlihat di wajah Sahar, dengan disertai pula helaan napas. Seolah, jawaban dari Ian yang memberikan sebuah jawaban yang cukup diharapkan Sahar, meski adanya kemungkinan lain yang tidak diharapkannya.

"Oh iya Sahar! Kalau kamu sudah bersekolah lagi, berarti urusanmu dengan dia sudah selesai?"

Mendengar pertanyaan Ian yang lain. Sahar yang masih menyesuaikan diri setelah mendengar jawaban Ian yang sesuai ekspektasinya, kini dihadapkan dengan pertanyaan Ian mengenai masalah lainnya. Namun, pemikiran yang tenang dan cepat yang dilakukan Sahar, tentunya membuat dirinya langsung memberikan jawaban yang ada.

"Oh, bisa dibilang iya dan juga tidak Ian. Tidaknya karena saat ini aku mengalami pertengkaran dengannya, jadi dirinya ataupun aku tidak ingin bertemu satu sama lain."

"Sayang sekali kalau begitu akhirnya Sahar. Terus, alasan kamu bilang kalau iya?"

"Yah...,karena setelah bersamanya selama ini Ian, setidaknya aku kurang lebih sudah tahu mengenai tindakannya, dan akhir dari masalahnya itu. Dan aku yakin, pasti hal baik untuknya."

"Begitukah?! Syukurlah kalau begitu." ujar Ian sambil tersenyum senang.

Menatap sekali lagi sahabat masa kecilnya, yang kurang lebih dirinya tidak menemuinya lebih dari sebulan. Atau hal itu terjadi lebih tepatnya, sehari setelah Ian masuk di sekolah Anggrana, Sahar pada waktu itu meminta surat izin untuk tidak masuk sekolah sampai batas tertentu, karena sebuah urusan yang begitu penting.

Dimana urusan itu kurang lebih terjadi tiba-tiba tepat saat Ian dan Sahar hendak pulang sekolah bersama. Dirinya dan Sahar yang tidak sengaja bertemu dengan seseorang, dimana orang itu meminta tolong kepada Sahar pada waktu itu.

Awalnya Sahar menolaknya, namun karena desakan dari Ian. Sahar pada akhirnya menerima permintaan dari orang itu. Dan untuk membantu orang itu, Sahar pada akhirnya mesti cuti sekolah kurang lebih selama satu setengah bulan. Meski, kadang kala Sahar datang ke sekolah untuk mengisi absen miliknya. Namun tetap saja, kadang kala urusannya itu membuat dirinya tidak bisa membuatnya menetap lama di sekolahnya, bahkan sampai hanya untuk berbincang dengan Ian.

Dan sekarang, dimana Sahar telah kembali ke sekolah, itu berarti bahwa urusannya itu kurang lebih telah ia selesaikan. Meski sekali lagi, kemungkinan iya dan tidak tetap muncul di dalam jawaban Sahar mengenai urusan yang dilakukannya itu.

"Baiklah. Kembali ke inti. Ian! Kamu memiliki masalah apa?"

Untuk sepersekian detik, waktu yang dirasakan Ian terhenti. Matanya sedikit terbelalak, jantungnya memompa sedikit lebih cepat. Namun pada akhirnya tersadarkan oleh Ian, mengingat mengenai fakta dari Sahar sendiri.

"Kamu Sahar. Untuk beberapa saat, aku agak kaget karena kamu bisa tahu kalau aku ada masalah. Namun, mengingat kamu orangnya yang begitu, seharusnya aku tidak kaget lagi."

Sahar tertawa kecil mendengar pernyataan Ian.

"Jadi, aku tanya sekali lagi Ian. Kamu memiliki masalah apa?"

Terdiam. Ian mulai memikirkan berbagai hal dipikirannya. Mulai dari dirinya yang mesti menceritakannya darimana, ataupun kata-kata apa yang mesti ia katakan.

"Jadi sebenarnya Sahar...."

Ian mulai menceritakan masalahnya dari menurut dirinya berawal. Atau lebih tepatnya, menurut Ian, hal ini terjadi saat Tika berusaha menyatakan perasaannya ke Ian. Yang pada akhirnya, Ian mesti menolaknya. Padahal siswa seperti Tika, menyatakan perasaan ke Ian, namun si Ian sendiri malahan menolaknya, dan sedikit permintaan maaf darinya karena telah menolak Tika. Dan hal itupun Ian terus lakukan terhadap para siswi yang berusaha menyatakan perasaannya ke Ian, dan dirinya tolak, lalu meminta maaf ke mereka.

Ian juga memberitahu mengenai akibat dari hal yang dilakukannya seperti beberapa yang ditolaknya menjauhi dirinya. Meskipun adapula yang pada awalnya menjauhi dirinya, dan pada akhirnya bersikap normal kembali.

Dan diakhir penjelasannya, Ian memberitahu mengenai kesimpulan bahwa dirinya sepertinya tidak bisa menyukai seorang perempuan, atau kurang lebih begitu kesimpulan yang disampaikannya.

"Mmmhh...sepertinya aku paham Ian. Tapi Ian, apa kamu tidak merasa kalau kesimpulanmu begitu karena kamu terlalu memberatkan masalah ini. Bisa sajakan, kalau perempuan-perempuan yang kamu tolak itu, memang bukan tipe kamu."

"Awalnya aku berpikir seperti itu. Tapi entah mengapa, tiap perempuan yang aku tolak, membuatku yakin kalau kesimpulan akhirku adalah jawaban mengenai masalah ini."

Sahar lalu mengangkat kepala sehingga dirinya menatap langit kelasnya, seperti orang yang sedang berpikir. Beberapa detik dari dirinya melakukan hal itu, Sahar lalu berbalik lagi ke arah Ian, sambil mengeluarkan kesimpulan dari dirinya berpikir tadi.

"Yah, meski kamu bilang begitu Ian. Tapi entah mengapa aku masih yakin kalau alasan kamu menolak perempuan-perempuan itu hanya karena mereka bukan tipemu saja Ian. Tidak ada alasan lain. Dan untuk kesimpulan akhirmu itu. Aku rasa, itu adalah sebuah kemungkinan yang tidak tepat, dan terdengar konyol. Mengingat bahwa hal seperti itu hampir tidak mungkin terjadi pada orang biasa Ian."

Mendengar kritikan dari Sahar, seolah pikiran dari Ian terbuka dan seketika menyadari kesalahan akan pemikirannya. Namun tentu saja, bahkan saat orang mendengarkan pernyataan Ian tadi, pastinya jawaban atau anggapan mereka kurang lebih sama dengan Sahar.

Dan Ian, yang dirinya baru menyadari kesalahan atau kejanggalan dari kesimpulan terakhirnya itu, benar-benar hampir menghilangkan dugaannya itu di dalam hatinya. Mengetahuinya, membuat dirinya seolah ingin langsung menyetujui saran dari Sahar tadi.

Namun sekali lagi, seolah rasa pesimis yang masih berada dalam hati Ian, yang membuat dirinya masih kebingungan. Memilih apakah memang dirinya mesti memercayai saran dari Sahar, ataupun pemikirannya yang terakhir itu.

Ian terus berpikir, berpikir, berpikir, mengenai kemungkinan kemungkinan yang bisa di dapatnya dari dirinya mengambil saran Sahar, ataupun dari idenya yang terakhir itu. Terus berpikir sambil mencoba menghindari sebisa mungkin kesalahan yang sama seperti sebelumnya yang mengenai pikiran terakhirnya. Hingga...

"Ian! Kalau kamu begitu pusing. Bingung, apakah mesti mengikuti saranku atau tetap berpegang teguh dengan kesimpulanmu itu. Jadi bagaimana kalau aku memberikan saran lainnya Ian?!"

"Saran?"

Mengangguk atas pertanyaan ulang Ian, Sahar lalu melanjutkan...

"Singkatnya hanya saran ringan saja. Aku hanya minta kamu untuk coba percaya akan kesimpulanku tadi. Lakukanlah aktivitas seperti biasanya. Saat ada perempuan yang mencoba menembakmu, ikuti saja. Jika kamu tidak ada rasa, tolak saja. Lakukan saja, tapi tidak perlu terus-terusan. Coba saja sampai kamu merasa yakin kembali kalau kesimpulanmu yang terakhir itu memang benar Ian."

Menjelaskannya dengan terbelit-belit. Untuk orang biasa, saat mendengar ini mungkin—tidak, pastinya akan merasa bingung dan pusing. Seolah, daripada menjelaskan dengan singkat dan ringkas, Sahar malahan membuat sebuah penjelasan yang begitu terbelit-belit seperti itu.

Namun, berbeda halnya kalau Ian yang mendengar penjelasan Sahar itu. Mengerti, paham, dan malahan seolah Sahar dengan sengaja membuat penjelasan berbelit dan ribet seperti itu, hanya untuk dimengerti oleh Ian. Seperti itu, atau memang kenyataannya.

"Bisa saja aku melakukannya. Tapi entah mengapa aku merasa tidak enak sama perempuan-perempuan itu, yang mungkin saja aku tolak nantinya."

Sahar sekali lagi menghela napasnya yang terdengar dan terlihat jengkel.

"Ian, apakah karena kamu terlalu baik atau bagaimana. Tapi intinya, itu tergantung kamu juga kan. Kamu juga nantinya kan akan minta maaf karena menolak mereka. Jadi sudah cukup untuk mereka. Malahan aku anggap terlalu baik"

"Benar juga."

"Jadi Ian, kamu tahukan apa yang mesti kamu lakukan kedepannya?"

"Kurang lebih."

Mengikuti dan menuruti saran dari Sahar, mulai dari hari itu pula, Ian yang sebelumnya yakin akan kesimpulan fiksinya, kini kembali ke fakta lain dari keadaannya yang disampaikan Sahar.

Mengikuti permintaan siswi di sekolahnya, dan melihat apakah Ian memiliki rasa tertarik pada siswi itu atau tidak.

Kalau menyukainya, Ian akan menerimanya. Dan kalau ditolaknya, setidaknya saat akhir Ian akan meminta maaf karena dirinya menolak perempuan itu.

Kurang lebih hal itulah yang dilakukan Ian.

Menolak....menolak....menolak..., dan menolak. Itulah kurang lebih dari hasil Ian selama dirinya dinyatakan perasaannya oleh siswi-siswi yang menyukainya.

Dan hasil lain dari ini tentunya adalah sikap yang dilakukan para perempuan itu. Mengabaikan, dan menganggap Ian sebagai sesuatu yang mesti mereka lupakan, atau jauhi terlebih dahulu agar tidak merasakan rasa sakit saat mereka mencoba menembak Ian dan melihat ekspresi "kecewa" Ian, yang menurut mereka membuat mereka melakukan hal ini.

Lalu untuk Ian, pada akhirnya dirinya yang mulai terbiasa atau malahan merasa kebal akan sikap para perempuan yang ditolaknya, dan hampir menganggapnya adalah hal biasa. Namun tentu masih ada rasa sakit hati yang dirasa Ian setelah mengalami hal ini.

Melakukan hal yang sama secara terus-menerus, dan tanpa sadar sudah 3 bulan semenjak Ian bersekolah di sekolah Anggrana. Sudah setengah dari siswi yang menyukainya di sekolah Anggrana, telah ditolak oleh dirinya.

Berada di taman sekolahnya, sekitar setengah jam sebelum pelajaran pertama di mulai.

Sambil memandang tepat ke arah pohon besar di sekolah, Ian saat itu memikirkan semua hal mengenai masalahnya ini.

Pesimis akan rencana dan saran Sahar yang dulu, Ian yang seolah telah kehilangan harapan mengenai masalahnya ini, pada akhirnya kembali lagi mempercayai teorinya yang dulu mengenai dirinya yang tidak bisa menyukai seorang perempuan.

Meyakininya kembali, namun dengan pemikiran Ian yang sebaik-sebaik mungkin, mengenai apakah memang dirinya tidak bisa menyukai perempuan atau alasan lainnya. Dan dengan dirinya yang begitu yakin, Ian percaya kalau dirinya benar-benar tidak bisa menyukai seorang perempuan.

Sedikit depresi, kesal, sedih, marah. Namun dirinya tidak bisa berbuat apa-apa dalam menangani masalah ini. Dirinya begitu bingung, tidak tahu lagi apa yang mesti dilakukannya sekarang. Bahkan, semua saran Sahar di pikiran Ian perlahan menghilang di dalam hati dan pikirannya. Dan bagi dirinya, sia-sia saja lagi dirinya berusaha mempertanyakan mengenai masalahnya ini ke Sahar, setelah gagalnya saran pertama oleh Sahar.

"Jadi...benar-benar ada yah...., seseorang yang tidak bisa menyukai perempuan." gumam Ian ke dirinya sambil menikmati kesejukan taman sekolahnya.

Tanpa ada seorangpun yang mendekatinya, karena menyadari kalau saat itu Ian sedang ingin sendiri. Bahkan Sahar, malahan lebih menampakkan sikap yang kurang lebih sama. Namun daripada itu, Sahar lebih terlihat menampakkan niat yang berbeda dengan siswa-siswa yang biasanya dekat dengan Ian, untuk menjauhinya. Lebih terlihat, kalau Sahar keliatan sedang merencanakan suatu hal selama sikap Ian tersebut pada waktu itu.

"Kring...kring....kring...!!"

Dan tanpa sadar, waktu dirinya merasakan perasaan negatif itu mengenai masalahnya, bunyi bel sekolah Anggrana berbunyi menandakan dimulainya pelajaran pertama di sana.

"Jadi sudah masuk yah?! Sebaiknya aku bergegas, daripada nantinya terlambat."

Meninggalkan taman sekolah, Ian yang mesti tampak berjalan, namun terlihat bahwa langkahnya adalah langkah secepat yang bisanya ia lakukan. Yang bisa dibilang, langkahnya kurang lebih sudah cukup membuat dirinya segera sampai ke kelas dirinya.

Sesampainya di depan kelasnya, dimana keadaannya kurang lebih tenang dan diam akibat sedikit lagi masuknya guru pelajaran, Ian lalu memasuk dengan jalannya secepat yang ia bisa, lalu duduk sambil mempersiapkan buku dan alat pelajarannya untuk mata pelajaran di pelajaran pertama di hari itu.

Terdengar suara langkah kaki yang akhirnya masuk ke kelas XI-2. Tidak terdengar satu saja, tapi dua orang yang sedang melangkah tepat di depan kelas XI-2.

Tepat 2 orang yang langkah kakinya terdengar itu masuk ke kelas XI-2, sontak keributan terjadi sekali lagi di sana. Berbagai bisikan, perbincangan kecil lalu terjadi disana.

"Siapa dia?"

"Cantik juga."

Salah satu dari pemilik langkah itu adalah tentunya guru yang mengajar di kelas XI-2. Namun, untuk pemilik dari langkah satunya, dan penyebab kegaduhan yang terjadi di kelas XI-2, tidak lain adalah seorang perempuan. Atau bisa dibilang seorang siswi baru di kelas XI-2, sekolah Anggrana.

"Kalian semua, Ibu mohon diam! Hari ini, di kelas kalian telah kedatangan siswi baru lagi. Baiklah, perkenalkan diri kamu nak."

Berdiri tepat di depan papan tulis, menghadap ke arah para siswa yang menatap dirinya. Dengan wajahnya yang tersenyum ramah, menatap mereka semua. Wajahnya yang lumayan cantik, rambutnya yang pendek diikat secara ponytail seolah memberikan rasa baru sendiri mengenai siswi baru itu.

"Baiklah. Perkenalkan namaku adalah...."

Siswi itu mulai memperkenalkan dirinya. Nama, alamatnya, asal sekolah, tanggal lahir, dan hal –hal mengenai dirinya yang membuat para siswa yang mendengarnya bisa dibilang agak terkejut, dan kagum mengenai siswi itu.

Dan diantara para siswa, mungkin lebih tepatnya ke para siswa laki-laki. Beberapa diantara mereka, pipi mereka memerah, adanya rasa ketertarikan yang seolah langsung tumbuh di dalam hati mereka, setelah melihat siswi itu untuk pertama kalinya.

Dan, diantara para siswa laki-laki itu--, seseorang yang sebelumnya sedang menyiapkan mengenai alat-alat pelajarannya. Mengetahui, dan menyadari kegaduhan yang ditimbulkan oleh teman-temannya mengenai kedatangan seorang siswi baru di kelasnya. Siswa itu dengan rasa penasarannya, berpaling ke depan kelasnya. Melihat mengenai rupa dari siswi baru di kelasnya saat ini.

Saat itu pula, siswa itu yang tidak lain adalah Adrian atau bisa dibilang Ian. Menjadi salah satu diantara para laki-laki di kelasnya, yang pipinya memerah, jantungnya berdetuk kencang, adanya perasaan aneh yang langsung dengan cepat tumbuh di dalam dirinya dan memenuhi dirinya. Seolah, semua tatapan dan pandangan Ian ke arah siswi itu, tidak bisa dicoba dirinya untuk berpaling.

Pada waktu itu, untuk pertama kalinya, di dalam hati, pikiran, dan ingatannya, Seorang Adrian yang awalnya meyakini kalau dirinya tidak bisa menyukai seorang perempuan. Saat melihat siswi baru di kelasnya, dirinya merasakan...

Perasaan menyukai.