webnovel

BAB II: Awal di Kota Sipiktar.

Pukul enam pagi hari Senin.

Matahari yang sama sekali belum menyinari kota Sipiktar. Dimana juga beberapa orang telah menyelesaikan aktivitasnya dimalam hari, dan juga beberapa orang yang juga sedang bersiap-siap melakukan pekerjaan aktivitasnya untuk nanti pagi dan siangnya.

Dengan seragam yang telah digunakannya, ransel dan sepatu yang telah dikenakannya, mengunci apartemennya.

Ian kemudian keluar meninggalkan apartemennya menuju ke sekolah barunya di Kota Sipiktar.

Melewati pintu demi pintu apartemen disana. Menyapa beberapa tetangganya yang sudah mulai menjalankan aktivitasnya, sambil memperkenalkan dirinya ke mereka dengan seramah mungkin.

"Halo, pak." ujar Ian ke salah seorang tetangga bapak yang ia dapat.

"Oh..hey, siapa ya...?"

"Saya orang yang baru pindah ke sini. Perkenalkan nama saya Adrian." ujar Ian sambil mengusungkan tangannya untuk berjabat tangan perkenalan.

Si Bapak lalu membalas busungan jabatan tangan Ian, kemudian mengatakan.

"Ohh...! Jadi adik yang orang baru dari kamar nomor "307"?!"

"Iya Pak."

Dan dengan keramahan dan sapaan yang dilakukan oleh Ian, tentu saja para tetangganya membalasnya dengan keramahan dan balasan yang sama dan malahan lebih baik dari Ian. Bahkan dengan beberapa percakapan yang dilakukan oleh mereka sehingga sedikit menyita waktu Ian.

Pukul enam lewat dua puluh menit, Ian yang setelah melakukan beberapa percakapan dengan tetangganya, akhirnya sampai tepat di depan apartemennya. Sambil memegang erat tali ranselnya, Ian lalu menunggu kedatangan Sahar seperti yang dijanjikan oleh sahabatnya itu semalam.

5 menit...,10 menit.....,20 menit. Ian yang mulai merasa jenuh dan bosan karena menunggu Sahar. Sekali lagi menggunakan otaknya untuk memikirkan alasan sahabatnya itu, sampai saat ini tidak datang-datang.

Seketika, pikiran Ian yang memikirkan alasan keterlambatan sahabatnya datang, lalu dilintasi dengan kemungkinan yang dirasanya paling masuk akal.

"Apa jangan-jangan Sahar tidak tahu apartemenku?!" gumam Ian yang mengeluarkan kemungkinan yang dipikirkannya.

Kemungkinan yang dipikirkannya, lalu diperkuat dengan ingatan mengenai dirinya yang lupa memberitahukan alamat apartemennya ke Sahar, membuat Ian makin merasa khawatir, bingung, panik dan bergegas mengambil Handphone miliknya.

"Aku harus cepat-cepat memberitahukan alamatku ke Sahar."

Belum sepuluh detik Ian menunggu Sahar menjawab telponnya, diujung jalan lingkungan apartemen Ian. Seorang remaja laki-laki, tinggi sekitar 176 cm, menggunakan seragam, dan tas sehingga mengindikasikan kalau dirinya itu seorang siswa. Berjalan ke arah Ian dengan santainya, sambil melambaikan tangan ke arahnya.

Awalnya, Ian yang melihat laki-laki itu dari kejauhan, merasa asing dan malahan aneh saat seorang laki-laki yang tidak dia kenal, lalu melambaikan dirinya tanpa sebab dan alasan yang jelas. Ditambah dengan kepanikan yang dirasakan oleh Ian, membuat dirinya malahan mencoba mengabaikan lambaian tangan dari laki-laki itu.

"Ian!!" teriak si laki-laki dengan akrabnya ke Ian.

Merasa tidak asing akan suara dari si pemanggil. Ian lalu berbalik lagi ke arah ujung jalan lingkungan apartemennya kembali, menyadari mulai melihat mengenai wajah dari laki-laki yang melambaikan tangan dan menyapanya itu.

Ingatan Ian seolah mengenal baik wajah dari orang yang mendatanginya itu. Kerinduan, senang, dan lega. Ian lalu memanggil si laki-laki dan melambaikan tangan akrab kepadanya.

"Sahar!"

Saat si laki-laki yang tidak lain Sahar akhirnya sampai tepat ke depan Ian, penampilan dirinya akhirnya terlihat jelas. Sekali lagi, dengan tingginya yang sekitaran 176 cm, wajahnya yang tidak tampan namun menampakkan aura dirinya yang cool.Terlihat dingin dan malahan wajahnya lebih ke arah jutek dan jutes, namun selalu saja tersenyum ramah ke Ian.

"Padahal aku kira kamu tidak akan datang Sahar."

"Kenapa kamu berpikiran begitu Ian?"

"Yah...karena saat semalam kamu memintaku untuk menunggumu disini Sahar, aku ingat kalau aku belum memberitahukanmu alamat apartemenku."

Sahar yang mulai berjalan, kemudian diikuti oleh Ian dari belakang, dan sambil melanjutkan percakapan mereka.

"Mana mungkin akan begitu Ian. Malahan yang memberitahukan orangtuamu mengenai apartemen ini aku Ian."

"Begitu ya, Sahar."

Menapaki jalan yang ada, melewati beberapa bangunan dan rumah di lingkungan apartemen. Ian dan Sahar berbincang satu sama lain.

Setelah hampir satu tahun mereka tidak bertemu, mereka masing-masing menanyakan kabar satu sama lain. Menceritakan satu sama lain mengenai hal yang dulunya sering mereka perbincangkan, dan berbagai macam lainnya.

Berbagi tertawa dan kerinduan, berbagi kisah dan hal yang ingin disampaikan oleh satu sama lain, itulah yang mereka lakukan selama perjalanan mereka menuju ke sekolah.

Hingga akhirnya, sedikit keresahan muncul di hati Ian. Setelah dirinya secara tidak sengaja memperhatikan waktu di Handphone miliknya, hati dan pikirannya diliputi dengan kerisauan dan kekhawatiran akan suatu hal.

"Ada apa Ian?" tanya Sahar yang menyadari kerisauan dan kekhawatiran Ian.

"Begini Sahar, apa tidak apa-apa kita berjalan santai saja begini? Padahalkan menurut informasi yang kudapat, kalau sekolah kita itu biasanya mulai tepat pukul 07.10. Sedangkan sekarang sudah pukul 06.55."

Kelebihan Ian, bisa dibilang kalau dirinya adalah orang yang mengusahakan dirinya untuk datang tepat waktu atau lebih cepat saat hal seperti ini. Setidaknya bagi Sahar, sikap yang dilakukan temannya, bisa dibilang sebuah kewajaran baginya.

"Yah, aku mengerti kenapa kamu memikirkannya begitu Ian. Tapi tenang saja, kalau kamu mengikutiku kita pasti akan sampai tepat waktu kok, Ian."

Mendengar pernyataan yang agak meragukan dan tanpa bukti untuk menguatkan sebuah pernyataan yang disampaikan, seperti yang dilakukan Sahar. Bagi orang yang baru atau tidak mengenal Sahar, pasti akan pesimis dan meragukan pernyataannya tersebut.

Namun berbeda dengan Ian, yang tanpa adanya ekspresi pesimis atau langsung tidak mempercayai perkataan Sahar. Malahan dengan keoptimisan dan wajah keyakinan tinggi yang Ian perlihatkan saat Sahar memberitahukan dirinya.

"Kalau kamu bilang begitu, aku ikuti saja."

Tersenyum akan jawaban sahabatnya, Sahar dengan sigapnya kemudian mencoba mengganti topik pembicaraan dirinya bersama Ian. Melanjutkan kembali percakapan mereka dengan berbagai topik. Topik berganti topik yang dilakukan mereka, sambil melewati trotoar jalan raya tanpa adanya mereka lewati jalan pintas dan sebagainya. Dan tanpa sadar mereka berdua sudah sampai ke sekolah itu.

"Kan, sudah sampai Ian."

Pukul 07.08. Waktu yang dilihat Ian di jam Handphone miliknya saat dirinya telah sampai ke sekolah barunya. Bukannya malahan bingung atau berusaha memikirkan alasan mereka bisa sampai dengan cepat, Ian malahan tidak menggubrisnya dan santai dalam menanggapi apa yang sebenarnya dirinya lakukan sedaritadi.

Sekolah Anggrana.

Salah satu sekolah terbaik di Kota Sipiktar. Memiliki akreditasi A, bertaraf nasional dan hampir Internasional. Beberapa prestasi besar pernah diraih, baik dalam bidang akademik ataupun non-akademik.

Ian yang melihat Sekolah Anggrana dari depan selama beberapa, kemudian di dalam pikirannya terasa campur aduk. Bukan karena dirinya berhasil masuk di sekolah yang hebat ini, tapi karena sekolah yang di depannya saat ini akan menjadi sebuah langkah awalnya untuk hidup di Kota Sipiktar. Membayangkan teman seperti apa yang didapatnya, atau hal apa yang bisa dilakukan nantinya saat dirinya bersekolah nanti. Dan semua akan dimulai saat Ian akan mengenjakkan kakinya di sekolah Anggrana ini.

"Ian! Ayo cepat masuk!" panggil Sahar yang menghancurkan pikiran Ian.

"Aku datang Sahar."

Menggenggam tali ranselnya sekeras mungkin, menghirup napas yang dibisanya, dan dengan pancaran semangat baru dimatanya. Ian kemudian melangkahkan kakinya di sekolah Anggrana.

***

Pukul 07.12 di Lapangan Sekolah Anggrana.

Para siswa keliatannya sedang mempersiapkan diri mereka untuk melaksanakan upacara. Tak terlalu dipikir oleh Sahar, dirinya hanya berjalan santai bersama Ian, melewati para siswa yang berlarian untuk mulai berbaris dan melaksanakan upacara.

"Sepertinya siswa sekolah ini semangat sekali Sahar, dalam melaksanakan upacara."

"Mereka hanya terburu-buru saja. Padahalkan kalau saja mereka sadar akan keadaannya, mereka akan tahu bahwa upacara tidak akan diadakan hari ini."

Ian lalu mengerutkan dahinya sambil memiringkan kepalanya dengan wajah bingung akan pernyataan dari sahabatnya.

"Kenapa kamu berpikiran seperti itu Sahar?"

Sahar lalu menunjuk ke arah sebuah area kosong di lapangan sekolah Anggrana. Tanpa ada seorang berada disana, namun tetap seolah disiapkan untuk seseorang ataupun sebuah kelompok.

"Itu Ian, adalah area yang biasanya para guru akan berkumpul disana saat upacara akan dimulai. Dilihat dari waktunya, biasanya Ian, para guru sudah ada beberapa yang berada disana, berdiri sambil menunggu upacara dilaksanakan. Tapi dilihat saja, kamupun sudah tahukan kalau mereka tidak ada disana berarti..."

"Upacara tidak dilaksanakan." potong Ian yang mulai memahami pernyataan Sahar.

"Benar."

Mengetahuinya Ian kemudian melanjutkan mengikuti Sahar. Melihat semua bangunan yang ada, fasilitas yang sangat memadai, bangunan berlantai untuk tiap angkata kelas, dan sebuah taman yang dipisah oleh sebuah lorong antar bangunan, dimana taman itu terlihat sangat menyejukkan dan dipinggirannya sebuah pohon besar. Ian merasa agak takjub akan hal itu semua, dan secara tidak sadar tersenyum lebar akan hal itu semua.

"Ian...Ian...Ian!"

Mendengar Sahar memanggil dirinya, rasa takjub dan fokus Ian langsung teras buyar.

"A-ada apa Sahar?"

"Begini Ian, mungkin sampai sini saja aku menemanimu. Untuk seterusnya, kamu tinggal ke ruang guru, untuk mengurus beberapa hal."

Sahar lalu menunjuk ke sebuah bangunan di Sekolah Anggrana. Hanya berlantai dua, namun terlihat sangatlah besar. Terlihat di bangunan itu terbagi dengan empat ruangan. Tiga ruangan dilantai satu, dan satu ruangan di lantai duanya. Dan lebih rincinya, Sahar menunjuk ruangan tengah di antara ruangan yang berada dilantai satu bangunan itu.

"Dan disana itu adalah ruang gurunya. Apa ada yang ingin kamu tanyakan, Ian?"

Pertanyaan Sahar ke Ian, hal yang dilakukannya hampir sama dengan perumpamaan seorang kakak yang peduli kepada adiknya. Seolah Sahar yang sebagai kakak, dan Ian sebagai adiknya. Meski, dalam pautan tanggal lahir, bisa dibilang kalau Sahar faktanya lebih tua daripada Ian. Dimana Sahar lahir pada bulan Januari, sedangkan Ian lahir pada bulan april. Meskipun, dalam keadaan fisik, bisa dibilang Ian lebih terlihat seorang kakak dibandingkan dengan Sahar.

"Tidak ada Sahar. Semuanya sudah cukup kok."

Tidak ada lagi tanggapan, Ian mulai meninggalkan Sahar yang berdiri menatap dirinya menjauh.

"Kalau begitu Sahar, aku pergi dulu. Aku berharap mudah-mudahan kita bisa sekelas."

Ian mengucapkan salam perpisahannya ke Sahar, lalu ditanggapi dengan senyum kecil dengan sebuah ucapan.

"Tentu saja kita akan sekelas Ian."

Meninggalkan ucapan itu untuk dirinya, Sahar lalu berjalan menuju ke kelasnya dengan senyum kepuasan.

***

Sesampainya di depan ruang guru, bukannya langsung berusaha masuk dan mencari salah seorang guru yang mengurusi kelasnya, Ian malahan hanya berada di depan ruang guru dan hanya melihat keadaan sekitar dari sekolah Anggrana.

Seolah menunggu suatu hal, Ian hanya memandangi dan mencoba memahami tentang lingkungan sekolah Anggrana.

Belum lima menit Ian menunggu, tiba-tiba....

"Disampaikan untuk semua siswa, karena rapat guru yang sedang diadakan, sehingga, untuk upacara pada hari ini dibatalkan. Jadi dimohon untuk seluruh siswa agar tetap di kelasnya dan belajar masing-masing. Itu saja."

Kehebohan terjadi di lapangan sekolah Anggrana. Ada yang senang, ada yang kesal, dan ada yang sedikit kecewa karena dirinya dan teman sekelasnya sudah siap berbaris melaksanakan upacara.

Lalu Ian, yang melihat itu semua, sedikit terkagum mengenai ketepatan prediksi yang dikatakan oleh sahabatnya. Yang dimana pula saat ini, alasan sebenarnya dirinya menunggu disini karena rapat itu pula.

Yang dimana, pada saat setelah Sahar memberitahukan alasan mengenai tidak diadakannya upacara, membuat sekali lagi pikiran Ian yang merumitkan suatu hal, langsung memikirkan sebuah dugaan. "Yang berarti akan ada rapat guru diadakan."

Bisa dibilang, alasan dari Ian tidak menanyakan ke Sahar mengenai alasan para guru tidak menghadiri tempat mereka di lapangan upacara, karena akan adanya rapat yang diadakan oleh para guru. Lalu setelah diketahui oleh Ian, dirinya hanya bisa menunggu di depan ruang guru ini hingga rapat antar guru selesai.

Para siswa kemudian mulai meninggalkan lapangan upacara. Kembali ke kelas, ataupun mengambil jajanan kantin, itu semua yang terlihat di mata Ian melihat tindakan para siswa yang ada.

Ada pula yang beberapa siswa yang niatnya melihat ke ruang guru untuk memastikan penyampaian oleh Kepala Sekolah mereka tadi, tidak sengaja melihat Ian disana. Menunggu sambil memandangi keadaan lingkungan sekolah Anggrana. Dan diantara para siswa yang melihat itu, para siswi yang tidak sengaja melihat ke arah Ian langsung memerah malu dan tersipu.

Sedangkan tanggapan Ian, dengan senyum ramah, dan melambaikan tangan ke arah mereka sebagai bentuk respon dirinya terhadap para siswa ataupun siswi yang melihat dirinya dengan agak lama.

Dan respon para siswi, hanyalah wajah mereka yang makin tersipuh, memerah dan beberapa berlari karena rasa senang yang dirasakan mereka saat disapa oleh laki-laki setampan Ian.

Meskipun begitu, tindakan yang dilakukan Ian hanyalah semata-mata untuk bentuk keramahan dan keakraban dirinya terhadap para siswa maupun siswi yang ada di sekolah Anggrana. Tidak kurang ataupun lebih dari itu.

***

Satu jam berlalu. Atau tepatnya pukul 08.15.

Di depan ruang guru. Ian yang mulai merasakan kejenuhan, dan bosan memandangi lingkungan Sekolah Anggrana yang ada dihadapannya. Dan bahkan dalam satu jam dirinya menunggu rapat guru, Ian telah memahami seluk beluk dari keseluruhan lingkungan sekolah Anggrana seperti pembagian ruang kelas yang ada, kantin, taman sekolah, toilet, perpustakaan, dan semua tata letak dari setiap bangunan dan ruangan yang ada.

"Dan itulah, rapat yang kita adakan hari ini. Terima kasih."

Sebuah penutup dari rapat guru yang ada dan mulai keluarnya beberapa guru yang ada, membuat Ian lalu berdiri, dan bergegas menanyakan salah seorang guru, mengenai guru yang dicari Ian saat ini.

"Maaf pak! Saya ingin bertanya, yang bernama Bu Anita, yang mana yah?"

Sambil menunjuk salah seorang guru di ruang guru yang masih tunjuk, seolah yang ditunjuknya itu adalah orang yang sedang dicari Ian saat ini.

"Itu yang disana, nak."

"Terima kasih kalau begitu pak."

Meninggalkan guru yang ditanyainya, Ian lalu menuju Bu Anita.

Tepat sampai di depan Bu Anita yang dilihatnya sedang mempersiapkan dirinya untuk mengajar. Ian dengan tindakannya yang sopan, mulai mengatakan maksudnya menemui Bu Anita.

"Ibu, Ibu Anita kan?"

Mengangguk, sebagai tanggapannya atas pertanyaan Ian. Wajahnya lalu memperlihatkan dirinya agak bertanya-tanya atas alasan laki-laki yang keliatan tampan dan baik menghampiri dirinya.

"Iya saya sendiri. Ada apa ya? Dan adek ini siapa ya?"

"Saya Adrian bu. Siswa baru di sekolah ini. Saya kesini karena katanya disuruh untuk ketemu dengan Ibu."

Bu Anita lalu memegang dagunya sambil mencoba dirinya berpikir dan mengingat akan keterangan yang disampaikan oleh pemuda di depanya. Hingga layaknya sebuah ingatannya yang terbersit layaknya sebuah sengatan listrik yang mendatangi pikirannya, Bu Anita pada akhirnya memahami alasan kedatangan pemuda yang dipanggil oleh Adrian ini.

"Ohh...saya ingat. Kamu anak baru itu ya."

Ian hanya mengangguk sebagai responnya akan pertanyaan Bu Anita.

Sambil mulai mengangkat semua barang miliknya, Ibu Anita lalu mengatakan.

"Kalau begitu kebetulan. Karena kelas kamu itu juga, sebenarnya Ibu ajar pada waktu ini."

"Baguslah, kalau begitu. Terima kasih bu."

Sebuah tanggapan yang aneh bagi Bu Anita, dirinya hanya bisa tersenyum melihat tingkah murid baru untuk kelas yang diwalinya ini.

"Kalau begitu, ikuti Ibu."

"I-Iya bu."

Melewati semua fasilitas bangunan yang ada. Meski Ian yang sudah melihat semua tatanan bangunan yang ada di sekolah barunya ini, tetap saja melihatnya sekali lagi seolah membuat pikirannya terlihat merefresh ingatannya.

Tiap kelas yang dilewatinya, saat beberapa siswa ataupun siswi yang melihat diri Ian, seolahj terpana dan seperti menjadi daya tarik tersendiri untuk mereka perhatikan.

"Siapa anak baru itu, gagahnya...."

"Tinggi banget....atletis lagi."

Dan berbagai tanggapan lainnya yang terdengar oleh para siswa yang melihat Ian. Tidak diketahui namanya, seorang siswa baru namun cukup membuat kehebohan oleh para siswa, khususnya di kelas XI disana.

Lalu tanggapan Ian akan pernyataan-pernyataan orang-orang di sekolahnya mengenai dirinya hanyalah sebuah senyuman ramah namun mencoba merendah diri. Tentu saja, bukan karena alasan lainnya melakukan itu semua selain hanya bentuk keramahan dirinya terhadap lingkungan sekolah barunya ini.

Kemudian, tepat di sebuah kelas XI. Dengan XI yang lalu disampingnya bertuliskan angka 2, Ian langsung tahu bahwa kelas yang dimasuki Bu Anita, tidak lain dan tidak bukan adalah kelas dirinya.

Wajahnya yang dipenuhi kepercayaan diri, dan penuh akan semangat. Sebuah langkah pertamanya memasuki kelasnya baru yang dihadapannya bagi dirinya, seolah salah sebuah titik puncak yang dihadapinya saat ini.

***

Kekagetan, dan seketika mulai terdengar keributan di kelas XI-2, setelah Bu Anita masuk di kelas mereka, sambil membawa seorang siswa. Tinggi, tampan, terlihat atletis, ramah, membuat kelas itu terdengar amat kacau.

Siswa baru itu tidak lain adalah Adiran atau nama panggilannya Ian, mulai berada di depan papan tulis kelas sambil menghadap ke arah semua calon-calon teman kelasnya.

Memperhatikan satu persatu diantara mereka, sebuah wajah yang tidak asing baginya terlihat diantaranya. Wajah yang keliatannya sangat suka jutek, dan selalu ingin marah-marah, namun tersenyum kepada Ian. Wajahnya tentunya tidak asing bagi Ian karena dirinya adalah sahabat masa kecilnya. Yang tidak lain orang itu adalah Sahar.

Mengetahui bahwa keinginannya sudah terpenuhi, Ian yang makin semangat, lalu meremas tangannya sebisa mungkin sambil menunggu Bu Anita mempersilahkan dirinya untuk memperkenalkan diri.

"Ehh....anak-anak! Sebelum kita memulai pelajaran kita hari ini, Ibu ingin memberitahukan bahwa di kelas kita kedatangan siswa baru."

Sedikit kegaduhan terdengar sekali lagi terdengar diantara siswa XI-2.

"Kalau begitu, Adrian perkenalkan dirimu."

Mengangguk akan perintah yang diberikan Bu Anita, wajahnya yang tersenyum ramah, Ian lakukan mulai mengatakan mengenai identitasnya.

"Perkenalkan namaku Adrian. Kalian semua bisa memanggilku dengan Ian...."

Ian lalu memberitahukan mengenai alamat tempat tinggalnya, dari sekolah mana dirinya sebelumnya, dan alasan kepindahannya ke kota ini.

Dan hasilnya, para siswa seolah terkesima dan sedikit kagum terhadap sosok siswa baru di kelas mereka. Setelah mereka sudah terkesima, akan hasil sosok fisik Ian yang begitu mengagumkan mereka. Sekarang, mendengar itu semua, seolah-olah rasa kagum dan respek mereka terhadap dirinya seolah meningkat.

Seketika, suara tepuk tangan dan kegemuruhan di kelas XI-2 makin menjadi-jadi akibat rasa kagum mereka, hingga Bu Anita mulai menertibkan dan menyuruh mereka untuk diam dan tenang pada saat itu.

"Diam! Kalau begitu Ian, silahkan kamu duduk di bangku sana." ujar Bu Anita sambil menunjuk salah sebuah bangku di belakang.

Melewati beberapa siswa, menyapa dirinya, melambaikan tangan dan sebagainya, dan tentunya Ian membalas itu semua dengan sesuatu yang dianggap sama. Hingga dirinya yang sampai ke bangkunya yang merupakan salah satu bangku belakang disana.

Menyimpan tas miliknya lalu duduk, saat itu pula pelajaran di kelas XI-2 dimulai.

Pelajaran yang diajarkan waktu itu adalah Matematika. Yang bisa dibilang, sebagian dan sebagian orang tidak menyukai pelajaran mata pelajaran ini karena hampir sama dengan mata pelajaran Matematika.

Begitupun pula yang dirasakan oleh siswa di sekolah Anggrana. Meski mereka dikatakan sebagai sekolah yang mencetak para siswa yang memiliki kemampuan akademik yang bagus. Tapi tetap saja, mereka sebagai siswa yang pola pikirannya ujung-ujungnya pasti hampir sama dengan siswa-siswa yang ada disekolah lain. Saat dihadapkan dengan pelajaran seperti ini, mereka pasti akan pusing, kebingungan, dan dipenuhi ketidaktahuan. Namun bukan berarti mereka tidak bisa.

Alasan mereka bisa sampai disini karena tentunya kemampuan akademik mereka. Meskipun dalam beberapa kali perasaan para siswa sekolah Anggrana yang susah memahami pelajaran ini akan merasa kebingungan, pusing dan tidak tahu, pada akhirnya dengan ketekunan mereka dan mencoba terus untuk memahami pelajarannya meski sering merasa tidak tahu, pada akhirnya mereka akan bisa.

Itulah kurang lebih para siswa di Sekolah Anggrana saat dihadapkan dengan sebuah pelajaran yang membuat mereka kesulitan ataupun tidak mereka tahu.

Dan pada waktu itu, di kelas XI-2. Ian yang masih merupakan siswa baru di sekolah Anggrana, tepat pada saat pelajaran pertamanya di sekolah barunya ini, dirinya dihadapkan dengan salah satu pelajaran yang dikatakan lumayan sulit, yakni Matematika.

Tidak sampai disana, pada hari itu pula, atau lebih tepatnya pada saat mata pelajaran itu, Bu Anita yang merupakan wali kelas di kelas XI-2, dan juga merupakan guru Matematika yang mengejar di kelas Ian, mengajarkan sebuah materi baru terhadap dirinya dan seluruh siswa kelas XI-2.

"Baiklah. Karena semuanya sudah bersiap, kita akan masuk di pelajaran kita pada hari ini."

Bu Anita lalu menuliskan mengenai materi yang akan diajarkannya pada hari ini.

Melihat mengenai nama materi yang akan diajarkan oleh Bu Anita pada mereka. Sebagian siswa di kelas lalu terdiam senyap, menatap nama materi yang mereka baru tahu, membuat pikiran mereka campur aduk, bingung karena nama materi yang mereka lihat sebuah materi yang benar-benar baru bagi mereka. Tidak pernah mereka pelajari, waktu mereka kelas X, SMP, apalagi saat mereka SD. Benar-benar sebuah pelajaran yang baru mereka dapatkan dan ketahui.

Mereka ingin menanyakan tentang materi baru yang dituliskan itu. Namun, karena Bu Anita bisa dikatakan sebagai salah seorang guru yang galak, dan tidak membiarkan para siswa yang diajarnya untuk bertanya hingga dirinya selesai menjelaskan. Dan saat dirinya menunjuk salah seorang siswa untuk mengerjakan sebuah soalan yang ia tulis, baik siswa itu mengerti ataupun tidak mengenai materi yang diajarkannya. Dan lebih parahnya, bisa dibilang cara mengajar beliau sangatlah susah dimengerti oleh sebagian siswa. Yang pada akhirnya mereka mengurungkan niatnya untuk melakukan itu. Sehingga bisa dibilang, sebuah kesulitan besar saat sebuah kelas di ajar olehnya.

"Sekarang Ibu akan menjelaskan mengenai materi ini."

Bu Anita mulai menunjuk, menulis, menghapus di papan tulis mengenai pelajaran yang diajarkannya. Dan hasilnya, sesuai dugaan sebagian siswa. Mereka sama sekali tidak mengerti akan penjelasan yang disampaikan oleh Bu Anita ke mereka. Terlalu terbelit-belit, larinya entah kemana dan sebagainya.

Hingga diakhir Bu Anita menjelaskan, saat beberapa siswa hendak mengangkat tangan mereka untuk mempertanyakan materi yang diajarkan Bu Anita, tiba-tiba....

"Baiklah. Ibu ingin salah satu dari kalian menjawab contoh soal yang akan Ibu tulis. Jika tidak ada yang mengajukan diri, Ibu akan menunjuk salah satu dari kalian. Dan kalau tidak ada yang bisa menjawab, maka kalian akan menerima materi selanjutnya sambil berdiri."

Sebuah pernyataan yang cukup mengejutkan dari Bu Anita kepada para siswa di kelas XI-2. Padahal mereka belum memahami, sekarang dihadapkan dengan keadaan yang cukup menjepit mereka. Yang kemudian sebelumnya, beberapa siswa hendak mengangkat tangannya untuk mengajukan pertanyaan ke Bu Anita mengenai materi diatas, seketika mengurungkan niat mereka.

Semuanya terdiam. Tidak ada salah satu dari mereka mencoba mengajukan diri untuk menjawab pertanyaan yang mulai ditulis oleh Bu Anita. Bahkan saat Bu Anita selesai menuliskan soalnya, tidak ada salah satu dari mereka mengajukan diri mereka.

"Tidak ada?! Kalau tidak ada, Ibu akan tunjuk salah satu dari kalian."

Kata-katanya yang terdengar tanpa belas kasih, atau berusaha memahami perasaan dari siswa yang diajarnya, Bu Anita mulai menatap satu demi satu dari dari mereka semua.

Semuanya tertunduk, menutup wajah mereka, dan bahkan tak ada yang langsung menatap wajah dari Bu Anita.

Mulai menggerakkan jarinya, yang membuat para siswa dipenuhi dengan keringat dingin dan sedikit ketakutan layaknya siswa pada umumnya saat dipertemukan dengan keadaan seperti ini.

Hingga jari dan mata Bu Anita kemudian tertuju pada salah satu siswa di sana. Berada di belakang, dan hanya diam saja, Bu Anita lalu memanggil nama dari siswa yang ditunjuknya itu.

"Adrian! Coba kamu kerjakan, soal ini!"

Kebanyakan siswa lalu berbalik ke belakang, menatap siswa baru di kelas mereka yakni Adrian atau Ian, dengan rasa kaget dan sedikit kasihan kepadanya.

"Padahal baru pertama kali namun telah ditunjuk untuk mengerjakan contoh soal dari Bu Anita." Kurang lebih itulah pemikiran kebanyakan siswa menanggapi dipilihnya Ian.

Dan tanpa dirinya bermaksud untuk menolak atau mencari-cari alasan agar dirinya tidak naik, Ian lalu menuju ke depan papan tulis, dan menatap soal yang dibuat oleh Bu Anita. Dirinya mulai mengangkat spidol yang diberikan ke dirinya, dan mulai mengerjakan soal yang didepannya itu.

Tanpa kendala, singkat, dan bahkan dengan sebuah rumus atau hal yang belum diajarkan tadi Bu Anita, Ian lalu menyelesaikan soal itu.

"Bu Anita. Sudah selesai bu."

"Bagus. Terima kasih, Ian."

Ian lalu menyimpan spidol yang digunakannya, lalu kembali duduk di bangkunya.

Saat itu, sekali lagi, kekaguman dari para siswa di kelas XI-2 terhadap Ian makin bertambah. Tampan, tinggi, baik, dan pintar, mengetahui itu dari siswa baru di kelas mereka entah kenapa menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka.

Mereka tidak bisa mengungkapkannya, karena pelajaran yang masih berlangsung. Namun itu semua seolah terukir di dalam hati mereka mengenai sosok Ian. Sosok yang bisa mereka anggap sebagai seorang yang penuh kelebihan.

Para siswa kemudian mulai menulis mengenai cara yang digunakan oleh Ian. Dirasa mereka lebih mudah dimengerti, dan yang tidak terlalu memusingkan mereka.

Pelajaran setelah itu berlangsung kembali. Tanpa adanya contoh soal lagi seperti sebelumnya, dan hanya pemberitahuan materi diajarkannya. Yang akhirnya, suara dari bel sekolah Anggrana berbunyi, yang juga mengakhiri pelajaran matematika dari Bu Anita.

"Baiklah itu saja materi pada hari ini. Terima kasih."

"Terima kasih kembali Bu."

Bu Anita yang lalu meninggalkan kelas XI-2, yang juga seketika sebagai sebagian besar siswa di kelas XI-2 berkumpul tepat di bangku Ian.

Mencoba berkenalan, mengajak berteman, menanyakan mengenai materi yang diajarkan sebelumnya, dan berbagai bentuk interaksi agar mereka bisa lebih mengenal Ian.

Dan tanggapan Ian, bersikap ramah, melakukan sosialisasi kepada teman-temannya dengan sangat baik, dan tentunya balasan-balasan baik yang bisa dilakukan dirinya.

"Benar-benar seseorang yang dipenuhi dengan kelebihan." Itulah tanggapan matang mereka mengenai Ian saat mereka mengetahui sikap Ian lainnya ini.

Seketika, hanya dalam beberapa hari, dengan berbagai perkenalan, sikap ramah, dan sosialisasinya yang sangat baik, muda bersahabat, membuat diri Ian menjadi salah seorang siswa yang populer di sekolah Anggrana.

Para siswa di angkatannya mengenal dirinya. Kakak kelasnya kebanyakan juga mengenal Ian, dan begitu pula mengenai adik kelas dibawahnya.

Sekali lagi, tampan, tinggi, atletis, pinar, baik, mudah bersosialisasi, ramah, rendah hati suka tepat waktu, dan kelebihan-kelebihan lainnya. Mengetahui itu semua berada dalam diri Ian, tentunya mudah bagi dirinya menjadi siswa populer. Hingga akhirnya ada beberapa siswa di sekolahnya yang mengetahui hampir semua kelebihan berada dalam diri Ian, mulai menganggap diri Ian itu sebagai seorang laki-laki sempurna.

Mungkin dirasa relevan setelah itu semua diketahui berada dalam diri Ian. Namun, bukan berati bahwa tanggapan beberapa siswa mengenai Ian, dibilang benar.

Apakah mereka tidak mengetahuinya, atau melupakannya. Sebuah fakta mengenai kehidupan manusia. Yakni....

"Tidak ada manusia yang benar-benar sempurna. Pasti seseorang itu memiliki kekurangan dibalik kelebihan-kelebihan dimilikinya, ataupun sebaliknya."

Yang pastinya, itupun juga terjadi dalam diri Ian. Dirinya yang memiliki berbagai kelebihan, pastinya juga akan memiliki kekurangan. Sebuah kekurangan yang bisa dibilang bagi Ian sendiri, setelah mengetahui kekurangannya, merasa kekurangannya ini lebih penting daripada kelebihan-kelebihan yang dimilikinya saat ini.