webnovel

Bab I: Kepindahan yang mendadak.

Jam 6 Pagi, Hari Minggu. Beberapa hari setelah Tahun ajaran baru telah dimulai di berbagai sekolah, baik SD,SMP maupun SMA.

Adrian, yang biasa dipanggil Ian oleh orang-orang dekatnya. Terbangun dari tidurnya, tepat pada pukul enam pagi.

Dengan wajah tampannya yang terlihat segar, dan rasa kantuk yang sama sekali tidak terlihat di wajah tampannya tersebut.

Dengan tubuhnya yang keliatan atletis saat dirinya meregangkan tubuhnya. Yang dimana, meski tubuhya yang layaknya anak SMA pada umumnya. Namun terlihat dari otot-otot tubuhnya, baik tangan, kaki atau perutnya, seperti seseorang yang sering melakukan olahraga.

Dan tanpa membuang waktunya seperti tertidur lagi, melamun, ataupun aktivitas kosong lainnya. Ian lalu merapikan tempat tidurnya, yang memperlihatkan kalau dirinya bisa dibilang sebagai orang yang menyukai kerapian.

Dirasa telah rapi, Ian kemudian mengambil handuk di gantungan bajunya, lalu berjalan menuju ke kamar mandi. Dimana saat Ian berada di daun pintu kamarnya yang tingginya sekitaran 2 meter. Dan selisih antara tinggi Ian dengan tinggi pintunya duapuluh centimeter, yang memperlihatkan kalau tinggi Ian bisa dibilang sekitaran seratus delapanpuluh centimeter.

Kemudian, sekitar setengah jam waktu yang dihabiskannya berada di kamar mandi. Ian lalu keluar, kembali ke kamarnya, kemudian memakai baju sehari-harinya.

Dirasa pakaiannya sudah rapi seperti yang dirinya harapkan. Ian yang berada di kamarnya di lantai dua, kemudian turun kebawah menuju ke area makan, yang tentu saja dengan maksud untuk sarapan pagi layaknya orang-orang pada umumnya.

Di meja makan, Seorang pria berumur sekitar 30 tahunan, yang tidak lain adalah ayah dari Ian, sedang membaca koran, sambil meminum kopi hitam. Layaknya tindakan bapak-bapak, yang saat pagi membaca berita terkini sambil menikmati kopi hitam mereka.

Dan di ruang dapur, dimana ada seorang wanita yang berumur hampir sama dengan si Ayah, yang berarti si Ibu Ian, sedang memasak sarapan pagi, yang terlihat porsinya untuk 3 orang.

"Selamat pagi. Ayah."

"Oh!Selamat pagi, Ian."

Ian kemudian duduk tepat berhadapan dengan ayahnya. Dan sambil memegang sendok dan garpu yang berada di depannya. seolah-olah memperlihatkan ketidaksabarannya untuk sarapan pagi di hari yang menyegarkan dan penuh semangatnya.

"Tumben ayah bangun pagi hari ini? Memangnya ada pekerjaan yah, yang ayah lakukan di hari minggu?"

Si Ayah yang kemudian telah menyadari kalau istrinya telah menyelesaikan sarapan, lalu melipat koran yang dibacanya. Sambil terlihat siap-siap untuk menyantap sarapan paginya yang berupa nasi goreng, kemudian menjawab.

"Tidak ada. Ayah hanya ingin bangun pagi seperti ini saja."

"Mmhh...begitu yah, ayah."

Si Ibu yang sambil membawa nampan dengan tiga piring nasi goreng diatasnya, kemudian memberikan satu persatu ke anggota keluarganya. Mulai dari sang ayah, kemudian Ian. Dan terakhir, Si Ibu yang menyimpan piring nasi goreng untuk di samping kursi si Ayah, yang tidak lain kursi itu adalah milik si Ibu sendiri.

Sebuah rumah lumayan mewah berlantai dua, layaknya rumah-rumah yang biasanya didapati di perumahan-perumahan. dengan tiga anggota keluarga. Tanpa pembantu, ataupun supir yang ada untuk mengerjakan kerjaan rumah. Itulah kurang lebih penggambaran mengenai keadaan rumah Ian.

Dimana si Ayahlah yang biasanya mengerjakan pekerjaan seperti mencuci dan mengendarai mobil. Dan si Ibu, yang selalu mengerjakan pekerjaan rumah, seperti menyapu, membersihkan, dan hal lainnya.

Meskipun begitu, sebagai seorang pencari nafkah keluarga, ataupun seorang ibu rumah tangga yang tentunya tidak bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah. Tentu saja tidak bisa melakukan semua pekerjaan itu.

Dan pada saat itu tiba. Maka Ian yang biasanya membantu dan malahan mengerjakan pekerjaan rumah ayahnya atau ibunya itu, misalkan keduanya memiliki sebuah halangan atau urusan lain. Jadi bisa dibilang, kalau dalam kemandirian dalam mengurus urusan rumah, Ian dapat diandalkan.

Setelah menikmati nasi goreng dengan campurannya berupa telur orak arik, potongan wortel, daun bawang dan daging ayam. Ian kemudian beranjak dari meja makan, dan segera —

"Uhum..."

— Suara si Ayah yang berdehum. Sehingga memecah keheningan setelah makan, dan memberikan sebuah kode untuk salah seorang yang bersamanya saat ini. Mungkin si Ibu, atau Ian. Tapi tentu saja, karena dehuman itu, baik si Ibu ataupun Ian menyadari. Kalau dehuman si Ayah itu adalah sebuah kode yang dilakukannya untuk meminta perhatian para anggota keluarganya yang telah selesai menyantap sarapan, dan sedang berleha-leha sejenak, ataupun yang sedang meminum sebagai penutup untuk sarapannya.

"Ada apa ayah?" tanya Ian yang pada akhirnya duduk kembali sebagai tanggapan dari dehuman ayahnya tadi.

Si Ayah kemudian menatap langsung ke arah Si Ibu seolah memberikan kode lain ke Si Ibu itu sendiri. Seolah, Si Ayah yang sebelumnya telah membuat sebuah rencana bersama Si Ibu, dengan melakukan kode tatapan tersebut, seperti memberitahukan ke Si Ibu bahwa "Baiklah. Rencana kita akan laksanakan" Atau hal yang seperti itu.

Tatapan yang beberapa detik itupun, direspon oleh Si Ibu dengan wajah senyum seolah mengatakan "Aku setuju, ayo kita lakukan." Atau hal yang seperti itu juga.

Kemudian, Si Ayah, dan Si Ibupun menatap tajam ke arah Ian. Seolah memberatkan perasaan yang dirasakan Ian, hanya dengan tatapan kedua orang tuanya itu. Memberikan beban yang berat, sekaligus perasaan bertanya-tanya akan tatapan dan dehuman dari kedua orangtuanya ke dirinya saat ini.

"Ian! Ada hal yang ingin Ayah sampaikan kepadamu."

Sebuah tatapan yang penuh ketegangan dan pernyataan awal dari ayahnya yang keliatan sangat serius. Membuat suasana pun entah kenapa menjadi terasa tegang bagi Ian. Seolah-olah, pernyataan yang mungkin akan disampaikan ayahnya ke dirinya ini, kemungkinan adalah sebuah kebenaran yang akan mengejutkan dan menggemparkan dirinya.

Yang membuat Ian secara refleks langsung memikirkan dugaan, kemugkinan atau sebuah perkiraan mengenai apa yang ingin dikatakan ayahnya saat ini.

Perkiraan pertama..., kedua..., ketiga...., Hingga akhirnya, Ian membuat sebuah area atau kisaran perkiraannya ke sesuatu yang menurutnya lebih masuk akal saat ini. Yang bisa dibilang, perkiraannya ini hanya satu-satunya yang bisa ia terima diantara perkiraan atau kemungkinan yang telah ia pikirkan.

Mulai dari kebenaran atau dugaan bahwa Ian ternyata anak adopsi, atau fakta bahwa Ian mengidap penyakit keturunan yang mematikan, sehingga umur Ian bisa dibilang singkat. Atau, pemikiran yang paling ekstrim, yakni ternyata keluarganya adalah makhluk luar angkasa, dan dirinya adalah pewaris resmi sebuah kerajaan luar angkasa pun dipikirkan oleh Ian, akibat dari ketegangan suasana yang dirasakannya.

Wajar saja, karena bisa dibilang Ian adalah seseorang yang menggemari dengan cerita-cerita fantasi. Ditambah dengan pola pemikirannya yang suka memikirkan berbagai hal dengan cara rumit, membuat pemikiran-pemikiran seperti itu muncul dalam benak Ian dengan seketika.

Meski sebenarnya, walau Ian terdengar seperti seseorang yang sangat ngebet mengenai cerita fiksi, sampai-sampai di kejadian kali ini, dirinya mencocoklogikan dengan fiktif dan kejadian yang dihadapinya saat ini.

Tapi sebenarnya, ide ekstrim yang dipikirkannya itu, adalah ide atau anggapan terakhirnya dari beberapa anggapan atau ide yang telah dipikirkannya.

Mulai yang dirasa rasional, sedang-sedang, hingga ke pemikiran ekstrimnya saat ini.

Bisa dibilang kalau ide atau anggapan yang bisa ia pikirkan, mulai dari suasana tegang itu dimulai. Hingga saat ini, Ian telah memikirkan hampir 14 anggapan yang ada.

"Me-Memangnya apa yang ingin ayah sampaikan?"

Si Ayah dengan sikap tubuhnya, dan raut wajahnya yang keliatan serius, membuat firasat dan suasana yang dirasakan Ian pun makin lama, membuat dirinya makin merasa tegang. Membuat ide atau pemikiran anehnya yang tadi, mulai dirasanya makin dia anggap benar atau cocok.

"Sebenarnya Ian...."

Ian yang menyadari perkataan awal dari ayahnya, yang bisa dibilang sering ia dapatkan di cerita-cerita di novel yang ia baca. Yang dimana saat sebuah kejadian mengenai kebenaran yang terungkap, selalu dimulai dengan suasana yang tegang. Ditambah dan yang paling utama, saat kalimat kebenaran itu dimulai dengan kata "Sebenarnya...", maka itu artinya sebuah kebenaran besar, atau sesuai dengan dugannya.

"Se-sebenarnya...apa ayah?" tanya Ian yang dipenuhi keringat dingin, dan dengan mulut yang agak ternga-nga dan terbata-bata akibat keadaan yang penuh ketegangan ini. Yang bahkan sampai detik ini, Ian masih saja memikirkan anggapan atau kebenaran apa yang akan diungkapkan ayahnya.

"Sebenarnya,ayah dan Ibu rencananya ingin memindah sekolahkan kamu, Ian."

Beberapa saat, waktu yang dirasakan oleh Ian terhenti. Seolah, dalam alam bawah sadarnya, rasa senangnya yang berupa aliran neuron, berjalan secepat yang dibisa, hingga sampai ke otaknya, kemudian mengekspresikan dirinya.

"Begitu yah...." Ian bernapas lega sambil melemaskan bahunya.

Namun sekali lagi, merasa ada hal yang patut dirinya pertanyakan ke ayahnya. Dengan gelagat layaknya seorang pewawancara bertanya ke narasumbernya Ian kemudian bertanya.

"Maksudnya ayah aku dipindah sekolahkan? Memangnya ayah ada pekerjaan diluar kota?"

Sementara percakapan terjadi, Si Ibu yang kemudian mulai beranjak dari kursinya, dan hendak mengambil semua alat makan yang berada di meja makan. Seperti, piring, sendok, garpu dan gelas yang digunakan mereka bertiga.

Dan tanpa rasa ingin tahu, atau ingin mendengar percakapan antar ayah dan anak. Si Ibu hanyalah tersenyum meninggalkan mereka berdua, seolah-olah dirinya telah mengetahui isi dari perbincangan itu, dan hanya ingin mengetahui hasil akhir atau keputusan dari perbincangan antara Ian dengan ayahnya.

"Tidak kok Ian. Hanya saja, ayah dan ibu ingin kamu pindah sekolah saja."

Ian pun memiringkan kepalanya dengan wajah bingung akan pernyataan ayahnya.

"Maksudnya hanya karena keinginan ayah dan ibu...?"

"Yah...singkatnya ayah dan ibu rencananya ingin kamu itu, untuk pindah sekolah ke luar kota, Hitung-hitung juga kamu bisa dapat suasana baru."

Ian yang mendengar pernyataan demi pernyataan yang dikeluarkan oleh ayahnya. Pada akhirnya mendapatkan sebuah dugaan, hipotesa atau kesimpulan baru. Bukan dugaan fiksi seperti sebelumnya Namun, dugaan yang benar-benar bisa diterima, atau rasional. Yang membuat Ian tersenyum bangga ke dirinya hanya karena memikirkan dugaannya itu.

"Kalau gitu ayah. Memangnya...., kapan kita semua akan pindah?"

Si Ayah kemudian memalingkan pandangannya dari Ian, seolah memikirkan jawaban atau pernyataan apa yang benar-benar bisa disampaikan dirinya.

"Itu Ian...—"

"Ibu dan ayah tidak pindah Ian." Sahut sang Ibu yang memotong perkataan si Ayah, dan mulai ikut percakapan antara ayah dan anak itu.

Si Ibu yang datang sambil membawa buah-buahan, sebagai penutup sarapan keluarganya. Kemudian menyimpan buah-buahan itu tepat di tengah meja, lalu duduk di kursinya kembali. Sambil mulai mengambil salah satu dari buah yang ada.

"Hanya kamu saja yang pindah Ian. Ayah dan Ibu tetap tinggal disini." Tambah si Ibu.

Sebuah hipotesa terjadi karena sebuah kenyataan atau fakta yang ada. Apabila fakta atau pernyataan baru terdengar atau diketahui, maka hipotesa pun pada akhirnya mesti di rombak dan diganti secara keseluruhan.

Hal itupun yang terjadi dalam pikiran Ian. Sambil tetap menikmati sarapan buahnya, otaknya pun terus menganalisa mengenai pernyataan yang dikatakan oleh ayahnya sebelumnya, ditambah pernyataan dari ibunya yang ia dengar saat ini.

Namun sekali lagi, otak Ian yang meski bisa menganalisa sesuatu dengan cepat dan terinci, tetap saja hanya melahirkan pernyataan atau dugaan yang bisa dibilang bukanlah jawaban sebenarnya. Dan malahan hanya melahirkan sebuah pertanyaan-pertanyaan saja untuk dirinya.

"Kenapa hanya aku saja yang pindah? Padahalkan kalau kuingat-ingat nilai sekolah. Dan perilakuku selama ini tidak ada yang salah."

Si ayah yang kemudian mengambil buah terakhir yang ada di nampan si Ibu. Dengan gigitan pertamanya, si Ayah kemudian menjawab.

"Seperti yang dibilang tadi Ian, alasan Ayah dan Ibu memindahkanmu, supaya kamu bisa mendapatkan pengalaman baru. Lagipulakan, itu juga supaya kamu bisa hidup mandiri."

"Kamu mengertikan Ian?" tambah si Ibu yang mempartanyakan tegas pernyataan si Ayah.

Paham dan mengikuti apa yang dikatakan oleh orang tuanya. Itulah ekspresi Ian yang dia tampakkan sambil tetap memakan beberapa buah yang tersedia.

"Kalau begitu maunya Ayah dan Ibu, aku ikut saja."

"Syukurlah kalau begitu." Ucap Si Ibu dengan wajah tersenyum lega ke arah Ian.

Sambil menatap ke arah orangtuanya, dan juga memakan buah. Ian didalam pikirannya, memikirkan alasan kepindahannya yang sebenarnya. Karena dirinya sangatlah sadar, kalau ada sebuah alasan dibalik kepindahannya ini.

Namun sekali lagi, seorang yang patuh dan menghormati orangtuanya layaknya Ian, tidak akan berani melakukan komentar ataupun protes. Hanya saja dirinya yang akan mencari jawabannya sendiri.

***

Pukul tujuh malam, Di hari Minggu yang sama.

Sebuah pesawat yang sedang menuju ke tujuannya.

Kelas ekonomi.

Dirinya yang mengenakan hoodie untuk mengurangi rasa dingin dari AC pesawat. Mengenakan penutup kepalanya, sambil melihat pemandangan yang ada di luar yang berupa awan malam, bintang dan bulan.

Ian yang tidak lain adalah orang yang dimaksud, masih memikirkan semuah kejadian yang ia alami saat ini.

Pertanyaan....,pertanyaan..., dan pertanyaan. Itu semua yang ada dalam pikirannya saat ini. Terlalu banyak yang ingin ia cari jawabannya, yang bahkan dirinya sendiri tidak bisa menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang dipikirkannya saat ini.

Padahal sebelumnya, semua masih terlihat sama saja. Selain dari pernyataan dari orang tuanya mengenai kepindahan dirinya saat sarapan pagi, semuanya masih sama saja. Dimana Ian setelah melakukan sarapan kemudian berolahrga jogging. Dan saat pulang dirinya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah yang bisa ia lakukan.

Hingga diwaktu siangnya. Ian lalu berada di kamarnya sambil membaca salah sebuah novel fiksi miliknya.

*Tok....Tok....*Tok...*!

Suara ketukan terdengar dari pintu kamarnya, membuat konsentrasi Ian untuk membaca novelnya menjadi buyar. Dan secara refleks lalu memikirkan mengenai siapakah orang yang mengetuk pintunya. Apakah si ayah, atau Ibunya.

"Ian, boleh Ibu masuk?"

"Masuk saja bu. Aku tidak kunci pintunya kok."

Mengetahui kalau dibaliknya adalah si Ibu, Ian tentunya mempersilahkannya untuk masuk. Meskipun bisa dibilang, si Ayah yang ternyata dibalik pintu, Ian tetap saja mempersilahkannya masuk.

Saat pintu kamar Ian mulai terbuka setengah, dengan jelasnya dirinya melihat. Dibalik pintunya, sosok yang pertama kalinya dilihatnya, bukanlah Ibunya seperti yang ia pikirkan sebelumnya. Atau bisa dibilang, sosok yang dilihatnya saat pintu kamarnya terbuka setengah, yang terlihat bukanlah sosok Ibunya yang meminta izin untuk masuk ke kamar dirinya sebelumnya.

Malahan, yang terlihat adalah sosok ayahnya yang dibalik pintu kamar Ian, yang sambil membawa beberapa kardus kosong. Mungkin tiga sampai empat kardus.

Bersamaan dengan pintu kamarnya yang akhirnya terbuka secara keseluruhan. Akhirnya, sosok Ibu Ian yang sebelumnya terdengar suaranya untuk meminta izin ke Ian, kemudian terlihat dan berada disamping si Ayah, dengan keadaan yang sama seperti si Ayah. Yakni dengan membawa beberapa kardus juga.

Meski jumlah yang diangkatnya sama dengan si Ayah. Namun terlihat, kalau si Ibu masih terlihat enteng dalam mengangkatnya, dengan tanpa ada rasa kesusahan ataupun kesulitan. Dan tentu saja, dengan cepat Ian yang menyadari sikap dari Ibunya itu, membuat Ian mengambil dugaan mengenai isi atau keadaan dari kardus yang dibawah orangtuanya itu.

"Ayah, Ibu. Kenapa bawa kardus-kardus kosong ke kamarku?"

Si Ayah dan Si Ibu lalu saling menatap satu sama lain. Seolah bingung karena pertanyaan dari anak mereka. Yang membuat, baik Si Ayah ataupun Ibu Ian memikirkan mengenai alasan pertanyan Ian tersebut.

Awalnya, mengenai alasan mengapa Ian bisa mengetahui kalau kardus yang mereka bawa itu kosong. Namun dengan menyadari kalau anak mereka adalah jenius, mereka tentunya langsung membuang jauh-jauh kebingungan mereka mengenai hal itu.

Namun pertanyaan atau kebingungan kedua mereka. Yakni kalau benar Ian menyadari si Ayah ataupun si Ibu membawa kardus-kardus kosong, lalu mengapa Ian tidak mengetahui alasan mereka membawanya.

Dan akhir dari dugaan orangtua Ian yakni karena dua hal. Apakah mungkin Ian yang melupakannya. Atau, sebuah alasan lain yang terpikirkan oleh mereka.

"Ian. Memangnya, saat sarapan tadi, ayah dan ibu belum memberitahukanmu?"

"So-soal apa ayah? Yang aku ingat, ayah dan ibu hanya memberitahukan tentang aku yang akan dipindahkan."

Wajah bingung dan pertanyaan dari Ian itu, seketika membuat dugaan kedua orang tua Ian makin menjadi kenyataan. "Begitu yah...." ujar si Ayah sambil menghela napas. Sedikit merasa kecewa karena kelupaan dirinya untuk memberitahukan informasi sepenting ini ke Ian.

"Haahh~~..."Sedangkan si Ibu, meski tak mengatakan sepatah kata seperti layaknya si Ayah. Namun tampak dengan jelas, helaan napasnya yang memperlihatkan sedikit penyesalannya karena kelupaannya juga untuk mengingatkan si Ayah, atau memberitahukan langsung mengenai informasi yang dimaksud.

Dan tanpa melakukan basa-basi lagi, si Ayah kemudian rasa kecewa dari wajahnya lalu dengan sigap memberitahukan tentang informasi-informasi yang dirinya dan si Ibu sampaikan ke Ian saat sarapan tadi.

"Sebenarnya Ian, mengenai kepindahanmu ini...Ayah dan Ibu rencananya, ingin kamu pindah hari ini."

"Atau lebih tepatnya, Ibu dan Ayah rencananya hari ini kamu sudah mempersiapkan segalanya. Agar malam nanti kamu sudah bisa pindah Ian." Tambah si Ibu.

Pikirannya yang diliputi dengan kebingungan dan tanda tanya, walau dengan sikapnya yang masih tenang. Itulah yang Ian lakukan dalam menanggapi pernyataan dari Ayah dan Ibunya.

Meskipun, air keringat dingin yang mengalir melewati bagian-bagian di wajah Ian,tetap saja memperlihatkan rasa tegang, sama seperti dirinya saat sarapan tadi.

"Kenapa...aku mesti pergi nanti malam? Bukannya malah kecepatan ayah? Belum lagikan, aku belum beres-beres. Belum nanti cari tempat tinggal. Untuk urus-urus mengenai pemindahan kesekolahku juga belum selesai. Dan paling penting, akukan juga masih tidak tahu tentang dikota mana aku akan pindahnya?"

Entah karena kebingungannya yang saking memenuhi otak Ian, sampai-sampai dirinya dengan refleks mengeluarkan semua pertanyaannya yang ia pikirkan, atau alasan lain. Tapi setidaknya, karena spontan dari Ian itu, membuat dirinya bisa memikirkan dugaan atau kesimpulan lainnya mengenai alasan kepindahannya yang terlalu cepat ini.

"Mmmmhh....." Si Ayah yang memikirkan sesaat mengenai pertanyaan-pertanyaan tadi. Membuat Ian yang melihatnya dengan cepatnya membuat sebuah dugaan yang menurutnya pasti "Pasti belum ayah dan Ibu pikirkan" atau pemikiran yang seperti itu.

Saat itu, Ibu Ian yang lalu menyimpan kardus yang dibawanya lalu menjawab pertanyaan anaknya.

"Sebenarnya Ian, untuk pertanyaan-pertanyaanmu itu. Ibu dan Ayah, sudah mengurus itu semua."

"Haaahh.." Ian yang agak terhentak akan perkataan dari Ibunya.

"Meskipun, untuk barang-barangmu untuk dibereskan itu sekarang. Tapi setidaknya, asalkan kamu cepat-cepat kemasnya, mungkin nanti kamu tepat waktu dengan waktu berangkatnya Ian."

Sekali lagi, perkataan dari Ibunya yang secara gamblang, membuat Ian sontak terhentak. Ditambah dengan pernyataan dari Ibunya yang meskipun singkat, namun bisa diartikan kalau semua pertanyaannya yang ditujukan ke ayah maupun ibunya terjawab.

"Tu-tunggu dulu Ibu! Maksudnya yang ibu katakan tadi....?" tanya Ian untuk memastikan.

"Maksud dari Ibumu, Ayah dan Ibu sudah mempersiapkan segala hal kepindahanmu Ian. Seperti urusan untuk pindah sekolahmu, dimana kamu akan tinggal nantinya. Dan yang lainnya lagi Ian." Tambah si Ayah yang juga menyimpan kardus kosong.

Sekali lagi, meskipun sebelumnya wajahnya keliatan agak tenang, dan keringat dinginnya yang meski tidak terlalu keliatan tapi masih mengalir melewati sela-sela wajahnya. Didalam hatinya, Ian yang sudah dipenuhi rasa kaget yang sekaget-kagetnya, tidak bisa membendungnya lagi dan malahan menjadi pertanyaan-pertanyaan yang secara refleks langsung keluar dari mulutnya.

"Memangnya kapan Ayah dan Ibu pergi mengurusnya? Kenapa aku tidak mengertahuinya?!"

Si Ibu yang mendengar pertanyaan Ian, entah kenapa keliatan seperti membeku. Mencoba melihat ke segala arah sambil memikirkan suatu hal, seolah mencari sebuah jawaban dari pertanyaan anaknya.

"Itu Ian...."

"Sebenarnya Ian,Ayah memang sudah sedari dulu rencananya ingin memindahkanmu." Jawab si Ayah yang memotong penjelasan si Ibu.

"Tapi karena kamu keliatannya selama ini masih ayah lihat mandiri, jadinya tidak melakukan rencana itu. Namun karena ayah masih ada keyakinan kalau kamunya masih tidak bisa hidup mandiri. Jadinya Ayah meyakinkan diri ayah untuk melakukannya. Dan tentunya, Ibumu pun juga menyetujuinya Ian."

"Be-begitu yah...."

Pernyataan dari Ayah Ian mengenai jawaban atas pertanyaan Ian, mungkin bagi sebagian orang menganggapnya sebagai alasan konyol atau suatu hal yang seperti itu. Ditambah dengan perilaku dan sikap Ian yang sering melakukan pekerjaan rumah menggantikan kedua orangtuanya saat berhalangan atau ada urusan lain, tambah dirasa makin tidak masuk akal mengenai alasan ini.

Namun, karena ayah Ian merupakan orang yang cukup disiplin, menegaskan kemandirian kepada semua anggota keluarganya. Yang menjadi alasan utamanya mengapa keluarga Ian, meski kaya dan memiliki rumah yang lumayan mewah, namun tidak memperkerjakan seorang pembantu, supir dan sebagainya.

Dan karena sikap ayahnya yang begitu, Ian merasa kalau alasan yang disampaikan oleh ayahnya dirasa masuk akal. Meskipun, dirinya sangat sadar— Kalau alasan atau yang disampaikan oleh ayahnya itu bukanlah alasan utama kenapa orangtuanya memindahkan dirinya dan melakukan semua pengurusan kepindahannya tanpa sepengetahuan dari Ian.

Meskipun sekali lagi, Ian yang tidak mau mempertanyakan alasan kepindahannya ke orangtuanya lebih dalam. Karena dirinya sadar kalau itu hanya akan megakibatkan perdebatan diantara mereka. Dan tentu saja, itu bukanlah sikap sejati Ian yang mempertanyakan tentang yang dikatakan oleh orangtuanya.

"Dan untuk alasan Ibu dan Ayah tidak memberitahkanmu Ian, karena anggaplah sebuah kejutan dari kami."

"Begitu yah Ibu....." ujar Ian dengan senyum yang terpancar diwajahnya. Yang kemudian Ian, dengan sigapnya lalu mendatangi orangtuanya dengan tangan kosong mengambil kardus-kardus yang ada, lalu mulai membawa dan menurunkan beberapa barangnya bersama dengan Ayah dan Ibunya.

Si Ayah dan Ibu Ian yang melihat tingkah, ekspresi dan perkataan dari anak mereka, sangat tahu kalau anak mereka sadar kalau alasan yang disampaikan mereka, bukanlah alasan sebenarnya. Mereka sangat tahu, kalau anak mereka yang memiliki pemikiran yang dalam akan suatu hal, pasti sangat menyadari hal itu.

Tapi mereka pun juga tahu, demi menjaga perasaan mereka, Ian tetap saja diam, tersenyum, dan menerima alasan dengan ekspresinya yang tampak mengenai kepindahan dirinya. Meskipun itu menimbulkan pertanyaan didalam pikirannya.

Dan tentu saja, sebagai orangtua Ian, yang bisa mereka pikirkan saja untuk saat ini hanyalah mengikuti apa yang telah rencanakan, dan melupakan semua kerisauan dan pikiran mereka mengenai itu semua dan menganggapnya hanya sebuah hal yang tidak penting untuk saat ini.

"Oh iya...! Ayah..,Ibu..., Mengenai kota dimana aku pindah. Memangnya itu dimana?"

Mendengar pertanyaan dari Ian, Si Ayah dan Si Ibu yang mengangkat beberapa barang Ian, lalu menatap satu sama lain dengan wajah tersenyum lebar selama beberapa detik. Hingga saat mereka lalu berbalik ke arah Ian kembali yang juga sedang membawa beberapa barangnya, Si Ayah lalu menjawab.

"Untuk kota yang akan kamu pindahi nanti Ian. Itu adalah..."

Kota Sipiktar.

Kota Metropolitan yang maju karena merupakan salah satu kota jalur perdagangan dunia. Yang membuat hampir sebagian dari bibir pantainya diliputi dengan pelabuhan, dan kapal besar dagang. Dan sebagiannya lagi pantai yang dipenuhi dengan pengunjung dan kapal pesiar. Dengan beberapa gunung disekitarnya, alam yang masih asri dan hijau. Meskipun tetap saja, baik dipinggir sampai ke pusat kotanya, bisa dibilang sejahtera.

Dengan penghasilan utama selain dari perdagangannya, juga termasuk sebagai objek wisata menarik. Seperti pantai, atau gunung-gunung hijau asrinya. Yang dimana juga disana, merupakan tempat dengan sekolah-sekolah yang berkelas, dan bertaraf Internasional. Sebuah kota impian, untuk berbagai kalangan yang ada.

Ian yang mengetahui kota yang dipindahinya adalah Kota Sipiktar, matanya terbelalak lebar, mulutnya terbuka nga-nga, suara yang keluar dari mulutnya terpotong-potong kaget, dan aktivitas mengangkatnya lalu terhenti.

"Ko-Kota Sipiktar!!?"

"Iya Ian. Kota Sipiktar." Ujar si Ibu yang memantapkan pernyataan dari si Ian tadi.

Seketika, mulut Ian yang ter nga-nga karena rasa ketidakpercayaan atas apa yang didengarnya, perlahan-perlahan berubah menjadi senyuman senang. Matanya yang sebelumnya terbelalak lebar karena rasa kaget, lalu berubah menjadi sebuah kilauan mata yang memperlihatkan sebuah semangat. Dan perasaannya yang sebelumnya hanya rasa kaget dirinya, juga kemudian berubah menjadi perpaduan antara rasa senang dan semangat.

"Itu berarti...."

Mendengar tentang kota Sipiktar, mungkin orang-orang akan memikirkan mengenai Kota impian. Sedangkan untuk para pelajar atau siswa, maka pikirannya akan langsung tertuju mengenai sekolahnya yang bisa dibilang sangatlah hebat dengan pendidikan yang luar biasa dan impian untuk bersekolah disana.

Sedangkan bagi Ian sendiri, maka pikirannya yang memikrkan suatu hal dengan cara yang rumit, akan terpikirkan hanya satu hal. Yakni sahabat masa kecilnya yang saat ini tinggal disana.

Si Ayah dan Si Ibu yang sudah menurunkan beberapa barang Ian, menanggapi pernyataan Ian yang terpotong hanya sebuah senyuman saja. Yang cukup menandakan bahwa apa yang dipikirkan Ian seperti itulah kebenarannya.

Dan Ian yang cukup melihat ekspresi dari kedua orangtuanya, langsung saja mengetahui maksud dari ekspresi kedua orangtuanya. Yang pada akhirnya membuat Ian, dengan pancaran cahaya mata semangatnya terlihat lebih terang lagi. Senyumnya yang lebih lebar lagi daripada sebelumnya— malahan sempat membuat Ian melupakan mengenai semua pertanyaannya yang sebelumnya memenuhi otaknya.

Hingga akhirnya, yang dimana diri Ian saat ini.

Menyandarkan tangannya ke tepian jendela pesawat, sambil sekali lagi memproses otaknya untuk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang dipikirkannya.

Rasional maupun non-rasional. Yang masuk akal, agak masuk akal, sampai yang tidak masuk akal. Semua pola pikir seperti itu, Ian lakukan selama perjalanannya menuju ke Kota Sipiktar.

Dan yang ia hanya bisa dapatkan, hanyalah hasil nihil sekali lagi.

Informasi yang terbatas, dan terlalu banyak hal yang disembunyikan orangtuanya ke dirinya. Yang merupakan penyebab dirinya tidak bisa menemukan jawabannya.

Meskipun sekali lagi, dalam hati kecil Ian, yakin kalau semua tindakan, dan apa yang dilakukan oleh orangtuanya ini, bertujuan demi kebaikan dirinya. Sedangkan alasan mereka tidak memberitahukan alasan utamanya. Mungkin sekali lagi, demi kebaikan Ian kedepannya.

***

Pukul delapan malam. Depan Bandara Kota Sipiktar.

Satu ransel besar pendaki digunakannya dan satu koper yang juga dideretnya. Ian yang telah berada di depan bandara, melepas penutup kepala dari hoodienya yang ia gunakan sedaritadi. Sehingga wajahnya yang tampan pada akhirnya keliatan.

Jadinya, beberapa perempuan yang tidak sengaja melihat ke arah Ian, untuk beberapa detik, terpaku menatapnya. Seolah-olah, detik yang dilihat oleh perempuan-perempuan itu serasa kilatan cahaya, yang meski sebentar tetap saja membuat mereka terus kepikiran.

Meskipun tetap saja, karena aktivitas keramaian dan kesibukan yang biasanya terjadi di Bandara Internasional, membuat orang-orang lebih mementingkan urusan mereka, daripada melihat atau memerhatikan orang lain yang tidak mereka kenal. Termasuk, perempuan atau orang-orang yang melihat dan terpana akan ketampanan dan kehampirsempurnaan fisik Ian.

Yang juga seperti itu dengan pemikiran Ian saat disana. Mementingkan dirinya, karena hal yang ia urus saat ini. Yang membuat dirinya tidak menyadari tentang orang-orang yang menatap dan terpana akan ketampanan dirinya.

"Jadi....dimana aku mulai yah?"

Ian dengan secarik kertas ditangannya yang berupa alamat tempat tinggal barunya. Sambil berbalik ke kiri ataupun ke kanan, mencari kendaraan atau taksi yang bisa ia naiki di depan area penjemputan bendara untuk menuju ke tujuannya itu.

"Taksi!" panggil Ian sambil melambaikan ke salah sebuah taksi disana.

Dengan taksi berwarna putih yang merupakan warna taksi yang pastinya akan sering dijumpai di kota Sipiktar, kemudian berhenti tepat di depan Ian.

Si Supir yang lalu keluar dari taksi, kemudian dengan ringan tangan mulai mengambil koper yang diseret oleh Ian.

"Sini dek saya masukkan kopernya ke dalam bagasi"

"Tidak apa-apa pak! Saya saja yang bawa ke bagasinya." Ujar Ian dengan rendah hati.

"Tidak dek! Ini kerjaan saya. Saya tidak mau menyusahkan pelanggan saya dengan mengangkat kopernya sendiri."

Ian yang awalnya enggan karena takutnya menyusahkan si supir taksi, pada akhirnya mengikuti apa yang dikatakan si supir itu, karena paksaan yang dilakukan oleh si supir taksi kepada dirinya.

"Baiklah kalau Bapaknya memaksa."

Memasuki taksi dengan tas punggungnya yang ia simpan disampingnya. Dan kemudian menunggu si supir yang sedang menyimpan koper Ian ke bagasi taksi yang ada.

Sekitar satu menit Ian menunggu yang sambil menatap gemerlipan lampu-lampu kota Sipiktar dari kejauhan, terdengar suara pintu pengemudi terbuka, membuat kefokusannya langsung terbuyar dan tergantikan dengan pandangannya ke si supir yang kemudian masuk ke dalam taksi.

"Jadi adek ini tujuannya kemana?"

Ian lalu memberikan secarik kertas tujuannya ke si supir taksi itu"Ini pak alamatnya."

Si Supir lalu menatap kertas yang berupa alamat tujuan Ian. Sekitar 10 detik, dengan wajah tersenyum si supir lalu memberikan kembali kertas alamat itu ke Ian.

"Baiklah dek! Dengan tujuannya disana."

Ian yang mendengar perkataan dari si supir taksi, kemudian menyandarkan dirinya untuk istirahat akibat jetlack yang dirasakan Ian setelah melakukan penerbangannya ke kota Sipiktar ini.

Beberapa kali mencoba menutup matanya untuk beristirahat, namun dibuyarkan dengan keramaian malam dan lampu-lampu kota Sipiktar seperti lampu jalan, gedung, kendaraan yang ada, dan hal lainnya yang membuat mata Ian beberapa kali tidak bisa beristirahat dan malahan melihat keramaian dan kehirukpiukan tersebut.

Namun pada akhirnya rasa kantuk, dan capek akibat jetlack yang terjadi. Membuat pada akhirnya Ian tertidur, dengan wajah yang penuh kelegaan tanpa adanya rasa khawatir.

Dibalik, gemerlipannya, dan keramaian malam Kota Sipiktar, dengan taksi putih yang melewati itu semua. Ian yang beristirahat santai setelah pernyataan,informasi, kepindahannya dan berbagai hal yang tiba-tiba terjadi dalam satu harinya, pada akhirnya hanya melewati itu semua sebagai bahan pemikirannya dan tanda tanya baginya saat dirinya nanti terbangun.

***

Kota Sipiktar, pukul setengah sembilan malam.

"Dek! Dek! Sudah sampai dek" panggil si supir taksi sambil menggoyangkan beberapa kali badan Ian.

Terbangun dari tidurnya, Ian dengan pandangannya yang masih kabur, dan samar dengan apa yang ia lihat. Berusaha mengusap matanya beberapa kali untuk memperbaiki pandangan matanya.

"Sudah sampai yah..."

Ian yang kemudian keluar dengan tas punggungnya, lalu beberapa kali meregangkan tubuhnya sambil menghirup udara segar yang ia bisa.

"Maaf yah dek, saya bangunkan. Padahal adek sudah enak-enaknya istirahat."

"Tidak apa-apa kok pak! Lagian, istirahat sebentar tadi sudah cukup kok."

Si Supir taksi hanya tercengir senang, karena bisa mendapatkan keramahan balik oleh penumpangnya kali ini.

"Kalau gitu saya ambil koper adek yang ada dibagasi." kata si supir taksi sambil mengajukan diri.

Si Supir mulai mengambil koper Ian yang berada dibagasi taksi, lalu Ian yang melakukan beberapa peregangan badan, kemudian menghirup udara segar yang ia bisa sekali lagi, sehingga membuat dirinya keliatannya kembali menjadi lebih segar. Yang dimana kemudian dirinya lalu menatap tempat pemberhentiannya yang berupa sebuah bangunan berlantai sepuluh yang dihadapannya yang tidak lain adalah sebuah apartemen.

"Jadi...disini yah aku akan tinggal." ujar Ian sambil memerhatikan beberapa seluk beluk dari apartemen yang akan ditinggalinya.

Sebuah apartemen yang tidak terlalu mewah meski berlantai sepuluh. Tanpa taman untuk menghiasi bagian depan, tanpa pos satpam dan tanpa pagar yang menutupinya. Yang terlihat hanyalah sepuluh pintu yang keliatannya kamar milik orang lain. Dan tangga menuju ke lantai atas. Dan lampu-lampu dari apartemen itu, baik di balkon tiap pemilik apartemen, ataupun lampu-lampu yang ada disana, cukup mengurangi kegelapan yang diterima dari apartemen itu saat malam hari. Kurang lebih, itulah pandangan Ian melihat apartemen yang dihadapannya.

"Adek ini kopernya." ujar si supir taksi yang memecah konsentrasi Ian ke apartemennya.

Ian lalu berbalik ke arah si supir taksi, kemudian mengambil kembali koper miliknya.

"Terima kasih pak. Dan ini uangnya."

Setelah mengambil uangnya, si supir taksi mulai menaiki kembali taksi yang dibawanya tanpa menghitung uang yang diberikan Ian kedirinya. Dan meninggalkan Ian tanpa sepatah kata, kecuali rasa terima kasih dan rasa senang, dan hormat kepada penumpang yang diantarnya.

Sedangkan Ian, yang mulai melihat taksi yang mulai menjauh meninggalkan dirinya. Kemudian berjalan menuju ke area depan dari apartemen tempat tinggal barunya. Mengeluarkan secarik kertas yang tidak lain alamat tempat apartemen ini berada.

"Nomor kamar 307". Mengetahui angka dari kamarnya, Ian lalu menuju pintu demi pintu kamar di apartemen itu untuk mencari kamar miliknya. Kamar tiap kamar 001,002,003dilantai satu. Dan dilantai dua.101,102,103... Hingga lebih tepatnya setelah dirinya mencari nomor kamar miliknya dilantai 2, Ian menyadari mengenai cara pengurutan dari kamar-kamar di apartemen ini.

Yang dimana adalah mulai dari lantai satu hingga ke lantai sepuluh, jumlah ratusan untuk tiap kamar akan bertambah satu. Sehingga kemungkinan kamar milki bisa dibilang akan berada dilantai tiga. Namun, karena dilantai satu angka ratusannya merupakan nol dan bukan satu. Jadinya, untuk kamar miliknya, Ian menduga kalau itu berada di lantai empat.

Sehingga, tanpa memerikan lagi lantai ketiga, Ian lalu menuju ke lantai keempat, kemudian memerika angka kamar yang dekat dari tangga yang ada. Ian lalu melihat dengan jelas, meski cahaya dilantai itu keliatan agak redup, namun angka dikamar terdekat itu bertuliskan angka "301".

Merasa senang karena dugaannya benar, Ian lalu mulai menghitung kamar tiap kamar dilantai empat. Hingga pada akhirnya sampai diangka 307 atau angka kamar yang dituju Ian.

Mengambil kunci kamar apartemen di kantung celananya, yang sebelumnya orangtua Ian sudah memberikannya ke dirinya, pada saat sebelum keberangkatanya tadi. Ian lalu membuka pintu apartemennya.

Kemudian saat Ian mulai memasuki ruang apartemennya, dan menyalakan lampunya. Terlihat dengan jelas dipandangannya, sebuah apartemen yang lumayan luas, dengan ruang tengah dan kamar yang disatukan, kamar mandi yang agak kecil, dan dapur yang kecil juga. Kosong, tanpa perabotan selain kasur,lemari, dan satu-dua kursi meja. Sedikit berdebu, namun tidak terlalu menyusahkan apabila dibersihkan.

Menyimpan koper dan tasnya begitu saja, lalu duduk di pinggiran kasur di ruangan tengah, Ian sekali lagi menatap ruangan apartemennya. Juga, untuk kesekian kalinya, dirinya memikirkan kembali mengenai alasan sebenarnya orangtua Ian memindahkan dirinya.

Belum sampai semenit, sebuah suara yang cukup menghentak Ian sekali lagi sehingga kehilangan fokusnya untuk memikirkan alasan kepindahannya.

"Kring....,kring...,kring...."

Nada dering Handphonenya yang terdengar dari tasnya, membuat Ian pada akhirnya menuju ke tas yang simpan, lalu mengambil Handpohnenya. Nomor yang tidak diketahui, Ian awalnya enggan untuk mengangkat telponnya itu, karena dugaan atau kemungkinan terburuk yang bisa ia pikirkan apabila orang yang menelponnya orang yang tidak-tidak.

Hingga akhirnya pada panggilan pertama, Ian hanya mengabaikan telponnya itu sambil sekali lagi memikirkan tentang alasan sebenarnya dari kepindahannya ini.

"Kring....,kring...,kring...."

Dengan nomor yang sama, mengetahui hal itu, Ian sekali lagi mencoba mengabaikan telponnya dan tetap saja melanjutkan untuk memikirkan alasan sebenarnya dirinya pindah. Hingga akhirnya nada deringnya terhenti, Ian dengan kefokusan yang lebih lagi mencoba memikirkan tentang hal yang sama dengan lebih mendalam.

"Kring....,kring...,kring...."

Suara dari nada dering Handphonenya yang ketiga kali, Ian pada akhirnya mulai merasa jengkel karena si nomor yang tidak dikenalnya itu untuk ketiga kalinya mencoba menghubungi dirinya.

Padahal tidak kenal, dan keras kepala, dengan wajah yang mengkerut, napas yang begitu dalam untuk mengeluarkan unek-uneknya, dan pikiran yang tadinya mengenai alasan kepindahannya, menjadi kata-kata apa yang ingin ia sampaikan ke penelpon yang menjengkalkannya ini.

"Halo! Saya tidak tahu Anda ini siapa! Tapi setidaknya bisa Anda berhenti—."

"Ian...,ini aku." Jawab si penelpon yang memotong perkataan jengkel Ian.

Suara yang terdengar sangat familiar di telinganya. Membuat Ian yang tadinya marah-marah karena tindakan si penelpon yang tidak dikenalnya. Menjadi terdiam, sambil pikirannya membuat dugaan-dugaan mengenai sosok yang menelponnya ini.

Suara seorang laki-laki, keliatannya masih mudah. Mungkin umurnya lebih tua, atau malahan setara dengan Ian. Terdengar sangat ramah dan akrab.

"Sahar?!" duga Ian mengenai identitas dari penelponnya itu.

"Tentu saja ini aku Ian. Memangnya kamu pikir siapa lagi."

Senyum yang selebar mungkin, hormon serotonin dalam Ian terpacu begitu cepat sampai-sampai tak terbendung. Dan pikirannya seketika juga buyar dan menjadi pemikiran mengenai kabar, alasan, dan beberapa hal lainnya yang ingin ia sampaikan ke sahabat masa kecilnya itu.

Sahar. Teman dan malahan sahabat masa kecil Ian. Bisa dibilang pada awalnya Ian dan Sahar ini teman karena mereka bertetanggaan. Menikmati lingkungan yang sama, sehingga keakraban mereka antara satu sama lain tidak bisa dipungkiri lagi. Mulai dari taman kanak-kanak, SD, sampai SMP mereka selalu sekolah dan malahan sekelas. Mengetahui sifat, tingkah laku masing-masing. Layaknya seorang saudara yang selalu saja bersama.

Namun, Karena urusan pekerjaan keluarganya, Sahar pada akhirnya pindah ke kota Sipiktar, tepat setelah kelulusan SMP mereka. Sehingga si Sahar kemudian bersekolah SMA disini. Jarang melakukan komunikasi satu sama lain semenjak itu, karena urusan pekerjaan keluarganya. Meskipun keakraban dan kerinduan mereka sebagai seorang sahabat tidak pernah berubah.

"Sahar ini kamu. Padahal aku kira yang menelponku daritadi ini orang lain."

"Karena nomornya bukan nomorku yah...?!"

Ian tersenyum kecil, sedikit kagum akan perkataan singkat Sahar tadi.

"Kamu ini Sahar. Seperti tahu segalanya apa yang akan terjadi."

"Yah...kamu pastinya tahukan Ian mengenai caraku bisa mengeteahuinya...?"

Ian tertawa kecil menanggapi pernyataan Sahar, yang juga diikuti oleh si Sahar yang balik tertawa setelah Ian.

"Jadi Sahar, apa alasanmu menelponku?"

"Tidak. Aku hanya menanyakan kabarmu saja. Tapi kedengarannya Ian, kamu sepertinya baik-baik saja."

Sambil tetap mengangkat Handphone dari Sahar, Ian lalu keluar dari ruang apartemennya. Berada di balkon, sambil menikmati pemandangan malam kota Sipiktar, dan angin malam yang menghembus keseluruh tubuhnya, sehingga agak menyejukkan dirinya.

"Baik-baik saja Sahar. Walaupun tadinya aku agak capek karena penerbangan tadi. Tapi setelah tertidur di taksi sebentar, lalu sedikit peregangan dan menghirup udara segar. Jadinya sekarang sudah baik. Sekarang aku sudah ada di apartemenku saat ini"

"Mmmhh....begitu yah...."

Sebuah senyum yang makin melebar terlihat di wajah Ian karena percakapan awal mereka ini. Entah karena dirinya yang sudah agak lama tidak melihat Sahar secara langsung, sehingga hanya dengan mendengar suaranya ini lagi membuat Ian terasa agak rindu dengan sahabatnya atau alasan lainnya lagi. Namun, perasaan senang mendengar suara dari sahabatnya, dan perasaan semangat dan tak sabaran akan dirinya untuk menemui sahabatnya itu di sekolah barunya nanti ini.

"Terus Sahar, bagaimana dengan keadaanmu?"

"Aku juga baik-baik saja. Saat ini, aku sedang istirahat dari kerjaanku. Walaupun tinggal sedikit lagi."

"Baguslah kalau begitu Sahar."

Tersenyum karena mengetahui keadaan temannya baik-baik saja, Ian yang masih menggunakan Handphonenya lalu memalingkan wajahnya ke atas. Menatap langit malam yang tidak terlalu menampakkan keindahan malam sesungguhnya akibat sedikitnya bintang yang ia lihat. Namun tetap memberikan keindahannya karena bulan purnama yang cukup menghangatkan hati Ian yang masih gendang gulana dengan pertanyaan-pertanyaan didalam pikirannya.

"Dan juga Ian..."

"Mmhh....ada apa Sahar?" tanya Ian yang agak kaget dengan perubahan nada bicara Sahar yang terdengar rendah.

"Begini Ian, aku tidak tahu perasaanmu saat ini setelah kamu melalui banyak hal dan penuh pertanyaan atas tindakan oranagtuamu saat ini. Tapi..., sebagai sahabat Ian, aku bisa yakinkan padamu kalau yang mereka lakukan itu semuanya demi kebaikan kamu, Ian."

Sebuah pernyataan yang cukup dalam ke hati Ian. Seolah kata-kata yang disampaikan sahabatnya itu, benar-benar bukan hanya sebuah kata-kata untuk melanjutkan percakapan diantara mereka. Namun malahan seperti sebuah kata-kata yang benar-benar ditujukan ke dirinya. Seolah Sahar menyampaikan itu semua karena merasa mengerti pola pikir dan apa yang dipikirkan oleh dirinya saat ini. Mungkin itu bisa dibilang karena keakraban dan hubungan kuat antara sahabat yang terjadi diantara mereka.

Tidak tahu. Tapi, mendengar kata-kata dari sahabatnya, dengan senyum yang lebih lebar lagi, dan wajah dan mata yang penuh percaya diri, Ian lalu mengatakan.

"Tenang saja Sahar. Kamu pikir aku akan bagaimana. Kayak kamu tidak kenal aku saja."

"Baguslah kalau kamu pikirnya begitu Ian."

"Ehh....Tuan Sahar! Persiapannya sudah siap."

Suara lain yang terdengar dari tempat Sahar, seperti sebuah pertanda bahwa waktu istirahat yang Sahar maksud telah selesai.

"Begitu yah...kalau begitu tunggu sebentar! Ian, sepertinya aku harus lanjut kerja lagi. Maaf yah."

Memaklumi sikap Sahar, Ian yang kemudia menyandari pinggiran balkon apartemen lalu menatap ke arah ruangannya lalu tersenyum.

"Tidak apa-apa Sahar. Lagipula, kalau lebih mementingkan perbincangan kita daripada kerjaanmu, nantinya jadi tambah gawat Sahar."

"Mengerti saja kamu Ian. Oh Iya Ian, ada hal yang ingin kusampaikan padamu."

Wajah yang agak bingung dan bertanya-tanya mengenai apa yang akan dikatakan oleh sahabatnya itu.

"Memangnya kamu ingin sampaikan apa Sahar?"

"Begini Ian, nanti saat besok saat kamu sudah siap-siap untuk ke sekolah, bisa tidak kalau kamu menungguku di depan apartemenmu dulu. Agar setidaknya aku bisa menemanimu memberitahukanmu arah menuju ke sekolah. Karena kan kamu baru juga di sini Ian. Bagaimana?"

Tersenyum akan saran yang diberikan oleh Sahar, Ian yang kemudian mulai masuk kembali ke dalam apartemennya lalu melanjutkan.

"Baiklah. Lagipulakan, memang mustahil juga Sahar aku berkeliaran disini tanpa tahu jalan-jalannya bagaimana."

"Baguslah kalau begitu Ian."

Tersenyum dan merasakan kelegaan didalam pikirannya, Ian merasa senang karena bisa berbincang sebentar dengan Sahar, yang bahkan perbincangannya tidak sampai sepuluh menit. tapi cukup menenangkan diri Ian yang telah mengalami banyak kejadian pada hari ini.

"Jadi, sampai ketemu besok Sahar. Salam."

"Salam."

Dan sekarang, yang ia rasakan setelah perbincangannya yang sederhana ini adalah....

Lega.

Cukup kelegaan didalam hati, dan pikiran Ian yang sebelumnya terus saja sedaritadi menggeluti dirinya dengan pertanyaan dan kebingungan.

Sambil menutup Telpon dari Sahar, Ian yang sekarang berada dalam apartemennya, dengan wajah penuh keoptimisan, tanpa keraguan, dan kelegaan, lalu duduk ke pinggiran kasurnya dengan sekali lagi menatap langit-langit apartemennya.

"Sepertinya aku terlalu memikirkannya." Ujar dirinya ke dirinya sendiri.

Ungkapan untuk dirinya sendiri, membuat Ian merasa secara total lebih lega dan lebih tenang lagi daripada sebelumnya. Rasa khawatir dan beban yang didalam dirinya seolah secara total menghilang dari dalam dirinya dan digantikan dengan sebuah semangat baru dari dalam dirinya.

Selang beberapa saat, Ian yang lalu terpikirkan suatu hal, kemudian berdiri dari pinggiran tempat tidur, dan meenatap ke sekeliling dirinya. Dengan wajahnya yang pusing melihat kotoran, debu dimana jangkauan pandangan matanya melihat. Dan betapa berantakannya ruang apartemen miliknya saat ini.

"Cih,cih,cih..., Padahal apartemen ini sekotor dan berantakan begini, malahan aku memikirkan hal lain."

Ian yang kemudian menuju ke pelosok demi pelosok, bagian demi bagian, dari apartemennya, sambil mencoba mencari alat kebersihan yang bisa ia dapat di apartemennya. Mendapatkan apa yang ia cari seperti sapu, pel ataupun kemoceng yang masih layak ia gunakan.

Dan dengan wajah yang semangat dan keyakinan, dirinya lalu membersihkan seluruh ruang apartemennya. Merapikan semua pakaian dan barang-barang yang berada di koper dan tasnya ke lemari dan tempat-tempat yang menurutnya dirinya cocok disimpan disana. Melupakan waktu yang ada dan terfokus untuk membersihkan ruang apartemennya.

Benar-benar sangat giat sehingga kerajinan dan keterampilannya yang ia dapat saat dirinya membantu pekerjaan rumah orangtuanya, dia tuangkan semua ke bersih-bersihnya malam itu. Berkeringat, agak kesusahan, namun ia lakukan semuanya dengan senyum, Ian pada akhirnya menyelesaikan semua pekerjaan bersih dan merapikan di apartemennya.

Dirinya yang kembali merasa capek, Ian lalu berbaring ke tempat tidurnya.

"Haahh....haaahh....haahh...., Ujung-ujungnya aku capek lagi....Padahal..., mauku tadikan saat sampai ke sini, aku langsung istirahat. Tapi ternyata...., jadi begini ya....."

Ian yang lalu memandang ke arah jam apartemennya. Pukul setengah duabelas malam. Menyadari kalau dirinya telah membersihkan dan merapikan kamarnya selama hampir dua jam, Ian hanya tersenyum sambil napasnya yang terengah-engah menatap langit apartemennya.

"Ternyata....selama itu ya...aku membersihkan semuanya. Haaahh...lega rasanya setelah semuanya. Jadi tinggal, barang-barangku yang masih dikirim untuk kubereskan."

Matanya yang mulai beberapa kali tertutup, menguap yang dilakukannya untuk mengambil sebanyak mungkin oksigen yang ada. Dan tanda-tanda ngantuk lainnya yang dirasakan oleh Ian, setelah akhirnya rasa capeknya yang kembali ia rasakan akibat kegiatan bersih-bersihnya ini.

Dan tanpa sadar, kedipan demi kedipan, Ian akhirnya tertidur dengan tenang dan tanpa beban sama sekali. Sebuah tidur yang dialami olehnya untuk mengakhiri semua masalah dan pikiran yang memenuhi diri Ian hari ini. Dan digantikan dengan keesokannya yang merupakan kehidupan baru dan awal baru bagi Ian di Kota Sipiktar.