Max terbelalak saat pena itu jatuh dari genggaman Gabriella. Bukankah jemari seorang pianis biasanya stabil? Lalu, mengapa tangan gadis itu bergetar hebat sekarang?
“Ada apa?” desah sang pria sembari mengangkat alis.
“A-aku tidak tahu. Tanganku tidak bisa dikendalikan,” jawab Gabriella lirih.
Setetes air mata mengalir saat mata gadis itu berkedip. Kecemasan yang besar telah terbit dalam hatinya.
Setelah memutar otak sejenak, sang pria akhirnya mendesah. “Ah, sepertinya itu efek dari minuman yang kau minum kemarin.”
“Apakah jemariku akan terus bergetar?” tanya Gabriella sambil menoleh dengan wajah yang sangat jujur. Hati sang CEO sampai terenyuh karenanya.
“Tentu saja tidak. Itu hanya sementara. Kau hanya butuh makan dan istirahat. Besok pagi tanganmu tidak akan gemetar lagi,” terang Max dengan tampang datar. Ia merasa sedang bermuka dua sekarang. Sejak kapan dirinya melunak di hadapan sang gadis?
“Sekarang, apa kau mau kubantu menandatangani kontrak ini?” tanya sang CEO setelah teringat akan tujuan utamanya.
Gabriella terdiam sejenak. Selang satu kedipan, ia pun menjawab, “Ya.”
Max mengambil pena dan meletakkannya di antara jari-jari sang gadis. Setelah itu, dengan canggung, ia merapat dan menggenggam tangan yang sedingin es itu. Sang CEO kini tahu bahwa gemetar sang gadis bukanlah tipuan.
Selama beberapa detik, mereka berdua bergeming dalam pose itu. Max bingung karena tangan dalam genggamannya tak kunjung bergerak, sementara Gabriella masih kesulitan mengatur arah pena.
“Ada apa?”
“Aku takut kalau tanda tanganku malah menjadi kacau,” jawab Gabriella menandakan bahwa dirinya sedang berhati-hati.
“Kalau begitu, kita berlatih dulu di sini.” Max menutup map karton itu dan meletakkan tangan sang gadis di atasnya.
“Bagaimana bentuk tanda tanganmu?”
“Kenapa masih bertanya? Kau sudah pernah melihatnya,” gumam Gabriella seraya tetap fokus dengan ujung pena. Goresan yang ia buat sangat jauh dari kata rapi.
“Emotikon senyum? Itu benar-benar tanda tanganmu?” seru Max terbelalak.
Gabriella spontan menoleh dengan kerut alis risih. Air mata sudah berhenti tumpah dari pelupuknya.
“Untuk apa aku berbohong? Kau bisa memeriksa kartu identitasku kalau tidak percaya.”
Max pun mengangguk-angguk. Semalam ia sudah memeriksa kartu itu tetapi melewatkan bagian tanda tangan. Ia terlalu fokus pada keterangan yang tertulis ketimbang goresan yang tak memiliki arti.
“Jadi, apakah tanda tanganmu seperti ini?”
Max menggerakkan tangan Gabriella menggambarkan dua bulatan kecil dan satu garis lengkung persis seperti yang dulu pernah ia lihat. Akan tetapi, gadis itu mengerutkan alis dan menggeleng lemah.
“Lengkung yang kau buat terlalu lebar dan datar. Ini jadi terlihat seperti senyum yang dipaksakan.”
Desah napas sontak lolos dari mulut sang CEO. Gadis yang sedang bersamanya itu ternyata memang aneh.
Sekali lagi, Max mengulangi tiga goresan. Namun, Gabriella masih belum menerima hasilnya.
“Lengkung bibirnya sudah benar, tapi ... matanya terlalu besar.”
Max pun menghela napas cepat dan menoleh menunggu tatapannya dibalas oleh Gabriella. “Apakah kau sedang mempermainkanku?”
“Tidak,” geleng gadis itu pelan. “Aku hanya tidak mau tanda tanganku tampak menyeramkan.”
“Dengar! Aku tidak mau kita berdebat lagi. Kita sudah sepakat untuk menandatangani kontrak ini. Jadi kumohon, jangan membuat masalah lagi. Mengerti?”
Gabriella menurunkan pandangan dan mengangguk tanpa suara. Ia terus bungkam bahkan saat Max menggerakkan tangannya di atas kertas.
“Puas atau tidak puas, tanda tanganmu sudah tertera pada kontrak.”
Max cepat-cepat menarik pena dan map dari tangan Gabriella. Ia tidak ingin mengambil risiko jika membiarkan gadis itu menyentuhnya terlalu lama.
“Sekarang makanlah lalu istirahat. Besok, aku akan memenuhi kewajibanku seperti apa yang tertulis di kontrak.”
Seperginya Max dari ruangan, Gabriella menatap makanan mewah di hadapannya. Dulu jika dirinya dihadapkan pada meja itu, hatinya pasti akan antusias dan gembira. Namun sekarang, makanan itu seakan hambar dan tidak menarik bagi mata maupun perutnya.
Sang gadis tertunduk dan mendesah. Ia ingin mengikuti kata hatinya untuk menolak makanan dari pria sombong itu, tetapi pikirannya membisikkan hal lain.
“Benar, aku harus tetap makan dan melanjutkan hidup. Ah, apa yang akan terjadi padaku selanjutnya?”
Setelah keheningan sesaat, tangan Gabriella akhirnya terangkat mengambil teko. Dengan segenap fokus dan usaha, ia menuangkan isinya ke dalam gelas. Susu pun tumpah di atas baki sebelum jatuh pada wadah yang tepat. Dengan hati-hati, ia mengangkat gelas itu dan meminum isinya.
Tak lama kemudian, Max kembali masuk ke dalam kamar. Gabriella yang baru melahap beberapa potong melon pun menatapnya heran.
“Kenapa kau kembali?”
“Memangnya aku harus pergi ke mana? Ini kamarku. Aku selalu tidur di ranjang ini.”
Gabriella pun berkedip dan tersadar. Ia sedang berada di tempat yang tidak seharusnya.
Selagi sang tuan rumah menarik sesuatu dari lemari, sang gadis berusaha turun dari ranjang. Malangnya, kaki Gabriella masih belum terisi tenaga. Bukannya berdiri tegak, tubuhnya malah melorot dan jatuh berlutut di atas lantai.
Selang infus yang tidak cukup panjang pun menarik tiang hingga tumbang menimpa kepalanya. Keributan dan erangan lirih sang gadis sontak menarik perhatian sang CEO.
“Apa yang kau lakukan? Astaga .... Tidak bisakah kau tidak menimbulkan masalah?” gerutu Max sembari mengangkat tubuh sang gadis dan mendudukkannya di tepi ranjang lalu menegakkan tiang.
“Aku menyuruhmu makan, tapi kenapa kau malah turun dari ranjang?” omelnya seraya menggantungkan kantong infus di ujung tiang.
Belum sempat Gabriella menjawab, sang pria sudah memegangi kepalanya, menyibak rambut panjang gadis itu seperti sedang mencari sesuatu.
“Di bagian mana yang terbentur tiang?”
Mendengar perhatian yang tak biasa, Gabriella spontan mengerutkan alis. Begitu wajahnya kembali ditegakkan untuk diperiksa, matanya memancarkan keheranan.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Gabriella sontak membekukan tangan Max yang sedang memegang pipinya. Setelah berkedip-kedip datar, laki-laki itu melanjutkan pengamatan tanpa malu-malu.
“Aku tidak mau orang lain salah paham kalau melihatmu penuh dengan luka,” jawabnya santai.
“Tapi, kenapa kau memeriksa wajahku? Tiang itu membentur kepalaku,” ujar Gabriella seraya mengangkat tangan memegangi sisi kiri kepalanya.
“Kenapa tidak bilang dari tadi?” gerutu Max sembari menundukkan kembali wajah sang gadis. Sekali lagi, disibaknya rambut pada bagian yang ditunjuk.
“Apakah ini sakit?” tanyanya seraya menekan kulit kepala yang tampak merah.
“Akh! Sakit!” pekik Gabriella seraya menjauhkan diri dari sang pria. “Kau sengaja menekannya?”
“Tidak. Aku hanya ingin memastikan. Baguslah jika sakit. Berarti, memang itu lukanya dan aku tidak perlu khawatir orang-orang tahu.”
Sang gadis mendengus kesal. Sambil merapikan rambut, ia melotot ke arah Max.
“Omong-omong, kenapa kau hanya memakan buah?” sela sang CEO ketika memperhatikan meja yang masih ramai dengan makanan.
“Tidak usah sok perhatian kepadaku!” timpal Gabriella dengan nada tak senang.
“Hei, aku ini sedang bersikap baik kepadamu. Hargailah usahaku!”
“Kalau kau memang baik, kau tidak akan meniduriku,” ceplos sang gadis tanpa pikir panjang. Bibirnya baru terkatup rapat usai menyebutkan kata.
Padahal, mereka baru saja memadamkan pertengkaran. Sekarang, ia sudah kembali memercik api.
“Apa kau begitu kesal karena aku menikmati tubuhmu?” tanya pria yang sudah menyejajarkan pandangan dengan sang gadis.
“Tentu saja.”
“Kalau begitu, salahkan obat terkutuk itu. Aku tidak akan sudi meniduri gadis sepertimu jika bukan karena obat itu.”
Napas Gabriella kembali menderu. Sekalipun ia telah menandatangani kontrak, hatinya masih belum memaafkan sang CEO.
“Ternyata, kau benar-benar seorang pengecut yang takut dengan tanggung jawab,” sindirnya dengan sorot mata beku.
“Tanggung jawab?” Max menyipitkan mata. “Memangnya, apa yang kau harapkan? Apa jangan-jangan ... kau mengincar posisi sebagai istri seorang CEO?”
“Aku tidak sudi menjadi istri laki-laki bejat sepertimu.”
“Lalu, apa maumu?” Max mengangkat alis seolah menantang.
“Kau mengakui kesalahan dan berlutut di hadapanku.”
Tiba-tiba, sang pria melebarkan senyuman.
“Benarkah? Jika aku melakukan hal itu, kau akan berhenti mengecamku?”
Gabriella terdiam. Ia masih cukup sadar dengan siapa ia berhadapan. CEO perusahaan ternama yang pastinya tidak selevel dengan dirinya. Insiden kemarin malam tidak akan berlanjut ke mana-mana.
“Ya,” sahut sang gadis datar.
“Baiklah, aku mau saja melakukannya asalkan kau beritahu kepadaku siapa atasanmu.”
Alis Gabriella kembali berkerut. “Atasanku?”
“Ck, sampai kapan kau mau bersandiwara? Ayolah, Nona. Katakan siapa orang yang menyuruhmu datang kepadaku, dalang di balik hancurnya rumahmu.”
Gabriella menggeleng-geleng tanpa mengubah ekspresi.
“Tidak ada yang menyuruhku,” jawabnya spontan. “Aku bingung kenapa kau terus memaksakan pemikiran absurd itu. Aku ini bukan perempuan bayaran.”
Lengkung tipis terbentuk pada bibir sang pria. “Kau pikir aku percaya?”
“Apa buktinya kalau aku ini perempuan bayaran?” tantang Gabriella mulai menjalankan logika.
Tanpa diduga, Max mengeluarkan ponsel putih dari saku celananya.
“Bagaimana kau menjelaskan pesan ini, Nona? Apakah ini bukan bukti yang kuat?”
Dengan kerut alis yang dalam, Gabriella membaca pesan pada layar ponselnya.
“Kerja bagus, Gaby. Sekarang, keluarlah dari rumah itu dan ambil bayaranmu. Aku tunggu di tempat biasa pukul dua besok siang.”
Mata sang gadis sontak melebar melihat nomor yang tak pernah ia ketahui itu.