"Kenapa kamu menjadi begitu waspada terhadapku? Aku hanya ingin berteman dengannya." Lili mengedipkan mata pada Kresna.
Kresna tersenyum miring. "Apa kamu pikir aku akan mempercayaimu?"
"Kenapa tidak?"
"Kamu sekarang iblis. Kamu bisa berbohong sesukamu tanpa ada orang yang menghukummu."
Lili menyeringai. "Aku pikir kamu akan menjadi bodoh karena terlalu lama berinteraksi dengan manusia-manusia itu."
"Aku pikir kamu sudah menjadi bodoh karena terlalu bosan di atas sana." Kresna membalas ucapannya.
Samael muncul di tengah-tengah pertikaian kecil mereka. Dia dengan posesif melindungi Lili di belakangnya. "Hei, dia kekasihku, bersikaplah lebih lembut," ucap Samael.
Lili yang bersembunyi di balik tubuh Samael melemparkan senyum provokatif ke arah Kresna, membuatnya ingin memberi beberapa pemukulan ke gadis itu.
"Oh, aku memiliki tugas untukmu," ucap Samael mengalihkan perhatian Kresna.
Kresna menyipitkan matanya dengan berbahaya. "Kamu?"
"Lebih tepatnya 'yang di atas'," ralat Samael. sambil menyerahkan selembar kertas.
Kresna membacanya dengan seksama dan pupil matanya melebar. Dia menoleh ke Samael dengan tidak percaya. "Kamu pasti salah orang."
Samael tersenyum masam. "Sayangnya, tidak."
"Kenapa harus aku?"
Samael menggendikkan bahu. "Mungkin karena kamu sudah berbaur dengan mereka untuk waktu yang lama sehingga lebih cocok untuk tugas ini."
Kresna menatap Samael dengan horor.
"Apa kamu memiliki keberatan?" tanya Samael.
"Apa aku bisa menolak?" Kresna balik bertanya.
Samael tersenyum. "Tidak."
Kresna mendengus lalu menjentikkan jarinya. Detik berikutnya, sebuah pena emas muncul di tangannya.
"Tidak. Jangan gunakan nama Kresna," ucap Samael saat melihat tanda tangan pria itu. "Gunakan nama aslimu."
Kresna dengan enggan mengganti tanda tangannya.
"Oke, semoga berhasil!" ucap Samael sambil menyimpan kertas yang baru saja ditandatangani Kresna dengan hati hati. Dia tidak mau mengambil resiko dengan kehilangan dokumen penting semacam itu.
"Apa kamu mencoba menyemangatiku?" tanya Kresna saat mendengar Samael yang berkata dengan nada datar.
Samael yang masih setia dengan senyumannya menjawab, "Tidak."
"Oh, terima kasih."
Setelah bertukar beberapa kata dengan Samael, Kresna kembali untuk menemui Dewi.
"Apa kamu pikir dia menyedihkan?" Lili bertanya pada Samael setelah kepergian Kresna.
"Tidak," jawab Samael sambil menyunggingkan senyum tipis. "Dia sudah menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. Itu lebih baik daripada neraka yang sebenarnya sama membosankannya dengan tempat kita dulu."
Lili mengangguk setuju. Dia bertukar tatapan dengan Samael sebelum keduanya saling melemparkan tatapan misterius.
"Hei, apa kamu juga memikirkan apa yang aku pikirkan?" Lili bertanya setengah berbisik.
"Aku pikir aku memikirkan apa yang kamu pikirkan." Samael membelai ujung kepala Lili.
***
Bel pintu berbunyi. Dewi tersenyum lebar dan menoleh untuk melihat siapa yang masuk. Senyumannya membeku saat melihat orang yang datang.
Seorang pria androgini dengan pakaian serba hitam dan dandanan ala gothic menatap Dewi dan melemparkan senyum kaku padanya.
"Oh, hai, bolehkah aku meminta secangkir teh?" Azazel yang pucat pasi bertanya pada Dewi.
Lima menit kemudian, Azazel duduk berhadapan dengan Dewi sambil menyesap teh di cangkirnya.
"Apa nama teh ini? Ini terasa bagus," tanya Azazel.
"Bleutea."
"Bleutea? Apa maksudmu bluetea?"
"Uh, entah? Aku tidak tahu dengan pasti. Hanya saja pedagang yang menjualnya padaku mengatakan bahwa namanya bleutea."
"Oh?" Azazel kebingungan tapi tidak mengejar masalah ini lebih jauh.
"Aku pikir kamu pergi dengan Kresna?" Dewi berkata dengan ragu.
Azazel mendengus. "Jangan sebut nama pria itu di hadapanku!"
"Oh?" Dewi mengagkat alis.
"Kami sudah berteman selama ribuan tahun tapi dia masih ingin membunuhku hanya karena masalah sepele," keluhnya dengan sedih.
"Kalian berteman?" Dewi sedikit terkejut dengan fakta ini.
Azazel tersenyum. "Ya, terdengar seperti lelucon, bukan?" ucapnya.
"Iblis tidak akan pernah mempercayai siapapun di neraka," lanjutnya dengan suram. "Mereka terlalu merepotkan."
Dewi terdiam, merasakan situasi berubah ke arah yang salah.
Tiba-tiba Azazel mendekatkan dirinya ke Dewi. "Hei, apa kamu tidak takut dengan Kresna?" bisiknya dengan nada main-main seakan kesuramannya barusan hanyalah ilusi.
"Huh? Kenapa aku harus takut?" Dewi mencoba mengikuti perubahan topik pembicaraan yang terlalu cepat baginya.
"Dia selalu memasang wajah datar dan terlihat seakan tidak bahagia." Azazel berkata dengan ekspresif. "Dia tempramental dan suka menggertak. Oh, dia juga suka menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Dan yang terburuk, dia seorang iblis! Iblis secara harfiah, kamu tahu?"
Dewi mendengarkan Azazel yang terus membicarakan Kresna dengan nada tidak suka dan hanya tersenyum hingga dia mendengar kalimat terakhir Azazel. "Oh, omong-omong, bagaimana kamu tahu kalau dia iblis? Aku tidak yakin apakah kamu juga iblis tapi..." ucap Dewi. "Yah, maksudku, kalian terlihat seperti saling mengenal untuk waktu yang lama."
"Apa?" Azazel mengerjapkan matanya dengan bodoh. "Ka... Kamu... Tahun berapa ini?"
"2020," jawab Dewi yang ikut kebingungan saat melihat Azazel yang bingung.
Kondisi Azazel yang sebelumnya membaik setelah meminum teh langsung memucat kembali. Kali ini bahkan lebih pucat daripada sebelumnya. Dia terlihat begitu lemah hingga cangkir di tangannya bergetar.
"Ap...apa kamu tahu namaku?" Azazel menatap Dewi dengan tatapan penuh harap.
"Uh, tidak."
Tubuh Azazel langsung lemas. Dia teringat tatapan peringatan Kresna di taman tadi. Betapa cerobohnya dia! Dia seharusnya mengecek kalender sebelum mengunjungi Dewi. Kresna pasti akan membunuhnya kalau dia mengetahui ini. Oh, ya, Kresna...
Azazel langsung bangkit. "Baiklah, gadis. Sampai jumpa! Omong-omong, terima kasih tehnya," ucap Azazel lalu berlari keluar seakan sesuatu yang jahat sedang mengejarnya.
Tepat ketika Azazel akan meraih gagang pintu, pintu itu terbuka terlebih dahulu.
"El?" Kresna bertanya dengan nada datar. "Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah aku sudah memperingatkanmu untuk tidak datang ke sini saat aku tidak ada?"
Dia melirik Dewi yang masih duduk sambil memegang secangkir teh di tangannya lalu mengalihkan tatapannya ke Azazel yang sekarang terlihat gugup. Wajahnya mengeras saat menebak apa yang mungkin baru saja terjadi.
"Apa ada kata-kata terakhir yang ingin kamu ucapkan?"