webnovel

7) Zombie Bertubuh Besar yang Tersenyum

"Bagaimana?" tanya Nadine pada Kayla yang sedari tadi berusaha menghubungi ayahnya. Berhubung ayah Kayla adalah inspektur kepolisian, mereka berharap ayah Kayla bisa membawa mereka ke tempat yang aman.

Kayla menggelengkan kepalanya, membuat Nadine semakin frustasi.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Yurisa.

Kini mereka berada di sebuah ruang kelas yang berada di lantai empat gedung fakultas seni rupa. Hanya ada beberapa orang bersama mereka, termasuk Pak Geoffrey. Pintu ruang kelas sudah dikunci dan dihadang menggunakan beberapa meja dan kursi.

"Baiklah, semuanya tetap tenang. Bapak yakin pemerintah tidak akan tinggal diam dalam kondisi seperti ini. Sebentar lagi akan ada bala bantuan—"

Booommmmmm!~ ...

Sebuah ledakan yang cukup besar terdengar. Kaca jendela ruang kelas tempat mereka berada bergetar hebat. Dan sedetik setelahnya, listrik di gedung fakultas itu padam.

Tak hanya di gedung fakultas seni rupa, namun hampir seluruh kota. Beberapa distrik mengalami kegagalan listrik secara serempak.

Dari dalam ruang kelas, mereka terus mendengar suara teriakan orang-orang yang tak bisa menemukan tempat yang aman. Orang-orang itu berteriak meminta tolong dalam keadaan telah dikerumuni oleh ratusan mayat hidup.

Kayla melihat layar ponselnya, dan beruntung sinyal dan jaringan masih bisa berfungsi. Hanya saja, ia tak tahu sampai kapan daya ponselnya akan bertahan.

Bammm!~ ... Bammm!~ ... Bammm!~ ... "Graaaahhhh!"

Pintu ruang kelas tempat mereka berada berusaha didobrak dari luar. Suara raungan yang menakutkan juga terdengar.

Beberapa lelaki yang ada di ruangan itu telah mengambil apapun yang ada di sekitar mereka. Ada yang mengangkat sebuah kursi dengan kedua tangannya, ada yang memegang tongkat sapu dan pel. Sisanya, mereka memersiapkan mental untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

Meski begitu, tetap saja lebih banyak di antara mereka yang diam mematung, seakan rasa takut sudah menguasai seluruh tubuh mereka.

Namun tiba-tiba, suara dobrakan dan raungan yang terdengar dari luar ruang kelas pun menghilang dalam sekejap.

"Apa kau mendengar sesuatu?" tanya Yurisa pada Kayla dan Nadine, yang hanya mendapatkan gelengan kepala.

Seorang lelaki yang memegang tongkat pel memanjat kursi di dekat jendela dan mencoba mengintip ke arah lorong.

Namun saat ia baru saja ingin melihat ke luar ...

Prangggg!~ ... "Aaaagghhh! Tolong aku!"

Para zombie mulai menyeruak masuk dengan mendobrak kaca ruang kelas.

"Aaaaa!~ ... "

Teriakan penuh kepanikan pun mulai memenuhi seluruh kelas.

Meski baru satu zombie yang berhasil menerobos, namun semua orang kelihatan sudah kehilangan harapan mereka.

Nadine mungkin satu-satunya orang yang tak ingin membiarkan kematian mendatanginya begitu saja dengan mudah. Ia berdiri dan mengedarkan pandangannya. Melihat hanya ada satu zombie, ia merasa bisa melakukan sesuatu.

Sekarang zombie itu sedang memakan lelaki yang tadi ingin mengintip keluar itu.

Dengan cepat Nadine meraih sebuah kursi, mengangkatnya lalu membanting kursi besi itu ke kepala si Zombie yang sedang sibuk menyantap mangsanya.

Duakkk!~ ...

Zombie itu berhenti dan terkapar dengan kepalanya yang hancur berantakan.

Nadine sempat berpikir, apakah kepala Zombie memang selembek ini?

Tidak. Pasti ini belum berakhir.

Duakkk!~ ... Duakkk!~ ... Duakkk!~ ...

Nadine terus saja menghantamkan kursi besi itu ke mayat zombie yang sudah hampir tak berbentuk seperti manusia lagi. "Mati kau, mayat sialan! Mati! Mati!"

"Nadine, sudah cukup." ucap Kayla yang kini sudah berdiri di belakangnya dan menarik lengan Nadine untuk menghentikannya.

Nadine pun melepaskan kursi itu dan jatuh terduduk. Seluruh tubuhnya bergetar hebat akibat dari melawan rasa takutnya sendiri. Meski begitu, ia tampak lega karena berhasil mengatasi satu zombie dan menyelamatkan banyak nyawa.

"Grrrr~ ... "

Lelaki yang tadi dimakan oleh Zombie mulai menggeram. Pandangan semua orang di ruang kelas itu tertuju padanya. Semuanya bisa melihat bahwa kulitnya mulai memucat. Dan pembuluh darah keunguan mulai muncul di seluruh kulitnya.

"Khhaaaaakkkk~ ... "

"Tidak! Dia akan berubah menjadi zombie!" teriak seseorang yang berada di pojok ruang kelas.

Kayla berdiri dan mengambil kursi besi yang tadi digunakan oleh Nadine untuk membunuh zombie pertama.

Saat ia sudah mengangkat kursi itu, Kayla tiba-tiba berhenti.

"Apa yang kau tunggu? Lakukan sekarang!"

Kayla terdiam.

Di dalam hatinya, ia mulai berpikir. Apakah ini adalah saat di mana ia harus mengambil nyawa seseorang?

Tidak.

Orang itu sudah bukan lagi manusia. Dia sudah berubah menjadi sejenis mayat hidup yang bisa membunuh semua orang di ruang kelas ini jika tidak segera dibunuh.

"Kayla, biar aku saja." ucap Nadine yang kini sudah lumayan tenang.

Nadine mengambil alih kursi dari kedua tangan Kayla. Dan dalam satu ayunan keras secara vertikal, salah satu kaki kursi besi itu tertancap di dahi lelaki yang baru saja ingin berubah menjadi zombie itu.

"Tidak langsung hancur. Sepertinya dia belum berubah menjadi zombie sepenuhnya. Tulang tengkoraknya beberapa kali lebih keras dibanding zombie sebelumnya yang kubunuh." ucap Nadine pelan yang lalu membuang kursi itu ke samping.

Nadine berbalik dan menatap penuh perhatian kepada Kayla. "Kau baik-baik saja?"

Kayla hanya menanggapinya dengan sebuah anggukkan pelan.

"Syukurlah hal ini sudah berakhir."

Yurisa melangkahkan kakinya ke arah jendela dan menatap ke luar. Karena mereka berada di lantai empat, mereka mendapatkan jangkauan visual yang cukup bagus.

Namun saat Yurisa melihat keadaan di luar gedung, air matanya mulai mengalir deras.

Nadine dan Kayla mendatangi Yurisa.

Dan saat mereka melihat apa yang sedang dilihat oleh Yurisa, mereka berdua tak bisa berkata apa-apa lagi.

Tidak ada lagi suara teriakan minta tolong. Tidak ada lagi orang-orang yang lari untuk hidup mereka. Tidak ada lagi manusia yang terlihat sedang mempertahankan diri mereka.

Dari jendela ruang kelas lantai empat gedung fakultas seni rupa itu, Kayla, Nadine dan Yurisa, serta seluruh orang yang berada di sana bisa melihatnya dengan jelas. Apa yang mereka lihat adalah zombie.

Semuanya zombie.

Tak ada lagi yang lain.

Semua orang yang tadi berteriak meminta tolong, orang-orang yang berusaha lari dan bahkan bertarung. Mereka semua telah tergeletak di tanah. Tergeletak tak bernyawa, dan mulai berubah menjadi predator yang mereka lawan tadi.

"Apakah akhirnya kita semua akan mati?" tanya Yurisa dengan air mata yang masih mengalir di pipinya.

Nadine yang biasanya bisa menenangkan Yurisa, kini ia hanya diam. Logikanya tak bisa lagi berfungsi setelah melihat hal ini.

Bammm!~ ...

Suara pintu yang berusaha didobrak dari luar pun kembali terdengar.

Semua orang sudah jatuh ketakutan.

Bammm!~ ...

Bahkan Pak Geoffrey juga terduduk gemetaran di pojok ruangan.

Bammm!~ ... Brakkkkk!

Pintu berhasil didobrak. Semua orang diam membisu melihat sesosok zombie yang berdiri di daun pintu.

Zombie itu terlihat berbeda dari semua zombie yang mereka lihat sejauh ini.

Zombie itu tidak menggeram atau bahkan menerjang secara buru-buru menuju mangsanya.

Zombie itu hanya berdiri menatap semua orang dalam diam. Tubuhnya benar-benar lebih besar. Bahkan ia harus menunduk untuk melewati daun pintu. Ia tak memiliki kulit. Seluruh daging dan ototnya terlihat begitu keras dan berwarna kemerahan.

Dan zombie setinggi lebih dari dua meter itu tersenyum ke arah mereka.

"Aaaaaaaaaaaaa!!!~ ... "