webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 青春言情
分數不夠
251 Chs

Papa bahagia...

3 jam berlalu begitu menyiksa Cakya. Hingga akhirnya lampu di ruang operasi dimatikan, detik berikutnya Erca yang masih berbaring diatas tempat tidur, di dorong keluar dari ruang operasi.

"Erca baik-baik saja, gumpalan di kepala Erca bukan pada posisi yang bahaya. Hanya saja, Erca butuh istirahat total selama 3 hari di rumah sakit. Kita harus lihat perkembangan Erca, takutnya... Ada efek samping dari pasca operasi", Alfa menjelaskan panjang lebar.

"Terima kasih dokter", Nanya bicara dengan air mata yang mengalir tanpa henti.

"Jangan sungkan, saya hanya mengerjakan tugas saya sebagai seorang dokter", Alfa bicara pelan, dengan wajah yang sangat kelelahan.

"Terima kasih ko", Cakya bicara lirih.

Alfa hanya memukul pelan lengan Cakya, "Berdo'a yang terbaik buat Erca", Alfa menjawab disela senyumnya. Kemudian berlalu dari hadapan Cakya dan Nanya.

Alfa segera menyusul Nazwa yang sudah terlebih dahulu keluar dari rumah sakit. Alfa menaiki mobilnya, kemudian memberhentikan mobilnya tepat di samping Nazwa.

"Maaf suster, pulang sendiri...?", Alfa membuka kaca mobil untuk melihat Nazwa.

Nazwa hanya mengangguk pelan.

"Sudah terlalu larut suster, kalau tidak keberatan saya antarkan pulang", Alfa menawarkan bantuan.

"Kalau tidak merepotkan dokter...", Nazwa bicara sungkan.

Alfa melemparkan senyuman terbaiknya, sebagai jawaban dari ucapan Nazwa. Alfa segera membuka pintu mobil untuk Nazwa. Detik berikutnya, Nazwa sudah duduk dibangku penumpang disamping Alfa yang telah lebih dulu duduk di belakang setir.

"Maaf suster, makan malamnya jadi berantakan", Alfa bicara pelan saat mulai mengendarai mobil perlahan.

"Tidak sama sekali dokter, malah harusnya saya mengucapkan terima kasih", Nazwa bicara lirih, kepalanya tertunduk tidak berani menatap Alfa.

"Terima kasih...? Untuk apa suster...?", Alfa bertanya bingung.

"Terima kasih saya sudah diberi kepercayaan untuk menjadi asisten dokter selama menjalankan operasi. Hari ini saya sudah belajar banyak dari dokter", Nazwa bicara lembut.

"Justru saya yang harusnya mengucapkan terima kasih kepada suster Nazwa, karena suster Nazwa kerja saya jadi sangat terbantu", Alfa bicara pelan.

"Saya g'ak membantu banyak kok dokter", Nazwa bicara malu.

"Maaf suster, bisa tolong ambilkan jaket saya di kursi belakang...?", Alfa tiba-tiba bicara di luar dugaan Nazwa.

"Baik dokter", Nazwa segera mengambil jaket yang dimaksud oleh Alfa. "Yang ini dokter...?", Nazwa bertanya pelan.

Alfa melirik sekilas, "Iya, tolong suster di kantongnya ada kotak kecil", Alfa bicara lagi.

Nazwa hanya mengikuti arahan Alfa tanpa protes, Nazwa mengeluarkan kotak kecil dari dalam kantong jaket.

"Buat suster", Alfa bicara lembut, sebelum Nazwa sempat angkat bicara.

"Buat saya...?", Nazwa bertanya bingung.

Alfa segera menghentikan mobilnya, kemudian meraih kotak kecil ditangan Nazwa. Alfa membuka kotak kecil tersebut, kemudian dengan hati-hati mengeluarkan isi kotak kecil tersebut. Sebuah gelang berwarna putih, berbentuk tali rantai yang mengikat sebuah nama kecil 'Nazwa'.

"Boleh pinjam tangannya suster...?", Alfa meminta dengan sopan.

Nazwa mengulurkan tangan kanannya dengan sanksi.

Alfa segera memasangkan gelang yang ada ditangannya, melingkar manis di pergelangan tangan kanan Nazwa.

"Hanya kado kecil. Sekaligus ucapan terima kasih atas kerja kerasnya hari ini. Selamat ulang tahun suster", Alfa bicara sangat manis, senyum terbaiknya tidak lepas menghiasi wajahnya.

Air mata Nazwa keluar tanpa permisi menerima perlakuan Alfa yang sangat manis secara tiba-tiba.

***

Cakya dan Nanya duduk berhadapan disamping kiri dan kanan tempat tidur Erca. Sudah hampir 1 jam Erca keluar dari ruang operasi, akan tetapi Erca masih belum juga sadarkan diri.

Nanya mengusap lembut pucuk kepala Erca, tiba-tiba Erca mulai bereaksi. Mata Erca perlahan mulai terbuka.

"Erca...? Kamu sudah sadar nak...?", Nanya bicara dengan tangis bahagianya.

"Erca haus pa...", Erca menoleh kearah Cakya, mukanya masih pucat pasi.

Cakya segera meraih gelas yang ada disampingnya, kemudian dengan hati-hati membantu Erca untuk minum.

"Terima kasih pa", Erca bicara pelan.

Cakya kembali meletakkan gelas keatas meja kecil disamping tempat tidur. Erca merapikan posisi duduknya, bersandar di kepala tempat tidur.

"Kamu kenapa bisa ikut balapan liar...? Itu bahaya nak...", Nanya mulai angkat bicara menasehati putra semata wayangnya.

"Kata kang Untung kamu mengundurkan diri dari seleksi, kenapa...?", kali ini Cakya yang bertanya.

"Erca capek dibohongi...", Erca bicara lirih, suaranya demikian pelan nyaris tidak terdengar.

"Kamu ngomong apa sayang...?", Nanya bertanya dengan hati yang hancur.

"Papa bahagia...", Erca bicara lirih, menatap lekat wajah Cakya.

Cakya diam sejenak, menit berikutnya Cakya memilih untuk menganggukkan kepalanya berat.

Erca meraih jemari tangan kanan Cakya, kemudian meletakkannya tepat diatas jemari tangan kanan Nanya.

"Kalau papa bahagia, ngobrol dong sama mama", Erca bicara lirih.

Cakya tertunduk, tidak berani menatap wajah putra semata wayangnya. Nanya menahan tangisnya sekuat tenaga, agar tidak menyerbu keluar.

Erca menatap wajah ayahnya dan ibunya bolak-balik, setelah yakin dengan apa yang dia yakini. Erca memutuskan untuk melepas jemari tangan kanan ayah dan ibunya.

"Kalian g'ak baik-baik saja, kalian g'ak bisa bohongin Erca", Erca bicara dalam penuh makna.

Mulut Cakya dan Nanya seolah terkunci, tidak satupun dari mereka yang bisa mengeluarkan ucapan walau hanya sepatah kata saja. Erca segera berbaring, kemudian menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

"Erca mau istirahat, sebaiknya papa dan mama keluar aja", Erca bicara lirih.

"Sayang...", Nanya berusaha mengusap pucuk kepala putranya.

"Erca mau sendiri ma, please...", Erca bicara dengan nada suara paling pelan.

Tidak ada pilihan lain, Cakya dan Nanya segera pergi dari ruangan rawat inap Erca. Nanya duduk di bangku yang bisa dia raih begitu keluar dari daun pintu, tangisnya pecah seketika.

Mayang yang baru datang dari kantin segera berlari menghampiri Nanya, begitu melihat Nanya menangis di kursi.

"Ada apa kak...? Erca baik-baik saja bukan...?", Mayang segera menyerbu dengan pertanyaan.

Nanya segera menyerbu kepelukan Mayang, tangisnya bukannya berhenti malah semakin menjadi.

Gama hanya terpaku bisu menatap Cakya yang hanya diam tanpa ekspresi, di sisi lain Nanya malah menangis histeris.

Di sela tangisnya, Nanya berusaha keras menceritakan apa yang terjadi di dalam ruang rawat inap Erca.

"Ini yang Mayang takutkan selama ini. Erca menyadari ada yang salah dengan kalian berdua", Mayang bicara frustrasi.

"Luka luar Erca bisa di obati dengan gampang, seminggu dua minggu luka jahitan di tangan Erca akan kering dan pulih. Begitu juga dengan bekas jahitan di kepala Erca.

Tapi... Kalau sudah mental Erca yang kena, g'ak bisa hanya dengan waktu seminggu atau dua minggu untuk mengembalikan Erca seperti dulu lagi.

Berkali-kali Mayang sudah ingatkan kepada kalian berdua, pertengkaran kalian itu akan berdampak buruk bagi perkembangan Erca kedepannya", Mayang mengoceh panjang lebar, meluapkan semua kekesalannya.

"Sekarang Cakya harus bagaimana...?", Cakya bertanya lirih.

"Saat kayak gini aja, baru nanya Cakya harus apa", Mayang menjawab sengit.

"Bang Gama urus makhluk kepala batu yang satu ini. Mayang mau masuk dulu menemui Erca", Mayang menjawab asal.

Mayang lebih memilih menghindar dari Cakya, dari pada nantinya dia akan bicara lebih banyak kata yang akan langsung menyakiti semua orang.