webnovel

Kisah Perang Dua Saudari

100 tahun yang lalu, tepat saat Gerhana Merah menghiasi langit dengan sinarnya yang menyerupai darah, suasana perang semakin mencekam. Cahaya merah itu bukan sekadar tanda alam, melainkan sebuah peringatan akan bencana yang tengah berlangsung. Rise, yang dulunya berada di kubu kegelapan atau 'Abbysal' kini beralih ke jalan Cahaya 'Aetharium', bertarung demi mempertahankan umat manusia. Dia adalah pengguna Bunga Kutukan 'Mawar Hitam,' sebuah kekuatan terkutuk yang kekuatannya bisa disebut setara dewa.

Di hadapannya, berdiri adiknya sendiri, Shiko, yang menggunakan Bunga Kutukan 'Higanbana,' simbol kutukan penuh dendam yang merepresentasikan kematian. Kedua kutukan ini memiliki kekuatan luar biasa yang hanya berbeda tipis, dan perang saudara ini adalah puncak dari perselisihan panjang antara mereka berdua. Shiko, yang masih memegang teguh kesetiaannya kepada kubu kegelapan 'Abbysal', menyimpan dendam mendalam terhadap kakaknya yang dianggapnya telah mengkhianati mereka.

Rise menahan serangan demi serangan, meski tubuhnya penuh luka. Matanya yang terluka di sebelah kiri terus menatap adiknya dengan harapan menghentikan kekacauan ini. Namun, dengan darah yang mengalir dan nafas tersengal-sengal, dia tetap berdiri tegak, memegang erat pedangnya.

"Shiko! Hentikan semua yang sudah kau perbuat!" Teriak Rise, suaranya penuh harapan meski dirinya sudah hampir menyerah.

Namun, Shiko hanya tertawa sinis, menikmati kekacauan yang dia ciptakan. Sorot matanya dipenuhi dengan amarah dan kebencian.

"Hah?! Kau bilang apa? Aku tidak dengar!" Balas Shiko dengan tatapan tajam, dilengkapi dengan suara tawanya yang puas. "Kau pikir kau bisa mengubah takdir hanya karena kau beralih ke kubu cahaya?"

Rise menghela napas panjang, merasakan berat di hatinya, namun ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Dia menodongkan pedangnya ke depan, mata yang penuh keyakinan menatap adiknya, meski luka di tubuhnya semakin parah. "Hah... Baiklah," ucapnya sambil tersenyum tipis, namun penuh percaya diri. "Mari kita akhiri ini."

Shiko membalas dengan gerakan serupa, mengarahkan pedangnya ke depan dengan senyuman sinis terpampang di wajahnya. "Baiklah, pengkhianat. Ayo kita akhiri ini," katanya penuh kebencian.

Kedua kakak beradik itu, yang pernah dekat, kini berdiri sebagai musuh bebuyutan. Mereka membuat hand sign bersamaan, kekuatan kutukan dari bunga kutukan mereka mulai membanjiri medan perang. Energi gelap dan suci saling bertabrakan di udara, menciptakan pusaran energi.

Dan pada saat itu, mereka berdua bersiap untuk mengakhiri pertarungan ini dengan kemampuan terkuat mereka: "Adu Domain."

Atmosfer di sekeliling mereka berubah drastis, tanda bahwa pertarungan ini akan mencapai klimaksnya, di mana hanya satu yang akan keluar sebagai pemenang.

Secara bersamaan, Rise dan Shiko mulai mengucapkan ucapan untuk membentuk domain mereka. Suara mereka menggema di medan perang, mengisi udara dengan aura kekuatan yang mengerikan.

Rise mengangkat pedangnya ke langit yang gelap, suara nyaringnya memecah keheningan.

"Di langit di atas, dimana awan berhenti, Sebuah kastil menjulang di bukit surga. Menara emas menyentuh cahaya, Sebuah dunia yang melampaui siang dan malam."

"Ruang Penaklukan!"

"Kastil Surga!"

Di sisi lain, Shiko mengeluarkan kekuatan dari kutukannya, menciptakan suasana yang menakutkan.

"Di langit yang terbakar dimana setan berkuasa, Sebuah kastil berdiri dalam kesakitan yang membara. Dinding merah tua dan jeritan tersiksa, Wilayah neraka, tempat mimpi buruk bersinar."

"Ruang Penaklukan!"

"Benteng Infernal"

Domain mereka saling bertabrakan, melepaskan energi yang saling bertentangan. "Kastil Surga" menampilkan pemandangan anggun dengan menara emas dan cahaya lembut yang menyelimuti area, memberikan rasa kedamaian dan keagungan, meskipun itu merupakan bagian dari Rise.

Sebaliknya, "Benteng Infernal" menghadirkan pemandangan yang mencekam, dengan dinding merah tua yang bergetar dan api neraka yang berkobar, menciptakan atmosfer penuh siksaan dan kegelapan di sekitar Shiko.

Pertarungan antara kedua domain ini adalah penentu dari siapa yang akan mendominasi, dengan masing-masing domain berusaha mengklaim wilayahnya dan menyerap kekuatan musuh. Dalam pertarungan ini, hanya satu yang akan dapat mengatasi yang lain dan keluar sebagai pemenang.

Pertarungan antara kedua domain ini menjadi ajang pertarungan kekuatan absolut. Masing-masing domain berjuang untuk mendominasi, menciptakan ketegangan besar di udara. Energi dari "Kastil Surga" dan "Benteng Infernal" berputar saling memperebutkan ruang, dengan kekuatan kutukan mereka yang semakin meningkat seiring dengan waktu.

Namun, di tengah ketegangan dan amarah yang menyelimuti pertarungan ini, Rise tertawa. Tawa itu bukan karena keputusasaan, melainkan kebahagiaan. Dia menahan domainnya dengan seluruh kekuatan yang tersisa, namun hatinya dipenuhi dengan perasaan bangga. "Aku bangga padamu," ucap Rise, suaranya bergetar dengan emosi. "Kau sudah cukup hebat dan terampil, ya?"

Shiko, yang terkejut mendengar kata-kata kakaknya, hanya tertawa sinis namun sedikit lebih lembut. "Tentu! Semua ini karena kesalahanmu!" balas Shiko, meski ada sedikit getar di suaranya. Namun kemudian, dengan nada yang lebih tenang, ia melanjutkan, "Tapi... terima kasih."

Dengan dominasi yang perlahan memihak Shiko, domain "Benteng Infernal" mulai mendominasi, menelan domain milik Rise. Akhirnya, kekuatan "Kastil Surga" melemah, dan Rise terseret masuk ke dalam domain milik adiknya.

"Selamat datang, kakak...!" seru Shiko, senyum penuh kemenangan terpancar dari wajahnya saat dia melihat Rise terseret masuk ke dalam domainnya yang penuh dengan kegelapan dan penderitaan. "Benteng Infernal" adalah tempat mimpi buruk, di mana api menyala dan jeritan siksaan terdengar dari setiap sudut. Namun, Rise hanya tersenyum tipis saat memasuki wilayah mengerikan itu.

"Ya, aku datang," ucap Rise dengan tenang, seolah tak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan di sekelilingnya. Shiko, yang melihat sikap tenang kakaknya, mengernyitkan dahi, merasakan ada sesuatu yang aneh.

Dan memang benar, Rise sudah melakukan persiapan matang. Dia sengaja membiarkan domainnya melemah, bukan karena dia tidak mampu melawan, melainkan karena dia menyiapkan serangan balik yang lebih kuat. Dari dalam dirinya, kekuatan kutukan Bunga Mawar Hitam mulai menyebar. Kelopak-kelopak mawar gelap berkumpul di sekitar tubuhnya, membentuk senjata yang sangat kuat—Sabit Merah.

Dengan sabit kutukan itu di tangannya, Rise bersiap menghadapi adiknya di dalam domain lawannya. "Mari kita akhiri ini, Shiko," kata Rise, sambil mengayunkan Sabit Merah dengan percaya diri, siap melawan adiknya di medan pertarungan terakhir mereka.

Shiko menatap kakaknya dengan mata yang penuh determinasi, namun ada kilatan emosi yang sulit diartikan. Ia menurunkan sedikit pedangnya, seolah memberi isyarat untuk berbicara sejenak sebelum pertarungan dimulai.

"Sebelum kita saling menebas, ada yang ingin kutanyakan padamu," ucap Shiko dengan suara datar namun tegas.

Rise mengangguk pelan. "Katakanlah. Jika ini bisa memberimu kedamaian."

"Mengapa kau berpaling dari kami? Dari keluarga kita, dari keyakinan kita?" tanya Shiko, matanya menyiratkan campuran antara kemarahan dan kekecewaan. "Apakah jalan cahaya begitu menggoda hingga kau rela mengkhianati darah dagingmu sendiri?"

Rise menghela napas, matanya melembut sejenak. "Shiko, aku tidak pernah bermaksud mengkhianati kalian. Aku hanya menemukan kebenaran yang berbeda. Kegelapan yang kita anut selama ini hanya membawa penderitaan bagi banyak orang. Aku ingin menghentikan siklus kebencian itu."

"Omong kosong!" seru Shiko, genggaman pada pedangnya mengerat. "Kau meninggalkan kami tanpa penjelasan. Kau memilih musuh-musuh kita daripada keluargamu sendiri. Bagaimana kau bisa membenarkan itu?"

"Karena aku percaya bahwa ada harapan untuk perubahan," jawab Rise dengan tenang. "Aku ingin kau melihat dunia dari perspektif yang berbeda. Kita tidak harus terjebak dalam bayang-bayang kegelapan selamanya."

Shiko tertawa sinis. "Kau selalu naif, Kak. Dunia ini tidak sehitam atau seputih yang kau bayangkan. Kekuatan adalah segalanya, dan aku akan membuktikan bahwa kegelapan tidak bisa dikalahkan oleh cahaya semu yang kau agung-agungkan."

Rise menatap adiknya dengan penuh kasih. "Jika itu yang kau yakini, maka aku tidak akan memaksamu. Tapi ketahuilah, meskipun kita berdiri di kubu yang berlawanan, aku tetap menyayangimu sebagai adikku."

"Perasaan itu tidak saling," balas Shiko dingin. "Bagiku, kau hanyalah pengkhianat yang harus disingkirkan."

Keduanya terdiam sejenak, angin dalam domain Shiko berhembus kencang, membawa aura ketegangan yang semakin menebal. Mereka menyadari bahwa kata-kata tidak lagi mampu menjembatani jurang di antara mereka.

"Baiklah," ujar Rise akhirnya, memasang kuda-kuda dengan sabitnya. "Jika pertarungan ini yang kau inginkan, aku akan menghadapimu dengan sepenuh hati."

"Siapkan dirimu," sahut Shiko, mengangkat pedangnya yang bersinar dengan energi kutukan Higanbana. "Aku tidak akan menahan diri."

Mereka berdua saling menatap, mata mereka bertemu dalam pandangan yang penuh tekad. Energi kutukan dari bunga kutukan mereka masing-masing mulai memancar lebih kuat, membentuk aura yang berlawanan namun sama-sama dahsyat.

Pertarungan ini bukan lagi sekadar adu kekuatan, tetapi juga benturan antara dua hati yang pernah terikat erat. Dengan perasaan campur aduk, mereka bersiap mengadu nasib di medan perang terakhir mereka, mengetahui bahwa hanya satu yang akan keluar sebagai pemenang.

Pertarungan antara Rise dan Shiko dimulai dengan kekuatan yang dahsyat, serangan mereka menghantam satu sama lain dengan intensitas yang membuat benteng infernal berguncang. Setiap tebasan pedang Shiko dan ayunan sabit Rise menciptakan ledakan energi yang menggema di seluruh domain. Api neraka berkobar di sekitar mereka, dan tanah bergetar di bawah kaki mereka.

"Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan apa yang telah kubangun, Rise!" teriak Shiko sambil melancarkan tebasan kuat yang nyaris mengenai kepala kakaknya.

"Kau selalu terlalu keras kepala, Shiko!" Rise menangkis serangan itu dengan sabitnya, sebelum membalas dengan ayunan balik yang memotong udara, memaksa adiknya mundur beberapa langkah. "Aku tidak ingin mengalahkanmu! Aku hanya ingin kau melihat dunia dengan lebih luas!"

"Tutup mulutmu!" balas Shiko dengan amarah, sebelum menyerang lagi dengan kekuatan penuh. "Kau tidak tahu apa yang telah kualami setelah kau pergi! Dunia yang kau coba selamatkan tidak seindah yang kau bayangkan!"

Keduanya terus bertukar serangan dengan kecepatan yang luar biasa, sabit Rise dan pedang Shiko saling beradu dalam kilatan energi yang menakutkan. Setiap kali mereka berbenturan, bunga kutukan mereka memancarkan aura yang semakin kuat, membanjiri medan perang dengan kekuatan yang mencekam.

Sementara pertarungan semakin sengit, waktu dalam domain "Benteng Infernal" semakin menipis. Energi kegelapan yang menyelimuti domain mulai bergetar, menandakan batas kekuatannya hampir habis. Namun, kedua kakak-adik ini tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.

"Aku tidak pernah meninggalkanmu, Shiko!" Rise berteriak sambil memutar sabitnya untuk menangkis serangan lain dari Shiko. "Aku selalu berharap kita bisa menemukan jalan untuk berdamai!"

"Damai? Denganmu?! Itu adalah lelucon!" Shiko melompat maju, mencoba menembus pertahanan Rise dengan serangan cepatnya. "Semua orang yang kau percaya telah mengkhianatimu, sama seperti kau mengkhianatiku!"

Meskipun terluka dan lelah, Rise tetap bertahan, sabitnya mengayun dengan elegan, menghalau setiap serangan mematikan yang dilancarkan Shiko. Namun, meskipun ia kuat, ia tahu waktu hampir habis. Domain ini akan segera runtuh, dan saat itu tiba, segalanya akan ditentukan.

"Aku menyesal, Shiko..." suara Rise bergetar saat dia menyerang balik dengan kekuatan penuh, sabitnya melesat ke arah adiknya. "Tapi aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan dunia ini!"

Shiko berteriak keras, dengan amarah yang memuncak. "Kakak bodoh!"

Di saat yang sama, mereka berdua melancarkan serangan terakhir mereka, berlari ke arah satu sama lain dengan kecepatan luar biasa. Pedang dan sabit mereka berkilau dengan energi kutukan, menciptakan percikan cahaya di udara.

Dalam satu momen yang mengerikan, serangan mereka saling bertemu.

Satu detik kemudian, pedang Shiko menembus dada Rise, tepat di jantungnya, sedangkan sabit milik Rise menancap dalam di perut Shiko. Darah mereka berdua mengalir deras, membasahi tanah yang terbakar di bawah kaki mereka.

Shiko terkejut, melihat darah mengalir dari lukanya. "Kak..."

Rise tersenyum lemah, darah mengalir dari sudut bibirnya. "Aku... masih... mencintaimu... adikku."

Saat itu juga, domain "Benteng Infernal" runtuh, menyisakan mereka berdua di medan perang yang sebenarnya. Energi kegelapan menghilang, menyisakan langit merah gerhana yang mengintip dari balik awan tebal.

Dengan tubuh mereka yang tertusuk dan lemah, keduanya jatuh berlutut, saling menatap dengan perasaan yang campur aduk. Di antara mereka, ada kebencian, ada penyesalan, tapi yang paling mendominasi adalah ikatan darah yang tak bisa dipisahkan. Mata mereka penuh dengan air mata darah dan rasa sakit yang tak tertahan.

Di tengah ketegangan dan kegelapan, tergeletak dua sosok yang pernah menjadi saudara, terikat oleh takdir yang pahit. Mereka saling menatap dengan harapan dan kesedihan yang mendalam, mengetahui bahwa mereka telah mencapai akhir dari sebuah konflik yang tidak hanya merobek dunia mereka, tetapi juga hubungan mereka sebagai keluarga.

Kembali ke waktu sekarang, di sebuah ruang kelas yang sederhana, Ibu Guru Carmela, seorang wanita dengan penampilan tegas namun lembut, berdiri di depan papan tulis, menghadapi murid-muridnya. Dengan nada serius dan penuh perhatian, dia melanjutkan cerita yang telah dia ceritakan sebelumnya.

"Seperti itulah kira-kira para muridku, cerita tentang Perang Saudara terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah Dunia Kutukan," ucap Ibu Carmela dengan nada penuh makna.

"Dan sampai sekarang, senjata mereka berdua pun masih ada sampai saat ini dan masih belum diketahui tempatnya," sambung Ibu Carmela. "Akan tetapi ada legenda yang mengatakan siapapun yang menemukan kedua senjata itu, mau itu Pedang Higanbana atau Sabit Merah, maka—"

Penjelasan Ibu Carmela terputus ketika seorang siswi dengan wajah ceria, Rika, yang duduk di pojok ruangan, mengangkat tangannya dengan penuh semangat. "Apa yang akan terjadi, Bu?!"

Ibu Carmela menatap Rika dengan ekspresi campur aduk sebelum melanjutkan penjelasannya. "Jiwa Rise atau Shiko akan bereinkarnasi dan akan masuk ke dalam tubuh kalian sebagai Jiwa kedua dan kalian akan menjadi wadah untuk jiwa itu. Aku tidak tahu detail sepenuhnya, tapi yang terpenting adalah jangan mencoba untuk mencari kedua senjata itu."

Kelas menjadi hening sejenak, semua siswa tampak memikirkan dampak dari legenda tersebut. Ibu Carmela mengakhiri pelajarannya dengan senyuman tipis dan nada lembut, "Baiklah, kelas Ibu akhiri. Selamat beristirahat dan bertemu kembali di jam berikutnya."

Saat jam istirahat tiba, Rika dan sahabatnya Nora seperti biasa pergi menuju kantin. Mereka berdua telah bersahabat sejak kecil, dan kini sudah menjadi siswi Pangkat Bintang Dua di Sekolah Penyihir Falleyan. Sekolah tersebut terkenal dengan kurikulumnya yang ketat serta hanya menerima siswa berbakat yang mampu mengendalikan sihir dengan baik.

Sambil berjalan menuju kantin, Rika yang tampak tenggelam dalam pikirannya tiba-tiba berbicara, "Hey, Nora. Menurutmu, Pedang Higanbana dan Sabit Merah yang dijelaskan oleh Ibu Carmela tadi, lebih kuat yang mana?"

Nora, yang selalu lebih tenang dan sedikit lebih rasional daripada Rika, menjawab dengan santai sambil merapikan tasnya, "Aku tidak tahu... Lagipula, kedua senjata terkutuk itu legendaris dan sama-sama sangat kuat. Aku tidak yakin mana yang lebih kuat. Tapi ingat, Rika, kamu kan nggak punya kekuatan Bunga Kutukan. Jadi, nggak ada gunanya memikirkan hal seperti itu."

Rika yang merasa tersindir, merengut dan langsung mencubit pipi Nora. "Hei! Kenapa kamu selalu ngomong seolah-olah aku ini nggak penting?!" gerutunya, meski dengan nada yang sedikit manja.

Nora tertawa pelan sambil mencoba melepas cubitan Rika. "Maaf, maaf! Sakit tahu!" ucapnya sambil memohon dengan tawa yang ceria. "Tapi serius, jangan terlalu dipikirkan, ya? Kutukan itu bukan sesuatu yang bisa dianggap main-main."

Rika mendengus, melepaskan cubitan itu dan berkata, "Aku tahu... Tapi tetap saja, legenda tentang senjata-senjata itu bikin aku penasaran."

Mereka berdua pun melanjutkan langkah mereka menuju taman sekolah, sambil membicarakan berbagai hal lain, tapi Rika tidak bisa sepenuhnya menghilangkan pikirannya tentang legenda senjata terkutuk yang baru saja ia dengar.

Rika mendengus, melepaskan cubitan itu dan berkata, "Aku tahu... Tapi tetap saja, legenda tentang senjata-senjata itu bikin aku penasaran."

Nora tersenyum kecil dan menatap sahabatnya. "Kenapa kamu begitu tertarik dengan hal-hal semacam itu, Rika? Selalu penasaran dengan yang terkutuk," jawabnya dengan nada setengah bercanda.

Rika menghela napas dalam-dalam, lalu berkata dengan nada sedikit iri, "Enak sekali dirimu, Nora... Kau memiliki paras cantik dengan mata abu-abu yang elegan dan rambut silver itu. Belum lagi, kau juga punya Bunga Kutukan 'Edelweiss,' kan? Yang berhubungan dengan es itu. Aku selalu berpikir betapa beruntungnya kamu."

Nora tertawa ringan dan dengan santai membuka telapak tangannya. Dalam sekejap, sebuah bunga lily kecil yang terbuat dari es terbentuk di tangannya, berkilauan di bawah cahaya. "Maksudmu yang ini?" tanyanya dengan nada sombong yang main-main. Kemudian, ia menghancurkan bunga es itu dengan satu jentikan jari, membuat serpihan es berterbangan sebelum lenyap. "Ini memang kekuatan yang keren, tapi bukan berarti hidupku sempurna, tahu?" 

Rika memutar matanya, tapi tidak bisa menahan senyum. "Iya, iya... Kau memang suka pamer, ya?" 

Nora hanya mengedikkan bahunya. "Kadang, sedikit pamer nggak apa-apa, kan?"

Rika tertawa kecil, "Ya, ya, kamu memang selalu begitu."

Mereka berdua terus berjalan menuju kantin, sambil mengobrol ringan tentang hal-hal sepele. "Jadi, sudah siap untuk ujian sihir besok?" tanya Rika, mencoba memecahkan keheningan sesaat.

Nora menggeleng, "Belum, aku masih harus mempelajari beberapa mantra es yang baru. Tapi kau tahu aku, semuanya akan baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"

Rika mendesah, "Jangan tanya. Aku bahkan belum mulai belajar... Tapi, hey, mungkin aku bisa lolos dengan mengandalkan keberuntungan lagi."

Nora tertawa mendengar itu. "Keberuntunganmu memang tak pernah habis, Rika. Aku penasaran sampai kapan kau bisa bertahan hanya dengan itu."

"Siapa tahu, mungkin selamanya!" Rika menjawab dengan percaya diri, meski ia tahu ujian itu tidak akan semudah yang ia bayangkan.

Obrolan mereka terus mengalir, dari topik ujian, gosip sekolah, hingga legenda tentang Pedang Higanbana dan Sabit Merah. Rika masih penasaran, tapi Nora dengan santai berusaha mengalihkan topik setiap kali Rika mulai terlalu mendalami pembicaraan tentang legenda tersebut.

Tanpa mereka sadari, mereka sudah tiba di kantin. "Oh, sudah sampai saja. Apa kita terlalu asyik ngobrol?" tanya Rika sambil melirik Nora.

"Mungkin saja," jawab Nora dengan santai. Mereka segera membeli makanan favorit mereka, dan ketika hendak menuju taman seperti biasanya, Rika tiba-tiba berhenti dan menatap Nora.

"Eh, bagaimana kalau kita balik ke kelas saja? Aku lagi malas jalan ke taman," usul Rika.

Nora mengangguk setuju. "Setuju. Aku juga malas."

Dengan makanan di tangan, mereka berdua pun kembali ke kelas, melanjutkan obrolan sambil menikmati waktu istirahat mereka yang tenang. Tidak ada yang luar biasa pada hari itu, hanya rutinitas biasa yang selalu mereka jalani bersama.

Ketika sekolah selesai, Rika mengantar Nora pulang seperti biasanya. Mereka bercanda dan tertawa sepanjang jalan, sampai akhirnya mereka tiba di depan rumah Nora. "Sampai besok, ya," kata Rika sambil melambaikan tangan.

"Sampai besok, Rika! Jangan lupa belajar untuk ujian," balas Nora sambil tersenyum.

Setelah berpisah dengan Nora, Rika berjalan pulang sendiri menuju rumahnya. Saat ia tiba di rumah, suasana sunyi dan damai menyambutnya. Rika segera berberes, membersihkan tubuhnya dan mandi untuk menghilangkan kelelahan hari itu. Air hangat yang mengalir membuat tubuhnya rileks, membawa pikirannya menjauh dari segala hal yang membebani.

Setelah selesai mandi, Rika menikmati makan malam yang sederhana tapi lezat. Setelah itu, ia duduk di meja belajarnya, membuka sebuah buku sihir yang baru ia pinjam dari perpustakaan sekolah. Rika memang bukan siswa yang paling rajin, tetapi malam itu, ia memutuskan untuk membaca sedikit, hanya untuk memahami dasar-dasarnya sebelum ujian besok.

Namun, tak lama setelah mulai membaca, rasa kantuk menyerang. Matanya mulai terasa berat, dan tanpa disadari, Rika pun tertidur dengan buku terbuka di depannya. Suara angin malam yang berhembus di luar menemani tidurnya yang tenang, membawanya ke dunia mimpi tanpa gangguan, menyambut esok hari yang penuh tantangan.