webnovel

Bullying And Bloody Letters

Tamat per-season Sebuah surat dengan percikan darah yang menuntun seorang gadis korban perundungan, untuk membalaskan dendam. Surat itu memberikan petunjuk satu-persatu bagaikan potongan purzzle yang perlahan menjadi utuh. Arwah dari korban ketidak-adilan di masa lampau mulai menebar teror, kepada setiap orang yang sudah membuatnya hancur dan terjebak di alam lain. Kematian dan pristiwa berdarah tak bisa terelakkan. Larasati, Cinta dan juga Eliza adalah ketiga gadis yang tewas karna dibunuh oleh teman sekelasnya. Kini arwah mereka mulai menebar teror dan menuntut balas atas kematiannya. Note: Bukan hanya tentang cerita seram, tapi dalam cerita ini penulis ingin menyampaikan betapa berbahayanya bullying. #stopbullying Selamat membaca....

Eva_Fingers · 灵异恐怖
分數不夠
372 Chs

Yang Tak Di Sangka-Sangka

Esok harinya. Suasana sekolah sudah seperti biasa.

Dan Larisa juga berangkat seperti biasanya. Berjalan menuduh dengan rambut kepang dua dan kacamata tebal yang menghiasi kedua bola matanya.

Tak pernah tenang di hati Larisa, dia selalu merasa sangat was-was ketika memasuki sekolah. Tentu dia tak mau harus menjadi bulan-bulanan dan di ganggu setiap saat oleh teman-teman sekolahnya. Namun dia mencoba bertahan dan mengabaikan semua itu.

 

Yah, hari ini memang satu pengganggu di sekolahnya sudah tidak ada, karna Santi sudah meninggal. Namun bukan berarti dia dapat bernafas lega, karna masih ada banyak pengganggu di sekolah itu. Sebenarnya ingin rasanya Larisa keluar dari sekolah saja. Namun dia masih memikirkan, masa depan serta orang tuanya.

Selama ini orang tuanya tak tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Larisa. Mereka pikir Larisa baik-baik saja.

 

Di saat Larisa berjalan menunduk sambil melamun, tiba-tiba Audrey dan teman satu gengnya datang menghampirinya.

"Hay, si Cupu Titisan Alien!" sapa Audrey kepada Larisa.

Dan Sapaan itu pun di tanggapi dengan tertawaan lebar dari kedua sahabatnya yaitu, Sisi dan Nana.

"Haha, parah banget sumpah! masa di bilang Titisan Alien!" sahut Nana.

Dan Sisi pun juga tak mau kalah mengatai Larisa, "Dia itu bukan Titisan Alien! tapi...."

"Woy! tapi apa? jangan di putus-putus bicaranya, nanggung nih!" teriak Nana.

Lalu Sisi kembali melanjutkan perkataannya, "Tapi dia itu Manusia Purba yang masih tersisa sampai sekarang haha!" sahut Sisi.

"Lihat saja tu dandanannya, sumpah aneh banget!" kata Nana.

"Iya, benar. Rambut mangkuk, kepang dua terus kaca matanya oh my God! jadul banget! kayak punya Nenek ku, dan gila! tu muka pekek skin care dikitlah, biar mukanya gak abstrak, kayak lukisan jaman batu haha!" Nana pun tertawa, "harusnya dia itu sekolah di panti jompo, bukan disini, karna gayanya sudah mirip Nenek-nenek, kuno dan kampungan!" imbuh Sisi.

"Iya, ni anak kayaknya gak punya TV di rumahnya, dia kayaknya juga gak punya ponsel deh buat buka sosial media dan vidio kecantikan, makanya dandan aja gak becus, gak tau tren masa kini. Berangkat sekolah aja, sudah dandan macam pembantu, sumpah bikin kita semangat aja buat ngebully kamu tau enggak sih?" ucap Nana.

Nana dan Sisi saling bergantian mengatai Larisa. Namun Larisa hanya diam dan tak membalasnya, selain tak berani untuk membalasnya.  Larisa sudah terbiasa dan tak mau menanggapinya.

Karna semakin dia menanggapinya urusannya semakin panjang. Larisa hanya ingin sekolah dengan nyaman dan belajar dengan sungguh-sungguh.

Karna bisa bersekolah di sekolah elite seperti ini saja dia sudah bahagia.

Apalagi kedua orang tuannya juga bangga melihatnya mendapatkan beasiswa di sekolah ini. Tentu dia tak ingin melihat mereka kecewa, dan sebisa mungkin Larisa hanya ingin bersungguh-sungguh bersekolah dan tak ingin berbuat masalah.

"Eh, Alien kok diam saja sih? Kamu gak punya telinga ya? atau mungkin mulutnya yang bermasalah?" tanya Audrey. Lalu Audrey memegang dagu Larisa dengan kencang, hingga Larisa pun merasa kesakitan, dan dengan gerakan reflek tangan Larisa menampik keras tangan Audrey yang mencengkeram dagu dan mulutnya itu.

Dan di saat itu Audrey merasa kesal, "Ah, sial! ow ... sudah mulai berani denganku ya ternyata?!" teriak Audrey.

Sampai orang-orang yang sedang lewat pun melihatnya.

Sontak Larisa pun terdiam menunduk ketakutan.

Melihat hal itu Audrey menjambak rambut Larisa itu hingga terlihat berantakan.

"Mau cari mati ya?" tanya Audrey mengancam Larisa.

Dan Larisa menggelengkan kepalanya. Namun di saat itu, tiba-tiba bel masuk pun berbunyi, dan Audrey melepaskan jambakannya.

"Nanti kita lanjutkan yah!"

Glebluk!

Audrey mendorong Larisa hingga terjatuh. Dan kacamata Larisa pun sempat terlepas pula.

Sambil mencari-cari kacamatanya Larisa seperti memegang sesuatu. Yaitu secarik kertas.

Dan terasa sedikit lengket dengan aroma anyir khas darah segar.

Dan tangan satunya pun akhirnya berhasil meraih kacamatanya.

Dengan segera ia mengenakan kaca matanya, lalu dia pun langsung melihat dan memastikan kertas yang baru saja ia temukan itu.

Dan setelah dia memperhatikan dengan seksama ternyata benar, itu adalah surat yang sama dengan yang ia temukan dua hari yang lalu, sebelum Santi meninggal. Dan cairan lengket itu benar-benar darah.

Tulisannya pun juga tak jauh berbeda dengan surat sebelumnya, yang berbunyi, 'Tulis satu nama yang ingin kau habisi'

 

Berkat pengalamannya dua hari yang lalu, akhirnya Larisa pun merobek-robek surat itu.

"Ah, surat sialan! aku tidak mau menjadi pembunuh!" gerutu Larisa.

Dan disaat itu gadis berseragam sekolah pucat dan penuh darah itu datang menghampirinya.

"Jangan di sobek...." ucap gadis itu dengan suara setengah berbisik.

"Kamu lagi! gara-gara kammu Santi jadi meninggal!" bentak Larisa kepada gadis itu.

Gadis itu malah tersenyum dan melihatnya dengan tatapan tajam dan menyeramkan.

"Bukannya kau suka?" tanya gadis itu.

"Ah, tidak! aku tidak mau menjadi pembunuh!" teriak Larisa lagi.

"Membully harus mati!" ucap gadis pucat itu lagi dengan tegas, dan setelah itu tubuhnya menghilang dari tempat itu dan tinggallah Larisa sendirian dan terlihat seperti orang aneh karna dari tadi berbicara sendirian. Tak ada yang bisa melihat gadis pucat itu.

 

"Hi, itu cewek Alien, bicara sendirian!"

"Haha, dia itu bukan hanya aneh, tapi juga gila!"

"Eww, lihat rambutnya acak-acakan kayak gembel!"

ucap para siswa yang lewat di sebelahnya.

Meski begitu, Larisa tak menghiraukannya sama sekali. Dan di saat itu ada seorang anak laki-laki yang datang menghampirinya.

Anak laki-laki itu bernama Alex.

Alex adalah salah satu anak populer di sekolah itu. Dia adalah atlet basket yang terkenal sangat tampan dan pendiam, serta memiliki banyak fans anak perempuan, namun hingga saat ini Alex, belum pernah terdengar memiliki seorang pacar.

Dan tak di sangka di balik sikap pendiam dan dinginnya itu, kini Alex malah membantu Larisa, si gadis kutu buku, yang jelek dan sering di bully itu.

Dengan ragu-ragu, Larisa meraih tangan Alex. Dia takut jika Alex menolongnya karna mempunyai niat lain dan hendak mengerjainya.

Melihat keragu-raguan Larisa itu membuat Alex pun langsung berkata.

"Aku ini tulus, tidak seperti mereka!" ucapnya dengan ketus.

Dan akhirnya Larisa pun meraih tangan Alex karna mendengar ucapan Alex yang baru saja terlontar.

"Te-terima kasih Alex!" ucap Larisa.

Lalu Alex pun juga membantu Larisa memungut tas dan beberapa buku Larisa yang sempat berhamburan karna terjatuh.

 

"Alex maka—"

"Iya!" cantas Alex dengan ketus dan berlalu pergi meninggalkan Larisa.

Larisa pun tersenyum sambil memandangi Alex yang berjalan duluan di depannya itu.

Tak di sangka ternyata Alex itu peduli kepadanya, walau sifatnya yang cuek dan nada bicaranya agak ketus, tapi Larisa tau betul jika sebenarnya, Alex itu anak yang baik.

***

 

Dan sepulang sekolah, Larisa pun berjalan menunduk sendirian, dan di saat itu, tiba-tiba Pak Parman penjaga sekolah memanggilnya.

"Dek!" teriak Pak Parman memanggil Larisa.

Lalu Larisa pun menoleh kearahnya.

"Iya, Pak. Ada apa?" sahut Larisa dengan sopan.

"Ada yang ingin saya tanyakan, bisa ikut saya sebentar?" tukas Pak Parman.

***

Lalu mereka pun pergi di sebuah kantin sekolahan, dan kebetulan kantin itu belum tutup, namun si Ibu pemilik kantin mulai merapikan dagangannya.

"Maaf, Bapak, ingin bicara apa dengan saya?" tanya Larisa.

"Panggilnya Pak Parman aja ya, biar gak kaku," tukas Pak Parman.

Lalu Larisa pun mengangguk. Dan pak Parman pun kembali melanjutkan pembicaraannya.

"Entah mengapa, sejak aku bertemu denganmu kemarin. Aku terbayang wajahmu, dan itu.... "

 

To be continued