webnovel

BUKAN ANAKKU

Sundari benar-benar merasa kesal mendengar jawaban Sulastri. Hanya demi membayar hutang. Dan, Sulastri mengucapkan semua itu tanpa terlihat ada rasa penyesalan sama sekali.

"Hanya karena hutang?"

"Ya, karena hutang. Aku tidak mungkin mengorbankan rumah ini. Meskipun kecil tapi, rumah ini milik kami sendiri. Jika rumah ini diambil orang, kami mau tinggal di mana?!"

"Kau bisa meminjam pada majikanmu. Dari pada kau menjual anakmu sendiri!" seru Sundari mulai emosi.

Sulastri bangkit berdiri dan langsung menuding Sundari.

"Kau ini siapa? Bukan siapa-siapa! Lebih baik kau pergi bersama anak pembawa malapetaka ini."

"Aku memang bukan siapa-siapa. Tapi, aku jauh lebih baik dari pada kau!"

"Jadi, mau kalian sebenarnya apa?! Menghakimi diriku?"

"Aku hanya ingin bertanya, bu. Kenapa Ibu tega menjual anak Ibu sendiri? Kenapa Ibu dengan tega merusak masa depan anak Ibu sendiri? Apa salahku, Bu?"

Sulastri menatap Kartika dengan tajam. "Kau mau tau salahmu?Asal kau tau, aku ini bukan ibumu! Sekarang, kau pergi dari sini. Jangan pernah kembali lagi. Aku tidak peduli kau mau tinggal di mana, mau menjadi wanita murahan atau kupu-kupu malam sekalipun, aku tidak peduli!" teriak Sulastri.

Bruaaak... Tiba-tiba pintu rumah Sulastri terbuka, dan Aminah berdiri sambil menatap Sulastri tajam.

"Jadi, selama ini kau bohong?! Kau bilang Kartika kabur dari rumah, padahal nyatanya kau sudah membuangnya. Bahkan kau sudah menjualnya? Kau benar-benar manusia tidak punya hati! Ibu macam apa kau ini?!" seru Aminah.

Kartika hanya menangis tersedu mendengar perkataan Sulastri. Ia menoleh pada Ibu Aminah dan memeluknya.

"Sudah, Bu. Memang Ibu tidak pernah mencintai Kartika. Biarkan Kartika pergi. Bukankah selama ini, Ibu sudah mengatakan pada orang-orang bahwa Kartika kabur? Kartika tidak apa-apa, Bu. Sekarang, saya pamit. Terimakasih sudah mau melahirkan dan membesarkan saya, Bu. Jika memang Ibu tidak mau lagi menganggap saya anak. Baiklah, saya pergi. Anggap saja, saya tidak pernah ada dan tidak pernah Ibu lahirkan. Jika suatu hari kita bertemu lagi, di mana pun, tidak perlu saling bertegur sapa. Saya pamit, Bu."

Kartika pun segera menarik tangan Sundari dan melangkah keluar dari rumah itu. Meninggalkan Sulastri dan juga Aminah. Kartika benar-benar merasa hancur sehancur-hancurnya. Tadinya, ia membayangkan bahwa Sulastri akan memeluk dan meminta maaf kepadanya. Atau setidaknya menanyakan bagaimana kabarnya. Apakah Sania memperlakukan dia dengan baik atau tidak. Tapi, semua itu hanyalah angan-angan belaka.

Di dalam taksi, Kartika hanya menangis memeluk Sundari dengan sedih.

"Ibu akan memjagamu dengan baik, Kartika. Kau boleh menganggapku sebagai Ibumu sendiri. Aku sudah pernah mengatakan hal itu, bukan? Lupakanlah semuanya. Dengarkan Ibu, kau boleh tinggal bersamaku. Tidak perlu melayani tamu manapun. Biar Ibu yang bertanggung jawab jika Mami Sania yang bertanya, bagaimana?" tanya Sundari.

Kartika menatap Sundari tak percaya. "Betul? Aku tidak salah dengar, kan? Aku tidak perlu melayani tamu lagi? Tidak perlu lagi..."

"Iya, aku yang akan bertanggung jawab padamu. Kau tidak usah lagi melayani tamu dan tinggal di kamar itu. Kau akan tinggal di rumahku, bersamaku."

"Bagaimana jika mami Sania marah?"

"Ibu yang akan bertanggung jawab atas semuanya."

Kartika memeluk Sundari dengan erat. Sungguh, seperti mimpi namun ini benar terjadi. Ia merasa bahagia sekali. Setidaknya, meski ia tidak bisa kembali sekolah, ia tidak perlu lagi melayani tamu di atas ranjang lagi.

"Terimakasih banyak, Bu."

"Sama-sama, sayang."

Sundari benar-benar melakukan apa yang ia ucapkan. Saat mereka kembali, Sundari langsung menyuruh anak buahnya untuk mengambil barang-barang milik Kartika dan memindahkan ke rumah induk. Bahkan, Kartika tidak diizinkan kembali ke kamarnya. Sundari langsung memberikan kamar di samping kamarnya yang selama ini kosong.

"Ini kamarmu sekarang, kau bisa menjalani kehidupan dengan normal. Kau mau kembali sekolah, Kartika?" tanya Sundari.

"Boleh,Bu?"

"Mengapa tidak? Aku akan mengurus semuanya. Sayang sekali jika kau tidak meneruskan sekolahmu. Hanya tinggal setahun lagi saja, kan."

"Iya,Bu."

"Ibu akan bertanggung jawab atas semuanya. Kau tenang saja, ya."

"Bu, tapi bolehkah aku pamit pada teman-temanku? Neneng dan Euis? Mereka baik sekali padaku, jadi aku rasa..."

Sundari tampak berpikir sejenak, "Baiklah, sebentar saja dan langsung kembali kemari. Ibu tidak ingin anak-anak lama mengganggumu."

Kartika paham betul dengan apa yang di katakan Sundari. Ia pun bergegas menuju ke kamar Neneng dan Euis.

Namun saat ia baru saja hendak mengetuk pintu...

"Enak sekali dia, padahal dia kemari bersama kita. Pasti dia itu sudah memakai pelet. Liat saja, tamu yang datang padanya itu selalu memberi dia tips yang banyak. Sedangkan kita? Dia itu kan di pindahkan kemari bersama kita karena Mami Sania mendapatkan gadis yang jauh lebih cantik dari pada dia. Coba kalau tidak, pasti dia masih di sana." Terdengar suara Neneng dengan nada yang tidak enak di dengar.

"Kalian berdua aja yang terlalu polos. Aku yakin, dia itu hanya menjual cerita sedih. Pura-pura di jual sama Ibunya, mana ada Ibu yang tega jual anaknya sendiri. Kalo bapak sih masih mungkin ya, nggak ngerasa sih bagaimana sakitnya melahirkan. Itu makanya kemarin aku kurang suka melihatnya, sok cantik banget."

Kartika ingat, kemarin ada yang membentak mereka. Dan, kini wanita itu sedang menghasut teman-temannya. Dan, parahnya Neneng dan Euis ikut terhasut.

"Iya teh Dea. Dia memang keliatan polos. Tapi, ternyata dia begitu ya. Pintar mencari muka, penjilat," kata Euis.

Kartika merasa tidak sanggup lagi untuk mendengar perkataan Euis dan Neneng. Ia pun mengurungkan niatnya untuk menemui kedua temannya dan bergegas kembali. Sundari yang melihat ekspresi kesedihan di wajah Kartika langsung bergegas menghampiri.

"Ada apa, nak?" tanya Sundari. Dengan terbata-bata Kartika pun menceritakan apa yang baru saja ia dengar. Sundari menghela napas. Ia tau, pasti hal itu akan terjadi. Oleh karena itulah ia menyuruh orang untuk membawa barang Kartika. Di tempat seperti ini, yang namanya iri dan dengki itu sudah biasa. Bagi Sundari yang sudah banyak makan asam garam tentu tidak akan jadi masalah. Tapi, bagi Kartika hal itu tentu hal yang baru untuknya.