webnovel

Kamar Mayat

Setibanya di sekolah, Bryan langsung menuju ke kantin untuk sarapan. Karena ia memang tidak pernah sarapan di rumah. Di kantin Bryan bertemu dengan Amara. Mereka duduk di satu meja yang sama. Namun dua insan itu justru saling diam karena merasa canggung untuk memulai percakapan. Suasana yang tadi hening seketika berubah jadi ramai ketika Dennis datang menghampiri mereka.

"Woy! Diam-diaman mulu kalian, ngobrol dong!" kata Dennis membuat suasana jadi ramai.

Dennis mampu mengusir keheningan di antara Bryan dan Amara.

"Gimana kabar Kak Rey?" tanya Bryan mengalihkan pembicaraan.

"Yah... Sekarang kondisinya sudah lebih baik. Perlahan semua sikapnya kembali normal," kata Dennis sambil tersenyum. Tentu saja Bryan senang mendengarnya. Ia juga tersenyum tipis ke arah Dennis.

"Lalu gimana dengan kencan kalian kemarin?" tanya Dennis sambil melirik ke arah Amara yang masih diam saja.

Mendengar pertanyaan Dennis itu, Amara jadi tersedak. Sementara Bryan langsung membuang wajahnya. Mereka tampak sangat gugup. Bryan merasa malu jika mengingat kejadian kemarin. Dennis jadi semakin yakin kalau telah terjadi sesuatu pada mereka.

Amara langsung meminum jus pesanannya untuk menghilangkan rasa gugupnya.

"Eh Amara, lo tahu nggak sih kalau Bryan ini bukan hanya jago nyanyi tetapi jago dance loh," ucap Dennis sambil melirik ke arah Bryan. Tangan Bryan sontak bergerak menutup mulut Dennis. Tetapi tentu saja itu sudah terlambat, Amara sudah terlanjur mendengarnya.

"Oh iya? Masa sih? Ih mau dong kapan-kapan kasih lihat ke gue tarian dance lo," kata Amara begitu antusias.

"Ogah!" jawab Bryan dengan tegas dan dingin. Namun tetap saja ia tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang merah.

"Cie... Memerah," goda Dennis sambil menahan tawa. Melihat wajah Bryan yang merah, Amara jadi ikut menahan tawa.

Sementara Bryan menatap ke arah Dennis dengan tatapan yang datar.

Dennis masih tertawa sampai ia merasa ingin buang air kecil. Akhirnya Dennis berpamit untuk pergi ke toilet.

Sekarang hanya tertinggal Bryan dan Amara di meja itu. Amara tampak sedang menikmati nasi goreng yang baru saja datang disajikan oleh pemilik kantin.

Bryan menatap ke arah Amara. Ia jadi teringat dengan sosok anak kecil yang dilihatnya tadi pagi.

"Sebenarnya lo pindah ke sini karena lo mau cari adik lo kan?" tanya Bryan membuat Amara jadi menghentikan makannya. Wajahnya terlihat sangat sedih ketika Bryan menanyakan hal itu. Amara memang sedih karena ia harus kehilangan adiknya yang sangat ia sayang.

"Karin adik gue. Dia hilang sudah lebih dari sebulan yang lalu. Orang tua kami sudah cerai, dan gue sama adik gue tinggal sama ibu gue. Ketika libur tiba adik gue ingin pergi menemui ayah, gue nggak bisa mencegahnya. Tapi sekarang gue malah nggak tahu dia dimana." Amara tampak menahan air mata yang sudah berada di ujung matanya itu. Sekarang Bryan jadi tahu masalah yang sebenarnya terjadi antara Amara dan anak kecil itu.

"Kalau gitu nanti pulang sekolah lo harus ikut gue ke rumah sakit," ucap Bryan dengan wajah yang datar.

Amara jadi kaget mendengarnya. Ia malah menyangka kalau Bryan yang sakit.

"Ke rumah sakit? Ngapain? Lo sakit?"

Bryan menggelengkan kepalanya sambil berkata,"Nanti juga lo tahu sendiri kok."

Jam sekolah pun telah usai.

Sesuai dengan janji Bryan tadi, ia akan membawa Amara ke rumah sakit untuk menunjukkan sesuatu kepadanya.

Amara masih bingung kenapa Bryan membawanya ke rumah sakit. Bahkan sekarang mereka melangkah menuju ke kamar mayat. Wajah bingung Amara semakin terpancar, tetapi ia terus mengikuti langkah kaki Bryan.

"Kita ngapain masuk ke kamar mayat?" tanya Amara yang masih bingung.

Bryan hanya diam sambil membuka selimut yang menutupi salah satu mayat di ruangan itu.

Terlihat seorang mayat yang sudah tersisa tulang belulang berbalut baju berwarna pink muda. Namun Amara sangat mengenali baju yang dikenakan mayat itu.

"Maksud lo apa sih bawa gue ke sini?" tanya Amara masih kebingungan.

"Itu Karin. Adik lo yang selama ini hilang. Tadi gue ketemu sama dia, dan dia bilang dia pengin banget ketemu sama lo," kata Bryan sambil melirik ke arah mayat anak kecil yang sudah tidak bisa terlihat jelas wajahnya itu.

Seketika mulut Amara terbuka sangat lebar. Matanya tak kuasa lagi menahan tangis. Amara masih tak menyangka kalau mayat kecil itu adalah adiknya yang selama ini menghilang. Namun baju yang ia kenakan memang sama persis dengan baju terakhir yang Karin pakai sebelum pergi. Amara menangis sambil memeluk tulang-tulang itu. Air matanya berderai sangat deras. Bryan jadi merasa tidak tega melihat Amara seperti itu.

"Kenapa dia bisa jadi seperti ini? Apa yang sudah terjadi sama Karin? Siapa yang sudah melakukannya?" teriak Amara yang masih sangat shock dengan keadaan Karin.

"Karin diculik oleh seorang podofil. Dia diperkosa, kemudian dia dibunuh di sebuah rumah tua yang sudah lama kosong." Bryan mencoba mengingat kejadian yang ia lihat tadi pagi di dalam pikirannya.

Amara semakin tak kuasa menahan air matanya. Tangisannya begitu menyayat hati siapapun yang mendengar. Gadis itu terus berteriak memanggil nama adiknya.

Sekarang Bryan melihat sosok anak kecil yang tadi pagi ia lihat sudah berdiri di depan Amara. Anak kecil itu adalah Karin. Karin tampak tersenyum bisa melihat kakaknya berada di depannya sekarang.

"Lo harus tahu kalau sekarang adik lo sedang berdiri di depan lo," kata Bryan menghentikan tangis Amara. Amara mencoba mencari keberadaan Karin, tetapi ia tidak bisa melihat adiknya. Amara jadi semakin sedih karena di saat seperti ini ia ingin sekali bisa melihat adiknya.

"Katanya dia senang sekali bisa melihat lo ada di sini. Sekarang dia jadi bisa pergi dengan tenang," lanjut Bryan mencoba menyampaikan apa yang baru saja dikatakan oleh Karin. Karin tampak tersenyum dan meninggalkan mereka dari ruangan itu.

Sementara Amara masih terus menangis, ia begitu sedih melihat keadaan adiknya yang meninggal dengan cara tragis seperti ini.

Perlahan Amara mulai bisa menerima kenyataan ini. Bryan pun membujuk Amara untuk kembali pulang. Namun Amara menolak untuk diantar oleh Bryan. Amara lebih memilih pulang sendirian.

Bryan yang merasa khawatir akhirnya diam-dian mengikuti langkah Amara. Semenjak keluar dari kamar mayat tadi, tatapan mata Amara tampak selalu kosong. Bryan jadi khawatir dengan keadaan Amara yang masih belum bisa merelakan kepergian Karin. Bryan juga takut kalau gadis itu berbuat nekat di jalanan yang sangat sepi ini. Sementara Amara tidak menyadari kalau ada Bryan yang dari tadi mengikutinya di belakang.

Dan benar saja langkah Amara terhenti di sebuah jembatan. Di bawah jembatan itu terdapat sungai yang sangat besar. Amara bahkan melompat melewati pembatas dan naik ke atas jembatan.

Dengan sigap Bryan memeluk Amara dari belakang dan mencoba menahan Amara agar tidak nekat melompat dari atas jembatan.